Subagio S. Waluyo
TOKOH KITA ketika pertama kali memposting tulisannya baik di website –nya maupun blogspot-nya adalah tulisan yang berkaitan dengan pendidikan. Hal itu lebih disebabkan oleh latar belakang pendidikan TOKOH KITA yang berasal dari IKIP Jakarta (sekarang UNJ). Begitu menuntaskan pendidikannya, TOKOH KITA langsung menjadi guru di beberapa sekolah. Dari sekian lembaga pendidikan yang sangat lama dijalaninya (bahkan sampai sekarang ini pun walaupun sudah dinyatakan pensiun) adalah di Universitas Krisnadwipayana (Unkris). Di Unkris TOKOH KITA mengajar mata kuliah bahasa Indonesia. Dari sejak masuk Unkris sampai saat ini TOKOH KITA tetap mengajar mata kuliah yang sama: Bahasa Indonesia. Belakangan TOKOH KITA mengajar mata kuliah yang berkaitan dengan kebudayaan dan program studi tempat TOKOH KITA ditempatkan sesuai dengan jenjang pendidikan berikutnya (S2), yaitu Program Studi Administrasi Publik.
***
Sebagai pendidik, TOKOH KITA juga pernah dipercayakan memimpin sebuah yayasan dan sekaligus Direktur Sekolah Natur Islam (SANI). Jenjang pendidikan yang ada di sekolah tersebut adalah Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar. Meskipun berkecimpung di dunia perguruan tinggi, TOKOH KITA tidak canggung menanganinya. Justru, dari sekolah tersebut TOKOH KITA banyak belajar tentang dunia pendidikan yang sesungguhnya yang selama menjadi dosen tidak pernah mendapatkannya. Begitu banyak yang didapat TOKOH KITA selama mengabdi di SANI. Dari delapan tahun mengabdi di SANI di bidang pendidikan TOKOH KITA mendapatkan begitu banyak pengalaman. Semua pengalaman yang didapatkannya direkam dalam memori TOKOH KITA. Salah satu hasil rekaman yang dijadikan tulisan yang cukup menarik untuk dibaca di sini adalah tulisan yang berkaitan dengan regulasi. Tulisan tersebut ditulis TOKOH KITA seusai mengikuti sebuah seminar yang pemberi materinya dari AS. Pengisi materi seminar tersebut adalah praktisi pendidikan yang sudah terbilang sepuh (nenek-nenek). Meski terbilang sudah lanjut usia, materi yang disampaikan menginspirasi TOKOH KITA sehingga tergerak untuk menuliskannya. Coba kita perhatikan tulisan berikut ini.
Regulasi Diri (1) ………………………………………………………………………………………………………………………………. Dalam kehidupan kita sehari-hari kita lebih banyak mendapati kecenderungan masyarakat kita yang lebih mengedepankan egonya daripada mau sedikit berlelah-lelah untuk mengantri. Kalau mau melihat perilaku asli bangsa ini coba kita amati para pengendara kendaraan bermotor di jalan raya. Di saat-saat jam-jam sibuk orang yang berangkat atau pulang kantor, selalu kita dapati mereka saling menyalib yang tidak mustahil juga sering terjadi kecelakaan. Coba sekali-sekali kendaraan kita mogok, kita siap-siap saja tutup telinga (kalau perlu mata) karena klakson motor dan mobil akan bersahut-sahutan. Belum lagi rasa tidak bersalah mereka di saat kendaraannya menyenggol kendaraan kita, bukan kita yang selayaknya marah justeru mereka-lah yang lebih galak daripada kita. Kalau kita tidak bisa menahan marah tidak mustahil terjadi adu jotos di tengah-tengah keramaian lalu lintas. Itu baru sebagian perilaku buruk masyarakat kita yang sangat mungkin masih banyak lagi kita dapati kalau kita mau bersusah-payah menulis satu persatu di lembar ini. Kita tidak perlu mengkalkulasi demikian banyaknya perilaku buruk yang menjadi penyakit masyarakat kita. Kita cukup mengatakan bahwa masyarakat kita memang sedang sakit. Sakit yang diderita masyarakat kita adalah sakit moral yang lebih disebabkan tidak mampu mengontrol perilaku sendiri atau tidak bisa melakukan regulasi diri Untuk itu jalan keluarnya mereka harus melakukan regulasi diri. Mengapa kita harus melakukan regulasi diri? Sebagai masyarakat yang katanya beragama dan bermartabat, kita memang diajarkan untuk meregulasi diri. Regulasi diri itu sendiri menurut C.George Boeree dalam Personality Theories , 2008:240, ada tiga