Subagio S.Waluyo
Kita telah mempelajari penulisan wacana eksposisi yang dimulai dari “17.Belajar Menulis Wacana Eksposisi (1)” sampai dengan “22. Belajar Menulis Wacana Eksposisi (5)”. Memang, di sana-sini masih banyak kekurangan dalam penyajiannya. Meskipun demikian, sebagai penulis pemula banyak yang bisa dipelajari dengan melihat uraian-uraian, penjelasan-penjelasan, dan contoh-contoh yang disajikan. Dengan mempelajarinya secara serius dan fokus, kita diharapkan bisa mempraktekkannya ketika tiba saatnya ingin menuangkan ide-ide, gagasan-gagasan, dan pemikiran kita ke dalam tulisan eksposisi. Setelah memiliki banyak pengetahuan dan pemahaman tentang penulisan wacana eksposisi, langkah berikutnya adalah mencoba berlatih menulis wacana eksposisi. Sebagai langkah awal, kita dalam pembelajaran penulisan wacana eksposisi bisa memulainya dari mengambil teks-teks berupa paragraf-paragraf yang terdapat di “10. Awali dengan Kutipan (4)”, “11. Awali dengan Kutipan (5)”, dan “13. Dipancing Pakai Gambar Karikatur”. Mari kita coba memulainya dari sebuah paragraf yang dalam penulisannya dimulai dari kutipan yang terdapat di puisi Wiji Tukul `Di Bawah Selimat Kedamaian Palsu` berikut ini.
(1) `apa gunanya ilmu/kalau hanya untuk mengibuli/apa guna baca buku/ kalau mulut kau bungkam melulu`, tulis Wiji Tukul di puisinya `Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu`. (2) Tapi, itu sebuah kenyataan bukan kalau seorang akademikus yang tidak menggunakan ilmunya untuk menegakkan kebenaran. (3) Sebaliknya, justru mereka gunakan ilmunya untuk mengibuli. (4) Wiji juga menambahkan, apa guna baca buku/ kalau mulut kau bungkam melulu`. (5) Artinya, seorang akademikus ketika melihat adanya ketimpangan cenderung diam, bungkam mulutnya. (6) Bukankah buku-buku yang dibaca dan dikajinya membentuk seorang dirinya sebagai seorang akademikus? (7) Jadi, seorang akademikus yang kerap melakukan berbagai kajian seharusnya berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. |
Kalimat terakhir pada paragraf di atas bisa dijadikan kalimat pertama di paragraf berikutnya: Seorang akademikus yang kerap melakukan berbagai kajian seharusnya bisa mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Pertanyaannya yang muncul, bagaimana meneruskan kalimat kedua? Begitu juga bagaimana meneruskan kalimat seterusnya? Bahkan, bisa juga paragraf-paragraf berikutnya? Untuk bisa meneruskannya, kita fokus pada kalimat pertama tadi. Kemudian, kita ajukan pertanyaan apa yang dimaksud dengan `mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah`? Untuk menjawab pertanyaan tersebut bisa ditulis dalam beberapa kalimat sehingga menjadi sebuah paragraf. Terus kita ajukan lagi pertanyaan kapan dan di mana sebagai seorang akademikus `mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah’? Pertanyaan tersebut juga bisa dijawab dalam satu paragraf. Jadi, kita telah menulis dua paragraf karena mengajukan pertanyaan apa, kapan, dan di mana. Langkah berikutnya, kita perlu mengajukan kata tanya mengapa. Pertanyaan ini bisa dijawab 1-2 paragraf. Kalau kita menulis satu paragraf saja, kita telah menulis tiga paragraf di paragraf isi tersebut. Kita masih butuh satu paragraf lagi. Kita ajukan saja satu kata tanya lagi, yaitu bagaimana. Dengan demikian, kita telah menulis empat paragraf. Agar tulisan kita benar-benar lengkap, tutup saja tulisan kita dengan menulis kesimpulan (kalau perlu) dan saran (rekomendasi). Mau mencobanya? Silakan saja!
(1) Mendengar kata `bunglon` terbayang di benak kita jenis binatang reptil yang kerap berubah warna tubuhnya sesuai dengan alam di sekitarnya. (2) Saking mudahnya berubah warna tubuhnya, kita sering terkecoh keberadaan sang bunglon. (3) Tidak mustahil bunglon yang kita cari sebenarnya ada di hadapan kita. (4) Perilaku bunglon yang sering membikin orang terkecoh itu persis sama dengan orang-orang hipokrit. (5) Orang-orang hipokrit di antaranya adalah orang-orang yang disebut sang penyamar hati di pohon kekuasaan. (6) Orang-orang yang di pohon kekuasaan itu kokoh berlindung dalam warna-warni hiruk-pikuk percaturan politik. (7) Mereka ini yang `berperan ganda` dari periode ke periode kekuasaan yang kerap bermimpi menjadi sang pelopor. (8) Mereka ini sebenarnya hanyalah alat kekuasaan yang kotor. |
Tulisan di atas akan lebih berisi kalau dikaitkan dengan tokoh yang menghalalkan segala cara dalam berpolitik, siapa lagi kalau bukan Niccolo Machiavelli. Bukankah Machiavelli yang mengajarkan para penguasa untuk `berperan ganda` sebagaimana tercantum pada uraian di atas. Bukankah itu merupakan orang-orang yang terlibat dalam aktivitas yang `berperan ganda` adalah orang-orang yang menjalankan kekuasan yang kotor? Jadi, Machiavelli yang menjadi guru yang mengajarkan `berperan ganda` mempraktekkan cara-cara kekuasaan yang kotor. Nah, dari situ kita tulis saja praktek-praktek kekuasaan kotor ala Machiavelli. Karena fokus pada Machiavelli, kita mulai saja bahas tentang Machiavelli. Cari referensi yang secara khusus membahas Niccolo Machiavelli. Kita tulis tentang siapa dia sampai dengan ajarannya yang berkaitan dengan menjalankan kekuasaan kotor. Kalau perlu kita masukkan dampak yang terjadi akibat mempraktekkan cara-cara kotor menjalankan kekuasaan. Sebagai pelengkap, jangan lupa tutup tulisan eksposisi kita dengan kesimpulan dan (kalau perlu) rekomendasi.
(1) WS Rendra melalui Panembahan Reso mengungkapkan, “Negara kacau. Rakyat hidup di dalam kemiskinan. Kejahatan merajalela, baik di kalangan rakyat maupun di kalangan pejabat.” (2) Rendra benar-benar tidak pernah mau berhenti mengkritisi Pemerintah Orde Baru. (3) Tidak cukup sampai di situ, Rendra juga berkeinginan kuat untuk (kalau bisa) menumbangkan kekuasaan. (4) Buktinya, dia menulis: “Inilah saatnya Anda mengambil alih kekuasaan.” (5) Bukankah Panji Tumbal meminta Pangeran Rebo mengambil kekuasaan? (6) Meskipun demikian, Pangeran Rebo meminta Panji Tumbal untuk menahan diri dengan mengatakan, “Jangan kita terburu nafsu!” (7) Pangeran Rebo juga berusaha mengajak berpikir logis dengan mengeluarkan kata-kata yang bijak: “Saya melihat dan mendengar tetapi pembangunan memang memakan waktu dan pengorbanan tak bisa kita hindarkan.” (8) Dengan kata lain, melakukan perebutan kekuasaan tidak semudah membalikkan tangan karena sudah pasti membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. |
Ada dua frasa/kata kunci yang terdapat dalam terakhir di atas, yaitu `perebutan kekuasaan` dan `pengorbanan`. Mana di antara keduanya yang mau dijadikan fokus penulisan? Bisa saja kita gabungkan frasa `perebutan kekuasaan` dengan kata `pengorbanan`. Dari gabungan itu, kita bisa bikin sebuah pernyataan yang berbunyi: `perebutan kekuasaan membutuhkan pengorbanan`. Sebagai langkah awal, kita bisa ajukan pertanyaan, apa itu `perebutan kekuasaan`? Kita jelaskan pengertiannya, tujuannya, cara-caranya (taktiknya), dan dampaknya. Dari pengertian saja kalau diuraikan bisa satu paragraf kita tulis. Terus, kita bahas tujuannya. Juga bisa ditulis dalam satu paragraf. Kemudian, tentang cara-caranya (yang salah satu di antaranya adalah pengorbanan) bisa kita tulis dalam satu paragraf. Karena salah satu cara melakukan perebutan kekuasan adalah pengorbanan, kita bisa menulis secara khusus dalam satu paragraf kaitan `perebutan kekuasaan` dengan `pengorbanan`. Dari uraian tersebut, kita jelaskan dampaknya. Di sini, lagi-lagi kita bisa menuliskannya dalam satu paragraf. Terakhir sekali, tutup saja tulisan kita dengan kesimpulan dan saran-saran atau rekomendasi.
(1) Masalah-masalah penyimpangan sosial sering dijadikan objek oleh karikaturis untuk menyampaikan kritik sosialnya. (2) Kritik sosial yang disampaikan karikaturis disalurkan melalui gambar-gambar karikatur yang dimuat di berbagai media massa, baik media cetak maupun online. (3) Gambar karikatur di atas, misalnya, merupakan salah satu cara menyampaikan kritik sosial sang karikaturis. (4) Gambar karikatur tersebut tampaknya dibuat dalam rangka merayakan Hari Anak Nasional. (5) Hal itu jelas terlihat di layar TV yang terdapat di gambar karikatur itu. (6) Anak yang sedang makan sambil nonton TV terlihat menangis dan berteriak-teriak. (7) Sementara itu, kedua orang tuanya dengan gawainya asyik bersilancar di dunia maya. (8) Bersilancar di dunia maya tidak ada salahnya asalkan anak juga mendapat perhatian. (9) Jangan karena asyik bersilancar di dunia maya sampai-sampai kurang perhatian pada anak! |
Karena asyik bersilancar di dunia maya, orang tua sampai kurang perhatian pada anak. Untuk meneruskan kalimat itu, bisa saja kita menulis di seputar dunia maya. Sah-sah saja ditulis pengertiannya, sejarahnya atau yang melatarbelakangi lahirnya dunia maya, kegunaannya, dan kalau mau tulis saja yang berkaitan dengan kejahatan di dunia maya juga boleh. Setelah itu, kita tulis bersilancar di dunia maya membikin orang tersihir, tidak terkecuali banyak juga orang tua yang kecanduan dengan dunia maya. Selanjutnya, kita tulis karena kurang bijak dalam bersilancar di dunia maya, orang tua menjadi kurang perhatian terhadap anaknya. Sebagaimana biasa untuk melengkapi tulisan kita tutup saja dengan kesimpulan dan saran-saran. Silakan dicoba saja menuliskannya!
(1) Oom Pasikom mengajukan pertanyaan yang menyentil tentang kenapa harus malu mengakui sebagai bangsa miskin. (2) Padahal, negara ini ketika dalam kondisi tertentu ketika ada pandemi Covid-19, misalnya, memberikan secara cuma-cuma Bantuan Langsung Tunai (BLT). (3) Selain BLT, masih di masa pandemi Covid-19 rakyat diberikan beras miskin (raskin). (4) Cuma itu, mentang-mentang buat orang miskin, beras yang diberikan juga rasanya tidak karuan alias jelek kualitasnya. (5) Untuk memperoleh raskin yang tidak karuan juga orang-orang miskin itu harus punya kartu miskin. (6) Orang-orang miskin yang mendapat kartu miskin selain mendapat BLT dan Raskin juga bisa memanfaatkan kartunya untuk mendapat bantuan kalau sewaktu-waktu mereka mengurus biaya pendidikan atau kesehatan. (7) Tapi, namanya juga orang-orang miskin, orang-orang yang teralienasi tetap saja ketika mengurus keringanan biaya pendidikan atau kesehatan terkendala oleh aturan-aturan birokratis yang pada akhirnya mereka menyerah alias tidak mau lagi berurusan dengan pejabat-pejabat terkait di negeri ini. (8) Begitulah nasib anak bangsa yang teralienasi, yang tidak pernah memperoleh kesejahteraan hidup yang sesungguhnya walaupun bunyi sila kelima Pancasila itu: `Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia`. (9) Meskipun teralienasi, masih ada kesempatan buat mereka menjadi TKI. (10) Karena dengan menjadi TKI, mereka akan mendapat gelar `Pahlawan Devisa`. |
Ada sebuah frasa yang bisa kita jadikan fokus penulisan: pahlawan devisa. Apa itu pahlawan devisa? Apa indikatornya seseorang bisa menjadi pahlawan devisa? Apa keuntungannya seseorang atau masyarakat menjadi pahlawan devisa? Kapan seseorang atau masyarakat bisa disebut sebagai pahlawan devisa? Mengapa disebut pahlawan devisa? Bagaimana caranya menjadi pahlawan devisa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa menggiring kita menulis paragraf-paragraf argumen. Kalau kesulitan menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan itu, kita bisa mencarinya di berbagai referensi. Salah satu cara yang paling bisa dicari di google searching. Dari yang kita tulis itu nantinya bisa kita tulis kesimpulan dan saran-sarannya.
Sumber Gambar:
- (https://www.satuharapan.com/read-detail/read/hari-anak-nasional)
- (https://o2zone.wordpress.com/2006/08/27/pahlawan-devisa/)