Subagio S.Waluyo

Ketika pertama kali menulis buku, buku yang ditulis oleh TOKOH KITA lebih banyak bermuatan kritik sosial. Dari sisi judul saja Menatap Bangsa Hoax: Sebuah Catatan untuk Penegakan Good Governance orang sudah bisa mengatakan buku tersebut dipastikan sarat dengan kritik sosial. TOKOH KITA mengakui buku tersebut sebagian besar, jujur saja, memang berisikan kritik sosial. Tapi, perlu dipahami dulu bahwa kritik sosial yang terdapat dalam buku tersebut tidak bertendensi menyudutkan orang, pejabat publik, atau lembaga tertentu. Kritik sosial yang dilontarkan TOKOH KITA diharapkan tidak membuat orang, pejabat publik, atau lembaga tertentu tersinggung karena TOKOH KITA tidak menyebutkan nama orang, pejabat publik, atau lembaga tertentu. Sedikit banyak TOKOH KITA memahami etika dalam menyampaikan gagasan atau penulisan sehingga TOKOH KITA merasa aman-aman saja dalam menyampaikan kritik sosial.

Kenapa TOKOH KITA merasa aman-aman saja dalam menyampaikan kritik sosial? Ketika melakukan kritik sosial, TOKOH KITA sesuai dengan yang digariskan oleh Wikipedia Indonesia cenderung selain memberikan kritikan juga masukan, tanggapan, atau bisa juga penilaian terhadap sesuatu yang dinilai menyimpang atau melanggar nilai-nilai yang ada di dalam kehidupan masyarakat (https://id.wikipedia.org/wiki/Kritik_sosial). Jadi, TOKOH KITA bukan seperti buzzer atau yang suka nyinyir di media sosial (medsos) yang punya tendensi menyebarluaskan informasi yang berujung dengan adanya perseteruan di medsos atau yang bikin ramainya jagat medsos yang terkadang tidak bisa dipertanggungjawabkan informasi yang diberikannya. Memang, kata buzzer semula punya nilai positif karena kata tersebut digunakan untuk orang yang memanfaatkan akun sosial media miliknya dalam menyebarluaskan informasi atau melakukan, baik promosi maupun iklan dari suatu produk atau jasa pada perusahaan atau instansi Dalam perkembangannya kata buzzer mengalami perluasan makna bukan saja sebagaimana yang diuraikan di atas, tapi juga diartikan sebagai orang-orang yang menggunakan informasi yang keliru sehingga mereka melakukan manipulasi data di medsos. Tidak aneh jika mereka melaporkan konten massal, strategi berbasis data, trolling, hingga doxing. Cara-cara negatif itu dilakukan dengan  tujuan pihak tertentu    (https://www.detik.com/bali/berita/d-6556186/buzzer-adalah-pengertian-ca-ra-kerja-dan-fungsinya-sebagai-sarana-promosi). Sekali lagi perlu dijelaskan di sini, karena dalam tulisan-tulisannya tidak melakukan trolling atau doxing dan juga bukan termasuk penulis yang diperalat oleh orang/kelompok tertentu untuk menyudutkan (bahkan menjatuhkan) orang/kelompok lain, TOKOH KITA tidak pernah diserang oleh para buzzer atau diretas pemerintah walaupun di banyak tulisan memuat kritik-kritik sosial.