tahapan. yaitu pengamatan diri (melihat diri sendiri beserta perilakunya serta terus mengawasi), penilaian (membandingkan apa yang dilihat pada diri dan perilaku dengan standar ukuran tertentu) , dan respon diri (proses memberi imbalan pada diri sendiri setelah berhasil melakukan penilaian sebagai respon terhadap diri sendiri). Pada tahap awal seseorang harus secara rutin melihat dan mengawasi dirinya sendiri berikut perilakunya. Kalau di tahap awal ini dia sudah berhasil melakukannya teruskan tahapan kedua, yaitu melakukan penilaian. Di tahap ini, seseorang yang sudah lulus di tahap awal mencoba membandingkan yang ada pada dirinya dari hasil pengamatan dan pengawasannya dengan standar ukuran tertentu (dalam hal ini standar ukuran yang digunakan adalah nilai-nilai yang telah digariskan oleh agama). Kalau telah berhasil memberikan penilaian, pada tahap terakhir dia harus memberikan respon diri yang dalam hal ini bentuknya adalah kesiapan seseorang menghukum dirinya (kalau dia memang melakukan kesalahan) dan dia berhak mendapat hadiah (kalau dikembalikan pada konsep agama hadiahnya berupa pahala atau ganjaran) kalau dia melakukan kebaikan. Pertanyaan yang selayaknya diajukan:apakah masyarakat kita bisa melakukannya? Untuk sebuah masyarakat (terutama kalangan dewasa dan orang-orang tua) yang sudah terbentuk perilakunya sebagai masyarakat yang terlanjur berperilaku buruk memang sulit. Meskipun demikian, kita tidak boleh berhenti untuk mengajak mereka untuk berubah. Caranya? Untuk kalangan anak didik (murid, siswa, atau mahasiswa) melalui pembelajaran yang mengarah pada penanaman tahapan-tahapan regulasi diri. Anak-anak kita sejak usia dini sudah harus dibimbing cara-cara melakukan regulasi diri melalui pembelajaran yang terencana. Pembelajaran yang disampaikan pada anak-anak tentu saja melalui berbagai permainan yang menyenangkan dan sesuai dengan psikologi mereka. Melalui pembelajaran yang disertai dengan permainan yang sesuai usia mereka tanpa disadari nilai-nilai regulasi diri sudah tertanam di dirinya sehingga akan memberikan bekas yang demikian mendalam pada saat dewasa nanti. Untuk melaksanakan pembelajaran yang disertai permainan dibutuhkan kesabaran. Bukan hanya guru yang melakukan hal itu, orang tua juga ikut terlibat karena anak-anak lebih banyak waktunya di rumah daripada di sekolah. Selain itu, baik guru maupun orang tua harus bisa menciptakan kegembiraan pada saat melakukannya. Guru dan orang tua harus selalu ceria. Mereka juga tidak dibenarkan untuk memarahi (apalagi sampai memukulnya), Bahkan, baik-buruknya hasil kerja anak harus diberikan penilaian yang positif disertai ungkapan-ungkapan yang membuat mereka termotivasi untuk melakukan hal-hal yang terbaik. Mudah-mudahan dengan pembelajaran yang menyenangkan, yang diberikan oleh orang tua dan guru yang sabar, penuh senyuman, dan kerap kali memberikan motivasi yang terbaik buat mereka, akan menjadikan mereka pada saatnya nanti sebagai warga negara yang memiliki regulasi diri. (Dikutip dari buku Guru Ada Guru Tiada oleh Subagio S.Waluyo) |
TOKOH KITA melalui tulisan di atas menyampaikan pada kita semua bahwa pendidikan akan dikatakan berhasil kalau setiap orang yang didik memiliki regulasi diri. Karena adanya regulasi diri, orang mau mengantri bermenit-menit hanya untuk memperoleh secangkir kopi panas seperti yang terjadi di sebuah kota di Kanada. Hanya karena regulasi diri, orang bersikap sangat toleransi kepada sesamanya. Hanya karena regulasi diri, seorang anak didik bisa berperilaku jujur. Hanya karena regulasi diri, seorang anak mau mengakui keunggulan temannya sehingga tidak ada sedikit pun perasaan untuk membenci temannya yang lebih unggul. Bukankah agama juga mengajarkan pada kita semua untuk belajar tertib, belajar jujur, dan belajar mau mengakui keunggulan orang lain? Jadi, yang mau disampaikan TOKOH KITA lewat tulisan tersebut demikian sederhana bukan?
***
TOKOH KITA juga pernah mengikuti pelatihan di sebuah sekolah yang berhasil dalam menanamkan nilai pendidikan karakter pada anak didiknya. Dari mengikuti pelatihan di sekolah tersebut, TOKOH KITA menulis sebuah tulisan yang mudah-mudahan menarik untuk dibaca walaupun tidak semua isi tulisan tersebut dikutip. TOKOH KITA terinspirasi menulis karena di momen-momen tertentu, ketika TOKOH KITA melakukan pengamatan ada sesuatu yang menarik untuk ditulis. Hasilnya? Jadilah sebuah tulisan yang layak untuk kita baca dan kalau mungkin kita renungkan substansi yang ada di dalam tulisan tersebut.
Dengan Cinta Guru itu Mengajar …………………………………………………………………………………………………………………………….. Di sebuah sekolah seorang guru mengajak murid-muridnya ke ruang belajar yang penuh dengan alat permainan. Hari itu Sang Guru (perempuan) mengajak murid-muridnya bermain-main dengan balok-balok kayu. Sebelumnya, Sang Guru menunjukkan sebuah gambar. Sang Guru meminta murid-muridnya untuk menyebutkan bagian-bagian dari gambar tersebut. Semua murid mengacungkan tangan dan secara tertib menjawabnya dengan setengah teriak ketika disebutkan namanya. Tidak semua jawaban murid-murid tersebut tepat tetapi Sang Guru tidak pernah mengatakan `Kamu salah`. Sebaliknya, `Kamu hebat atau Kamu Super ` (seperti jawaban yang disampaikan Mario Teguh). Murid-murid yang kurang tepat dalam menjawab pertanyaan Sang Guru tidak pernah terpukul sehingga dia menjadi murid yang inferior (rendah diri). Sang Guru selalu mengembangkan senyumnya. Murid-murid itu pun semua ceria karena mereka memang belajar dengan keceriaan. Ketika tiba gilirannya mereka harus belajar dengan balok-balok kayu kecil, mereka diminta mengambil balok-balok kayu yang berada di rak-rak dengan tertib. Mereka duduk secara berkelompok. Setiap kelompok diminta membuat bangunan sesuai dengan gambar yang ditunjukkan Sang Guru. Sambil melihat gambar yang ada di hadapannya mereka mulai mengerjakan perintah Sang Guru. Selama mereka mengerjakannya Sang Guru selalu memberikan motivasi dan bantuan. Akhirnya, bangunan yang mereka susun dari balok-balok kayu kecil itu pun selesai. Sang Guru mengecek hasil pekerjaan mereka satu persatu. Walaupun hasil pekerjaan murid-muridnya ada yang salah tidak ada ucapan yang tidak mengenakkan dari Sang Guru. Justeru kata-kata pujian dan senyuman itu yang selalu menghias wajahnya. Hasil pekerjan murid-muridnya diabadikan dengan memotonya satu persatu. Setelah pekerjaan tersebut selesai, apakah pekerjaan tersebut ditinggal begitu saja oleh murid-muridnya sehingga Sang Guru yang harus memberesinya? Ternyata tidak demikian yang kita duga. Sang Guru bersama-sama dengan murid-muridnya mengajak untuk meletakkan kembali balok-balok kayu kecil itu ke tempat semula. Balok-balok kayu kecil itu ternyata memang sudah diberi nomor. Murid-murid itu meletakkan balok-balok kayu kecil itu sesuai dengan nomornya. Dengan penuh keriangan mereka melaksanakan perintah Sang Guru yang lagi-lagi tidak disertai wajah cemberut. Mereka pun ternyata bisa melaksanakannya sehingga balok-balok kayu kecil itu diletakkan rapi seperti semula. Dalam waktu yang singkat pembelajaran itu bisa terlaksana. Ternyata dalam pembelajaran tersebut terbukti Sang Guru telah berhasil mempraktekkan pembelajaran secara holistik (integrasi). Di dalamnya bukan saja mencakup pembelajaran keterampilan motorik halus, tetapi juga mencakup matematika (ketika murid-murid diminta meletakkan balok-balok kayu kecil sesuai dengan nomornya). Selain itu, ada pembelajaran kebersamaan (learning to live together) karena untuk mewujudkan itu semua