Subagio S. Waluyo

Berkaitan dengan masalah pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peran guru. Pada tulisan TOKOH KITA kali ini, sengaja kita menyoroti masalah guru. Berbicara masalah guru sepertinya tidak akan habis-habisnya untuk dibahas karena guru sebagai pendidik memegang peranan sangat penting dalam pembentukan bukan hanya kecerdasan anak didik, tapi juga pembentukan karakter. Berbicara karakter yang dibentuk para guru tentu saja harus dikaitkan dengan karakter yang ada pada guru selaku pendidik. Kalau karakter sang guru saja sudah bermasalah, bagaimana dengan anak didiknya? Di sini, seorang guru harus ingat pada wejangan Ki Hadjar Dewantara yang mengatakan: “Jangan setengah hati menjadi guru, karena anak didik kita telah membuka sepenuh hatinya.” Selain itu,beliau selaku pendidik yang patut dijadikan contoh teladan bagi kita semua juga berpesan: “Apapun yang dapat diperbuat oleh seseorang itu hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya.” Jadi, para guru selayaknya berpegang teguh pada pesan Bapak Pendidik Sepanjang Masa: Ki Hadjar Dewantara.

***

Pesan Ki Hadjar Dewantara di atas bukan saja mengingatkan TOKOH KITA, tapi juga buat kita semua bahwa hidup di dunia yang sementara ini harus bisa bermanfaat bukan hanya pada diri sendiri, tapi juga buat orang lain, dan bangsa tentunya. TOKOH KITA ketika membaca pesan tersebut teringat pada sebuah puisi yang ditulis Hartojo Andangdjaja (HA). Puisi HA berjudul “Dari Seorang Guru kepada Murid-Muridnya” itu ditulis pada tahun 1955. Jadi, puisi tersebut sudah terhitung tua (68 tahun). Puisi tersebut meskipun telah ditulis hampir tujuh puluh tahun lalu, sampai saat ini jika direnungkan isinya masih relevan dengan kehidupan seorang guru terutama guru-guru yang mengabdi jauh dari kota-kota besar. Mereka (para guru) yang tinggal di pedesaan atau di pedalaman sangat boleh jadi sampai saat ini masih merasakan pahit getirnya kehidupan. Agar wawasan kita tentang guru semakin bertambah, tidak ada salahnya kalau kita simak tulisan TOKOH KITA berikut ini.

………………………………………………………………………………………………………………………………

Ada orang yang mengatakan puisi merupakan sarana untuk mengungkapkan pengalaman batin.  Pengalaman batin yang terkandung dalam puisi disusun dari peristiwa yang telah diberi makna dan ditafsirkan secara estetik. Pengalaman batin yang dicurahkan/ diekspresikan ke dalam sebuah puisi dikemas dengan bahasa yang indah (estetis).  Karena keestetikan itulah, puisi menggunakan bahasa yang khas, bahasa yang semata-mata bertujuan untuk menggugah perasaan pembaca/ penikmatnya.

Puisi diciptakan, di antaranya,  untuk menggugah perasaan pembaca/ penikmatnya. Salah satu puisi yang setidak-tidaknya dapat menggugah perasaan orang di antaranya yang ditulis Hartojo Andangdjaja (HA) berikut ini. 

DARI SEORANG GURU KEPADA MURID-MURIDNYA

Hartojo Andangdjaja

 

Apa yang kupunya, anak-anakku

selain buku-buku dan sedikit ilmu

sumber pengabdianku kepadamu

Kalau di hari minggu engkau datang ke rumahku

aku takut, anak-anakku

kursi-kursi tua yang di sana

dan meja tulis sederhana

dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya

semua padamu akan bercerita

tentang hidupku di rumah tangga

Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita

depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja

—–horison yang selalu baru bagiku—-

karena kutahu, anak-anakku

engkau terlalu muda

engkau terlalu bersih dari dosa

Untuk mengenal ini semua

          (Solo, 1955)

Puisi di atas mencerminkan egaliternya seorang guru.  Sisi egaliternya sudah tampak terlihat di bait pertama.

Apa yang kupunya anak-anakku

selain buku-buku dan sedikit ilmu

sumber pengabdianku kepadamu

Bait puisi di atas menjelaskan kepada pembaca bahwa guru benar-benar makhluk alit.  Makhluk yang hanya punya buku-buku dan sedikit ilmu karena itu semua merupakan modal sang guru untuk mentransferkan ilmunya kepada murid-muridnya.

Dari bait itu juga tercermin bahwa guru adalah makhluk pengabdi, yang mengabdikan ilmunya pada sesama manusia dengan tujuan mencerdaskan anak bangsa.  Tetapi, makhluk pengabdi itu belum diberi imbalan jasa yang setimpal meskipun berjuta-juta manusia (bahkan milyaran) manusia bisa terbebaskan dari buta aksara, buta matematika, dan buta ilmu pengetahuan.  Dengan kata lain, kesejahteraan mereka belum diperhatikan.  Karena itu, sangat wajar kalau sang guru melarang (tidak menghendaki) murid-muridnya datang ke rumahnya.

Kalau di hari minggu engkau datang ke rumahku

aku takut, anak-anakku

Kursi-kursi tua yang di sana

dan meja tulis sederhana

dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya

semua padamu akan bercerita

tentang hidupku di ruma tangga.

Kemiskinan.  Barangkali itulah kata yang tepat untuk menggambarkan bait puisi di atas.  Guru memang tidak memiliki apa-apa.  Dia hanya memiliki buku-buku dan sedikit ilmu.  Barang-barang yang ada di rumahnya adalah barang-barang yang, kalau bisa dikatakan,  sudah tidak layak pakai, seperti kursi-kursi tua dan meja tulis sederhana.  Kemiskinan yang membelenggu kehidupannya yang mau tidak mau menjadikan ia tidak pernah berpikir untuk hidup sehat yang terlihat dari jendela-jendela yang tidak pernah diganti kainnya sehingga warna kain-kain jendela itu kusam.

Itulah sisi kehidupan rumah tangga seorang guru.  Kehidupan yang jauh dari sederhana.  Tetapi, mungkin juga, sisi mulia perilaku seorang guru.  Ia masih ingin menampilkan sosok perilaku guru yang masih memiliki harga diri (prestise) terbukti dari tidak maunya ia bercerita di depan kelas.

Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita

depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja

—– horison yang selalu baru bagiku ——

karena kutahu, anak-anakku

engkau terlalu muda

engkau terlalu bersih dari dosa

untuk mengenal ini semua

Prestise yang dimunculkan oleh sang guru bukan berangkat dari ‘gengsi’,  tetapi dari ketidakinginannya untuk mengetahui aib diri dan rumah tangganya di hadapan murid-muridnya yang masih bersih dari dosa.  Ia masih menganggap murid-muridnya adalah harapan masa depan bangsa ini dengan memberikan permisalan sebagai ‘horison yang selalu baru bagiku’.  Karena mereka adalah horison yang selalu baru, ia tidak mau merusak horision yang selalu baru itu untuk mengenal sisi-sisi kehidupan guru yang sangat sulit dijangkau oleh murid-muridnya.  Hal serupa juga diungkap oleh HA dalam puisi lainnya  (“Dari Seorang Bapa kepada Anaknya”) tentang nilai-nilai kebaikan, yang mencakup cinta kasih, kejujuran, kerendah-hatian, dan segala yang terlahir dari kebenaran.

Suatu ketika nanti bila tiba saatnya

akan kuajarkan padamu, anakku, apa yang berharga

akan kuajarkan cinta kasih, kejujuran, kerendahhatian

dan segala hal yang terlahir dari kebenaran

Bermodalkan nilai-nilai kebenaran itulah, sang guru tidak berkeinginan untuk berterus-terang pada murid-muridnya tentang kehidupannya sebagai guru.

HA memang seorang guru.  Ketika puisi itu ditulis, HA mengajar di SMP dan SMA di kota kelahirannya (Solo). Profesinya sebagai guru tersebut tetap dipertahankan sampai akhir hayatnya meskipun pada tahun 1962 – 1970 ia sempat berkecimpung di dunia jurnalistik.

(Dikutip dari buku Guru Ada Guru Tiada oleh Subagio S. Waluyo)

HA selaku guru yang juga penyair (sastrawan) dalam puisinya itu mencurahkan perasaan hatinya (curhat). Namanya juga seorang penyair, curhatnya dituangkan ke dalam sebuah puisi sehingga jadilah sebuah puisi yang sampai kapan pun muatan yang terdapat dalam puisi tersebut masih bisa menyentuh sanubari kita yang membacanya. Di puisi tersebut HA berhasil memberikan pencerahan bagi pembacanya bahwa guru yang benar-benar menjalankan wejangan Ki Hadjar Dewantara akan mengalami masa-masa hidup yang penuh ujian. Bagaimana seorang guru sebagai pendidik tidak diuji oleh kemerlapan kehidupan dunia kalau orang-orang di sekitarnya kehidupan jauh lebih makmur dari dirinya? Kita pun oleh HA seperti diingatkan bahwa guru yang mengabdi sepenuh hati akan ada keinginan untuk menanamkan rasa cinta kasih, kejujuran, kerendahhatian, dan segala hal yang berkaitan dengan kebenaran. Bukankah itu lebih merupakan sebuah tujuan mulia yang diemban oleh seorang guru yang telah tertanam dalam dirinya bahwa apapun yang dilakukannya harus bermanfaat buat dirinya, sesama manusia, dan bangsanya. Oleh karena itu, seorang guru selayaknya menjadi orang yang memanfaatkan waktu selagi masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini.

***

HA tidak sendirian. Masih ada penyair lain (walaupun bukan sebagai guru seperti HA) yang juga ikut curhat tentang kehidupannya sebagai guru yang menjadi korban kekejaman rezim Orde Baru. Adalah WS Rendra (WSR) penyair terkenal yang diberi gelar oleh sesama sastrawan sebagai `Si Burung Merak` juga menulis tentang nasib guru di masa Orde Baru. WSR berkisah tentang seorang guru berasal dari Desa Sengon, Yogyakarta yang setelah tamat dari pendidikannya di SGB (sekarang mungkin PGSD) ditugaskan di Rangkasbitung, Provinsi Banten. Guru tersebut yang semula tidak memiliki apa-apa, karena pengabdiannya, lambat-laun bisa memiliki sebidang tanah dan rumah. Namun, di saat-saat memasuki pensiun sebagian tanah miliknya terpotong oleh pembangunan jalan raya. Meskipun nasibnya sebagai guru tidak mengenakkan, dia tidak pernah putus asa karena dengan menjadi guru dia mengalami kehidupan yang bahagia. Justru, dengan menjadi guru dia mengalami kelengkapan dirinya. Bahkan, dia pun tidak ingin anaknya berputus asa dengan pekerjaannya sebagai guru. Agar benar-benar bisa mencerahkan kita semua, silakan disimak saja tulisan TOKOH KITA kali ini.

Dalam puisi “Orang Biasa” WS Rendra (WSR) sengaja menampilkan seseorang yang telah memilih jalan hidupnya sebagai guru yang tidak terikat oleh ikatan sejarah, revolusi kemerdekaan, dan sejarah nasional.  Tetapi ia juga jadi korban tindakan ketidakadilan penguasa yang telah memotong tanahnya.

Aku lahir di desa Sengon, Yogyakarta.

Setelah tamat Sekolah Guru Bawah

aku hanya punya satu lowongan

tanpa pilihan lain:

sebuah Sekolah Dasar

di Rangkasbitung.

Barangkali ada ikatan sejarah?

Juga tidak.

Di zaman revolusi kemerdekaan,

meskipun aku masih sangat muda,

aku di Mranggen ikut bergerilya,

melawan imperialis Inggris dan Belanda

Tidak. Tidak.

Di Rangkasbitung.

aku tidak pernah terlibat dalam sejarah besar.

Aku hanya mengajar di Sekolah Dasar

sampai pensiun,

dan tanahku terpotong

gara-gara pembangunan jalan raya.

Jelas ini bukan sejarah nasional

apalagi internasional.

Meskipun ia sebagai guru dan mantan pejuang yang pernah melawan penjajah, ia dengan menjadi guru dirinya benar-benar lengkap.  Dengan menjadi guru, semangatnya bergelora.  Ia juga sadar bahwa profesi guru bukanlah profesi yang istimewa buat ukuran dunia.

Tetapi aku hanya mengalami kelengkapan diriku

apabila menjadi guru

Semangatku bergelora,

gairah hidupku menyala,

dalam suku maupun duka,

apabila aku menjadi guru.

Memang tidak istimewa untuk ukuran dunia.

Sangat, sangat  biasa.

Sebagai pensiunan guru ia tidak ingin anak-anaknya gelisah karena dirinya hanya sebagai orang biasa.  Ia beranggapan bahwa profesi guru adalah anugerah yang harus ia terima.  Ia tidak pernah putus asa dan merasa menderita.  Ia selalu gembira dan tidak menunjukkan rasa rendah diri.  Bahkan, ia merasa bangga dengan pilihan hidupnya sebagai guru.  Karena itulah, barangkali, pilihan hidupnya yang paling indah.

Kenapa anak-anakku menjadi gelisah,

hanya karena aku mantap menjadi orang biasa?

Aku bukan panglima.  Aku bukan bankir.

Bahwa aku mendapat ijazah itu

sudah anugerah

Ilmu hitung dan bahasa Inggris mendapat nilai lima.

Tetapi! Te-ta-pi …..

aku bukan orang yang putus asa

ataupun menderita.

Aku gembira.

Dan aku juga tidak rendah diri.

Aku bangga.

Hidupku indah.

Demikianlah WSR telah menyampaikan nilai-nilai kebenaran melalui dua buah puisinya yang menggambarkan sosok perilaku guru yang berbeda satu dengan lainnya.  Kalau di tahun `70-an ia menampilkan sosok perilaku guru sebagai orang yang tidak layak untuk diteladani, di tahun `90-an justeru sebaliknya ia menampilkan orang yang bangga pilihan hidupnya sebagai guru meskipun guru juga tidak luput dari tindakan kesewenang-wenangan penguasa Orde Baru.

(Dikutip dari buku Penampakan Nilai-Nilai Kemanusiaan dan Kesosialan dalam Karya Sastra Indonesia oleh Subagio S.Waluyo)

***

Seorang sastrawan terkenal di Indonesia juga pernah mengangkat dalam salah satu hasil karya sastranya (cerpen) masalah guru. Adalah Putu Wijaya (PW) yang juga termasuk penulis produktif (dari coretan-coretan tangannya lahir cerpen, novel, naskah drama, dan esei) tidak mau kalah dengan HA dan WSR ikut mengangkat nasib guru. Sama halnya dengan HA dan WSR, PW juga menangkap adanya rasa kegelisahan seorang guru manakala diangkat menjadi kepala sekolah yang menyebabkan kesibukannya sebagai kepala sekolah tidak ada waktu lagi untuk bercengkerama dengan anak didiknya. Bukan itu saja, dia merasa jabatan sebagai kepala sekolah telah menjauhkan dirinya sebagai pendidik. Dengan menjadi kepala sekolah, dia merasa telah menjadi korban birokrasi. Gambaran tentang seorang guru yang gelisah ketika mendapatkan sebuah jabatan yang cukup terhormat, kepala sekolah, bisa dilihat petikan cerpen berikut ini.

GURU (1)

          Setelah menjadi kepala sekolah selama 10 tahun, Arif tiba-tiba kaget karena merasa dirinya telah dipisahkan oleh jabatan dengan anak-anak didiknya.  Kesibukannya sebagai seorang kepala, menyebabkan ia tak ada waktu lagi mengajar bahasa Indonesia, menyanyi, dan menggambar yang begitu dicintainya. Tak ada lagi kesempatan ia berdiri di depan kelas dan bersentuhan pandangan serta cakap dengan anak-anak SD 500 itu.

          “Ini sudah bertentangan dengan harkat dan pengabdianku sebagai guru.  Aku tidak lagi menjadi seorang pendidik akan tetapi birokrat.  Dus aku sudah berkhianat pada cita-citaku untuk mengabdi pada tanah air karena aku jadi jauh dengan murid,” keluhnya.

          Ia termenung di belakang mejanya, memandang ke luar.  Lewat jendela dilihatnya di bawah naungan pohon-pohon nangka, anak-anak sedang main kasti.  Sayup-sayup di dengarnya pula di sebuah  kelas anak-anak sedang menyanyikan lagu “Nyiur Hijau” dipimpin oleh Ibu Upik.

          “Wah, aku sudah menjadi korban kedudukanku.  Kini waktunya untuk memutuskan apakah kebahagiaan hidup itu berarti uang dan jabatan yang empuk, atau perasaan bangga karena sudah berarti dan dekat dengan murid-murid yang menjadi tanggungan sekolah?” tanyanya.

          Lebih duka lagi hatinya ketika pintu diketuk dan seorang murid masuk menanyakan apakah kelasnya boleh pulang karena seorang guru tidak masuk.  Ia tercengang sebab tidak mengenali siapa anak itu.  Kelas berapa dia?  Namanya, apalagi kedaan keluarganya, tak dikenalnya.

          Arif merinding.  Ia merasa sangat asing.  Pikirannya kalut.  Ia dihimpit sengatan berdosa.

          “Kalau begini terus, aku bisa modar.  Baiknya aku cepat-cepat mengajukan permohonan supaya diberhentikan sebagai kepala sekolah dan dijadikan guru biasa lagi,”  bisiknya kepada istrinya malam hari di rumah.

          Istri Arif seorang wanita biasa yang kurang pendidikan.  Wanita itu heran men-dengar keluah suaminya.  Tetapi ia tak berani memberikan pertimbangan.  Ia terlalu percaya pada buah pikiran suaminya.  Sebagai guru, ia pasti waras.  Masak guru ber-pikir yang tidak-tidak.

          “Ya, bagaimana saja, asal kita semua dapat ketenangan,” katanya sembari menyulam.

          Arif, masih tetap menjabat kepala sekolah, selama 2 tahun kemudian.  Tapi di tahun ketiga, ledakan jiwanya itu sudah mencabik-cabiknya.  Suara hati itu tidak ter-tahankan lagi.  Ia merasa sudah menjadi budak pekerjaan dan musuh cita-citanya sendiri.

          “Ini bisa membuat aku sakit dan kosong.  Aku bisa gila. Aku tak bisa mem-bohongi hati nuraniku sendiri bahwa seorang guru adalah seorang guru, ia harus bersentuhan dengan murid, bukan hanya mengurus administrasi, pidato, dan memerintah dari belakang meja serta hanya berhubungan dengan penilik sekolah.  Dosa ini harus dihentikan sekarang!”  teriak Arif di dalam sanubarinya.

          Akhirnya, kejutan yang tidak merupakan kejutan lagi karena sudah terlalu banyak dikoar-koarkan itu, terjadi juga.  Arif mundur atas kehendak sendiri sebagai kepala sekolah.  Ia rela melepas kursi, kehormatan, dan tanggung jawabnya serta juga gajinya,untuk menukarnya dengan jabatan guru biasa dengan fasilitas yang lebih sedikit.

          “Prosesnya memang berbelit-belit, tetapi tak apalah. Karena kebahagiaan memang harus dicapai dengan pengorbanan dan keteguhan,” ujarnya berseri-seri.

          Ia tampak sehat, gembira, meskipun pucat.

          Sejak itu, ia sibuk lagi mengajar.  Masuk kelas demi kelas.  Mendidik dan mene-barkan ilmu yang dikuasainya pada calon-calon penerus di masa depan itu.  Arif tampak berdarah lagi.  Ia bersentuhan pandang dan cakap dengan murid.  Ia mulai tahu lagi nama semua anak didiknya.  Bahkan latar belakang keluarga seluruh murid pun dipahaminya.

(Dikutip dari buku Kumpulan Cerpen Protes oleh Putu Wijaya, 1995:37— 39)

Berkaitan dengan potongan teks cerpen “Guru (1)” di atas, TOKOH KITA menyampaikan bahwa guru memang makhluk pengabdi. Sebagai guru yang sudah demikian mendarah daging untuk mengabdi sebagai pendidik, seorang guru akan merasa kering jiwanya jika tidak pernah lagi bertatap muka dengan murid-muridnya.  Demikian pula yang terjadi pada Arif.  Seorang guru yang telah beralih profesi menjadi kepala sekolah (meskipun jabatan kepala sekolah juga masih lekat dengan dunia pendidikan) ternyata juga mengalami kejenuhan dengan jabatannya itu.  Ia merasa bahwa jabatannya telah mengakibatkan harus berpisah dengan murid-muridnya karena tidak ada kesempatan untuk mengajar (“Ini sudah bertentangan dengan harkat dan pengabdianku sebagai guru.  Aku tidak lagi menjadi seorang pendidik akan tetapi birokrat.  Dus aku sudah berkhianat pada cita-citaku untuk mengabdi pada tanah air karena aku jadi jauh dengan murid,” keluhnya ). Ia juga merasa bahwa dirinya telah menjadi korban kedudukan. Ia harus memutuskan antara berhenti menjadi kepala sekolah dengan risiko melepaskan jabatan, kehormatan, tanggung jawab, dan gajinya.  Atau ia tetap mempertahankannya dengan risiko terus menerus dihantui rasa berdosa dan menjadi gila karena harus membohongi hati nuraninya.

Arif memang masih bisa bertahan selama dua tahun lagi menjadi kepala sekolah.  Namun, karena keinginannya yang demikian kuat pada saatnya, manakala sudah tidak bisa lagi dibendung kerinduannya untuk mengajar, dengan berbagai pengorbanan, ia kembali menjadi guru dan melepaskan jabatannya sebagai kepala sekolah.  Meskipun terasa sulit dan butuh waktu yang cukup panjang, ia merasa bahagia karena keinginannya tercapai sudah (“Prosesnya memang berbelit-belit, tetapi tak apalah.  Karena kebahagiaan memang harus dicapai dengan pengorbanan dan keteguhan,” ujarnya berseri-seri).

Pengabdian yang membuahkan kebahagiaan memang membutuhkan pengorbanan dan keteguhan sebagaimana yang dilakukan oleh Arif.  Namun, kita juga harus realistis karena menjadi kepala sekolah pun meskipun tergolong birokrat, ia masih lekat dengan dunia pendidikan (apalagi kepala sekolah SD yang gajinya  relatif rendah).  Jadi, Arif selaku kepala sekolah selayaknya tidak perlu mundur dari jabatannya karena di sela-sela waktu kosong ia masih ada kesempatan untuk mengajar atau mengisi kelas-kelas yang kosong.  Dalam potongan cerita di atas ketika seorang murid menghadap untuk minta pulang karena gurunya tidak hadir, selaku kepala sekolah, Arif harus mengambil inisiatif untuk mengisi kekosongan tersebut.  Selaku birokrat Arif harus mengalahkan jabatannya sehingga tidak ada alasan bahwa ia tidak boleh mengajar kembali. Dengan cara demikian, hal-hal yang mengganjal hati nuraninya bisa terobati.  Artinya, meskipun menjadi kepala sekolah banyak kesempatan bagi Arif untuk bertatap muka dengan murid-muridnya.  Sebaliknya, sikap Arif yang merasa terpukul dengan jabatannya sementara tidak bisa berbuat apa-apa justru menunjukkan bahwa dirinya lemah (kalau bisa dikatakan sebagai pengabdi yang kurang bertanggung jawab pada dunia pendidikan).

***

Dengan melihat pada tiga karya sastra di atas (dua puisi dan satu cerpen), kita bisa menyimpulkan bahwa seorang guru yang sudah benar-benar sepenuh hati mengabdi sebagai pendidik akan mengalami kegelisahan ketika suatu saat tidak ada lagi kesempatan mengajar. Mereka sangat menyadari bahwa menjadi guru harus berhadapan dengan kondisi kehidupan ekonomi yang tidak menggembirakan. Tapi, manakala mereka berhadapan dengan anak didik semua pahit getirnya kehidupan dengan sendirinya akan hilang begitu saja. Mereka justru tersiksa dirinya kalau suatu saat dijauhkan oleh anak didiknya karena salah satu di antaranya beralihnya jabatan dari seorang guru menjadi kepala sekolah. Bukankah ini sebuah kenikmatan bagi para pendidik? Kenikmatan menjadi pendidik seperti yang dialami oleh TOKOH KITA yang telah hampir empat puluh tahun mengabdi sebagai dosen (guru) tidak akan tergantikan. TOKOH KITA boleh jadi akan mengalami kekosongan hidup manakala suatu saat tidak ada lagi kesempatan untuk menyampaikan ilmunya pada anak didiknya sebagaimana yang telah disampaikan oleh HA, WSR, dan PW dalam petikan puisi dan cerpen di atas. Untuk itu, TOKOH KITA sangat bersyukur karena di usianya yang memasuki lanjut usia (lansia) masih dipercayakan oleh pimpinan perguruan tinggi tempat TOKOH KITA mengabdi dibolehkan mengajar. Dengan demikian, TOKOH KITA masih ada kesempatan untuk memberikan manfaat bukan hanya pada dirinya, tapi juga pada sesama manusia, bangsa, dan agama.

Sumber Gambar:

By subagio

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat