Subagio S. Waluyo

Kalau ada adagium yang menyebutkan `guru kencing berdiri, murid kencing berlari`, di kalangan ASN adagium itu masih berlaku. Kalau ada pimpinan yang tidak baik, para ASN di bawahnya juga ikut-ikutan tidak baik. Bukankah ini gambaran bangsa degil? Bangsa yang tidak punya sikap (pendirian). ASN di negara ini bisa jadi adalah termasuk bangsa degil karena bukan saja tidak punya sikap, tapi juga tidak bisa diatur. Walaupun sudah banyak usaha untuk memperbaiki birokrasi (orang namakan sebagai reformasi birokrasi), tetap saja tidak akan banyak perubahan sepanjang belum ada perbaikan entah yang namanya perilaku atau kinerja di kalangan para pimpinannya. Bangsa ini `kan masih mewarisi penyakit paternalistik karena masih ada penyakit warisan dari zaman penjajahan dulu. Apakah perilaku ini bisa diubah? Perilaku yang menghigapi bangsa kita ini Insya Allah masih bisa diubah. Untuk bisa mengubah bangsa ini (terutama dari sisi kepemimpinan), sebagai bahan pemikiran kita coba memasukkan usul agar perubahan dilakukan dengan membangun kreativitas, membangun kepemimpinan, dan membangun kebangsaan.

***

Membangun Kreativitas

          Masa depan adalah hasil kreativitas. Masa depan sesuatu yang tidak kita ketahui karena semuanya masih tanda tanya. Boleh juga dikatakan masih samar-samar. Masa depan dikatakan samar-samar karena manusia itu serba terbatas kemampuannya. Keterbatasan itu tidak boleh menjadikan kita menjadi manusia yang pasrah terhadap nasib atau fatalis. Kita harus kerja keras untuk menerobos yang masih samar-samar. Kerja keras di sini mencakup kerja fisik, kerja otak, dan kerja ruh/rohani/jiwa. Karena kita berupaya menyeimbangkan ketiga faktor itu (kerja fisik, otak, dan rohani), muncullah sebuah kreativitas.

          Hasil perpaduan ketiga faktor di atas akan menghasilkan kreativitas yang memiliki nilai tambah. Jika demikian, apakah ada kreativitas yang tidak memiliki nilai tambah (nilai kurang)? Ada, yaitu kreativitas yang hanya bermodalkan fisik dan otak. Kerja yang hanya bermodalkan dua faktor tersebut menghasilkan sebuah kreativitas yang tidak ada unsur/kurang unsur positifnya. Ini yang disebut sebagai kreativitas yang memiliki nilai kurang (boleh juga negatif). Katakanlah ada sebuah seni kreatif yang kata sebagian orang ahli seni memiliki nilai luar biasa. Tetapi, ada kevulgaran yang memberi efek negatif dari sisi etika/moral, jelas kreativitas seperti ini termasuk kreativas yang nilainya minus. Meskipun Di bidang sains dan teknologi (sainstek), dengan ditemukannya nuklir bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan sesama manusia, yaitu bisa digunakan di dunia kesehatan, industri tekstil, atau pertanian/perkebunan, karena sainstek itu netral, bisa saja digunakan untuk membuat alat pembunuh massal sesama manusia seperti yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki ketika kedua kota di Jepang itu dibombardir Amerika di Perang Dunia II.

          Sebagai makhluk sosial, manusia pasti menginginkan kehidupan yang penuh dengan kedamaian, kenyamanan, dan keamanan. Untuk mencapai itu semua dibutuhkan kerja-kerja kreatif. Kerja-kerja kreatif yang kita lakoni jelas kerja kreatif yang mengarah ke nilai-nilai positif. Masa depan yang masih samar-samar bagi kita tidak boleh sama sekali menyurutkan niat kita untuk melakukan kerja-kerja kreatif yang memberikan nilai tambah. Untuk bisa melakukan kerja-kerja kreatif kita harus memiliki tiga modal utama, yaitu kemauan, kemampuan, dan keterampilan.

          Kita tahu bahwa kondisi kekinian negara kita boleh dikatakan acakadul. Apakah dengan kondisi acakadul kita berdiam diri sehingga kita cenderung berat kepala dan berat kaki? Kalau ada orang benar-benar berat kepala dan berat kaki berarti orang tersebut tidak punya kemauan. Orang yang tidak punya kemauan jelas tidak akan bisa melakukan kerja-kerja kreatif. Jadi, kemauan lebih merupakan landasan utama untuk bisa berkreativitas. Kemauan yang boleh dikatakan menggebu-gebu tanpa disertai kemampuan yang ada juga akhirnya hanya `seperti katak hendak menjadi lembu`. Artinya, orang kecil yang bercita-cita terlalu tinggi, tapi karena tidak punya kemampuan akhirnya binasa oleh karena cita-citanya itu. Kemauan sudah ada. Kemampuan juga tidak kurang-kurangnya. Tetapi, tidak punya keterampilan, orang seperti ini ada kemungkinan ketika dia bekerja akan cenderung lamban. Selain itu, karena lamban, dia akan tertinggal jauh dari orang lain. Dengan demikian, hasil kerjanya pun terbilang tidak/kurang memadai sehingga tidak mustahil sering tidak mencapai target. Seandainya berkarya, hasil karyanya sudah jadul (kadaluwarsa).

          Kreativitas harus dibangun dari tiga faktor di atas. Untuk punya kemauan, orang harus banyak diberi motivasi. Motivasi menurut Hadari Nawawi dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia (2003:359) bisa diberikan dalam bentuk motivasi intrinsik (pendorong kerja yang bersumber dari dalam diri pekerja sebagai individu) dan motivasi ekstrinsik (pendorong kerja yang bersumber dari luar diri pekerja sebagai individu). Dalam prakteknya motivasi ekstrinsik lebih banyak digunakan daripada motivasi intrinsik. Hal itu lebih disebabkan oleh tidak mudahnya menumbuhkan kesadaran dari dalam diri seseorang. Untuk bisa kerja kreatif seseorang harus lebih mengutamakan motivasi intrinsik daripada motivasi ekstrinsik. Kalau lebih mengutamakan motivasi ekstrinsik, orang tersebut akan selalu meminta kompensasi untuk melakukan aktivitas. Karya-karya besar hasil kerja kreatif manusia selama ini lebih disebabkan oleh adanya kemauan sendiri dari orang menciptakan karyanya. Karya-karya yang diciptakan atas dasar adanya kompensasi biasanya tidak terlepas dari adanya iming-iming atau boleh juga pesanan. Karya-karya pesanan tidak memiliki nilai lebih karena karya tersebut telah dicampuri oleh keinginan orang yang memberi pekerjaan. Bayangkanlah kalau negara dibangun oleh pemimpin yang lebih mengutamakan motivasi ekstrinsik akan seperti apa pemimpin tersebut dalam menjalankan pemerintahannya? Dia akan memiliki mental `jaim` alias `jaga imej` (pencitraan). Kemana saja dia melakukan aktivitas, dia selalu minta dipublikasikan media massa, baik media cetak maupun online. Media-media massa yang sudah `doyong` ke fulus memang tidak lagi punya idelogi. Ideologinya `kan memang ideologi `wani piro`. Sementara itu, sang pemimpin tidak mustahil dia juga punya mental yang rendah, yaitu mental peminta-minta (pengemis). Untuk memenuhi APBN, karena dari pajak dan beacukai sudah tidak memenuhi target, akhirnya harus meminta bantuan ke negara-negara donor yang berjiwa kapitalis dan liberalis.

          Setelah memiliki kemauan yang dibangun atas dasar motivasi intrinsik, seseorang yang mau melakukan kerja-kerja kreatif juga harus memiliki kemampuan (potensi diri). Untuk bisa memiliki potensi diri, seseorang minimal mengenal tujuh potensi diri berikut ini.

Langkah selanjutnya, kalau sudah mengenal potensi diri, seseorang harus melakukan pengembangan diri. Langkah-langkah penting yang dilakukan dalam pengembangan diri di antaranya sebagaimana terlihat pada butir-butir berikut ini.

Di luar itu semua, sebagai makhluk yang ber-Tuhan, kita harus meyakini bahwa manusia diciptakan Sang Khalik dengan berbagai kelebihan yang justru tidak dimiliki makhluk-makhluk lain. Salah satu yang diberikan Tuhan, yaitu akal. Dengan akal inilah manusia bisa mengembangkan potensi dirinya kalau memang masih ada keinginan dan kesempatan untuk menggunakannya.

          Faktor terakhir yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan kerja-kerja kreatif adalah keterampilan. Kita tahu di era globalisasi ini segalanya serba cepat dan terukur. Untuk bisa mengantisipasinya dibutuhkan kerja-kerja terampil. Keterampilan itu sendiri beragam. Kali ini kita konsens pada keterampilan kepemimpinan yang lebih ditujukan pada diri sendiri. Untuk bisa mengembangkan kepemimpinan pada diri sendiri diperlukan sepuluh langkah berikut ini.

Di samping kesepuluh butir di atas, seseorang yang mau melakukan kerja-kerja kreatif (termasuk untuk kerja kreatif seorang pemimpin), harus punya keinginan menjadi orang yang baik dengan bersikap jujur pada diri sendiri. Sebagai tambahan, orang tersebut sepanjang hidupnya harus bisa membimbing diri sendiri dengan baik (reni-em.blogspot.com).

          Dengan melihat uraian di atas, memang tidak mudah melakukan kerja-kerja kreatif. Sebuah kreativitas tidak bisa dilakukan secara instan seperti kita ingin makan mi (indomie, supermie) atau makanan cepat saji. Dia perlu proses. Ada yang memang cepat prosesnya, ada juga yang lambat. Baik proses yang cepat maupun lambat semuanya harus berangkat di awal sekali adanya kemauan yang lebih didominasi oleh motivasi intrinsik. Termasuk ke dalam motivasi intrinsik ini seseorang harus menyingkirkan jauh-jauh pola pikir yang semuanya ingin serba instan. Atau orang yang tidak mau berlelah-lelah untuk melakukan aktivitas. Mindset kita yang cenderung untuk, misalnya, melakukan sesuatu dengan serba instan (meminjam istilah yang dipakai Koentjaraningrat dalam Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, mental menerabas) harus dihilangkan. Seandainya mindset kita masih `doyong` ke mentalitas menerabas, kita jangan berharap akan bisa melakukan kerja-kerja kreatif atau bahkan membangun kreativitas. Membangun kreativitas  membutuhkan perubahan mindset yang semula ingin segalanya serba instan harus diubah menjadi kerja yang membutuhkan proses, waktu, dan kesabaran. Dengan demikian, membangun kreativitas membutuhkan proses kreatif bukan membutuhkan `karbit` sehingga menghasilkan kerja-kerja `karbitan` (instan). Semoga saja hal itu tidak terjadi!

Membangun Kepemimpinan

          Kalau ditelusuri secara teliti, media kita baik cetak, elektronik, maupun online dalam pemberitaannya tidak lepas dari liputan pelanggaran moral atau boleh juga berkaitan dengan kasus-kasus kriminal. Kasus-kasus kriminal yang ada di sekitar kita baik dari segi kuantitas maupun kualitas terjadi peningkatan. Coba saja kita perhatikan kasus-kasus yang berkenaan dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) walaupun sudah ada KPK tetap saja ada bahkan akhir-akhir ini ada kecenderungan meningkat. Orang seperti merasa tidak jera untuk melakukan KKN. Sebagai buktinya, berbarengan dengan desentralisasi, pelaku-pelaku KKN juga semakin meluas, merata ke semua kota dan kabupaten di Indonesia. Pelaku-pelaku KKN bukan hanya pejabat-pejabat negara di pusat, pejabat-pejabat di daerah seperti gubernur, walikota, bupati, dan para bawahannya juga melakukan KKN. Bahkan, biar jangan sampai dikatakan `ketinggalan zaman` banyak juga anggota dewan yang ikut-ikutan KKN.

          Bukan hanya KKN yang meningkat, pelanggaran HAM, pelecehan seksual, pornografi, penggunaan narkoba, pelacuran, pemerkosaan, penipuan, dan segala macam bentuk tindak kriminal juga terjadi peningkatan. Pelaku-pelaku tindak kriminal bukan saja dari kalangan tidak terdidik, sampai-sampai seorang akademis pun tidak mau ketinggalan melakukan hal yang sama. Bahkan, ada seorang yang tergolong intelektualnya sudah `mumpuni` karena memiliki gelar akademik tertinggi (Profesor, Doktor) lulusan PT ternama di AS, tetapi mudah ditipu oleh orang yang mengaku bisa menggandakan uang (mungkin juga atau boleh jadi `sang orang pintar itu` menjadi sutradara atau dalangnya yang menggunakan orang lain untuk menjalankan skenarionya?). Jadi, negara kita tercinta ini sudah beragam bentuk tindak kriminalnya.

***

          Segala macam bentuk tindak kriminal yang terjadi di negara ini selayaknya menjadi PR kita dengan mengajukan dua pertanyaan: mengapa negara yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa ini rakyatnya banyak melakukan tindak kriminal? dan bagaimana cara menyelesaikannya? Baik pertanyaan mengapa maupun bagaimana dalam memberikan jawaban selalu dikaitkan dengan bentuk tindak kriminalitasnya. Artinya, tindak kriminalitas yang satu dengan yang lain pasti berbeda faktor penyebab dan penyelesaiannya. Tetapi, jangan lupa ada benang merah yang bisa dikaitkan satu dengan yang lain, yaitu adanya faktor kepemimpinan di negara ini yang mengalami penurunan. Dengan kata lain, banyak para pemimpin di negara ini telah kehilangan pamornya sebagai pemimpin. Bukankah memang setiap pemimpin seharusnya memiliki jiwa kepemimpinan? Tanpa jiwa kepemimpinan, seorang pemimpin kehilangan pamornya yang merembet pada kehilangan pengikut (Efriza, Kekuasaan Politik, 2016:189). Boleh juga kalau mau dikatakan, banyak pemimpin di negara ini telah kehilangan integritas dirinya atau mengalami dekadensi moral.

          Pemimpin di negara ini banyak yang terkena sindrom dekadensi moral karena masalah yang satu ini sudah menjadi fenomena sosial. Dikatakan menjadi fenomena sosial karena memang sudah  menjadi gejala umum dan bukan lagi hanya kasus tetapi sudah tampak di banyak tempat bahwa sebagian para pemimpin di negara ini sudah terkena penyakit dekadensi moral. Kalau ada pemimpin yang terkena penyakit tersebut, apa yang akan terjadi pada orang-orang yang dipimpinnya? Sudah bisa dijawab, orang-orang yang dipimpinnya juga akan terkena penyakit yang sama. Ingat, bangsa ini masih kuat ikatan patronasmenya. Hal ini bisa dibuktikan masih adanya pandangan sebagian besar dari bangsa kita bahwa atasan diibaratkan sebagai seorang bapak yang wajib `digugu lan ditiru`. Karena wajib `digugu lan ditiru`, adalah sangat pantangan bagi seorang bawahan menentang atasannya sehingga sikap tersebut melahirkan sikap `Asal Bapak Senang` (ABS). Sikap ABS bukan hanya pandangan bawahan terhadap atasan, di dunia pendidikan juga masih ada sikap semacam itu sehingga bagi seorang siswa/mahasiswa pantangan untuk menentang pendapat guru/dosennya. Semua yang dikatakan guru/dosennya walaupun bertentangan dengan hati nurani sang siswa/mahasiswa tidak boleh ditentang. Harus diterima, kalau perlu ditelan mentah-mentah, karena guru/dosen itu ibarat orang suci yang jauh dari kesalahan. Dengan demikian, di dunia pendidikan ada penyakit jumud.

          Penyakit jumud yang dimanifestasikan dalam perilaku ABS di semua bidang kehidupan, mau tidak mau menumbuhsuburkan sindrom dekadensi moral. Sindrom dekadensi moral karena di-backup oleh perilaku patronasme yang dimulai dari para pemimpin negeri ini lambat-laun menyebar juga ke kalangan masyarakat. Akhirnya, kita menyaksikan sendiri begitu banyak tindakan kriminal yang dilakukan berbagai lapisan masyarakat negeri ini. Tindakan kriminal dilakukan bukan saja orang-orang yang telah lanjut usia atau dewasa tetapi juga anak-anak di bawah umur. Selain itu, pelaku-pelakunya bukan hanya orang miskin dan tidak berpendidikan, orang-orang yang tergolong kalangan atas dan terdidik juga tidak luput melakukan tindakan kriminal.  Untuk itu perlu ditekankan, tersebarnya sindrom dekadensi moral yang pada akhirnya memunculkan penyakit-penyakit sosial yang bernama tindakan kriminal dimulai dari pemimpin-pemimpin negeri ini. Bukankah pemimpin merupakan panutan kalau sang pemimpin sebagai panutannya melakukan tindakan kriminal, wajar-wajar saja bawahannya melakukan hal yang sama?

***

          Kalau ada pertanyaan tentang apakah memang tidak ada aturan dan tindakan berupa hukuman bagi pelaku-pelaku tindakan kriminal? Jawabannya tidak perlu bertele-tele, aturan yang mengatur tentang hukuman bagi orang yang melakukan tindakan kriminal sudah ada dan Insya Allah lengkap karena mencakup semua bentuk tindakan kriminal. Begitu juga dengan tindakan hukuman sudah banyak pelaku tindakan kriminal yang harus diseret ke meja hijau sehingga kantor-kantor pengacara dan pengadilan tidak pernah sepi. Tidak heran juga jika di negeri ini semakin banyak orang menjadi pengacara karena bisnis di bidang advokasi memang benar-benar menjanjikan. Para jaksa dan hakim berikut para asistennya juga makin sibuk dan makin kaya dengan adanya peningkatan tindakan kriminalitas.

          Tindakan-tindakan konkrit dengan memejahijaukan pelaku-pelaku tindakan kriminal juga boleh dilakukan. Tetapi, kalau semua itu tidak ada efek jera yang ditandai dengan adanya penurunan tindakan kriminal apa artinya semua itu? Melihat semua itu kita tidak boleh berputus asa karena harapan itu masih ada. Butuh waktu panjang untuk memperbaiki kondisi bangsa ini. Satu hal yang perlu kita lakukan untuk memperbaiki bangsa ini agar terbentuk pemimpin yang jauh dari penyakit dekadensi moral atau tidak memiliki integritas diri adalah melalui pendidikan.

          Pendidikan ditujukan pada anak bangsa ini yang sekarang duduk di bangku TK sampai dengan PT. Untuk orang-orang tua yang sudah kadung terkena imbas penyakit orde baru sudah tidak mungkin diperbaiki. Mereka-mereka ini umurnya `kan tinggal sepertiga lagi dari usia yang dijalankan. Mungkin beberapa tahun ke depan seiring dengan berbagai penyakit yang mulai menggerogoti tubuhnya sudah tidak mungkin lagi mereka-mereka ini melakukan tindakan kriminal yang sangat membahayakan. Seandainya ada sebatas penumpukan harta di luar negeri sebagai bukti mereka-mereka ini keturunan `Qarun Sang Kapitalis`. Jadi, tingkat efektivitasnya melakukan tindakan kejahatan meskipun masih ada sudah tidak sehebat dulu ketika masih muda. Syukur-syukur semakin tua semakin dekat mereka pada Tuhan sehingga mereka benar-benar berhenti dari tindakan kriminal. Selain itu, mereka juga mau mengajak orang-orang yang lebih muda agar tidak mengikuti langkah-langkahnya di masa muda dulu. Kalau itu mereka lakukan, tidak mungkin lagi ada dinasti-dinasti di negara ini yang keturunannya mengaku masih darah biru dari trah pejabat atau penguasa tertentu.

***

          Di atas telah dijelaskan bahwa melalui pendidikan masih ada harapan untuk memperbaiki bangsa ini. Kita awali dari pendidikan karena kita telah sama-sama mengetahui bahwa meningkatnya angka kriminalitas di negara ini tidak bisa dilepaskan dari gagalnya pendidikan kita. Kita berani katakan pendidikan kita gagal membentuk manusia Indonesia yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan berkemanusiaan yang adil dan beradab karena selama ini guru-guru kita kurang menanamkan kebaikan. Guru-guru kita karena mungkin arahan dari kurikulum pendidikan yang ada atau pengaruh lingkungan lebih banyak memasukkan ke otak anak-anak didik kita ilmu. Itu pun hasilnya masih diragukan karena kompetensi anak-anak didik kita secara keilmuan juga masih dinilai kurang. Seandainya, ada di antara anak-anak didik kita yang memiliki kompetensi memadai itu pun datangnya dari sekolah-sekolah yang memang dikenal sekolah-sekolah unggulan. Jadi, anak-anak didik kita selain secara keilmuan diragukan kompetensinya, secara perilaku juga dinilai kurang karena banyak perilaku yang tidak sesuai dengan predikat mereka sebagai orang terpelajar.

          Salah satu cara untuk memperbaiki anak-anak didik kita agar mereka-mereka ini nantinya menjadi pemimpin bangsa yang memiliki kriteria kepemimpinan yang memadai adalah menanamkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan fondasi utama dalam penidikan yang harus diterapkan. Pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah-sekolah nantinya dimasukkan ke dalam semua mata pelajaran. Atau, dengan kata lain, dalam proses pembelajaran di sekolah nantinya selalu dikaitkan dengan pendidikan karakter. Dimaksudkan dengan pendidikan karakter  menurut Suyanto ialah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun  negara. (http:// belajar psikologi.com/ pengertian-pendidikan-karakter/). Dari definisi tersebut kita perlu menggarisbawahi bahwa dalam pendidikan karakter bukan hanya cara berpikir yang ditekankan, tetapi juga cara berperilaku. Dengan demikian, pendidikan karakter itu tidak semata-mata bertujuan menciptakan manusia Indonesia yang pintar dan cerdas, tetapi juga memiliki perilaku atau karakter sebagai manusia yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa dan berkemanusiaan yang adil dan beradab.

***

          Ada delapan belas nilai-nilai dalam pengembangan budaya dan pendidikan karakter bangsa. Kedelapan belas nilai-nilai itu bisa dilihat pada tabel bawah ini.

Kesemua nilai itu memang akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Meskipun semua nilai itu sudah bukan hal yang asing buat kita, selama ini kita cenderung mengabaikannya. Akibatnya, sekarang kita bisa merasakan bahwa moral bangsa sudah demikian parah. Karena kita masih ada harapan, mau tidak mau kita semua harus mau mengawal dan mengawasi jalannya pelaksanaan implementasi penanaman nilai-nilai pendidikan karakter  baik di sekolah-sekolah maupun perguruan-perguruan tinggi kita. Kalau pendidikan karakter ini benar-benar bisa diwujudkan, kita yakin akan ada perubahan terhadap pemimpin-pemimpin bangsa ini di masa depan. Kita berharap mudah-mudahan saja di masa depan tidak ada lagi pemimpin-pemimpin yang memiliki motivasi ekstrinsik sehingga tidak ada lagi pemimpin yang selalu jaga imej alias `jaim`. Atau pemimpin-pemimpin yang bermoral rendah karena telah kehilangan jati dirinya. Semoga saja semua keburukan yang ada pada pemimpin-pemimpin kita saat ini dengan adanya pendidikan karakter benar-benar di masa depan tergantikan oleh pemimpin-pemimpin yang cerdas, pintar, dan berperilaku mulia.

***

Membangun Bangsa

Melihat gambar di atas itu kita jadi bertanya-tanya mengapa Bapak Proklamator Republik Indonesia ini menyampaikan pesan seperti itu? Kalau memang benar itu ucapan Bung Karno, ada apa di balik pesan tersebut? Apakah memang saat ini kita mengalami kesulitan menghadapi bangsa sendiri? Lalu, kalau memang kita mengalami kesulitan menghadapi sesama anak bangsa, apa yang harus kita lakukan ke depan? Sekian banyak pertanyaan bisa saja melintas di benak kita. Meskipun demikian, kita perlu menganalisis dan menelaah lebih jauh tentang hal-hal yang terjadi selama ini setelah cukup lama kita merdeka.

          Diakui atau tidak pesan Bung Karno saat ini memang terbukti. Kita saat ini memang mengalami kesulitan berhadapan dengan sesama anak bangsa yang dilihat dari kemampuan SDM-nya masih tergolong rendah. Memang kita negara yang kaya dengan SDM, tetapi SDM yang ada kompetensinya tidak memadai. Padahal pendidikan kejuruan di tingkat menengah seperti SMK terhitung banyak. Sarana dan prasarana yang dimiliki juga sudah cukup memadai. Masalahnya bukan pada adanya lembaga-lembaga pendidikan kejuruan dengan seperangkat sarana dan prasarananya yang memadai, tetapi lebih pada pembelajaran di lembaga-lembaga tersebut yang serba tanggung. Coba saja kita perhatikan, bagaimana kompetensi mereka setelah lulus dari lembaga-lembaga pendidikan kejuruan itu? Dari segi kompetensi diragukan dan dari segi perilaku mereka terhitung kurang baik (kalau bisa dikatakan bermoral rendah). Sekali lagi, kalau di antara mereka ada lulusan yang memiliki kompetensi memadai (sesuai dengan permintaan dunia kerja) dan berperilaku baik bisa dihitung dengan jari karena lulusan seperti itu hanya dihasilkan oleh sekolah-sekolah unggulan.

          Kalau ada lulusan dari perguruan tinggi (PT) yang memiliki kompetensi yang memadai, sebagian besar mereka akan lebih memilih bekerja di luar negeri atau minimal di perusahaan-perusahaan asing. Mereka beranggapan dengan bekerja di luar negeri atau di perusahaan-perusahaan asing tenaganya lebih dihargai. Mereka juga menyadari adanya diskriminasi dalam hal ketidakadilan yang berkaitan dengan baik kesejahteraan maupun fasilitas yang mereka terima ketika berhadapan dengan tenaga-tenaga asing  yang berasal dari negara atau perusahaan asing tersebut. Tetapi, karena dari segi gaji dan fasilitas lebih tinggi daripada di dalam negeri atau perusahaan-perusahaan bangsa `dewek`, akhirnya mereka lebih memilih ke luar negeri atau bekerja di  perusahaan-perusahaan asing. Di sini kita berhadapan dengan alumnus PT kita yang telah menipis rasa nasionalismenya.

          Mereka yang lebih memilih bekerja di luar negeri merupakan salah satu contoh menipisnya rasa nasionalisme yang telah menjadi trend di kalangan anak-anak muda kita. Mereka-mereka yang belajar di luar negeri atas biaya pribadi (meskipun di tengah jalan mereka juga meminta beasiswa di tempat mereka belajar) sebagian besar di antara mereka ada kecenderungan untuk tidak kembali ke negara asalnya (Indonesia). Mereka-mereka ini yang kita sebut sebagai brain drain `pelarian orang-orang pintar`. Mereka-mereka ini yang memang niat dari awalnya mau mengubah nasib dengan mengabdikan dirinya di negara lain. Kita sudah bosan  mendengar alasan-alasan yang mereka kemukakan berkaitan dengan ketidakinginannya  kembali ke Indonesia untuk mengabdikan tenaganya di negaranya sendiri. Mereka-mereka inilah yang merupakan generasi muda yang telah menipis (bahkan) hilang rasa nasionalismenya. Kalau ada di antara mereka yang mau pulang ke negaranya, mereka-mereka ini biasanya adalah anak-anak dari kalangan konglomerat yang diminta meneruskan usaha orang tuanya. Di luar itu semua, yang lebih menyakitkan kalau ada orang-orang muda yang belajar di luar negeri atas biaya negara, kemudian mereka tidak mau balik ke negara asalnya (bahkan) mereka berani mengembalikan seluruh biaya pendidikannya sehingga rasa-rasanya negara telah sia-sia mengirimkan mereka belajar ke luar negeri. Sampai di mana rasa nasionalismenya jika ada orang-orang muda jenis ini?

          Rasa nasionalisme yang menipis bukan hanya terjadi di kalangan orang-orang muda, di kalangan pejabat-pejabat negara yang memegang kebijakan di negara ini  dalam hal pengambilan keputusan, misalnya di dunia usaha/ekonomi, ada kecenderungan lebih menguntungkan pihak asing (investor). Mereka-mereka yang tergolong pengusaha besar investor  begitu mudah untuk memperoleh izin usaha. Selain itu, masalah modal mereka juga di-back up dari bank-bank baik yang berasal dari negaranya maupun bank-bank internasional. Mereka juga turut diberi kebijakan untuk bermain di sektor riil yang seharusnya disediakan untuk pengusaha pribumi. Sangat wajar jika ekonomi kita saat ini dikuasai asing.

          Bagaimana dengan pengusaha pribumi, yang juga ingin berinvestasi di negaranya sendiri? Ketika baru saja mengajukan proposal pinjaman untuk modal usaha atau menambah modal usahanya, mereka terganjal oleh aturan Bank Indonesia (BI). Aturan tersebut digambarkan seperti bottleneck (leher botol) karena agunannya saja 150% dan equity-nya (tingkat kewajarannya) 35%. Bank-bank di Indonesia umumnya terikat aturan BI yang mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam mengucurkan setiap lembar rupiah. Wajar saja jika bank menetapkan seleksi yang super ketat bagi calon debiturnya. Umumnya bank mensyaratkan laporan keuangan sesuai standar akuntansi selama dua tahun terakhir dari usaha yang dijalankan pengusaha UKM tersebut. Bank juga tak percaya begitu saja, mereka memanfaatkan fasilitas dari Bank Indonesia untuk melakukan BI cheking, yaitu general check up riwayat kredit pengusaha yang mengajukan pinjaman. Pengusaha UKM yang telah diberi pinjaman tidak boleh lalai dalam membayar cicilan KPR rumah, Kredit Tanpa Agunan (KTA), atau hutang kartu kredit. Catatan buruk akibat dari kelalaian pembayaran kredit membuat pengusaha tersebut di-black list oleh Bank Indonesia. Kalau sudah seperti itu, otomatis pengajuan pinjaman sang pengusaha UKM yang tergolong modalnya pas-pasan sudah pasti ditolak (https://pinjam.co.id/blog/2016/08/21/solusi-pinjaman-modal-ukm/). Dengan demikian, bisa ditebak, karena modal tidak tersedia, banyak pengusaha yang bergerak di sektor riil berkurang. Pekerjaan pun berkurang. Kalau ada pekerjaan, upah untuk pekerja jelas-jelas murah sehingga banyak orang yang menganggur. Inilah yang merupakan salah satu penyebab meningkatnya kemiskinan di negara ini.

          Akibat kemiskinan memunculkan masalah baru, yaitu bangsa ini tidak menjadi tuan rumah di negaranya sendiri sehingga wajar saja kalau ada yang mengatakan bangsa ini telah menjadi `bangsa kacung`. Sebagai bukti `bangsa kacung` bisa dilihat di antaranya, yaitu adanya trend di kalangan orang-orang muda yang berbakat dan punya kompetensi memadai yang lebih memilih bekerja di luar negeri atau di perusahaan-perusahaan asing. Boleh juga kalau ada orang-orang yang mau bergerak di sektor riil susah  untuk memperoleh pinjaman. Akhirnya, orang-orang yang tersisa (sebagian besar dari tenaga produktif) yang memiliki kompetensi pas-pasan dan tidak bisa buka usaha bekerja pada orang lain, baik dari `bangsa dewek` maupun `bangsa asing` yang besaran upahnya telah ditentukan oleh pemerintah dan hampir setiap tahun selalu ada demo yang berkaitan dengan kesejahteraannya. Inilah nasib `bangsa dewek` yang telah menjadi `bangsa kacung`. Namanya juga `bangsa kacung` bangsa kelas kesekian walaupun tinggal di negara sendiri, tetap saja ada stigma bagi `bangsa kacung` yang bisa diibaratkan `ayam mati di lumbung padi`.

          `Bangsa kacung` bisa diibaratkan seperti `ayam mati di lumbung padi` karena bangsa kacung punya kekayaan SDM tapi tidak berkualitas dan tidak punya nasionalisme. Punya kekayaan SDA tapi SDA di negara ini telah dirampok habis-habisan oleh asing. Apa yang tersisa dari negara ini kalau penguasaan asing sudah masuk ke semua sektor seperti terlihat pada gambar di sebelah kiri tersebut? Kalau sudah seperti itu gambarannya, tidak mustahil sudah ada fakta-fakta yang menunjukkan Indonesia termasuk failed state `negara gagal`. Setidaknya ada delapan fakta, yaitu (1) korupsi, suap, dan kolusi merajalela; (2) hukum dan perangkatnya terkena stroke sehingga tidak berdaya dan menjadi remehan masyarakat; (3) anggota dewan, aparat, dan pemerintah berasal dari orang-orang pengelana jabatan dan ber-Tuhan-kan politik; (4) negara permanen bencana; (5) kemiskinan dikemas dengan sembada dan kesejahteraan sosial; (6) tanah surga negara ini tergadaikan pada investor asing yang rakus dan serakah; (7) ulama dan ahli-ahli agama ditinggalkan dan memilih teori-teori kapitalis, sekuleris, dan materialis; dan (8) kegagalan terbesar adalah kegagalannya dalam mengenal hakikat adanya manusia di dunia  (http://www.kompasiana.com/kilasseja-rah/8-fakta-indonesia-menuju-fail-ed-states-negara-gagal ). Apakah kedelapan fakta yang menunjukkan negara kita negara gagal sudah dapat dibuktikan?

          Satu persatu terkuak sudah pesan Bung Karno yang tersurat  di gambar tersebut. Sekarang apa yang harus kita lakukan dalam rangka membangun bangsa ini? Apakah kalau seperti ini kondisi negara yang kita cintai ini harus dijual ke bangsa asing yang rakus, serakah, kapitalis, dan liberalis?  Kalau kita memang harus melakukan perbaikan dan perubahan dari mana memulainya? Ingat, harapan itu masih ada. Kita masih ada kesempatan untuk melakukan perbaikan dan perubahan. Sebagaimana yang telah disampaikan pada tulisan terdahulu (lihat `Membangun Kreativitas` dan `Membangun Kepemimpinan`), kita harus membangun kreativitas dan kepemimpinan pada semua anak bangsa. Untuk membangun bangsa yang dimulai dari membangun kreativitas dibutuhkan waktu yang cukup lama. Program ini bukan program instan. Program instan hanya akan menghasilkan orang-orang yang tidak kreatif. Program instan hanya akan menghasilkan pemimpin karbitan yang selalu `jaim`. Saking `jaim`-nya sebentar-sebentar perlu publikasi. Program membangun bangsa yang melahirkan anak bangsa yang kreatif dan pemimpin yang memiliki motivasi intrinsik butuh waktu dan sabar.

***

          Kita butuh waktu dan sabar. Dua kata ini mau tidak  mau harus kita camkan dalam-dalam. Negara  ini baru terlepas dari penjajahan Belanda dan Jepang (walaupun sudah 77 tahun) setelah melakukan perjuangan yang cukup panjang. Bung Karno sebelum memproklamasikan negara ini butuh waktu lama untuk berjuang. Bung Karno juga mengorbankan dirinya dengan keluar masuk penjara atau dibuang oleh Belanda ke berbagai tempat yang jauh di Indonesia. Setelah Bung Karno memproklamasikan negara ini, Bung Karno dan para pendiri negara ini juga harus berjuang keras baik menghadapi Belanda yang masih berkeinginan merebut negara ini maupun bangsa sendiri yang melakukan pemberontakan terhadap NKRI. Jadi, memang tidak ada waktu istirahat untuk menikmati sebuah kemerdekaan. Kita yang mendapat warisan bangsa dan negara ini harus punya niat untuk melakukan perbaikan dan perubahan. Kalau tidak kita akan terus-menerus menjadi bangsa yang cuma teriak `merdeka!` tetapi perut anak bangsa ini kembung karena terkena penyakit busung lapar. Mereka busung lapar karena tidak mendapatkan asupan makanan yang bergizi. Bagaimana mau makanan yang bergizi kalau bangsa ini telah menjadi `bangsa kacung` atau `negara gagal`. Agar terhindar dari `bangsa kacung` dan `negara gagal`, mau tidak mau kita bangun bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki delapan belas nilai pendidikan karakter.

 

Sumber Gambar :

(https://twitter.com/restrobkskota/status/1176537786389630977)

 

 

 

 

 

 

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *