Subagio S.Waluyo

Karya apa pun yang ditulis, baik berupa karya fiksi atau nonfiksi semua membutuhkan riset. Penulis bisa melakukan riset dengan cara mengumpulkan, menganalisis, hingga menafsirkan informasi atau data pada topik tertentu untuk mendapatkan pemahaman dan juga fakta baru.

Riset yang dilakukan sebelum menulis memang biasanya membutuhkan waktu yang tidak sedikit, tetapi hal itu dapat menjadi salah satu faktor yang membuat karya berkualitas dan menarik bagi pembaca. Maka, sebisa mungkin riset sebelum menulis tetap harus dilakukan.

(https://www.idntimes.com/life/education/ran-1668410603-npb/pentingnya-riset-sebelum-menulis-c1c2)

***

Kebiasaan melakukan riset yang kerap dilakukan dalam menulis diakui atau tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Sebagai bukti adanya hasil yang memuaskan adalah ketika TOKOH KITA menulis buku. Ada dua buku dalam kurun waktu dua tahun yang ditulis TOKOH KITA, yaitu Penampakan Nilai-Nilai Kemanusiaan dan Kesosialan dalam Karya Sastra Indonesia (2021) dan Pembelajaran Penulisan dari Prolog ke Epilog (2023). Kalau buku pertama ditulis lebih merupakan bahan diktat yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah buku (jadi bukan dari nol karena sudah ditulis lebih dari sepuluh tahun lalu sebelum buku diterbitkan), buku kedua memang dari nol. Buku pertama sebagai bahan diktat yang dikembangkan dimasukkan ke dalamnya berbagai tulisan TOKOH KITA yang telah di-upload, baik di website maupun di blogspot TOKOH KITA. Karena lebih merupakan pengembangan sebuah bahan diktat wajar saja kalau buku tersebut setelah diterbitkan menjadi buku yang cukup tebal (578 halaman). Selain itu, masa waktu penulisan sampai dengan penerbitan terbilang cukup lama sekitar 10-13 tahun. Tidak diketahui persis pertama kali menulis diktat Sistem Sosial dan Budaya Indonesia (sebelumnya Ilmu Budaya Dasar atau IBD yang kemudian berganti menjadi Ilmu Sosial dan Budaya Dasar atau ISBD). Bisa dikatakan dalam penulisan buku pertama tidak ada perencanaan yang matang dan TOKOH KITA juga tidak fokus untuk menulis buku. Berikut ini bisa dilihat cover buku pertama yang ditulis TOKOH KITA.

Buku tersebut terdiri atas dua belas bab. Setiap babnya masih dibagi lagi dalam beberapa subbab. Bab 1, misalnya, yang merupakan Pendahuluan terbagi dalam lima subbab, yaitu 1.1 Sekilas tentang Kebudayaan; 1.2 Pembelajan Kebudayaan; 1.3 Sekilas tentang Kemanusiaan; 1.4 Manusia sebagai Makhluk Sosial dan Budaya; dan 1.5 Penampakan Kemanusiaan dalam Karya Sastra. Begitu juga dengan bab-bab selanjutnya berisikan sub-subbab yang di setiap subbab itu diberi judul. Sebagai tambahan, perlu juga dijelaskan di sini, di setiap bab dimasukkan satu-dua tulisan yang pernah dimuat, baik di website maupun blogspot TOKOH KITA. Tulisan-tulisan yang dimasukkan itu ada kaitannya dengan bahan yang dibahas.Di bab 5,misalnya, ketika membahas tentang keadilan, TOKOH KITA memasukkan tulisan dengan judul “Gali Juga Manusia”. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat tulisan yang berkaitan dengan keadilan itu.

GALI JUGA MANUSIA

          Awal tahun 1980-an, ketika Soeharto sebagai presiden sedang berada di puncak kekuasaannya, dalam rangka menanggulangi kejahatan yang pada saat itu memang cukup tinggi diadakan operasi rahasia. Operasi rahasia itu di belakang  hari dikenal dengan nama Penembakan Misterius (petrus). Operasi itu berupa penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat terutama di DKI Jakarta dan Jawa Tengah (termasuk DIY). Pelakunya sendiri tidak diketahui dengan jelas sehingga wajar saja muncul ungkapan petrus.

          Peristiwa petrus memakan korban cukup besar. Sejak tahun 1983 sampai dengan 1985 ada 713 korban petrus. Umumnya, korban petrus yang ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat (https:// id.wikipedia.org/ wiki/ Penembakan_misteri-us). Peristiwa petrus itu tidak luput dari perhatian para sastrawan kita di Indonesia. Salah seorang sastrawan yang menulis tentang korban petrus adalah Ahmad Tohari dalam salah satu cerpennya  yang berjudul “Ah Jakarta”. Dalam cerpen tersebut Ahmad Tohari sama sekali tidak menyinggung tentang petrus. Tapi, terbunuhnya teman Tokoh Aku yang ditemukan di Kali Serayu dalam kondisi wajah yang sudah tidak karuan bisa  menunjukkan bahwa cerpen “Ah Jakarta” berisikan korban petrus. Di luar itu semua, ada keunikan, yaitu adanya unsur  kemanusiaan yang ada pada Tokoh Aku sehingga mau mengurusi jenazah temannya yang jadi korban petrus sementara sebagian besar orang cenderung bersikap masa bodoh dan tidak mau menanggung risiko.

          Teman Tokoh Aku diburu oleh pelaku-pelaku petrus karena dikenal sebagai `gali` (akronim yang kepanjangannya Gabungan Anak-Anak Liar) atau preman. Kata `gali` itu sendiri merujuk pada sekolompok orang bertato yang terorganisasi dengan rapi melakukan berbagai tindak kejahatan, seperti pemerasan, perampokan, pemerkosaan, dan pembunuhan yang di tahun-tahun 1980-an berhasil membombastis Kota Yogyakarta dan sekitarnya (https://kumparan.com/potongan-nostalgia/gali-gabungan-anak-liar-dan-petrus-penembak-misterius-yogyakarta-1983-1984). Karena tindakan mereka dinilai meresahkan, pemerintah yang berkuasa pada waktu itu (Soeharto) mengambil kebijakan sepihak berupa pembasmian pelaku-pelaku kejahatan tanpa pengurungan (penjara), tapi langsung dieksekusi di tempat dengan cara-cara seperti yang diuraikan di atas. Temannya termasuk salah seorang yang diburu pelaku-pelaku petrus karena kejahatannya di Jakarta dinilai membahayakan dan meresahkan masyarakat. Sang teman yang ketakutan berusaha  menyembunyikan diri ke rumah Tokoh Aku. Padahal pada waktu itu sang teman yang `gali` itu baru mau beroperasi, tapi terjadi kecelakaan yang  menewaskan tiga orang temannya. Sedangkan dia sendiri selamat walaupun kakinya tergores kaca belakang mobil. Sang teman berupaya menyelamatkan diri karena di dalam mobilnya, menurut pengakuannya, ada peralatan yang biasa digunakan untuk  merampok.

…………………………………………………………………………………………………………………….

Malam itu dia datang. Jalannya terpincang-pincang. Lima jari kaki kanannya luka. Perbannya sudah kumal. Maka pertama-tama aku membantunya mengganti perban itu. Baru kemudian aku mengajaknya ngobrol. Hati-hati, sebab wajah temanku itu jelas gelap.

“Aku mau lihat koran kemarin, atau hari ini,” pintanya.

“Ada apa?”

“Nanti kuceritakan.”

“Ceritakan dulu.  Kamu harus memulai pertemuan ini dengan keterbukaan. Ingat siapa aku dan siapa kamu.”

Matanya menatapku sebentar. Lalu menunduk. Lehernya kelihatan kecil. Masih ada sisa kebagusan wajahnya yang kukenal sejak kami masih kanak-kanak. Dia mulai cerita. Sedan yang disewanya menabrak tiang listrik di Jalan Matraman. Tiga temannya tidak bisa bangun, mungkin mati. Dia duduk di jok belakang ketika itu. Karena bekas sopir, dia tahu suasana kritis dalam kendaraan. Ketika mobil mulai gontai karena slip dia meringkuk seperti trenggiling. Benturan dengan tiang listrik begitu hebat. Tidak ada secuil pun dia cedera. Luka di kaki karena tergores kaca belakang ketika dia berusaha lolos keluar.  Orang-orang berdatangan. Dan dia menyelinap lalu menjauh. Dia tidak mungkin lama di situ. Di dalam mobilnya ada golok, ada gunting kawat buat melumpuhkan kunci gembok sebesar apa pun, dan ada clurit.

          Sebagai teman yang masih punya rasa kemanusiaan Tokoh Aku menyediakan tempatnya untuk bersembunyi walaupun sebenarnya tindakan itu salah. Tokoh Aku teringat pada masa kanak-kanak dulu ketika di kampung.

          Kami bertatapan. Aku  tahu dia sedang menyelidik sikapku, apakah kedatangannya tidak membuatku susah. Sedangkan aku melihatnya untuk melihat masa lampau ketika aku dan dia sama-sama telanjang bulat dan berlarian di pematang sawah. Kami suka mencari telur burung hahayaman, membalutnya dengan tanah lempung kemudian membakarnya. Enak, tak ubahnya seperti telur rebus. Kami suka menyelam di lubuk mencari udang batu. Membenamnya dalam pasir panas di tepi kali sampai warnanta jadi merah, kemudian mengunyahnya. Enak, gurih, dan manis.

Jadi, Tokoh Aku dan temannya terhitung sahabat karib. Sebagai sahabat karib wajar kalau Tokoh Aku cenderung melindungi temannya sementara waktu untuk bermalam di rumahnya. Tokoh Aku tidak ingin kehilangan temannya dan tidak menyuruhnya pergi. Bahkan, tidak ada keinginan untuk melapor pada Ketua RT di tempat tinggalnya.

…………………………………………………………………………………………………………………………

Dia tidak bohong.Apa yang telah diceritakannya termuat sepenuhnya. Dadaku menyesak. Di hadapanku kini duduk seorang karib yang pasti buronan. Aku langsung teringat konsekuensi hukum bagi orang yang menyimpan oknum yang sedang dicari polisi. Tapi detik itu juga kuputuskan, menerima karibku seperti biasa. Aku tak ingin kehilangan rasa persahabatan. Tidak ingin menyilakannya pergi, apalagi melaporkannya kepada ketua RT.

Saking kuatnya persahabatan Tokoh Aku dengan temannya, ketika istrinya memberi wanti-wanti pun Tokoh Aku bersikap masa bodoh. Tokoh Aku membiarkan saja istrinya nyerocos sampai sang istri akhirnya diam.

………………………………………………………………………………………………………………………..

“Dia anak sini asli, teman sepermainanku dulu.”

“Ceritanya mengesankan. Gali ya?”

“Seperti yang kamu dengar sendiri.”

“Nah, awas kamu. Aku tidak ingin ada bangkai manusia yang pernah menginap di rumah ini. Kau tahu orang-orang macam dia yang kini mayatnya tercampak di mana-mana?”

Aku menutup mata dengan bantal. Istriku masih menyerocos. Tetapi akhirnya dia mengalah, diam setelah berkali-kali mendesah panjang.

          Sang teman yang berprofesi sebagai `gali`, yang memang sedang diburu pelaku petrus sebelum Tokoh Aku dan istrinya bangun telah pergi entah kemana. Tokoh Aku berusaha mencari temannya. Dia berharap agar temannya kembali ke Jakarta dan bersembunyi di sana. Dia pun berharap agar temannya menyerahkan diri saja. Tapi yang dia khawatirkan pada akhirnya terjadi. Temannya ditemukan di kelokan Kali Serayu dalam kondisi sudah mengembung dan wajahnya tak keruan. Di hadapan polisi dia mengaku kalau itu temannya. Tokoh Aku pun demi menyelamatkan siapa temannya dan juga dirinya yang sebenarnya juga berbohong. Tapi, rupanya polisi tidak bertanya lebih jauh (termasuk tidak meminta KTP-nya). Orang-orang di sekitarnya heran melihat Tokoh Aku yang demikian nekad mau melindungi temannya yang sudah jelas-jelas `gali` yang sedang diburu para pelaku petrus. Orang-orang di sekitarnya cenderung untuk berlepas tangan. Bahkan, mereka mungkin menatap Tokoh Aku dengan tatapan keji.  Ketika diminta pertolongannya untuk ikut mengurus jenazah temannya, mereka justru menghilang.

……………………………………………………………………………………………………………………..

Aku tergagap. Orang-orang bergumam mungkin menatapku dengan keji. Mereka sedang memperhatikan karib seorang gali, aku.

“Pak, aku akan menunggu di sini. Mungkin nanti ada saudaraku yang lewat sehingga aku ada teman buat mengurus mayat ini.”

Polisi pergi, kelihatan dengan wajah puas. Orang-orang pun mulai pergi. Soal mayat tercampak sudah sering mereka lihat. Akhirnya hanya aku dan karibku yang tinggal. Sekali pun aku sama sekali tidak cengeng, namun terasa air mataku meleleh. Ada dua orang anak pencari rumput. Tetapi mereka menghilang ketika kumintai bantuan mengurus mayat karibku.

          Hati nurani mereka sudah hilang. Entah kemana perginya hati nurani mereka. Mereka tidak mau menanggung risiko.Mereka juga mungkin telah luntur nilai-nilai agama yang mengajarkan kepedulian kepada sesama. Akhirnya, Tokoh Aku harus mengerjakannya sendiri. Tokoh Aku yang masih punya hati nurani karena didorong rasa persahabatan dan kemanusiaan yang disertai juga dengan nilai-nilai agama yang masih melekat mengurusi jenazah temannya yang sudah terlanjur dicap sebagai gali. Sementara orang-orang di sekitarnya, termasuk dua orang yang tadi dimintai pertolongannya menghilang, hanya menonton yang dia lakukan.

……………………………………………………………………………………………………………………

Lama aku berdiri bingung tak tahu harus berbuat apa. Mayat karibku teronggok hanya dengan cawat cassanova. Ah, Jakarta. Ucapan itu lagi-lagi terngiang. Aku masih bingung. Bila bukan karena sebuah tempurung yang tergeletak di tempat itu mungkin aku masih diam. Tetapi karena tempurung itu, aku bisa berbuat sesuatu. Mayat karibku kusirami. Aku memandikannya. Lalat beterbangan. Kemudian dengan tempurung itu pula aku menggali pasir membujur keutara. Dia kutarik dan ku masukkan ke dalam lubang pasir sedalam lutut. Kusembahyangkan kemudian kumiringkan kebarat. Daun-daun jati kututupkan, lalu pasir kutimbunkan. Sebuah batu sebesar kepala kubuat nisan.

          Tokoh Aku menunjukkan kepedulian yang sangat tinggi. Bukan saja di masa hidupnya sang teman yang `gali` dilayani, ketika telah tiada pun dia masih mau mengurusi jenazahnya. Hal ini tidak mungkin terjadi jika tidak dilandasi oleh rasa kemanusiaan. Bukan hanya karena terikat persshabatan. Tapi, juga Tokoh Aku menunjukkan bahwa seorang Muslim saudara bagi Muslim lainnya. Lebih jauh dari itu, semua yang dia lakukan semata-mata karena Tokoh Aku terikat pada bunyi ayat Qur`an yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah: 148:”Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.” Coba bila dibandingkan dengan nasib yang dialami Maria Zaitun, seorang   pelacur, dalam puisi yang ditulis WS Rendra “Nyanyian Angsa.”

………………………………………………

Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.

Tanpa koper.

Tak ada lagi miliknya.

Teman-temannya membuang muka.

Sempoyongan ia berjalan.

Badannya demam.

Sipilis membakar tubuhnya.

Penuh borok di klangkang

di leher, di ketiak, dan di susunya.

Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.

Sakit jantungnya kambuh pula.

Ia pergi kepada dokter.

Banyak pasien lebih dulu menunggu.

Ia duduk di antara mereka.

Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.

Ia meledak marah

tapi buru-buru jururawat menariknya.

Ia diberi giliran lebih dulu

dan tak ada orang memprotesnya.

“Maria Zaitun,

utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.

“Ya,” jawabnya.

“Sekarang uangmu brapa?”

“Tak ada.”

Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.

Ia kesakitan waktu membuka baju

sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.

“Cukup,” kata dokter.

Dan ia tak jadi mriksa.

Lalu ia berbisik kepada jururawat:

“Kasih ia injeksi vitamin C.”

Dengan kaget jururawat berbisik kembali:

“Vitamin C?

Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”

“Untuk apa?

Ia tak bisa bayar.

Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.

Kenapa mesti dikasih obat mahal

yang diimport dari luar negri?”

          Maria Zaitun seorang pelacur yang seluruh tubuhnya penuh dengan koreng. Baju yang dikenakannya kalau dibuka koreng-koreng yang ada di tubuhnya akan mengelupas. Maria Zaitun terkena penyakit raja singa (sipilis). Dia diusir oleh bosnya karena sudah tidak menguntungkan. Bahkan, hutangnya pada sang bos sudah demikian besar sehingga tidak mungkin bisa  melunasinya dalam kondisi seperti itu. Orang-orang di sekitarnya (sebagian ada yang pernah berhubungan dengannya) membuang muka. Mereka jijik melihat Maria Zaitun, pelacur yang malang yang sekujur tubuhnya penuh dengan koreng. Maria Zaitun pelacur yang malang itu ketika berobat oleh dokter hanya diberikan injeksi vitamin C. Apakah injeksi vitamin C bisa menyembuhkan penyakit yang diderita Maria Zaitun? Bukankah sang dokter memang sudah tahu kalau Maria Zaitun hampir mati? Jadi, bukan hanya masyarakat yang tidak peduli dengan keadaan Maria Zaitun, sang dokter yang pernah jadi pelanggannya pun cenderung tidak peduli.

          Dalam cerpen “Ah Jakarta” masih ada orang semulia Tokoh Aku yang bersedia menerima dan melayani sang `gali` yang jelas-jelas sedang diburu pelaku-pelaku petrus. Orang seperti Tokoh Aku di negara ini tergolong langka. Dikatakan langka karena orang lebih cenderung berlepas tangan jika berhadapan dengan orang yang dianggap buronan. Mereka hanya melihat pada sisi gelapnya. Orang hanya melihat pada masa lalu orang yang dianggap `gali`. Sama halnya ketika orang berhadapan dengan mantan tapol PKI, banyak orang yang tidak siap menerima kehadiran yang namanya entah `gali` atau mantan tapol PKI. Karena itu, sangat beruntung bagi sang `gali` walaupun telah jadi mayat, masih ada sahabat karibnya yang mau mengurusi kematiannya. Cerpen Ahmad Tohari kali ini sama dengan cerpen-cerpen lainnya dalam “Wangon Jatilawang” yang memunculkan Tokoh Aku yang peduli dengan nasib Sulam yang teralienasi karena keterbelakangan mental atau boleh juga dalam “Kang Sarpin Minta Dikebiri” yang juga peduli dengan Kang Sarpin yang dianggap orang sebagai tukang zina (tukang main perempuan).  Ahmad Tohari ingin mengajarkan pada pembacanya agar punya kepedulian pada sesama. Selain itu, ia juga mengajarkan agar semua orang mau memaafkan kesalahan orang walaupun itu sangat sulit mengingat begitu banyak kesalahan yang dibuat oleh orang seperti sang `gali` atau `Kang Sarpin`. Bukankah sikap mau memaafkan kesalahan orang lain memang sebuah sikap mulia? Kalau memang itu sikap mulia, apa salahnya setiap anak bangsa ini belajar untuk memaafkan kesslahan orang lain? Kalau tidak mulai dari sekarang kapan lagi?

(Dikutip dari buku Penampakan Nilai-Nilai Kemanusiaan dan Kesosialan dalam Karya Sastra Indonesia oleh Subagio S.Waluyo)

Kenapa TOKOH KITA memasukkan tulisan di atas? Buku yang ditulis TOKOH KITA bukan sekedar buku teks yang memuat konsep atau teori-teori yang berhubungan dengan kemanusiaan dan kesosialan atau kebudayaan sekalipun. TOKOH KITA ingin mengajak pembacanya (terutama mereka-mereka yang mempelajari matakuliah Sistem Sosial dan Budaya Indonesia) untuk merenungi setiap butir, baik kemanusiaan maupun kesosialan agar mereka juga memahami banyaknya, misalnya, pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM itu bisa terjadi di masa lalu (Orde Baru) bisa juga di masa sekarang ini (reformasi). Selain itu, TOKOH KITA di setiap bab juga memasukkan gambar-gambar yang berkaitan dengan bahan yang dibahas. Semua yang ada di setiap bab di buku itu memiliki makna dan argumen, tentu saja, dari segi isinya juga bisa dipertanggungjawabkan. Sebagai sebuah buku TOKOH KITA menyadari masih banyak kelemahannya. Salah satu kelemahannya adalah di buku setebal itu tidak memuat soal-soal atau setidaknya bahan-bahan yang bisa didiskusikan. Hal ini akan menjadi catatan bagi TOKOH KITA ketika nanti pada saatnya masih diperkenankan untuk menyempurnakan isi buku itu.

***

Bagaimana dengan buku kedua? Buku kedua oleh TOKOH KITA memang sudah dirancang dari jauh-jauh hari untuk menulis buku secara serius. Penulisan buku kedua dimulai dari dua tulisan yang sempat di-upload beberapa waktu lalu, baik di website maupun blogspot TOKOH KITA. Dari dua tulisan yang telah ditulis jauh sebelumnya, TOKOH KITA kemudian berniat meneruskannya. Dimulai dari bulan September 2022 sampai dengan Januari 2023 (kurun waktu lima bulan) TOKOH KITA berhasil menulis sebanyak 32 tulisan yang kemudian dibukukan menjadi satu buku utuh. Kalau buku pertama kurun waktunya bisa lebih dari tiga belas tahun (sejak ditulis dalam bentuk diktat), buku kedua jelas lebih singkat karena TOKOH KITA benar-benar fokus untuk menulis buku. Buku pertama dalam penulisannya dibagi dalam bab-bab (semuanya sebanyak 12 bab), buku kedua tidak demikian. Semua tulisan yang telah diberi nomor secara berurutan dikumpulkan jadi sebuah buku. Kelebihannya dengan buku pertama terletak pada soal-soal atau bahan-bahan diskusi yang diletakkan di bagian akhir buku setelah daftar pustaka (“Sekedar Melampirkan”). Berikut ini bisa dilihat dulu cover buku Pembelajaran Penulisan dari Prolog ke Epilog.

Telah disampaikan di atas, buku kedua dalam penyusunannya tidak seperti buku pertama yang terbagi ke dalam dua belas bab. Buku kedua tidak dibagi dalam bab-bab. Buku kedua memuat 34 tulisan. Setiap tulisan diberi judul. Isi setiap tulisan disesuaikan dengan judulnya. Jadi, kalau tulisan pertama yang diberikan judul “Prolog” (pembuka cerita, bisa juga pembuka tulisan) isinya seperti sebuah pendahuluan dalam tulisan ilmiah. Meskipun demikian, di “Prolog” ini juga diuraikan tentang pengalaman orang-orang yang menjadi penulis besar, baik di level nasional maupun internasional. Di “Prolog” ini juga TOKOH KITA berupaya memberikan motivasi kepada setiap calon penulis agar membiasakan diri untuk membaca, baik membaca yang tekstual maupun yang kontekstual. Maksudnya, setiap orang yang berniat menjadi penulis harus membiasakan diri membaca berbagai referensi. Selain itu, untuk memperoleh bahan tulisan juga bisa dilakukan dengan membaca yang kontekstual. Dalam hal ini sang penulis harus jeli melihat segala fenomena sosial yang ada di sekitarnya. Dia harus rajin mencari objek tulisan dari fakta yang diperoleh di lapangan. Jadi, tidak cukup seorang penulis memperoleh data dari bahan-bahan tertulis, tapi juga bahan-bahan yang diperoleh selama dia mengamati masalah-masalah sosial yang ada di sekitarnya. Untuk itu, seorang penulis harus memiliki kepekaan sosial.

TOKOH KITA juga berupaya meluruskan bahwa dalam pembelajaran penulisan harus dimulai dari menemukan masalah. Di “Prolog” juga telah dijelaskan bahwa setelah seorang penulis menemukan masalah, dia tidak boleh berdiam diri. Dia harus membuat deskripsi timbulnya masalah tersebut dengan berpatoka pada 4 W (What, When, Where, dan Who). Agar benar-benar sempurna tulisannya, dia harus meneruskan Why dan How sehingga tuntutan 5 W+1 H benar-benar terpenuhi. Setelah itu, sang penulis harus menyiapkan bahan-bahan referensi yang bisa mendukung ketentuan di atas. Di sini TOKOH KITA menjelaskan lagi bahwa menulis bukan dimulai dengan menulis judul tapi dari mengangkat masalah. Dari masalah yang sudah ditemukan, dia harus mencoba menuangkan masalah itu ke dalam kalimat pertama. Tentang kalimat pertama yang mau ditulis bisa dimulai dari definisi atau bisa juga dari pengajuan berbagai pertanyaan. Nanti jawaban dari definisi yang diajukan atau jawaban dari pertanyaan yang disampaikan akan diperoleh jawaban. Dari jawaban tersebut yang dijadikan kalimat pembuka bisa diteruskan ke kalimat berikutnya. Untuk lebih jelasnya tentang isi buku tersebut, silakan dilihat daftar isinya berikut ini.

Halaman Judul ………………………………………………………………………………………………… i
Kata Pengantar ……………………………………………………………………………………………….. ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………………………………………… v
1.     Prolog ………………………………………………………………………………………………… 1
2.     Saatnya Menulis ………………………………………………………………………………… 21
3.     Penggunaan Pengulangan Kata Kunci …………………………………………………. 29
4.     Awali dengan Definisi ………………………………………………………………………….. 38
5.     Memulainya dengan Pertanyaan ……………………………………………………………. 47
6.     Awali dengan yang Memikat …………………………………………………………………. 57
7.     Awali dengan Kutipan (1) ……………………………………………………………………… 70
8.     Awali dengan Kutipan (2) …………………………………………………………………….. 83
9.     Awali dengan Kutipan (3) ……………………………………………………………………. 95
10.          Awali dengan Kutipan (4) ……………………………………………………………………. 108
11.          Awali dengan Kutipan (5) ……………………………………………………………………. 120
12.          Dipancing Pakai Gambar Ilustrasi ………………………………………………………. 133
13.          Dipancing Pakai Gambar Karikatur …………………………………………………….. 147
14.          Belajar Menulis Wacana Deskripsi (1)………..…………………………………………. 159
15.          Belajar Menulis Wacana Deskripsi (2) …………………………………………………. 175
16.          Belajar Menulis Wacana Deskripsi (3) ………………………………………………….. 185
17.          Belajar Menulis Wacana Deskripsi (4) …………………………………………………. 197
18.          Belajar Menulis Wacana Eksposisi (1) ………………………………………………….. 212
19.          Belajar Menulis Wacana Eksposisi (2) ………………………………………………….. 223
20.          Belajar Menulis Wacana Eksposisi (3) ………………………………………………….. 233
21.          Belajar Menulis Wacana Eksposisi (4)………………………………………………….. 242
22.          Belajar Menulis Wacana Eksposisi (5) …………………………………………………… 250
23.          Belajar Menulis Wacana Eksposisi (6) …………………………………………………… 260
24.          Belajar Menulis Wacana Eksposisi (7) …………………………………………………. 267
25.          Belajar Menulis Wacana Petunjuk/Tips (1) …………………………………………… 282
26.          Belajar Menulis Wacana Petunjuk/Tips (2) ………………………………………….. 289
27.          Belajar Menulis Wacana Petunjuk/Tips (3) ………………………………………….. 297
28.          Belajar Menulis Wacana Narasi (1) ……………………………………………………… 308
29.          Belajar Menulis Wacana Narasi (2) …………………………………………………….. 318
30.          Masalah-Masalah Kebahasaan (1) ……………………………………………………… 332
31.          Masalah-Masalah Kebahasaan (2) ……………………………………………………….. 352
32.          Masalah-Masalah Kebahasaan (3) ………………………………………………………. 362
33.          Epilog …………………………………………………………………………………………………………….. 375
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………………………… 381
Sekedar Melampirkan ..…………………………………………………………………………………… 383
Tentang Penulis ..…………………………………………………………………………………………….. 400

Dari daftar isi di atas, kita bisa menyimpulkan kalau isi buku tersebut lebih banyak memberikan arahan, bimbingan, atau bisa juga semacam ajakan pada pembacanya untuk melakukan sesuatu sesuai dengan yang diarahkan penulisnya. Berkaitan dengan itu, misalnya, bisa diambil salah satu contoh, yaitu di “12. Dipancing Pakai Gambar Ilustrasi”. Di sini melalui gambar yang diletakkan di awal tulisannya, penulisnya mempersilakan pada pembacanya untuk menuliskan sesuatu yang dilihatnya. Hal yang sama juga berlaku di “13. Dipancing Pakai Gambar Karikatur”. Lagi-lagi pembacanya juga diminta untuk mengawali tulisan dengan melihat gambar karikatur sebagai stimulus. Di nomor-nomor berikutnya (nomor 14 sampai 29) para pembaca yang mau belajar menulis diarahkan menulis wacana deskripsi dimulai dari “14. Belajar Menulis Wacana Deskripsi (1)” sampai dengan “17. Belajar Menulis Wacana Deskripsi (4)”. Jika telah bisa menulis wacana deskripsi, langkah berikutnya adalah menulis wacana eskposisi yang dimulai dari “18. Belajar Menulis Wacana Eksposisi (1) sampai dengan “24. Menulis Wacana Eksposisi (7)”. Dalam hal ini pembelajaran menulis wacana eksposisi tampaknya paling banyak pembahasannya karena setelah itu seperti penulisan wacana petunjuk dan wacana narasi jauh lebih singkat.

TOKOH KITA juga menyadari bahwa banyak pembacanya yang kerap kali melakukan kesalahan dalam berbahasa Indonesia. Untuk itu, dimulai dari di “30. Masalah-Masalah Kebahasaan (10) sampai dengan “32. Masalah-Masalah Kebahasaan (12)” diuraikan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kesalahan dalam berbahasa Indonesia, baik dalam hal pembentukan kata maupun penulisan kalimat. Di situ dijelaskan secara mendetail kaidah-kaidah berbahasa yang baik dan benar, contoh-contoh kesalahan berbahasa, dan cara memperbaiki kesalahan berbahasa. Dengan cara demikian, pembaca sebagai orang yang belajar menulis diarahkan agar bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sebagai pelengkap, karena buku ini banyak berisikan cara-cara dalam pembelajaran penulisan, TOKOH KITA melengkapinya dengan soal-soal dan bahan-bahan diskusi yang bisa dilakukan bersama-sama agar setiap pembacanya yang mau belajar menulis bisa menuangkan gagasannya melalui tulisan. Berikut ini bisa dilihat contoh soal dan sekaligus bahan yang bisa didiskusikan dan dikerjakan bersama-sama dari gambar-gambar ilustrasi dan karikatur.

Sebagai bahan pelengkap, tidak ada salahnya kita berlatih menulis. Di sini kita langsung saja menulis wacana entah itu wacana deskripsi, eksposisi, petunjuk/tips, atau narasi. Sebagai langkah awal, kita belajar menulis satu paragraf,baik dari foto-foto, gambar-gambar ilustrasi, maupun gambar-gambar karikatur. Sesuai dengan petunjuk penulisan paragraf, sebelum menulis paragraf, kita tentukan dulu masalahnya. Dalam hal ini dari gambar ilustrasi atau karikatur yang ditampilkan kita temukan masalahnya. Setelah menemukan masalah, kita berusaha mencari jawaban masalah yang diajukan. Jawaban dari masalah itu merupakan tema tulisan kita. Dari tema tersebut kita bisa masukkan ke dalam kalimat. Kita sebut kalimat itu sebagai kalimat utama. Dari kalimat utama inilah kita teruskan ke kalimat-kalimat berikutnya yang kita kenal sebagai kalimat penjelas. Dengan cara demikian, kita sudah menulis satu paragraf. Kalau sudah menulis satu paragraf, kita teruskan menulis wacana sesuai petunjuk yang sudah kita pelajari. Agar tidak berpanjang kalam, kita lihat gambar-gambar ilustrasi dan karikatur berikut ini.

1. 2.
3. 4.
5. 6.
7. 8.
9. 10.

***

Dengan melihat pada dua tulisan, baik di TOKOH KITA (11) maupun TOKOH KITA (12), kita bisa menyimpulkan bahwa setiap penulis yang mau berhasil harus punya keterampilan riset. Kita bisa mengatakan tanpa adanya keterampilan riset seorang penulis siap-siap saja untuk mengalami kekeringan dalam tulisannya. Memang, untuk bisa melakukan riset dibutuhkan perhatian yang fokus pada objek yang mau ditulis. Dalam hal ini orang yang sudah punya keinginan menulis harus fokus pada sesuatu yang ditulis. Dia harus bisa meluangkan waktunya walaupun hanya beberapa menit. Dia tidak boleh perhatiannya buyar ketika sudah menuangkan gagasannya ke dalam tulisan. TOKOH KITA tidak mungkin bisa menulis buku kalau tidak fokus. Buku kedua yang diselesaikan dalam rentang waktu hanya lima bulan merupakan bukti bahwa TOKOH KITA ketika sudah mulai menulis benar-benar fokus terhadap bahan yang mau ditulisnya. 

Sumber Gambar:

  1. (https://www.gramedia.com/literasi/kesenjangan-sosial/)
  2. (https://www.idntimes.com/life/inspiration/rahardian-shandy/10-ilustrasi-menohok-gambarkan-ironi-ketimpangan-si-kaya-vs-si-miskin-c1c2).

3.(https://hukamnas.com/contoh-kasus-pelanggaran-hak-warga-negara-serta -penyebabnya)

  1. (https://www.kabarpendidikan.id/2021/03/pentingkah-nilai-dalam-dunia-pendidikan.html)

9.(https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/28/150000469/pengertian -pembangunan-berkelanjutan?page=all)

10.(https://ridhme.wordpress.com/2012/07/02/konsepsi-islam-terhadap-ling kungan-hidup-dalam-pembangunan-berkelanjutan/)

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *