Subagio S.Waluyo
Samodra Wibawa (Guru Besar UGM) menyampaikan bahwa administrasi publik adalah disiplin yang sangat terbuka. Orang bisa menulis apapun, dan mengklaimnya sebagai bidang administrasi publik–sepanjang tulisan tersebut memberikan iuran pemikiran tentang perbaikan kualitas hidup masyarakat (Samodra Wibawa, Reformasi Administrasi: Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara, 2005:v). Jadi, semua tulisan yang isinya mengarah pada perbaikan kualitas hidup masyarakat bisa dimasukkan ke dalam bidang administrasi publik. Kalau begitu, bagaimana dengan tulisan-tulisan TOKOH KITA yang juga mengarah pada perbaikan kualitas hidup masyarakat yang terdapat di Menatap Bangsa Hoax: Sebuah Catatan untuk Penegakan Good Governance? Kalau mengacu pada pendapat Samodra Wibawa di atas, jelas tulisan-tulisan TOKOH KITA sah-sah saja diklaim sebagai tulisan-tulisan yang masuk bidang administrasi publik. Meskipun demikian, yang perlu dicatat di sini tidak semuanya bisa diklaim ke dalam bidang administrasi publik karena bisa saja tulisan-tulisan tersebut lebih kental unsur budayanya daripada unsur perbaikan kualitas hidup masyarakatnya.
***
Tulisan yang mengarah pada perbaikan kualitas hidup masyarakat bisa dimasukkan ke dalam bidang administrasi publik. Dalam hal ini bisa diambil contoh, seorang penulis yang menyampaikan masalah penyakit sosial yang melanda negeri ini yang kemudian diteruskan dengan melakukan analisis dengan mencari faktor penyebabnya. Penulis itu juga memprediksi yang akan terjadi dengan semakin masifnya penyakit sosial yang melanda sebuah negara. Bukan itu saja, di tulisan itu sang penulis juga menyampaikan gagasannya bahwa untuk memecahkan masalah sosial harus dilakukan secara ilmiah. Untuk itu, penulis tersebut mengingatkan bahwa memecahkan masalah sosial harus dimulai dari riset ilmiah. Dari hasil riset ilmiah baru dilakukan langkah-langkah konkret memecahkan masalah sosial. Berbicara tentang masalah sosial yang dihadapi negara ini bisa dilihat pada petikan tulisan berikut ini.
Masyarakat Punya Masalah (2) ……………………………………………………………………………………………………………………………. Salah satu cara penguatan reformasi birokrasi adalah revisi undang-undang yang berkaitan dengan Aparatur Sipil Negara. Berkaitan dengan ASN atau PNS sebenarnya di masa reformasi telah dua kali mengalami perubahan undang-undang, yaitu UU nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Meskipun demikian, masih saja ada kesan bahwa di negara ini dalam menempatkan ASN belum sesuai dengan prinsip the right person on the right place. Wajar saja kalau di negara ini mengalami kemunduran reformasi birokrasi. Sebagai bukti prinsip the right person on the right place belum diterapkan sepenuhnya, yaitu masih adanya tenaga honorer K2 diangkat menjadi PNS tanpa seleksi. Boleh saja tenaga honorer K2 diangkat menjadi PNS tapi perlu mengedepankan kualitas dan kompetensi. Artinya, biar bagaimanapun tetap dilakukan proses seleksi. Dengan melakukan seleksi ketat diharapkan efektivitas pemerintah akan lancar dan reformasi birokrasi akan mengalami kemajuan. Birokrasi yang bersih dari korupsi merupakan kehendak masyarakat. Masyarakat juga berkehendak agar birokrasi seusai dengan tugas utama yang diembannya, yaitu menjalankan roda pemerintahan dengan baik dan sebagai struktur bisa menjamin kelancaran pemerintahan. Gambaran birokrasi yang lamban, yang membosankan, yang rutin, yang buruk, yang rumit prosedur, atau yang stagnan lambat-laun bisa dihilangkan. Selain itu, birokrasi itu identik dengan inefisiensi organisasi juga bisa berganti dengan birokrasi yang efisien sehingga prinsip-prinsip good governance bisa diwujudkan di negara ini. Untuk bisa mewujudkannya tidak cukup dengan merevisi regulasi yang berkaitan dengan ASN, tetapi juga ada keinginan kuat memperbaiki akhlak anak bangsa (termasuk ke para birokrat). Dalam hal ini penyakit-penyakit mental bangsa, seperti mental ABS, mental tidak menghargai waktu, mental meremehkan mutu, mental tidak bertanggung jawab, dan fatalis harus dihilangkan. Untuk menghilangkannya tidak ada cara lain kecuali lewat pendidikan karakter. Dengan pendidikan karakter yang salah satunya berlandaskan nilai-nilai agama diharapkan kita bisa mewujudkan birokrasi yang bersih, birokrasi yang dikehendaki masyarakat. Korban birokrasi yang tidak bersih berakibat fatal. Salah satu di antaranya adalah kekurangmerataan pembangunan. Sejak rezim orde baru mencanangkan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I pada 1 April tahun 1969 Pemerintah Indonesia mulai melaksanakan pembangunan di berbagai daerah. Perlu diketahui Pelita I dimulai 1 April 1969 dan berakhir pada 31 Maret 1974. Seterusnya sampai dengan Pelita VI yang direncanakan baru berakhir pada 31 Maret 1999, tetapi karena terjadi krisis ekonomi, Pelita VI boleh dikatakan mandeg di tengah jalan (http://www.donisetyawan.com/ pembangunan-lima-tahun-pelita/). Di masa reformasi pembangunan baru bisa dimulai di masa Pemerintahan Megawati karena di masa Habibie dan Abdurrahman Wahid selaku presiden lebih memfokuskan pada kestabiltan politik dan keamanan meskipun masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pengendalian inflasi, kinerja BUMN, pemulihan ekonomi, dan mempertahankan kurs rupiah mendesak untuk dilakukan (http://www. markijar.com/2017/ 07/ pembang- unan-nasional-masa-orde-lama. html.) Ada orang berpendapat pembangunan ala orde baru dan reformasi sebenarnya sama saja, yaitu sama-sama menggunakan pendekatan yang digunakan Rostow, yaitu pertumbuhan ekonomi. Karena pembangunan diarahkan ke pertumbuhan ekonomi, wajar-wajar saja kalau pembangunan yang berorientasi pada unsur kejiwaan dan mental bangsa terabaikan. Hal itu terjadi dalam teori Rostow pembangunan atau modernisasi merupakan proses bertahap dari masyarakat tradisional sampai dengan tahap terakhir, yaitu masyarakat modern dengan konsumsi tinggi (masyarakat konsumtif). Dengan demikian, sudah bisa disimpulkan bahwa pembangunan yang dicanangkan oleh rezim orde baru dan reformasi adalah pembangunan ekonomi yang mengarah bukan hanya pada perubahan ekonomi yaitu dari agraris ke industri tetapi juga perubahan di bidang sosial, budaya, politik, ekonomi, dan kalau memungkinkan agama. Karena itu, kalau masyarakat kita setelah pembangunan baik orde baru maupun yang masih berjalan, reformasi, orientasi hidupnya cenderung materialistis lebih disebabkan oleh teori pembangunan yang digunakan, yaitu pembangunan ekonomi ala teori Rostow. Pembangunan infrastruktur juga tampaknya menjadi prioritas utama pemerintah kita saat ini. Pembangunan yang mengarah pada mencerdaskan anak bangsa boleh dikatakan masih kurang. Banyak anak bangsa kita yang boleh dikatakan sebagian besar masih buta sains dan teknologi. Padahal perkembangan sains dan teknologi demikian pesat. Selain itu, belum terjadi pemerataan pembangunan di negara ini. Artinya, masyarakat kita belum semuanya menikmati hasil pembangunan. Pembangunan yang tidak merata dikhawatirkan akan menimbulkan disintegrasi bangsa. Perlu juga diketahui sejak negara ini mengimplementasi otonomi daerah yang disertai dengan semangat desentralisasi tidak semua daaerah mempunyai potensi yang sama. Ada daerah yang berlebih potensi daerahnya, ada juga yang boleh dikatakan minus sehingga tingkat pembangunan di setiap daerah boleh dikatakan tidak merata. Kalau pemerintah pusat tidak bijak menyikapinya, akan terjadi ketimpangan pembangunan. Jangan-jangan yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan pembangunan akan menghasilkan daerah yang kaya makin kaya, daerah yang miskin makin miskin. Kalau sudah begitu sama seperti yang terjadi pada manusia, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin (https://www.kompasiana. com/sang_bima/5cde680 76db8434b811 a 557a/21-tahun-reformasi-pem-bangunan-masa-depan-bangsa-belum-selesai? page=all). (Dikutip dari buku: Kota Gigantisme: Produk Bangsa Berperilaku Degil, 2022: 203—206) |
Tulisan di atas mengangkat masalah di seputar birokrasi yang bersih dari korupsi. Selain itu, juga diangkat masalah gagalnya pembangunan yang berakibat munculnya kemiskinan. Patologi birokrasi disadari atau tidak berakibat pada munculnya korupsi. Jadi, kalau korupsi marak di mana-mana, boleh jadi disebabkan oleh adanya patologi birokrasi. Di samping itu, patologi birokrasi berakibat pada gagalnya pembangunan. Kalau pembangunan mengalami kegagalan, dengan sendirinya akan terjadi adanya peningkatan angka kemiskinan. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa ada korelasi antara patologi birokrasi dengan gagalnya pembangunan dan kenaikan angka kemiskinan. Untuk itu, agar tidak terjadi peningkatan angka kemiskinan, diperlukan adanya birokrasi yang bersih dari korupsi.
***
Tulisan berikut ini kalau dilihat dari judulnya (“Menyoal tentang Fals”) orang bisa mengatakan jauh dari bidang administrasi publik atau kebijakan publik. Sah-sah saja kalau ada yang mengatakan demikian. Tapi, coba ditelusuri isi tulisannya, apakah memang tidak berkaitan dengan bidang administrasi publik atau kebijakan publik? Ternyata, kalau dibaca secara teliti (boleh juga kritis), di tulisan itu terdapat kata-kata yang berkaitan dengan pemimpin atau kepemimpinan. Berbicara tentang kepemimpinan bukankah juga merupakan ranah administrasi publik? Memang, sepintas orang akan terkecoh kalau hanya melihat judulnya. Sebagai insan akademis ketika berhadapan dengan jenis tulisan seperti ini tidak bisa kita langsung berkesimpulan bahwa tulisan tersebut masuk ke dalam ranah kebudayaan. Di sini TOKOH KITA menuntut pada pembacanya agar membacanya secara kritis. Salah satu kelemahan kita yang sering dijumpai adalah adanya kecenderungan di kalangan kita ketika berhadapan dengan sebuah bacaan cukup membaca judulnya. Sementara itu, isi tulisannya hanya dibaca sepintas. Tulisan TOKOH KITA kali ini akan lebih baik jika kita membacanya secara kritis.
Menyoal tentang Fals ……………………………………………………………………………………………………………………………. Berkaitan dengan fals yang menjadi judul tulisan ini, di kalangan pemimpin, entah pemimpin kelas paling rendah sampai yang paling tinggi juga banyak didapati pemimpin yang fals. Pemimpin fals yang dimaksud di sini bukan pemimpin tukang kritik, tapi pemimpin yang perilakunya tidak mengenakkan atau menyimpang dari kualitas kepemimpinan sehingga sang pemimpin ketika menjalankan kepemimpinannya tidak amanah. Menurut Tjipta Lesmana (Efriza, Kekuasaan Politik-Perkembangan Konsep, Analisis dan Kritik, 2016:203-206) ada sebelas kualitas yang dimiliki seorang good leader. Kalau salah satu kualitas itu tidak dimiliki, dia termasuk pemimpin yang fals. Siapa itu pemimpin yang fals? Siapa lagi kalau bukan pemimpin yang tidak punya keteladanan. Anak buah yang baik merupakan buah dari pemimpin yang punya keteladanan. Kalau pemimpinnya `brengsek`, dijamin anak buahnya bisa-bisa lebih `brengsek`. Bukankah ada peribahasa `guru kencing berdiri, murid kencing berlari`? Jadi, tidak usah aneh kalau kita melihat dalam keseharian kita ada karyawan atau pegawai yang melayani orang seperti `pilih-pilih tebu` alias pilih-pilih orang karena sang pemimpin telah memberikan contoh yang sama. Pemimpin yang tidak punya percaya diri (bahasa gaulnya pede) juga tergolong pemimpin yang fals. Pemimpin yang tidak pede biasanya ketika mengambil keputusan ambigu atau penuh keraguan. Repot kalau punya pemimpin penuh keraguan. Tidak berani menghadapi risiko. Padahal yang namanya pemimpin memang harus berani menghadapi berbagai risiko. Pemimpin yang berani menghadapi risiko sebelum memutuskan sesuatu dia perlu menganalisis secara cermat permasalahan yang dihadapi baik oleh bawahannya atau yang menyangkut organisasi yang dipimpinnya. Dia juga perlu mengumpulkan data dan informasi yang akurat yang berkaitan dengan masalah yang mau diputuskan. Setelah semua itu sudah terpenuhi, barulah dia mengambil keputusan. Keputusan yang sudah dikeluarkan agar dia bisa menunjukkan diri sebagai orang yang punya keteladanan harus dipegang teguh. Jangan sampai keputusan yang sudah dikeluarkan masih bisa ditarik ulur seperti pasal-pasal karet yang biasa dimainkan di pengadilan. Selain berani menanggung risiko, pemimpin juga harus kapabel atau punya kompetensi tertentu. Sebagai pemimpin dia tidak boleh seperti boneka yang begitu gampang disetir orang. Kalau ada pemimpin gampang diatur oleh orang lain (sampai-sampai bawahannya pun ikut mengatur sang pemimpin), berarti dia tidak punya kompetensi. Pemimpin yang tidak punya kompetensi walaupun bisa bertahan lama, selama dia memimpin dijamin kata-katanya atau keputusan-keputusannya tidak akan dihiraukan orang. Semua ucapannya hanya `masuk telinga kanan keluar telinga kiri`. Tidak ada yang masuk sama sekali. Karena itu, seorang pemimpin juga harus konsisten. Dia tidak boleh bertele-tele. Kalau sudah mengambil keputusan harus konsisten dilaksanakan. Pemimpin-pemimpin besar seperti Ronald Reagan atau Margaret Thatcher yang diberi gelar `Iron Lady` adalah contoh orang-orang yang konsisten. Hancurnya sebuah organisasi besar, termasuk ke dalamnya daerah atau negara sekalipun, dimulai dari pemimpin yang tidak konsisten. Ketika pemimpin yang `mencla-mencle` berhadapan dengan pengusaha bisa diajak kompromi agar keputusan yang telah dikeluarkannya ditinjau kembali, saat itu juga tanpa disadari dia telah punya saham menghancurkan baik dirinya sendiri maupun organisasi yang dipimpinnya. Banyak bukti yang bisa dibeberkan di sini yang tampaknya tidak perlu dibeberkan karena semua orang bisa menemukan sendiri bukti-buktinya. Tapi, agar tidak penasaran gambar di bawah ini lebih merupakan representasi yang sudah menjadi fenomena bahwa pemimpin-pemimpin di negara ini mau berkompromi dengan pengusaha. Dia menjadi fenomena karena masalah kompromi antara penguasa dan pengusaha terjadi di hampir semua daerah di negara ini. Apa yang diharapkan kalau kepala daerah sebagai penguasa daerah yang dipimpinnya berkompromi dengan pengusaha? Wajar-wajar saja kalau akhirnya banyak masyarakat yang tahu kalau pemekaran daerah lebih merupakan kesempatan bagi-bagi kekayaan (`bancakan`) antara penguasa dan pengusaha. Kalau sudah seperti itu, tentu saja penguasa itu akan mudah diatur oleh pengusaha. Silakan diperhatikan gambar berikut ini. ( https://images.app.goo.gl/Ud26uZ8hQhnaurAf9 ) Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak melarikan diri dari permasalahan. Artinya, sang pemimpin yang berani siap mengambil risiko, mempunyai motivasi yang kuat untuk menyelesaikan berbagai masalah. Dia tidak boleh melarikan diri dari masalah yang dihadapi. Dia juga tidak boleh menjadi pemimpin yang bertipe hit and run. Hanya berani melempar masalah, setelah ada masalah dia berusaha `lempar batu sembunyi tangan`. Ini tipe pemimpin pengecut. Ada masalah di daerahnya yang disalahkan orang lain atau mencari-cari kesalahan orang lain. Dia tidak sadar bahwa dia telah terjebak kalau `gajah di depan mata tidak terlihat, tapi kutu di seberang pulau terlihat`. Tipe pemimpin seperti ini adalah tipe pemimpin yang suka mencari-cari kesalahan orang lain. Tipe pemimpin seperti ini biasanya otaknya tidak pernah dipakai untuk berpikir analitis. Dia lebih biasa pakai otot walaupun seringkali pakai otot orang lain dalam bentuk kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Kalau dia bisa berpikir analitis semua permasalahan bisa diselesaikan. Tapi, kalau sudah pakai otot bukan otak untuk berpikir analitis yang terjadi apalagi kalau bukan penumpukan permasalahan. Tipe pemimpin seperti ini juga tidak aneh kalau sering menyalahkan anak buah setiap kali ada permasalahan. Dia kerap kali mencari kambing hitam. Dia tidak sadar bahwa kesalahan anak buah sebagai pemimpin yang bermoral adalah tanggung jawabnya untuk menyelesaikannya. Pemimpin yang baik bukan pemimpin yang ber-IQ tinggi yang dibuktikan dengan prestasi akademik yang meyakinkan, punya gelar sarjana `bererot`. Bahkan, kalau perlu ada embel-ember profesor di depan gelar kesarjanaannya supaya orang merasa segan berhubungan dengannya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa mengendalikan emosinya. Pemimpin yang kaya akan spiritualnya. Pemimpin seperti ini banyak dekat pada Sang Pencipta. Pemimpin seperti ini bisa dipastikan adalah pemimpin yang menunjukkan di hadapan Sang Pencipta sebagai makhluk lemah,yang selalu basah bibirnya dengan dzikir. Di dua pertiga malam terakhir, dia selalu sholat tahajud dan menangis karena mengingat dosa-dosanya. Dijamin kalau ada pemimpin seperti ini bukan saja dia bisa mengendalikan diri ketika menghadapi bawahan yang `ngeyel` tapi juga berupaya melakukan introspeksi diri tentang perilaku bawahannya yang terkadang sedikit menjengkelkan. Berhadapan dengan bawahan yang `ngeyel` dia tidak menyelahkannya, dia justru introspeksi diri, jangan-jangan memang ada yang salah dalam dirinya. Selain melakukan introspeksi diri, pemimpin yang baik tentu juga memiliki empati pada bawahannya. Dia bukan saja menyenangkan orang sesaat ketika ada uang berlebih, tapi dia bisa merasakan yang dirasakan bawahannya. Kalau suatu saat salah seorang bawahannya mengeluh tentang rumah tangganya karena anak-anaknya yang sekolah belum dilunasi pembayaran sekolahnya, tanpa diminta dia sudah langsung berbuat. Itu tandanya pemimpin yang punya empati. (Dikutip dari buku: Kota Gigantisme: Produk Bangsa Berperilaku Degil, 2022: 342—347) |
***
Kedua tulisan yang dijadikan contoh dalam “TOKOH KITA (15) ini memperkuat argument Samodra Wibawa bahwa semua tulisan yang memberikan kontribusi dalam perbaikan kualitas hidup masyarakat termasuk dalam kategori bidang administrasi publik. Tidak bisa dibenarkan kalau ada orang yang mengatakan bahwa TOKOH KITA hanya seorang yang punya kemampuan di bidang bahasa (dalam hal ini bahasa Indonesia) dan kebudayaan. Dengan menulis buku yang berkaitan dengan pelayanan publik: Membedah dan Membenahi Pelayanan Publik yang tak Kunjung Usai bisa dibuktikan bahwa anggapan itu tidak bisa dibenarkan. Di samping itu, tulisan-tulisan TOKOH KITA di seputar masalah-masalah sosial jika dibaca secara kritis ternyata bisa dimasukkan ke dalam bidang administrasi publik dan kebijakan publik. Oleh karena itu, ketika kita berhadapan dengan sebuah literasi biasakan untuk membaca tuntas dan (tentu saja) kritis. Dengan membaca tuntas dan kritis, kita tidak akan cepat mengambil kesimpulan yang kurang tepat.