Subagio S.Waluyo
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau. (Dikutip dari buku: Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 2007:19) “Apapun yang dapat diperbuat oleh seseorang itu hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya.” (Ki Hadjar Dewantoro) |
Ungkapan-ungakapan bijak di atas tampaknya akhir-akhir ini sudah mulai memudar di dunia pendidikan kita. Di dunia perguruan tinggi ada orang karena merasa sudah mencapai tingkat pendidikan tertinggi (entah sudah doktor atau profesor), ada kecenderungan memandang rendah orang lain yang tidak mencapai tingkat pendidikan tertinggi seperti dirinya. Orang seperti ini ketika ada orang yang mencoba menyampaikan pendapatnya lebih melihat siapa orangnya. Apakah orang tersebut selevel dengannya atau kebalikannya? Kalau tidak selevel atau lebih tinggi dari dirinya, dia ada kecenderungan untuk mengabaikannya. Padahal, belum tentu orang yang levelnya lebih rendah ketika berpendapat tidak memiliki nilai atau tidak bernas. Sikap merendahkan orang lain jelas menunjukkan bahwa orang tersebut bertentangan dengan ungkapan yang disampaikan, baik oleh Jujun Suriasumantri maupun Ki Hadjar Dewantoro di atas.
***
TOKOH KITA seperti pernah disampaikan di “TOKOH KITA (13)” ada orang yang mengatakan bahwa tulisan-tulisannya lebih banyak membahas tentang masalah kebahasaan, sosial, dan budaya (walaupun orang tersebut ketika menyampaikannya mengutip pendapat si pulan sebagai atasannya). Tulisan-tulisannya tidak berkaitan dengan program studi tempat TOKOH KITA selama ini mengajar di perguruan tinggi. TOKOH KITA membalasnya tidak dengan kata-kata, tapi dengan perbuatan. Hasilnya, TOKOH KITA menulis sebuah buku sebagaimana yang telah disampaikan di “TOKOH KITA (13)”. Meskipun demikian, TOKOH KITA menyayangkan pendapat si pulan tersebut karena boleh jadi si pulan kurang teliti membaca buku-buku TOKOH KITA. Kalau saja teliti membacanya, si pulan akan menemukan beberapa tulisan yang sebenarnya bersentuhan dengan administrasi publik atau kebijakan publik walaupun di tulisan tersebut tidak disampaikan secara transparan tentang konsep, baik administrasi public maupun kebijakan publik. Di buku Menatap Bangsa Hoax: Sebuah Catatan untuk Penegakan Good Governance, misalnya, TOKOH KITA bisa menunjukkan adanya tulisan yang justru berkaitan dengan maladministrasi. Coba kita simak kutipan di bawah ini.
Pembangunan Berkelanjutan…? Gagal…!Gagal! (1) Adalah Hetifah S.J. Sumarto dalam bukunya Inovasi, Partisipasi dan Good Governance (2003:6) menyatakan bahwa sistem administrasi pemerintah dan kebijakan (publik) yang buruk di banyak negara berkembang merupakan kendala utama untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (PB). Sebagai bukti dari pernyataan tersebut dikaitkan dengan hasil PB yang dilakukan oleh berbagai negara (termasuk Indonesia) beberapa waktu lalu ada yang berpendapat bahwa PB ternyata memang belum banyak berhasil. Bisa juga dikatakan kalau PB yang lebih dari dua puluh tahun yang lalu dicanangkan, ternyata mengalami kegagalan. ……………………………………………………………………………………………………………………………… Masalah gagalnya PB, terutama di negara-negara berkembang, memang benar seperti yang disampaikan Hetifah SJ Sumarto di atas. Kasus kabut asap yang kembali terulang di negara kita lebih merupakan lemahnya sistem pengawasan yang merupakan salah satu komponen sistem administrasi pemerintahan (publik). Bisa juga diakibatkan oleh kerja pemerintah kita yang cenderung tambal sulam dalam menghadapi berbagai masalah. Artinya, ketika suatu masalah bisa diselesaikan tidak pernah terpikirkan caranya supaya masalah yang baru saja diselesaikan tidak terulang kembali. Jadi, benar juga yang dikatakan Riant Nugroho dalam bukunya Policy Making (2015:34) yang menyatakan bahwa kebijakan yang dibangun di negara kita adalah kebijakan berbasis masalah. Tidak usah aneh jika kebijakan publik yang dibangun berbasis masalah ini tidak akan pernah bisa membangun masa depan dan juga tidak membawa masa depan ke hari ini. Memang, sejak pelaksanaan desentralisasi yang diwujudkan dalam bentuk penerapan otonomi daerah secara masif di seluruh pelosok negeri, negara kita serentak melaksanakannya. Sebenarnya, secara otomotis seharusnya juga sudah dilaksanakan secara masif pelibatan stakeholders `pemangku kepentingan` dalam menyelesaikan seluruh aspek yang berkaitan dengan administrasi publik yang termasuk di dalamnya tentang pengawasan. Lagi-lagi pengawasan menjadi salah satu titik terlemah dalam mengimplementasikan desentralisasi di negara ini. Apakah dalam jangka waktu lima belas tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Pemerintah Daerah, yaitu UU Nomor 22 tahun 1999, yang kemudian berganti dengan UU Nomor 32 tahun 2004, dan terakhir diganti lagi dengan UU Nomor 23 tahun 2014 masih belum cukup untuk pelibatan masyarakat sebagai pemangku kepentingan dalam pengawasan? (Dikutip dari buku: Menatap Bangsa Hoax: Sebuah Catatan untuk Penegakan Good Governance, 2019: 20 dan 23-24) |
Apakah tulisan di atas berkaitan dengan masalah kebahasaan, sosial, atau budaya? Kalau dilihat dari judul tulisannya saja, jelas tidak berkaitan dengan masalah yang disebutkan di atas. Begitu juga jika dilihat dari isi tulisannya. Di awal tulisannya jelas sekali kok, ada kutipan yang berkaitan dengan bidang administrai publik dan kebijakan publik, yaitu “Adalah Hetifah S.J. Sumarto dalam bukunya Inovasi, Partisipasi dan Good Governance (2003:6) menyatakan bahwa sistem administrasi pemerintah dan kebijakan (publik) yang buruk di banyak negara berkembang merupakan kendala utama untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (PB)”. Masih di kutipan di atas, juga ada bunyi pernyataannya: “Lagi-lagi pengawasan menjadi salah satu titik terlemah dalam mengimplementasikan desentralisasi di negara ini. Apakah dalam jangka waktu lima belas tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Pemerintah Daerah, yaitu UU Nomor 22 tahun 1999, yang kemudian berganti dengan UU Nomor 32 tahun 2004, dan terakhir diganti lagi dengan UU Nomor 23 tahun 2014 masih belum cukup untuk pelibatan masyarakat sebagai pemangku kepentingan dalam pengawasan?”. Apakah sudah bisa disimpulkan bahwa tulisan di atas tidak berkaitan dengan bahasa, sosial, dan budaya?
Coba kita perhatikan, dilihat dari judul bukunya saja (lihat cover buku di atas) sudah bisa disimpulkan kalau buku tersebut berkaitan dengan kebijakan publik dan maladministrasi (masuk ke dalamnya masalah pembangunan). Memang, ada masalah-masalah sosial-budaya tapi tidak semua tulisan yang ada di buku tersebut berkaitan dengan sosial-budaya. Pimpinan fakultas TOKOH KITA terdahulu (boleh juga disebut mantan pimpinan fakultas) justru meminta TOKOH KITA mengajar mata kuliah Pendidikan Antikorupsi karena buku tersebut di banyak tulisan berkaitan dengan korupsi. Mata kuliah Pendidikan Antikorupsi justru di universitas tempat TOKOH KITA mengabdi sampai saat ini belum diajarkan di fakultas-fakultas lain. Jadi, pandangan mantan pimpinan fakultas TOKOH KITA benar-benar objektif. Meskipun kesibukannya luar biasa, mantan pimpinan fakultas masih berkesempatan membaca buku TOKOH KITA.
Mungkinkah orang memiliki persepsi bahwa buku di atas berkaitan dengan sosial-budaya mengingat dalam salah satu tulisan yang terdapat di buku itu ada yang berkaitan dengan budaya patron-klien? Judul tulisan yang diduga berbau budaya terdapat dalam tulisan dengan judul “Good Governance dan Budaya Patron-Klien”. Dalam tulisan tersebut TOKOH KITA memasalahkan bahwa Good Governance (GG) tidak akan mungkin berjalan dengan baik kalau masih bercokol penyakit sosial yang bernama patron-klien (PK). Dimaksudkan dengan PK menurut Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayan Mentalitas dan Pembangunan (1992:50) disebut sebagai nilai-nilai budaya yang terlampau banyak berorientasi vertical atau boleh juga disebut berorientasi terhadap pembesar, orang-orang berpangkat tinggi, dan orang-orang tua atau senior. Agar tidak salah persepsi, sebaiknya kita cermati isi tulisan TOKOH KITA berikut ini yang membahas tentang “Good Governance dan Budaya Patron-Klien”.
Good Governance dan Budaya Patron-Klien Bangsa manapun di dunia ini pasti suka dengan `good governance`. Makhluk yang satu ini telah menyihir seluruh bangsa untuk mengimplementasikannya dalam aktivitas mengelola negara atau pemerintahan. Dia demikian hebat bisa menyihir seluruh bangsa di dunia karena kalau ditilik dari definisinya juga menarik. Good governance yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai tata kelola pemerintahan yang baik bagaimana tidak membikin tergiur bangsa-bangsa di dunia ini karena sekurangnya ada dua lembaga internasional yang merumuskan definisinya. UNDP merumuskan good governance sebagai pelaksanaan kewenangan/kekuasaan di bidang ekonomi, politik, dan administrasi untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat. Masih menurut UNDP, good governance ialah kepemerintahan yang mengembangkan hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara negara, swasta dan masyarakat. Sedangkan World Bank (Bank Dunia) merumuskan good governance sebagai penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran korupsi, menjalankan disiplin anggaran serta menciptakan legal and political frameworks bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. Sedangkan PP 101 tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri Sipil mendefinisikan good governance sebagai kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum, dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Orang bukan hanya yang tertarik pada definisinya, tetapi juga prinsip-prinsip yang terkandung dalam good governance. Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), misalnya menyebutkan ada sepuluh prinsip di antaranya partisipasi, penegakan hukum, transparansi, kesetaraan, daya tanggap, wawasan kedepan, akuntabilitas, pengawasan, efisiensi & efektifitas, dan profesionalisme. Selain, kesepuluh prinsip tersebut, good governance dalam penerapannya juga ditopang oleh tiga pilar (boleh juga tiga aktor), yaitu negara, sektor swasta, dan masyarakat madani. Good governance perlu diimplementasikan mengingat runtuhnya negara-negara totaliter, organisasi governance tidak lagi dipahami dalam kerangka ruang sosial yang bernama negara, fenomena globalisasi, dan tuntutan publik terhadap pelayanan birokrasi yang adil. Dengan melihat pada definisi, prinsip-prinsip, pilar-pilar/aktor-aktor, dan alasannya tampaknya sah-sah saja kalau good governance juga layak diterapkan di negara yang kita cinta ini. Meskipun demikian, bagaimana dengan pelaksanaannya? Untuk itu, ada satu hal yang tampaknya perlu kita perhatikan yang juga menjadi salah satu masalah, yaitu budaya patronase atau patron-klien (PK) yang turut ambil bagian sehingga menjadi faktor penyebab terhambatnya pelaksanaan good governance di negara ini. Dimaksudkan dengan budaya PK menurut James Scott dalam Moral Ekonomi Petani (1983:14) ialah hubungan spesial antara dua pihak yang memiliki status sosial-ekonomi yang lebih tinggi pengaruhnya. Budaya PK oleh Koentjaraningrat dalam Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (1992:50) disebut sebagai nilai-nilai budaya yang terlampau banyak berorientasi vertikal atau boleh juga disebut berorientasi terhadap pembesar, orang-orang berpangkat tinggi, dan orang-orang tua atau senior. Dari hasil penelitiannya, salah satu sifat negatif dari orientasi vertikal adalah tidak bertanggung jawab. Tanggung jawab pada bangsa ini akan terjadi jika ada pengawasan yang ketat dari atasan. Sebaliknya, tanggung jawab akan kendor jika tidak ada pengawasan dari atasan. Koentjaraningrat menambahkan bahwa menurunnya tanggung jawab itu dapat disamakan dengan menurunnya rasa disiplin. Bukankah menurunnya rasa disiplin yang cenderung ke arah tidak memiliki disiplin juga akhir-akhir ini telah melanda bangsa ini? Dalam pemerintahan, kalau ada aparatur pemerintah tidak memiliki tanggung jawab dan disiplin, apa yang akan terjadi? Jawabnya singkat saja, akan muncul berbagai penyakit yang berkaitan dengan penyakit-penyakit administrasi. Samodra Wibawa dalam Mengelola Negara (2012:120-122) menyebutkan sedikitnya ada tiga bentuk penyakit administrasi, yaitu nepotisme, kolusi, dan korupsi. Nepotisme adalah hubungan atau kerja sama yang dilakukan dengan mengutamakan kekelurgaan dan pertemanan dengan mengabaikan faktor adanya prestasi atau keberhasilan. Kolusi adalah konspirasi atau persengkokolan antara pejabat atau pegawai dengan orang lain untuk memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang melanggar hukum. Korupsi ialah tindakan yang melanggar aturan atau menyalahgunakan jabatan yang menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Bagaimana pelaksanaan Good Governance di negara yang tidak memiliki tanggung jawab dan disiplin akibat masih kuatnya budaya PK? Bagaimana pelaksanaan Good Governace dalam pengelolaan potensi daerah di negara yang kaya akan sumber daya alam ini kalau masih ada aparat yang masih mempraktekkan cara-cara yang terdapat dalam budaya PK, seperti masih adanya mental `asal bapak senang` (abs)? Tampaknya, pelaksanaan Good Governance akan mengalami hambatan yang cukup serius. Kalau budaya PK itu sendiri belum bisa ditangani, sampai kapanpun tidak bisa dilaksanakan butir-butir yang terdapat pada Good Governance. Salah satu butir dalam Good Governance, seperti profesionalisme, sangat dibutuhkan aparat yang memiliki tanggung jawab dan disiplin. Artinya, aparat yang profesional adalah aparat yang memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannya. Jadi, aparat yang tidak atau kurang memiliki tanggung jawab adalah aparat yang tidak profesional. Untuk mewujudkan aparat yang profesional juga harus memiliki disiplin karena aparat yang profesional harus memiliki karakteristik di antaranya komitmen yang kuat terhadap karir, terbuka menerima ide-ide baru, komitmen pada pekerjaan, konsisten pada setiap orang, berorientasi terhadap pelayanan, dan mampu melakukan dan memberikan pembelajaran. Untuk bisa mengelola potensi daerah, agar potensi yang dimiliki di setiap daerah benar-benar bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat, jelas-jelas dibutuhkan implementasi Good Governancesecara konsisten. Agar pelaksanaan Good Governance berjalan mulus tanpa hambatan, mau tidak mau harus dibenahi dulu penyakit-penyakit yang terdapat pada budaya PK. Sementara itu, penyakit-penyakit budaya PK tidak bisa diselesaikan demikian cepat melalui berbagai diklat atau penataran-penataran yang dulu pernah secara masif dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru. Penyakit-penyakit budaya PK hanya bisa dibenahi melalui pendidikan yang dimulai dari pendidikan di keluarga itu sendiri. Kemudian juga dilakukan di masyarakat dan sekolah. Dimulai dari keluarga karena keluarga punya peran penting untuk menanamkan nilai-nilai moral terhadap baik kepala keluarga maupun anggota-anggotanya (istri dan anak). Nilai-nilai tanggung jawab dan disiplin harus dimulai dari keluarga. Kalau keluarga telah gagal menanamkan nilai-nilai tanggung jawab dan disiplin, sampai kapanpun tidak akan terwujud yang namanya bangsa yang terbebaskan dari penyakit-penyakit budaya PK. ……………………………………………………………………………………………………………………………… (Dikutip dari buku Menatap Bangsa Hoax: Sebuah Catatan untuk Penegakan Good Governance, 2019: 20 dan 71—74) |
***
Ada kemungkinan orang menyimpulkan hal yang sama, ketika membaca buku TOKOH KITA itu banyak mengutip entah itu namanya lirik lagu, puisi, atau cerpen sekalipun sehingga berkesimpulan seperti yang disebutkan di atas. TOKOH KITA memang dalam menulis buku selalu mengutip, baik lirik lagu, puisi, maupun cerpen/novel. Tapi, semua kutipan itu masih berkaitan dengan masalah yang dibahasnya. Di buku Menatap Bangsa Hoax: Sebuah Catatan untuk Penegakan Good Governance di beberapa tulisan memang ada kutipan lirik lagu dan puisi. Meskipun demikian, dengan adanya kutipan tersebut tidak bisa disimpulkan kalau buku tersebut tidak berkaitan dengan bidang administrasi publik atau kebijakan publik. TOKOH KITA ingin menunjukkan bahwa dengan mengutip lirik lagu, puisi, bahkan dari cerpen atau novel tidak akan merusak isi tulisan. Berkaitan dengan hal itu, nanti di TOKOH KITA (15) ditunjukkan tulisan-tulisan yang telah dibukukan dalam: Kota Gigantisme: Produk Bangsa Berperilaku Degil.