dibutuhkan kerja sama tim. Ada nilai-nilai agama karena Sang Guru mengajak murid-muridnya untuk memulai pekerjaan minimal dengan bismillah dan mengakhiri pekerjaan dengan alhamdulillah. Diajarkan juga pada mereka untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab. Bahkan, ada pembelajaran bahasa Indonesia ketika murid-murid diminta menyampaikan jawaban atau pernyataan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Di luar itu semua, ada kesan yang tidak mungkin hilang dari ingatan anak, yaitu senyuman Sang Guru yang tulus ikhlas menjadikan anak memiliki rasa cinta pada gurunya begitupun sebaliknya. **** Mengajar anak didik dengan cinta akan memberikan energi baru buat pendidik. Siapapun orangnya, entah dia guru, orang tua, tokoh masyarakat, tokoh politik, pemimpin di sebuah perusahaan, atau penegak hukum sekalipun kalau mereka melakukan sesuatu dengan cinta akan memberikan energi baru. Kita harus yakin dengan cinta menjadikan kita bisa bekerja lebih bersemangat. Dengan cinta kita akan bisa menciptakan harmonisasi kehidupan. Dengan cinta kita bisa mewujudkan generasi yang lebih baik daripada kita. Sebaliknya, tanpa cinta kita akan mengalami kelesuan bekerja. Kita akan mengalami rutinitas pekerjaan yang membosankan. Kita tidak akan bisa mewujudkan harmonisasi kehidupan. Kita juga tidak akan berhasil mewujudkan generasi yang lebih baik daripada kita. (Dikutip dari buku Guru Ada Guru Tiada oleh Subagio S.Waluyo) |
Pada tulisan di atas, TOKOH KITA menulis bahwa aktivitas belajar di sekolah harus dilandasi oleh rasa cinta. Dengan bermodalkan cinta, seorang guru bisa mengajar dengan baik. Dengan bermodalkan cinta, seorang guru bisa menjalin hubungan yang akrab dengan murid-muridnya. Dengan hanya bermodalkan cinta, seorang guru bisa menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter yang justru sangat dibutuhkan oleh semua orang yang terlibat dalam pendidikan. Dengan bermodalkan cinta, seorang guru bisa memotivasi anak didiknya untuk tetap bersemangat dan berprestasi. Dengan bermodalkan cinta, seorang guru berhasil membimbing anak untuk mau mewujudkan kebersamaan. Jadi, tanamkan pada anak didik rasa cinta. Semua aktivitas apapun kalau dilandasi rasa cinta akan melahirkan energi positif.
***
Sebagai pendidik yang berlatar belakang dari perguruan tinggi keguruan TOKOH KITA berpegang teguh pada wejangan-wejangan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara. Salah satu wejangan yang dipegang teguh TOKOH KITA adalah seperti yang tertera pada gambar di atas: “Jangan setengah hati menjadi guru, karena anak didik kita telah membuka sepenuh hatinya.” Nah, ketika menemukan kasus di tempat anaknya bersekolah (salah satu SD Negeri di Kota Bekasi), TOKOH KITA tidak bisa berdiam diri. Bagaimana TOKOH KITA bisa berdiam diri kalau ditemukan seorang guru yang keluar dari kelas, kemudian guru itu nongkrong di kantin ngobrol dengan guru-guru lain sambil merokok dan minum kopi? Guru itu sebelum meninggalkan kelas minta pada murid-muridnya untuk mengeluarkan Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Guru itu menyuruh murid-muridnya mengerjakan soal yang terdapat di LKS tersebut. Setelah itu, guru berpesan pada murid-muridnya untuk tenang, tidak ribut. Selesai berpesan sang guru ke luar kelas menuju kantin. Di kantin sekolah itu telah menunggu teman-temannya sesama guru. Di situ bukan hanya guru-guru pria, guru-guru wanita juga sama-sama nimbrung. Kalau sudah begini, apakah mungkin bisa menanamkan pendidikan karakter pada anak didik kita? Untuk jelasnya, silakan disimak tulisan berikut ini.
Guru Ada Guru Tiada …………………………………………………………………………………………………………………………….. Lalu, bagaimana dengan nasib guru-guru kita saat ini? Sebagian nasib guru-guru kita sudah cukup baik karena di samping memperoleh gaji dari pemerintah (bagi yang PNS) atau gaji dari tempat mengajar (bagi guru tetap sekolah-sekolah swasta) mereka juga mendapat tunjangan sertifikasi yang besarnya satu kali gaji pokok gaji PNS sesuai dengan hasil penyesuaian. Tentang penyesuaian bagi guru PNS tidak begitu rumit karena bisa ditelisik dari kepangkatan dan golongannya. Tapi, bagi guru swasta disesuaikan dengan masa kerjanya. Guru yang telah mengabdi dua puluh tahun bisa saja disesuaikan tunjangannya menjadi golongan III D. Terkadang, bahkan sering, juga banyak didapati ternyata guru yang bersangkutan golongan kepangkatannya hanya diakui III B. Akhir-akhir ini, masih perlu dikonfirmasi lebih jauh, semua guru swasta yang mengajukan tunjangan sertifikasi hanya diakui III A. Silakan ditebak sendiri berapa besar tunjangan sertifikasi untuk para guru baik negeri maupun swasta. Bukan hanya tunjangan sertifikasi, guru juga mendapat tunjangan kinerja dari pemerintah daerah. Besaran tunjangan bergantung pada kemampuan daerahnya masing-masing. Untuk guru-guru yang mengajar di wilayah DKI Jakarta, pemda DKI Jakarta konon kabarnya memberikan tunjangan kinerja guru terbesar di negara ini. Sementara itu, di kota-kota di sekitar DKI Jakarta tunjangan kinerja guru tidak sebesar DKI Jakarta. Ada yang mengatakan sangat kecil sehingga ada yang mengatakan hanya sebesar kelingking kuku orang dewasa. Bisa juga dikatakan tidak wajar. Ada juga yang mengatakan dibandingkan dengan kota atau kabupaten yang jauh dari DKI Jakarta tunjangan kinerja guru jauh lebih besar dari Kota Bekasi. Wallahu a`lam bissawab. Untuk masalah tunjangan kinerja ini tampaknya memang masih perlu dievaluasi agar orang tidak sebatas mengatakan `katanya` karena pernyataan itu jelas jauh dari ilmiah. Kata `katanya` itu bisa digolongkan rumor. Terlepas dari tunjangan kinerja guru yang diberikan pemda yang boleh jadi merupakan tambahan yang bermanfaat bagi guru, guru-guru honor daerah (honda) dan guru-guru honor di sekolah swasta nasibnya masih senin-kamis alias masih tergolong di bawah garis kemiskinan. Lho, kok bisa begitu? Coba saja kita bayangkan berapa besar honor yang mereka terima setiap bulannya? Di sebuah SD Negeri di Kota Bekasi yang letaknya tidak begitu jauh dari DKI Jakarta ada guru honda yang bertahun-tahun mengabdi sampai sekarang ini belum juga jadi PNS hanya memperoleh honor di bawah 1 juta rupiah! Masih lebih baik nasib buruh pabrik yang bekerja sekitar 8-9 jam sehari. Apalagi buruh-buruh pabrik banyak yang sudah disesuaikan dengan UMR di daerah masing-masing. Mereka (para guru honda) untuk menjadi guru PNS walaupun harus sekian tahun menunggu pengangkatan sebelumnya harus menyetorkan sebagian uangnya ke oknum-oknum pemda agar proses pengangkatannya sebagai guru PNS dipercepat. Masalah ini bukan rumor tapi sudah menjadi fenomena yang tidak bisa kita pungkiri dengan menutup mata atas kejadian ini. Bagaimana pula dengan guru-guru swasta dari sekolah-sekolah kelas abal-abal yang dikelola dengan manajemen abal-abal? Kondisi nasib guru-guru di sekolah itu lebih parah lagi. Kalau ada guru yang terpaksa jadi tukang becak atau ojek atau buruh kasar di luar tugasnya mengajar, jangan salahkan mereka. Ini kenyataan pahit yang terjadi di negara yang kita cintai ini, Indonesia. Guru-guru SD negeri yang tergolong honda akhirnya harus memberikan pelajaran tambahan pada siswa-siswanya di luar jam sekolah yang sudah barang tentu ada kutipan. Jumlah yang diperoleh dari hasil kutipan itu tergolong lebih besar daripada honor yang mereka terima dari sekolah. Praktek-praktek ilegal itu bukan hanya dilakukan guru-guru honda, tapi guru-guru PNS yang sudah mendapat berbagai tunjangan juga melakukan hal yang sama. Guru-guru yang mengajar di sekolah swasta baik yang tergolong guru honorer maupun guru tetap yayasan juga melakukan hal yang sama. Di kelas sudah bukan rahasia umum kalau mereka mengajar terkesan asal-asalan. Guru-guru kita cukup memberikan buku Lembar Kerja Siswa (LKS) yang memang diberikan gratis untuk tingkat SD (untuk SMP dan SMA harus beli di sekolah). Mereka menyuruh siswa-siswanya mengerjakan soal-soal yang terdapat di buku LKS tersebut. Sang guru lalu keluar ruang kelas. Ke mana perginya sang guru? Mereka ada yang `ngopi` sambil merokok atau `ngerumpi` sampai menjelang jam pelajaran mau berakhir. Kalau pekerjaan anak didiknya belum selesai dijadikan pekerjaan rumah (PR). Jadi, anak-anak didiknya asyik dengan kegiatannya di dalam kelas. Tidak mustahil jika di dalam kelas ada anak yang memang serius mengerjakan tugas yang dibebankannya. Tapi juga tidak sedikit di antara mereka yang lebih cenderung bermain di dalam kelas! Kalau sudah begini, mau dibawa kemana anak didik ini? Melihat kondisi guru-guru kita tampaknya layak kalau kita bertanya keberadaan mereka para guru ada di antara ada dan tidak adanya. Mereka ada dengan menyandang predikat guru, tapi jadi tidak ada karena apa sih yang mereka kerjakan selama di sekolah? Mereka ada ketika membuka pelajaran atau menutup pelajaran atau memberikan pelajaran tambahan. Tapi jadi tidak ada begitu mereka meninggalkan kelas dan melakukan pembiaran terhadap anak-anak didiknya selama di dalam kelas. Fungsi dan peranan guru sebagai fasilitator dan pembimbing anak didik boleh dikatakan minim. Jangankan mereka bisa meningkatkan kompetensi anak didik, untuk mendidik anak agar bermoral atau memiliki sedikitnya karakteristik anak terpelajar saja tidak ada. Buktinya, coba lihat masih adanya tawuran pelajar, geng-geng motor yang dilakukan anak-anak belasan tahun (usia SMP), dan perilaku-perilaku amoral yang dilakukan anak-anak didik kita apakah belum cukup untuk mengatakan bahwa lembaga pendidikan telah gagal mendidik anak yang bermoral atau berperilaku terpelajar? Kalau begitu bagaimana jalan keluarnya? Jalan keluarnya benahi pendidikan kita yang dalam kurikulum terbaru sekalipun masih mengejar masalah kompetensi. Jadi bukan kompetensi yang harus dikejar tapi lebih utamakan masalah moral. Sebelum anak didik yang dibenahi moralnya, benahi dulu guru-gurunya. Benahi dulu moral oknum-oknum aparat pemerintahan yang masih mengutip dana dari guru-guru honda atau memotong anggaran-anggaran pendidikan yang digelontorkan dari pusat. Praktek-praktek semacam ini kalau masih berlangsung tidak akan bisa membenahi pendidikan kita. (Dikutip dari buku Guru Ada Guru Tiada oleh Subagio S.Waluyo) |
***
Membahas masalah pendidikan memang tidak cukup dengan satu tulisan seperti di atas. Perlu sekian banyak halaman untuk menuangkan masalah yang berkaitan dengan pendidikan. Khusus untuk masalah yang satu ini, tampaknya perlu ada tulisan berikutnya yang berkaitan dengan guru itu sendiri. Kenapa harus guru yang disorot? Jawabannya bisa disimak pada tulisan berikutnya: TOKOH KITA (8).
Sumber Gambar: