Subagio S. Waluyo

          Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, satu hari sebelum Aksi Bela Palestina di depan Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat (aksi diadakan 28/10-2023), Penulis merasa galau. Bagaimana tidak galau kalau di satu sisi Penulis sebagai ilmuwan yang masih punya rasa kemanusiaan tiba-tiba terpanggil untuk ikut acara tersebut? Tapi, di sisi lain acara tersebut berbarengan dengan waktu mengajar di tempat Penulis selama ini mengabdi sebagai pengajar? Putusan akhir, Penulis harus mengedepankan rasa kemanusiaan daripada harus mengajar di depan kelas. Tentang tidak hadirnya Penulis di hari H-nya di depan kelas bisa dibicarakan dengan anak didik. Singkatnya, Penulis mengikuti acara Aksi Bela Palestina di depan kantor yang menjadi pendukung utama bangsa Zionis Yahudi (bangsa kera).

***

          Perasaan galau bisa saja terjadi bagi seorang akademis yang setiap hari bergelut dengan dunia ilmu. Perasaan galau itu menjadi bukti bahwa Penulis bukan semata-mata menjadi orang yang saking asiknya dengan dunia ilmu sehingga hanya berpikir ilmu itu hanya berputar pada hakikat yang dikaji (ontologi) dan cara mendapatkan pengetahuan yang benar (epistemologi), tapi juga seorang ilmuwan harus mengetahui, memahami, dan mempraktekkan nilai kegunaan ilmu (aksiologi). Jadi, seorang ilmuwan harus membuktikan dirinya bahwa ilmu yang diperolehnya benar-benar bisa diterapkan dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Dengan kata lain, seorang ilmuwan bukan hanya berkutat dengan mentransfer ilmunya ke anak didik. Tidak cukup bagi seorang ilmuwan hanya berkutat dengan mengkaji ilmu lewat riset-riset yang dilakukannya sampai dia mendapatkan pengetahuan yang benar sementara ada segelintir anak bangsa yang berperilaku kera menghabisi sesama manusia yang tidak bersalah melalui pembunuhan massal. Tidak cukup juga bagi seorang yang mengaku berintelektual berdiam diri terhadap nasib bangsa yang sampai saat ini tidak memperoleh pasokan air bersih, aliran listrik, bahan makanan, dan obat-obatan di tengah-tengah perang yang sedang berkecamuk di Jalur Gaza (Palestina). Pasokan air bersih, aliran listrik, bahan makanan, dan obat-obatan sengajar diblokir oleh bangsa kera yang memang punya niat menghabisi bangsa yang dimusuhinya. Mereka sang bangsa kera mau menghapus dari peta wilayah yang direbutnya menjadi wilayah Zionis Yahudi. Bahkan, tidak mustahil, mereka juga akan mencaplok wilayah di sekitarnya dengan bantuan negara-negara Barat yang memang sama-sama memiliki kepentingan dengan bangsa kera.

          Perilaku negara-negara yang dikatakan sebagai negara-negara maju yang mem-back up habis-habisan sang bangsa kera jelas merupakan perilaku buruk. Mereka sama buruknya dengan perilaku sang bangsa kera. Kalau sudah seperti itu perilakunya, ke mana perginya hati nurani para pemimpin negara maju yang sudah kenyang dengan namanya ontologi dan epistemologi yang selama ini dipelajari habis-habisan di perguruan-perguruan tinggi yang boleh dikatakan terkenal di negara-negara maju itu? Mereka-mereka para ilmuwan cuma asik di menara gading lupa kalau hasil berbagai temuan yang katanya untuk kemanusiaan tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka-mereka hanya berpikir tentang prestasi dan prestise yang dicapainya. Padahal ada yang lebih penting dari sekedar prestasi dan prestise, yaitu mewujudkan dunia yang penuh kedamaian, keamanan, kenyamanan, dan jauh dari hiruk-pikuk teriakan orang-orang kecil yang menderita karena ada bangsa kera yang masih punya syahwat untuk menghabisi sesama manusia. Perilaku yang ditunjukkan bangsa kera jelas perilaku yang mengarah pada pembersihan etnis. Sebagai bukti terjadinya pembersihan etnis bagi bangsa Palestina bisa dilihat pada link berikut ini: https://youtu.be/UxoUS7iXvV0 .

          Melihat kejadian yang dipaparkan dalam link di atas, sebagai ilmuwan Penulis tidak bisa berdiam diri. Penulis sama dengan orang lain yang masih punya kepedulian terhadap sesama nasib bangsa terlepas dari ras, suku, etnis, atau agama jelas hati nurani ini tidak menerima perilaku bangsa kera dan bangsa-bangsa yang mengaku sebagai negara paling maju yang konon kabarnya mau habis-habisan mem-back up bangsa kera yang berperilaku bejat itu. Penulis harus menyebut Zionis Yahudi bangsa kera berperilaku bejat karena memang sudah putus urat rasa malunya dan putus juga rasa kemanusiaannya. Kalau memang bukan bangsa bejat, kenapa melakukan cara-cara brutal dengan memborbadir habis-habisan tempat-tempat pemukiman, tempat-tempat ibadah, rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, dan lokasi-lokasi strategis yang digunakan untuk hajat hidup orang banyak? Ini `kan bisa disebut brutal yang korbannya bukan hanya para Pejuang Hamas, tapi juga penduduk biasa.

***

Penulis sebagai ilmuwan hanya ingin mengajak pada para ilmuwan di Menara Gading agar tidak hanya mengedepankan ontologi dan epistemologi tapi juga aksiologi. Penulis ingin agar sesama ilmuwan mau menerapkan aksiologi karena kalau hanya sampai ontologi dan epistemologi para ilmuwan hanya berkutat dengan ilmu tanpa ada aksi. Bukankah kehadiran seorang ilmuwan sesuai dengan bidang keilmuannya harus mengamalkan ilmu yang dimilikinya? Mudah-mudahan saja harapan itu masih ada. Wallahu`alam bissawab.

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat