Subagio S.Waluyo
Dalam usia yang sudah tidak muda lagi, ada perasaan di benak saya yang selalu merindukan `rumahku surgaku`. Perasaan ini bukan hanya terjadi pada saat ini, jauh di masa-masa saya masih aktif mengajar selalu juga muncul perasaan itu: `rindu rumah, rindu anak istri`. Bagaimana saya tidak rindu dengan rumah kalau rumah saya banyak memberikan kedamaian? Bagaimana saya tidak rindu istri dan anak kalau setiap saya pulang selalu disertai dengan sapaan `gimana kabarnya hari ini?`. Bukan hanya itu, senyum mereka membikin saya merasa `Ah, saya menikmati surga dunia!`
Bisa saja orang mengatakan saya terlalu berlebihan atau bahasa orang-orang sekarang `lebay`. Tapi, sikap berlebihan saya ada alasannya yang justru jarang dimiliki orang kebanyakan. Mengapa dikatakan jarang? Saya melihat di sekeliling saya, banyak orang begitu pulang kerja tidak langsung pulang ke rumahnya. Dengan alasan lalu lintas masih macetlah yang membuat mereka mampir ke warung-warung kopi atau café. Ada juga yang lebih dari itu, mereka sengaja mampir ke tempat-tempat yang justru membuat pulang ke rumah dalam kondisi limbung alias mabuk (naudzubillahi mindzaalik). Kalau sudah seperti ini, tidak ada alasan lalu lintas yang macet dijadikan alasan untuk berlama-lama pulang ke rumahnya. Alasan utamanya buat orang-orang seperti ini rumah buat mereka bukan sebagai surga tapi boleh jadi malah sebaliknya tempat yang tidak memberikan kedamaian, kenyamanan, atau bisa jadi tidak ada keceriaan.
Di awal-awal pernikahan mereka boleh jadi sama seperti saya seolah-olah `dunia ini milik kita berdua`. Tapi, seiring berjalannya waktu, perasaan ini buat mereka makin lama makin redup, bahkan menghilang. Mengapa bisa seperti itu? Jawabannya sederhana saja, pasangan hidupnya juga merasakan hal yang sama adanya kejenuhan. Mereka tidak memiliki variasi dalam menjalankan kehidupan. Selalu saja keduanya atau bisa saja sang istri atau suami yang mengeluhkan tentang banyak hal yang itu-itu saja. Mereka tidak memiliki program yang jelas dalam menjalankan rumah tangga. Wajar-wajar saja jika keduanya merasakan kejenuhan.
Meskipun dikaruniai anak di awal-awal saja sang suami merasakan adanya kebahagiaan. Seiring waktu ketika anak-anak itu sudah semakin besar dan semakin banyak yang harus dipenuhi kebutuhannya, kejenuhan itu muncul lagi. Kehadiran anak-anak tidak bisa mengobati kejenuhan yang memang sudah berkarat dalam hatinya. Rumah yang hingar-bingar oleh suara istri dan anak-anak dianggap seperti `kapal pecah` yang membikinnya untuk menutup mata dan telinga. Orang-orang seperti ini tampaknya kalau sudah berada di tempat kerja ingin berlama-lama. Tidak ada keinginan untuk pulang cepat dan merasakan kebahagiaan di tengah-tengah keluarga.
Ada perasaan bersyukur yang wajib saya ungkapkan yang justru ini tidak dimiliki orang kebanyakan. Orang bisa saja menyebut saya sebagai orang rumahan karena banyak waktu saya di rumah. Sejak masih aktif mengajar di perguruan tinggi, banyak waktu saya di rumah. Walaupun sempat beberapa tahun memegang jabatan yang membuat waktu saya agak lama di tempat saya mengajar, begitu selesai melaksanakan tugas saya segera pulang. Rumah dan segala isinya buat saya menjadi magnet yang membuat saya kangen untuk segera pulang. Tawaran dari banyak kolega untuk `nyambi` di luar tidak saya gubris. Buat saya penghasilan dari tempat saya mengajar sudah mencukupi untuk menghidupi satu orang istri dan lima orang anak. Masalah rezeki saya yakin sudah ada yang mengatur.
Hidup dengan satu istri dan lima anak di zaman seperti sekarang ini sangat mungkin tidak akan mencukupi kalau hanya dari mengajar. Tapi, di saat-saat anak mau masuk perguruan tinggi selalu saja ada rezeki yang tak terduga datangnya. Tentu saja rezeki yang datangnya bukan berasal dari pemberian orang atau lembaga ini itu, tapi dari tawaran sesama kolega saya untuk bantu-bantu melakukan di antaranya penelitian atau menjadi tenaga ahli di salah satu proyek pemerintah. Satu persatu anak-anak saya bisa masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN). Satu persatu mereka (alhamdulillah) bisa menyelesaikan studinya. Satu persatu mereka sekarang sudah mapan hidupnya. Satu persatu mereka mulai meninggalkan rumahnya karena mereka kini telah berkeluarga. Sekarang tinggal satu anak yang paling kecil (bungsu) masih bersama saya dan istri.
Kalau direnungkan, hidup ini demikian singkat. Hampir empat puluh tahun berumah tangga sekarang tinggal bertiga saja. Meskipun hanya bertiga, saya tetap merasa nyaman, tenteram, dan aman jika berada di rumah. Saya masih menjadikan `rumahku surgaku` karena di rumah itu ada cinta. Cinta itulah yang selalu mengikat keutuhan rumah tangga saya. Bukankah semua orang membutuhkan cinta? Kalau memang butuh cinta, penuhilah hidup ini dengan cinta.
Karena cinta, saya bisa membunuh kejenuhan. Karena cinta, rasa jenuh itu hilang ketika melihat anak-anak dan cucu-cucu saya yang menggemaskan. Karena cinta, saya selalu rindu rumah. Karena cinta, saya bisa melawan kejenuhan dalam menjalankan kehidupan. Meskipun demikian tidak cukup dengan cinta, saya dan keluarga pun harus melakukan pendekatan pada Tuhan secara intens. Saya meyakini pendekatan pada Tuhan membuat rasa kangen berada di rumah itu masih tetap ada.
*) Tulisan ini telah dimuat dalam buku kumpulan tulisan Tempat Hatiku Pulang.