***

Salah satu tulisan TOKOH KITA yang terdapat di buku Menatap Bangsa Hoax: Sebuah Catatan untuk Menegakkan Good Governance kalau dicermati bisa disimpulkan bahwa isinya boleh jadi akan membikin telinga penguasa merah. Jangankan isinya, dari segi judul saja, “Kecerdasan Spiritual dan Politik Bagi-Bagi Uang” orang sudah bisa berpendapat kalau tulisan tersebut sarat dengan muatan kritik sosial. Memang benar, tulisan tersebut sarat dengan kritik sosial, tapi TOKOH KITA dalam tulisan tersebut tidak seperti buzzer yang cenderung memberi komentar yang kontroversi sehingga orang yang membacanya cenderung emosional. Justru, sebaliknya, setelah orang membaca tulisan TOKOH KITA seolah-olah mendapat pencerahan karena adanya masukan, tanggapan, dan penilaian  terhadap sesuatu yang dinilai menyimpang atau melanggar nilai-nilai yang ada di dalam kehidupan masyarakat (dalam hal ini berpolitik yang demokratis). Selain itu, tulisan TOKOH KITA tidak ada unsur memanipulasi data atau pembohongan publik. Meskipun demikian, agar pembacanya tidak penasaran, silakan saja dibaca tulisan berikut ini.

Kecerdasan Spiritual dan Politik Bagi-Bagi Uang

(2)

Rupanya, kursi parlemen telah meruntuhkan iman seorang CAD sehingga mau tidak mau harus mencederai demokrasi. Karena tergiur kursi parlemen, seorang CAD yang sehari-hari terlihat kesalehannya tiba-tiba saja mengikuti ajaran miring Machiavelli, yaitu agama hanya dijadikan alat untuk menunjukkan kepatuhan. Artinya, manusia harus mengakui bahwa agama mendidik manusia menjadi patuh. Untuk itu, siapapun yang mau menjadi penguasa (dalam hal ini termasuk CAD) agar dia sukses agama itu baginya diperlukan sebagai alat kepatuhan bukan karena nilai-nilai yang terkandung dalam agama itu sendiri. Bahkan, menurut Machiavelli yang ajarannya tanpa disadari dianut oleh jutaan penguasa dan calon penguasa (CAD) seseorang itu harus dapat bersikap sebagai seekor singa pada suatu waktu, tetapi pada waktu yang lain dia harus bisa menjadi seekor kancil (Deliar Noer dalam Pemikiran Politik di Negeri Barat, 1997:89). Menjadi seekor singa berarti dia bisa menjadi raja binatang buas. Dalam hal ini dia menjadi penguasa yang tidak mudah ditangkap karena memiliki segala-galanya. Punya uang untuk menyelesaikan segala perkara. Punya kekuatan media untuk membuat provokasi atau menjatuhkan orang lain (kalau perlu teman satu partai yang menjadi pesaingnya). Punya dukungan kekuatan lain sehingga orang tipe ini susah dijebeloskan ke hotel prodeo. Menjadi seekor kancil dia menjadi orang yang tidak mudah ditangkap karena salah satu kelebihan kancil tidak mudah diperangkap. Orang tipe ini sudah menyiapkan diri agar tidak mudah dijebloskan ke hotel prodeo karena kepiawaiannya untuk berdebat atau berdalih. Dia sudah siapkan segala hal yang bisa menyelamatkan dia dari segala tuduhan dengan data-data yang diperkirakan bisa mematahkan argumen orang. Tiba-tiba saja orang sesaleh dia menjadi manusia paling licik dan bengis. Naudzubillahi min dzaalik.

Orang yang saleh seharusnya bukan hanya menunjukkan kepatuhannya ketika dia beribadah pada Allah. Dia juga harus bisa menunjukkan kepatuhannya dalam praktek kehidupannya sehari-hari termasuk dalam melakukan kerja-kerja mengurus negara (berpolitik). Dalam kehidupan berpolitik seorang yang benar-benar mengaku saleh sudah seharusnya mempraktekkan nasihat Ibnu Khaldun bahwa dia harus memiliki sifat adalah. Artinya, dia harus bersikap jujur, berpegang pada prinsip keadilan, dan mempunyai sifat-sifat moral yang baik sehingga kata-katanya dapat dipegang dan ucapannya dipercaya (Deliar Noer, 1997:73). Kalau ada CAD demi melenggangkan dirinya untuk bisa ke parlemen diawali dengan praktek politik bagi-bagi uang, berarti CAD tipe ini tidak memiliki sifat adalah. Kalau anggota-anggota dewan terhormat yang duduk di parlemen tidak memiliki sifat adalah, berarti mereka memiliki sifat singa dan kancil? Apa jadinya negeri ini kalau di tubuh parlemen dihuni oleh sekian banyak orang yang berperilaku singa dan kancil? Apa jadinya kalau negeri ini diisi oleh anggota dewan terhormat yang maruk kekuasaan (singa itu jenis binatang yang mau disebut raja binatang buas yang maruk kekuasaan) dan licin (penuh tipu daya) seperti kancil? Jawabannya singkat saja, negeri ini cepat atau lambat akan terperosok ke dalam jurang kehancuran. Negeri ini akan bangkrut. Bukankah memang sudah ada indikasi ke arah sana kalau beberapa kota dan kabupaten di negeri ini tergolong bangkrut?

(3)

Berdasarkan uraian di atas sudah jelas kalau CAD yang melakukan praktek-praktek kotor berpolitik dengan membagi-bagi uang punya kontribusi untuk menghancurkan sekaligus membangkrutkan negeri ini. Mereka-mereka ini yang terlihat orang-orang saleh, yang dari luar tampak ketawadhuannya, sebenarnya adalah orang-orang cerdas yang tidak memiliki kecerdasaran spiritual. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual adalah orang yang memiliki kecerdasan tertinggi setelah kecerdasan jamak (yang terdiri dari tujuh kecerdasan: kecerdasan linguistik, logikal matematika,musik, kinestetik, spasial, interpersonal, dan intrapersonal), kecerdasan natural, dan kecerdasan eksistensial. Karena merupakan kecerdasan tertinggi, orang yang memiliki kecerdasan spiritual mampu memaknai hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, dan penderitaan yang dialaminya. Dengan demikian, orang yang memiliki kecerdasan spiritual mampu membangkitkan jiwa dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif (Filia Rachmi dalam “Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual, dan Perilaku Belajar terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi”, skripsi Universitas Diponegoro, 2010:30). Untuk itu, orang yang memiliki kecerdasan spiritual memiliki ciri-ciri di antaranya: 1. memiliki kesadaran diri; 2. memiliki visi; 3. bersikap fleksibel; 4. berpandangan holistik; 5. melakukan perubahan; 6. sumber inspirasi; dan 7. refleksi diri. (Filia Rachmi, 2010:33-34)

Dengan melihat ketujuh ciri yang ada pada orang yang memiliki kecerdasan spiritual, bisa dikatakan bahwa orang yang melakukan praktek bagi-bagi uang ketika berpolitik berarti orang tersebut tidak memiliki kesadaran diri. Orang seperti itu juga sudah bisa dipastikan tidak memiliki visi karena orang yang memiliki visi tidak akan mungkin mau melakukan tugas mulia ketika memulainya dengan kerja-kerja yang jelas-jelas haram dan di mata masyarakat juga dianggap hina. Orang yang melakukan money politic adalah orang yang tidak dapat memandang kehidupan yang lebih besar, orang yang tidak mau melakukan sesuatu memulainya dengan kesengsaraan, atau boleh juga orang yang buta dari mencari makna di balik kehidupan yang semu ini. Orang yang telah mencederai demokrasi dengan praktek-praktek money politic adalah orang yang tidak mau melakukan perubahan. Orang jenis ini akan terpenjara oleh status quo karena memang orang jenis ini tidak ada keinginan bekerja melawan status quo. Orang yang mempraktekkan money politic dalam pemilu pileg saat ini adalah orang yang tidak akan mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang lain. Selain itu, mereka juga tidak akan memiliki gagasan-gagasan besar. Terakhir, orang jenis ini tidak akan bisa melakukan refleksi diri. Artinya, orang yang mau menjadi anggota terhormat sebagai wakil rakyat di parlemen yang melakukan praktek money politic adalah orang yang tidak akan mau dan mampu untuk mengintrospeksi dirinya. Jangan-jangan orang seperti ini tidak pernah berupaya untuk melihat dan merenungkan tentang dirinya? Jangan-jangan juga tidak/kurang mengenal siapa yang menciptakan dirinya? Bukankah memang ada sebuah ungkapan yang menyatakan “siapa yang mengenal diri sendiri, maka dia akan mengenal Tuhannya?”.

(4)

Orang yang melakukan praktek-praktek kotor dalam berpolitik dengan bagi-bagi uang jelas-jelas selain telah mencederai demokrasi juga telah mencederai nilai-nilai agama. Bukankah orang seperti itu perlu dipertanyakan tentang akidahnya? Bagaimana tidak dipertanyakan akidahnya kalau dia jangan-jangan tidak mengenal siapa dirinya dan juga jangan-jangan dia tidak mengenal Tuhannya? Kalau dia mengenal keberadaan dirinya dan keberadaan Tuhannya, dia tidak akan menipu sesama manusia dan Tuhannya dengan bagi-bagi uang untuk melancarkan urusannya. Ajaran agama manapun tidak akan mungkin membolehkan seorang umatnya melakukan cara-cara yang tidak terpuji hanya untuk meraih kursi di lembaga terhormat di negeri ini. CAD yang mempraktekkan politik kotor dengan bagi-bagi uang bisa digolongkan sebagai CAD yang terperdaya oleh syahwat politik. Agar tidak terjerumus untuk menyalurkan hasrat syahwat politik dalam berpolitik, para CAD yang akan menjadi wakil rakyat di lembaga terhormat di negeri ini selayaknya tidak melakukan praktek-praktek bagi-bagi uang.

Seandainya ada ahli agama yang menghalalkan money politic, ahli agama seperti ini perlu dipertanyakan keilmuan dan kesalehannya. Kalau memang benar si `orang ahli agama itu` bisa menunjukkan dalil-dalil yang masuk di akal bahwa dibolehkannya melakukan money politic, suatu saat jika negeri ini mengalami kebangkrutan atau kehancuran, si `ahli agama itu` harus berani bertanggung jawab. Sang `ahli agama` itu harus berani ambil resiko jika dia harus berhadapan dengan pengadilan sekalipun karena fatwa-fatwanya telah merusak perilaku bukan saja anggota-anggota dewan terhormat, tetapi juga telah menumbuhkembangkan perilaku pragmatis yang jelas-jelas telah menjerumuskan orang ke syahwat politik. Orang seperti ini bisa rugi dua kali, di dunia dia akan dituding-tuding oleh banyak orang sebagai penghancur negara dan di akhirat dia mau tidak mau akan diadili di mahkamah tertinggi, pengadilan Allah.

Tulisan di atas lebih merupakan refleksi yang diperoleh TOKOH KITA setelah menyaksikan sebuah tayangan di TV One dalam acara Indonesian Lawyer Club (ILC). Salah seorang narasumber, Sebastian Salang, menantang para peserta yang umumnya dari para pengurus parpol untuk mengangkat tangannya kalau partainya tidak melakukan politik bagi-bagi uang, tidak ada satu pun di antara para peserta yang berani mengangkat tangannya. Kalau begitu, sudah bisa disimpulkan bahwa fenomena praktek politik bagi-bagi uang telah dilakukan oleh semua parpol. Dari situ kemudian TOKOH KITA mencoba menuangkan gagasannya ke dalam sebuah tulisan. Jadilah tulisan di atas yang menggambarkan bahwa mereka-mereka yang terlibat aktif di partai politik (parpol) tidak memiliki kecerdasan spiritual karena kalau memang memilikinya tidak mungkin mereka melakukan kegiatan yang justru sangat mencederai demokrasi: politik bagi-bagi uang. Jadi, wajar saja kalau negara ini seperti yang terdapat di gambar mural di atas disebut sebagai negara yang sakit sehingga sangat tidak wajar kalau memaksakan kehendaknya pada rakyatnya untuk sehat. Bukankah suatu yang ironis kalau rakyatnya dipaksa sehat sementara negaranya sakit?

***

Masih dari buku yang sama, tulisan berikut ini dari segi judul juga cukup seram “Pemekaran Daerah dan Pemekaran Korupsi.” Sama seramnya dengan karikatur di atas yang menggambarkan, baik yang namanya penguasa maupun pengusaha di masa otonomi daerah seperti sekarang ini keduanya memperoleh keuntungan. Sementara rakyat tetap saja menderita. Karena itu, kalau ada pemekaran daerah yang diuntungkan kedua kelompok tersebut: penguasa dan pengusaha. Konspirasi kedua kelompok tersebut (orang sebut sekarang sebagai oligarki), tidak akan menjamin terlaksananya peningkatan kesejahteraan rakyat. Justru, yang terjadi makin menganganya jurang antara orang kaya dan miskin. Tulisan TOKOH KITA yang menyoroti hal tersebut bisa dilihat pada teks berikut ini.

 Pemekaran Daerah dan Pemekaran Korupsi

……………………………………………………………………………………………………………………………

Penguasa (termasuk di dalamya kalau di daerah anggota dewan) punya hubungan yang erat dengan pengusaha (menurut Samodra Wibawa dalam Mengelola Negara, 2012:125). Hubungan tersebut sudah dijalin semenjak berkampanye sampai akhirnya sang gubernur, walikota/bupati, dan anggota dewan terpilih. Tidak mustahil pada saat anggota  dewan yang demikian getol (termasuk ke dalamnya calon pengusaha yang bernama calon gubernur, walikota/bupati) ketika ramai-ramai mendesak pemerintah pusat untuk menggolkan rencana mereka untuk melakukan pemekaran daerah. Dari awal kerja-kerja mereka (termasuk ke dalamnya melibatkan masyarakat `bayaran`) jelas-jelas dilakukan dengan cara-cara yang cenderung pemaksaan atau ada kecenderungan berbau intimidasi. Bahkan, bisa-bisa saja mereka melakukan praktek-praktek anarkis untuk menggolkan rencana-rencana yang berbau syahwat politik/kekuasaan. Praktek-praktek anti KKN yang di awal-awal reformasi sempat dijadikan jargon oleh sebagian besar anak bangsa ini diabaikan. Jadi, sejak dari awal kerja-kerja mereka sudah berlumuran dengan prakter-praktek kotor yang bertentangan dengan semangat reformasi.

Memang mereka menggunakan cara-cara cerdas yang seolah-olah bisa diterima oleh akal sehat, misalnya mereka beralasan bahwa diperlukannya pemekaran daerah mengingat letak daerah yang mau dimekarkan sangat jauh dengan ibukota provinsi atau jumlah penduduknya sudah memadai (walaupun juga ditemukan ada daerah pemekaran yang penduduknya hanya 12.000 orang) atau selama ini daerah yang mau dimekarkan kurang mendapat perhatian hal ini dapat dibuktikan dengan pembangunan yang kurang merata. Berbagai argumen bisa mereka kemukakan untuk menggolkan rencananya. Dalam hal ini mereka juga tidak segan-segan berhubungan dengan pemerintah pusat (terutama anggota dewan dari daerah mereka) untuk melanggengkan rencananya. Alhasil, dari sekian banyak pengajuan selama ini tampaknya permintaan mereka sebagian besar dikabulkan. Bagaimana setelah rencana pemenuhan syahwat politik mereka itu dikabulkan? Apakah benar-benar bisa memecahkan masalah sesuai dengan argumen mereka ketika mengajukan usulan pemekaran daerah?

Pemekaran daerah di era otonomi daerah ternyata menimbulkan berbagai masalah dan seringkali ternodai oleh berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu yang berdampak pada konflik masyarakat. Di sisi lain, pemekaran daerah yang diprakarsai elit-elit politik (penguasa dan pengusaha) ternyata juga tidak menjamin adanya perbaikan kesejahteraan rakyat. Hal itu bisa dibuktikan sebagian besar daerah-daerah yang telah dimekarkan ternyata tidak banyak mengalami perubahan dalam hal penyediaan pelayanan publik yang lebih baik; percepatan pertumbuhan ekonomi penduduk setempat; dan penyerapan tenaga secara lebih luas. Justeru sebaliknya yang terjadi adalah adanya agenda-agenda personal terselubung yang di antaranya dimotivasi oleh obsesi daerah untuk memperoleh kucuran dana dari pusat yang berujung pada korupsi. Oleh karena itu bukanlah hal yang aneh kalau pengusaha-pengusaha yang diberi tender oleh penguasa melakukan rekayasa anggaran untuk proyek-proyek pembangunan dengan cara menipu; mengurangi kualitas; proyek yang dibangun tidak sesuai dengan yang direncanakan dan dilaporkan sehingga proyek bermutu rendah, cepat rusak, dan tidak memperoleh hasil yang maksimal. Semua itu dilakukan karena pengusaha harus memberikan fee, cashback, atau komisi pada penguasa. Selain memberikan imbalan fisik, penguasa (karena diintervensi oleh pengusaha) membuat kebijakan atau peraturan yang menguntungkan pengusaha. Dengan demikian sangat layak kalau pemekaran daerah itu melanggengkan budaya korupsi atau pemekaran korupsi.

****

Kalau negara ini bobrok, wajar-wajar saja karena masih banyak manusia Indonesia yang memiliki syahwat politik. Mereka lebih mengedepankan syahwat politik daripada hati nurani. Mereka walaupun mengaku pembela rakyat kecil, yang bersedia mensejahterakan rakyat kecil, dan menggunakan embel-embel sebagai pahlawan reformasi sebenarnya adalah manusia-manusia berperilaku setan yang harus disembelih perilaku kebinatangan atau kesetanannya. Walaupun pemerintah pusat pernah memberlakukan moratorium untuk menghambat pertambahan pemekaran daerah tetap saja tuntutan syahwat politik yang dibungkus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat tidak pernah padam dari hawa nafsu mereka. Solusi untuk itu tidak cukup dengan pemerintah pusat memberlakukan aturan-aturan tentang moratorium dan sebagainya. Solusinya adalah penegakan hukum secara benar dan adil pada pelaku-pelaku pemenuhan nafsu syahwat politik untuk memberikan hukuman yang setimpal. Kalau ada tokoh-tokoh politik yang dikenakan hukuman pemiskinan dengan menyita semua kekayaannya karena diduga melakukan praktek-praktek korupsi melalui penyuapan (walaupun baru dugaan) semestinya juga diberlakukan pada semua orang yang telah jelas-jelas merugikan negara. Tetapi, kalau lembaga-lembaga negara saja seperti MK sudah bisa disogok (bagaimana pula dengan KPK?) bagaimana kondisi negara ini di masa depan?

***

Memasuki masa-masa reformasi, memasuki masa-masa orang merasa bebas menyampaikan aspirasinya. Orang bebas menyampaikan sesuatu yang selama ini mengganjal hati nuraninya manakala melihat demikian banyak ketimpangan sosial yang ada di sekitarnya. Siapapun tidak ada larangan yang mengatur orang tidak diperbolehkan menyampaikan kritik sosial. Jika dengan adanya kritik sosial terjadi perubahan sosial yang mengarah pada kebaikan, apakah kritik sosial itu harus dibungkam? Sepanjang kritik sosial itu lebih cenderung sebatas memberikan kritik, masukan, tanggapan, dan penilaian, apa salahnya untuk disampaikan? Berkaitan dengan kritik sosial, tulisan yang berisikan kritik sosial masih bersambung di TOKOH KITA (10).

  1. (https://yoursay.suara.com/kolom/2021/08/20/180110/aksi-seni-mural-harus-dinilai-sebagai-kritik-sosial)
  2. (http://janganhalauperubahan.blogspot.com/2011/04/salah-arah-otonomi-daerah.html)

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *