Subagio S. Waluyo

Di pojok kanan bawah pada gambar karikatur di atas ada pertanyaan sang anak yang `nyelekit`: “…Bapak nanti jadi abdi rakyat, abdi kekuasaan, atau ….petugas partai?” Sang bapak yang sambil bawa map bertuliskan Pilkada sambil melirik ke anaknya boleh jadi terpukul dengan pertanyaan anaknya itu. Kalau sang bapak seorang pejabat publik yang tentu saja tugas utamanya melayani publik, hanya ada dua jawaban, pertama dia akan renungkan pertanyaan sang anak walaupun terasa menusuk hatinya. Bisa juga bersikap `cuek bebek`, `masa bodo amat`, `emang gue pikirin`. Sikap kedua tampaknya lebih mendominasi daripada dia harus merenung seraya mengakui betapa ada benarnya  pertanyaan sang anak. Sikap `cuek bebek, `masa bodo amat`, `emang gue pikiran` boleh jadi juga ada pada para birokrat yang menurut hasil survei menunjukkan bahwa netralitas ASN menjadi masalah serius dalam pilkada 2020, utamanya menyangkut politisasi birokrasi dan banyaknya ASN yang melakukan politik praktis. Untuk lebih jelasnya, tulisan di bawah ini silakan kita baca dan simak supaya kita juga bisa setidak-tidaknya menyimpulkan apa yang terjadi dengan birokrat (ASN) kita?

Arga Makmur, Badan Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten Bengkulu Utara – Ketua Bawaslu Kabupaten Bengkulu Utara, Titin Sumarni mengikuti kegiatan webinar “Potret Netralitas Birokrasi Menyongsong Tahun Politik 2024 – Rilis Hasil Survei Nasional Netralitas ASN pada Pilkada Serentak Tahun 2020” yang diselenggarakan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara.melalui media Zoom Meeting di Sekretariat Bawaslu Kabupaten Bengkulu Utara, Kamis (16/12/2021).

Pihak-pihak yang diundang dalam kegiatan tersebut terdiri dari Pemerintah Daerah seluruh Indonesia (Gubernur, Bupati, Walikota, Sekretaris Daerah, Kepala BKD, Kepala Kesbangpol Provinsi/Kabupaten /Kota), Ketua Bawaslu Provinsi/Kabupaten/Kota, Pimpinan LSM dan Wartawan Media. Dalam kegiatan ini KASN mengundang 3 orang Narasumber yaitu Muhamad Idris, selaku Sekda Sulawesi Barat yang juga Sekretaris Forum Sekda Seluruh Indonesia, Abdulah Idris, tenaga ahli Bawaslu RI dan Titi Anggraeni selaku Pembina Perludem.

Komisioner KASN bidang Penerapan Nilai Dasar, Kode Etik, dan Kode Perilaku ASN dan Netralitas ASN, Arie Budiman yang juga selaku panitia dan tim survei KASN menyatakan survei tersebut merupakan salah satu tugas KASN dalam menjaga Netralitas ASN untuk melihat fakta-fakta implementasi Netralitas ASN sebagai bentuk akuntabititas KASN kepada publik dan seluruh pemangku kepentingan Pilkada Tahun 2020. Beliau juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik dalam hal survei sampai dengan terselenggaranya kegiatan tersebut.

Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Agus Pramusinto menyatakan bahwa pihaknya telah menyelenggarakan survei. Hasilnya diketahui bahwa faktor dominan penyebab pelanggaran netralitas ASN adalah ikatan persaudaraan. Temuannya mencapai 50,76 persen, dan motif ASN untuk mendapatkan karier yang lebih baik sebanyak 49,72 persen. Beliau menjelaskan berdasarkan hasil survey, netralitas ASN menjadi masalah serius dalam pilkada 2020, utamanya menyangkut politisasi birokrasi dan banyaknya ASN yang melakukan politik praktis.

Agus menambahkan, 62,7 persen responden menyatakan kedudukan kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) menyebabkan ASN sulit bersikap netral. Hal ini berkaitan dengan Kepala daerah sebagai PPK memiliki kewenangan dalam menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian, serta pembinaan Manajemen ASN. Maka dari itu, pada hasil survei menemukan sebanyak 51,16 persen responden menginginkan hak politik ASN dicabut.

Dalam penelitian tersebut Bengkulu menjadi salah satu provinsi yang banyak terdapat kasus netralitas ASN. Sebagai contoh, di Provinsi Bengkulu terdapat kasus adanya oknum Kadis yang melakukan pengambilan sumpah kepada 9 Kepala Sekolah untuk mendukung salah satu Paslon Kepala Daerah dan KASN memberikan hukuman disiplin berat.

Hasil survei menunjukkan bahwa pemberian sanksi belum memberikan efek jera. Oleh karena itu penguatan regulasi dan peningkatan sinergitas lembaga perlu dilakukan sebagai salah satu langkah untuk mengantisipasi permasalahan netralitas ASN.

Penulis: Humas Bawaslu Kabupaten Bengkulu Utara

Setelah membaca tulisan di atas, kita bisa mengatakan: “Kok, bisa-bisanya ya ASN melakukan politik praktis?” Apakah sebagai ASN mereka tidak bisa menjaga netralitas? Kalau merujuk pada Pasal 2 UU Nomor 5 tahun 2014 seharusnya bisa `kan? Bukankah memang sudah diingatkan jauh-jauh hari? Coba kita amati ketentuan yang tercantum di UU yang mengatur ASN di bawah ini.

Di atas (yang dihitamkan kata `netralitas`-nya) semua ASN dipastikan sudah benar-benar memahami bahwa setiap ASN wajib menjaga netralitas. Apakah kata tersebut masih belum bisa dipahami sang ASN atau memang sengaja melanggar? Kalau masih dirasakan kurang silakan dibaca Pasal 5 di UU ASN tersebut sebagaimana terdapat di bawah ini.

 

Jadi, kalau merujuk pada kedua kutipan di atas sudah jelas ya kalau ASN itu salah satu di antaranya berasas pada netralitas dan bebas dari intervensi politik? Tapi, kenapa masih ada ASN yang masih tidak menjaga netralitasnya dan bebas dari terintervensi politik? Atau ada ASN yang mungkin juga merujuk pada Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:

 

Karena ada bunyi aturan di atas, ada ASN yang beranggapan sah-sah saja kalau terlibat dalam kegiatan politik. Sikap seperti itu tidak bisa dibenarkan karena biar bagaimanapun seorang ASN harus mentaati bunyi UU ASN yang sudah disosialisasikan pada mereka.

Kita jelas tidak bisa menerima dasar hukum yang digunakan ASN untuk terlibat dalam kancah politik menggunakan UU HAM. Meskipun harus diakui, setiap warga negara memang berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. Kalau memang ada yang mau dipilih, dalam hal ini `kan sang ASN harus mengundurkan diri demi menjaga netralitasnya sebagai ASN. Kalau memilih salah satu calon pasangan dalam pilkada, ASN sama dengan warga yang lain karena memang dia punya hak untuk memilih. Tapi, kalau dia mengajak orang lain untuk memilih pasangan yang dia pilih, ini sudah beda persoalannya. Dalam hal ini dia sudah menyalahi aturan yang terdapat di UU ASN. Kalau ada pertanyaan yang muncul, apakah ASN dibiarkan terlibat dalam politik praktis? Kita pun harus dengan tegas menyatakan tidak boleh karena akan muncul beberapa efek negatif yang berpotensi memunculkan rezim birokrasi di antaranya seperti diuraikan di bawah ini.

Pertama : Munculnya pemerintahan yang otoriter.
Kedua : Tidak adanya kontrol yang memadai sehingga memunculkan sikap kesewenang-wenangan dan korup.
Ketiga : Konsentrasi orientasi tugas birokrasi untuk melayani menjadi terabaikan.
Keempat : Hilangnya rasionalitas manajemen dalam institusi birokrasi.
Kelima :  Hilangnya netralitas politik.
(Budi Setiyono, 2012: 165-166)

Untuk itu, kita perlu melakukan langkah-langkah berikut.

 

***

Selain bebas dari intervensi politik, ASN juga harus bersih dari yang namanya korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Di UU ASN di bagian Menimbang tercantum pernyataan:

Dari pernyataan di atas sudah sangat terang-benderang ya, kalau ASN harus memiliki integritas, netral dan bebas dari intervensi politik. Bahkan, ASN harus (yang dihitamkan tulisannya) bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Meskipun demikian, karena negara ini baru saja keluar dari rezim Orde Baru (walaupun sudah hampir 24 tahun), tidak sedikit masih ditemukan praktek-praktek kotor yang berkaitan dengan KKN. Di bawah ini bisa dilihat cuplikan berita praktek KKN yang menarik untuk kita simak.

Tajuk Rencana

Sesat Pikir Pengangkatan Kembali ASN Koruptor

Monday, 29 August 2022 – 08:45

Wacana pengangkatan kembali 17 Aparatur Sipil Negara (ASN) koruptor oleh Bupati Mukomuko merupakan sesat pikir dan kemunduran bagi upaya reformasi birokrasi yang tengah dilakukan oleh pemerintah. Bukan hanya itu, wacana yang telah disampaikan ke Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM oleh Sapuan selaku Bupati dapat menjadi preseden buruk dan berpotensi direplikasi oleh daerah lain apabila disetujui oleh Kementerian.

Sejak 2010 Indonesia telah memiliki rancangan untuk mereformasi birokrasi melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Rencana tersebut dibagi ke dalam 3 (tiga) tahap: 1). Pada 2010-2014, penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat; 2). Tahun 2015-2019, implementasi hasil-hasil yang sudah dicapai pada lima tahun pertama pada berbagai komponen strategis birokrasi pemerintah; 3). Periode 2020-2024, peningkatan secara terus menerus kapasitas birokrasi sebagai kelanjutan dari reformasi birokrasi pada lima tahun kedua, untuk mewujudkan pemerintahan kelas dunia.

Saat ini, proses pembenahan reformasi birokrasi telah memasuki tahap terakhir yakni periode 2020-2024. Jika melihat fakta yang terjadi di Kabupaten Mukomuko, artinya daerah tersebut tidak lulus untuk mengimplementasikan agenda reformasi birokrasi tahap awal yakni upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Yang menjadi persoalan adalah, masyarakat tidak dapat memonitoring capaian agenda Grand Design reformasi birokrasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

PR Besar Agenda Reformasi Birokrasi

Usulan untuk mengangkat kembali koruptor menjadi ASN merupakan salah satu permasalahan yang pada akhirnya menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk merealisasikan gagasan besarnya dalam mereformasi birokrasi. Masalah lain yang ditemukan misal, masih banyaknya ASN yang terjerat kasus korupsi. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) selama tahun 2019-2021 diketahui ada sebanyak 828 ASN yang terjerat kasus korupsi dengan tren meningkat setiap tahunnya. Misalnya, ASN yang terjerat kasus korupsi pada 2019 sebanyak 213 orang, di 2020 bertambah menjadi 272 orang, dan pada 2021 meningkat menjadi 343 orang.

Kondisi di atas menunjukan bahwa upaya penindakan yang dilakukan oleh penegak hukum belum optimal. Faktor yang melatarbelakangi hal tersebut terjadi diduga karena ketidakpahaman atau pengabaian oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) -yang diemban oleh Kepala Daerah- untuk tidak memecat ASN yang telah terbukti korupsi berdasarkan putusan inkracht pengadilan.

Badan Kepegawaian Negara (BKN) pun masih menemukan adanya ASN yang telah mendapatkan putusan inkracht atas tindakan korupsi namun belum dipecat. Padahal ketentuan pidana mengenai ASN yang terjerat korupsi telah jelas tercantum pada Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menyatakan bahwa ASN diberhentikan tidak hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.

Dengan adanya permasalah di atas, pemerintah sepatutnya dapat bersinergi untuk bertukar informasi antara pengadilan dengan setiap Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah melalui sistem yang dapat diakses oleh masyarakat. Mekanisme check and balances penting dilakukan agar masyarakat dapat melakukan monitoring dan melaporkannya kepada lembaga yang berwenang apabila masih terdapat institusi yang tidak patuh.

Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan punishment and rewards bagi institusi yang berhasil atau tidak berhasil dalam melakukan pembenahan birokrasi. Tanpa adanya mekanisme check and balances serta punishment and rewards, atau mekanisme lain yang dianggap bermanfaat, upaya mereformasi birokrasi untuk mewujudkan pemerintahan kelas dunia yang bersih tanpa KKN hanyalah jargon dan isapan jempol belaka.

Penulis: Wana Alamsyah

Pertanyaannya, mengapa ASN di negara ini masih belum bersih dari KKN? Kita coba menjawab pertanyaan tersebut dengan mengutip dari beberapa sumber. Pertama, Mochtar Mas`ud mengatakan bahwa birokrasi tidak beroperasi dalam `ruang hampa`. Artinya, birokrasi selalu berada dalam pusaran politik. Karena selalu dalam pusaran politik, orang yang terlibat di birokrasi bisa dipastikan menjadi aktor politiknya. Jadi, tidak usah aneh kalau kita akan mendapati birokrasi tidak hanya mendominasi kegiatan administrasi pemerintahan, tetapi juga kehidupan politik masyarakat secara keseluruhan (Mochtar Mas`ud, 1994: 67).

          Kedua, pendapat yang masih relevan sampai sekarang walaupun ditulis oleh Koentjaraningrat hampir lima puluh tahun lalu. ASN di negara ini belum bersih dari KKN karena masih adanya mental menerabas. Menerabas menurut Koentjaraningrat merupakan mentalitas yang didasari nafsu mencapai tujuan secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha. Mentalitas ini merupakan akibat dari mentalitas yang meremehkan mutu. Di kalangan ASN sudah banyak diketahui kalau ingin memperoleh, misalnya, berbagai fasilitas atau jabatan yang lebih tinggi ada kecenderungan praktek-praktek yang mengarah pada mentalitas menerabas ini lakukan. Untuk mencapai itu semua, mereka ada kecenderungan tidak mau bekerja keras atau berkorban melawan berbagai kesulitan. Inilah yang dinamakan mental menerabas yang masih saja digunakan praktek-praktek kotor ini di kalangan ASN (Koentjaraningrat, 2015: 52-53).

Ketiga, Agus Dwiyanto mengatakan bahwa pegawai ASN telah dijajah oleh nilai-nilai yang terkandung dalam birokrasi Weberian (tentang konsep Weberian bisa lihat di bawah). Hal itu bisa dilihat di antaranya dalam kebiasaan membangun pola hubungan vertikal, keseragaman, formalisasi, spesialisasi sebagaimana diajarkan dalam birokrasi tipe ideal ala Weber telah memiliki kekuatan normatif. Seolah-olah begitulah seharusnya birokrasi pemerintah itu dikelola. Praktik yang berbeda dengan yang diajarkan oleh birokrasi Weberian dianggap sebagai sesuatu yang keliru dan harus dihindari (Agus Dwiyanto, 2016:122).

Konsep Max Weber (Weberian)

Max Weber menciptakan model tipe ideal birokrasi yang menjelaskan bahwa suatu birokrasi atau administrasi mempunyai suatu bentuk yang pasti dimana semua fungsi dijalankan dalam cara-cara yang rasional. Tipe ideal itu menurutnya bisa dipergunakan untuk membandingkan birokrasi antara organisasi yang satu dengan organisasi yang lain. Menurut Max Weber bahwa tipe ideal birokrasi yang rasional tersebut dilakukan dalam cara-cara sebagai berikut:

    • individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
    • jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.
    • tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hiearki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya.
    • setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.
    • setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.
    • setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu.
    • terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang obyektif.
    • setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
    • setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin

Selain itu sifat yang menonjol dari konsep birokrasi Max Weber yaitu:

    • Harus ada prinsip kepastian dari hal-hal kedinasan, diatur dengan hukum, yang biasanya diwujudkan dalam berbagai peraturan atau ketentuan administrasi.
    • Prinsip tata jenjang kedinasan dan tingkat kewenangan, agar terjadi keserasian kerja, keharmonisan dan rasionalitas.
    • Manajemen yang modern haruslah didasarkan pada dokumen- dokumen tertulis.
    • Spesialisasi dalam manajemen atau organisasi harus didukung oleh keahlian yang terlatih.
    • Hubungan kerja di antara orang dalam organisasi didasarkan atas prinsip impersonal.
    • Aplikasi kelima tersebut pada organisasi pemerintahan, juga semua terikat dengan organisasi pemerintahan yang tidak bisa menghindar dari sentuhan aktivitas pemerintahan.

Berkaitan dengan organisasi pemerintahan terdapat tiga hal otoritas yang merupakan sumber legitimasi bagi pemerintahan yaitu:

    • Otoritas TradisionalMengklaim legitimasi dalam basis keaslian dan kekuasaan mengontrol yang diwarisi dari masa lampau dan masih dianggap ada atau berlaku sampai sekarang. Hal tersebut akan menciptakan hubungan pribadi secara intesif di antara atasan dan bawahan.
    • Otoritas kharismatik.Sifatnya sangat personal memperoleh otoritasnya dari kualitas pribadi yang dibawa sejak lahir, yang mampu menimbulkan kesetiaan dari para pengikutnya. Dalam kharismatik tidak dikenal adanya aturan hierarki dan formalitas, kecuali adanya keinginan dasar akan kesetiaan pengikut terhadap pemimpin kharismatik.c) Otoritas legal rasional. Kebutuhan terhadap organisasi sosial yang berdasarkan stabilitas tetapi memberikan kesempatan adanya perubahan.

Sifat otoritas pribadi yang secara intensif berkembang dalam situasi Kharismatik dan penggunaan kekuasaan personal di dalam sistem Tradisional memberikan jalan kepada otoritas impersonal yang bersumber kepada peraturan. Lebih lanjut Max Weber mengemukakan bahwa legitimasi adalah dasar hampir semua sistem otoritas, dengan lima legitimasi yang berkaitan dengan otoritas yaitu:

    • Peraturan yang sah, maka dapat menuntut kepatuhan dari para anggota organisasi.
    • Hukum merupakan suatu sistem aturan abstrak yang ditetapkan pada kasus tertentu, sedangkan administrasi mengurus kepentingan organisasi yang dalam batas hukum.
    • Manusia yang menjalankan otoritas, juga memiliki tatanan impersonal.
    • Hanya qua member (anggota yang taat) yang benar-benar mematuhi hukum.
    • Kepatuhan seharusnya tidak kepada tatanan impersonal yang menjaminnya untuk menduduki jabatan (Martin, 1996).

Albrow mengemukakan rumusan Weber tentang delapan proposisi tentang penyusunan sistem otoritas legal atas dasar konsepsi legitimasi, yaitu:

    • Tugas-tugas pejabat diorganisir berdasarkan aturan yang berkesinambungan.
    • Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang dibedakan menurut fungsi, masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksinya.
    • Jabatan-jabatan tersusun secara hierarki, hak-hak kontrol dan komplain di antara mereka terperinci.
    • Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Hal ini manusia terlatih diperlukan.
    • Sumber-sumber daya organisasi sangat berbeda dengan yang berasal dari para anggota sebagian individu pribadi.
    • Pemegang jabatan tidak sesuai dengan jabatannya.
    • Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor sebagai pusatorganisasi modern.
    • Sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk aslinya yaitu di dalam suatu staf administrasi birokratik.

Lebih lanjut Max Weber mengemukakan prinsip aplikasi konsepsi birokrasi dalam jabatan terdapat dua hal, yaitu:

    • Latihan jabatan harus merupakan program yang wajib untuk menduduki jabatan pada periode tertentu.
    • Jabatan personal dalam suatu instansi harus berpolakan:
    • Hendaknya mempunyai dan menikmati suatu social esteem yang dapat dibedakan dengan yang dilayani, bagi jabatan sosial dijamin oleh tata aturan dan bagi jabatan politik dijamin oleh ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    • Bentuk jabatan birokratik yang asli harus diangkat oleh pejabat yang berwenang lebih tinggi untuk mengangkatnya.
    • Dalam keadaan normal jabatan tersebut dipegang sepanjang hidup.
    • Para pejabat menerima gaji yang teratur dan pasti.
    • Jabatan disusun untuk suatu karier dalam tata jenjang hierarki pada instansi pemerintah.

Weber mengemukakan bahwa birokrasi rasional semakin penting, yang memiliki seperangkat ciri ketetapan, kesinambungan, disiplin kekuasaan, keajegan (reliabilitas) yang menjadikan secara teknis merupakan bentuk organisasi yang paling memuaskan, baik bagi pemegang otoritas maupun bagi semua kelompok kepentingan lain. Ada tiga alasan Weber mengenai konsep legitimasi yang menopang otoritas legal sebagai rasional yaitu:

    • Mencakup gagasan bahwa baik tujuan maupun nilai-nilai dapat dirumuskan dalam suatu aturan hukum/kode legal.
    • Peraturan hukum yang abstrak tersebut diterapkan pada kasus tertentu, sedangkan administrasi mencakup pencapaian kepentingan yang ada dalam kerangka itu.
    • Kewajiban person-person dalam sistem seperti itu terbatas pada tugas khusus.

Max Weber mengemukakan mekanisme untuk membatasi lingkup sistem-sistem otoritas pada umumnya dan birokrasi pada khususnya dikelompokan menjadi lima kategori yaitu:

    • Kolegialitas, birokrasi dalam arti masing-masing tahapan hierarki jabatan seseorang dan hanya satu orang yang memiliki tanggung jawab untuk mengambil keputusan; jika orang lain terlibat dalam pengambilan keputusan maka kolegialitas terlaksana.
    • Pemisahan kekuasaan, pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Keputusan apapun memerlukan kompromi di antara badan-badan itu untuk tercapai.
    • Administrasi amatir, manakala suatu pemerintahan tidak menggaji para administraturnya, maka pemerintahan tergantung pada orang-orang yang memiliki sumber-sumber yang dapat memungkinkan mereka menghabiskan waktu dalam kegiatan yang tidak bergaji; namun para amatir tersebut dibantu oleh para profesional, maka yang sebenarnya membuat keputusan adalah oleh para profesional itu.
    • Demokrasi langsung, ada beberapa cara yang memastikan bahwa para pejabat dibimbing langsung oleh dan dapat dipertanggungjawabkan pada suatu majelis. Disini dibutuhkan orang-orang yang ahli sebagai pembuat keputusan.
    • Representasi (perwakilan), badan-badan perwakilan kolegial yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemungutan suara dan bebas membuat keputusan serta memegang otoritas bersama-sama dengan orang yang telah memilih mereka.

Apa yang akan terjadi jika ASN tidak bersih dari KKN? Dengan melihat kasus-kasus yang disampaikan di “1. Bermula dari Kasus-Kasus”, itu bisa saja menjadi contoh akibat dari adanya KKN di kalangan ASN. Kalau memang masih dirasakan kurang (karena mungkin perlu mengutip pendapat orang-orang akademisi), kita bisa mengambil pendapat dari Mochtar Mas`ud berikut ini terutama tentang korupsi.

Dampak Perilaku Korupsi dalam Birokrasi

Mochtar Mas`ud mengikuti pendapat Richard Holloway (“Memecah Belenggu Korupsi Sistemik”, Jurnal Wacana, Edisi 14, Tahun III, 2002):

    1. Hilangnya modal finansial
    2. Hilangnya modal sosial
    3. Hilangnya modal fisik
    4. Hilangnya modal manusia

(Mochtar Mas`ud, 2007:205-207)

Selain itu, pendapat yang disampaikan Budi Setiyono (2012: 165-166) di atas yang mencakup lima efek negatif bisa juga di sini dijadikan sebagai tambahan dampak yang terjadi akibat perilaku ASN yang tidak bersih dari KKN.

***

          Kalau sudah diketahui dampaknya, apa yang perlu dilakukan? Kita bisa masukkan pendapat yang telah kita kemukakan dalam “3. Mengubah Mindset, Mengubah Kinerja” yang di dalamnya ada usulan untuk dilakukan brain wash, blood wash, dan heart wash. Dengan cara tersebut, Insya Allah, kita akan dapati ASN yang benar bersih baik otaknya, darahnya, maupun hatinya. Meskipun demikian, kita dalam menegakkan reformasi birokrasi yang juga diharapkan dapat memperbaiki pelayanan publik di negara ini sangat mutlak dibutuhkan kepemimpinan yang menurut Rhenaldi Kasali adalah pemimpin berorientasi jauh ke depan (2016:74). Kita sangat berharap ke depan akan ada pemimpin yang benar-benar berorientasi ke depan.

Sumber Gambar:

1. (https://nasional.kompas.com/read/2015/07/21/17055371/Politik.Dinasti.Sebab.atau.Akibat).

2. (https://jnnews.co.id/kejar-kejari-way-kanan-tunggu-kelarifikasi-bagian-umum/)

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat