Subagio S.Waluyo

Sebuah tulisan akan memiliki nilai yang baik kalau disertai dengan keterampilan riset. Kenapa? Setiap orang ketika mulai menulis tidak bisa dipungkiri pasti akan mengalami hambatan yang berkaitan, misalnya, dengan penggunaan istilah yang digunakan untuk kota yang berprestasi dalam laporan keuangannya. Kita bisa mengambil contoh tentang penggunaan istilah (singkatan) WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dan WDP (Wajar Dengan Pengecualian). Kalau ada kalimat yang berbunyi `Kota itu memperoleh penilaian WDP dari BPK karena laporan keuangannya bisa dipertanggung-jawabkan.` Penggunaan istilah WDP pada kalimat di atas jelas salah karena istilah itu untuk sebuah kota yang justru dinilai oleh BPK tidak bisa mempertanggungjawabkan laporan keuangannya. Istilah yang benar untuk kota tersebut adalah WTP. Jadi, sepele bukan cuma gara-gara salah dalam memilih istilah antara WTP dan WDP bisa berakibat fatal. Untuk itu, setiap penulis harus melakukan riset dulu ketika mau menggunakan kedua istilah tersebut.

***

TOKOH KITA juga kerap melakukan riset sebelum mulai menulis. Suatu saat ketika menemukan kata `apresiasi`, TOKOH KITA dibuat bingung karena kata tersebut mengalami perluasan makna. Kata `apresiasi` yang semula hanya ada di dunia seni, akhir-akhir ini telah meluas sampai ke bidang di luar seni. Bahkan, kata `apresiasi` ternyata juga bisa digunakan untuk upaya menghentikan ruang gerak seseorang yang masif menyerang pihak tertentu. Untuk lebih jelasnya tentang penggunaan kata `apresiasi` yang mengalami perluasan makna itu bisa dilihat pada tulisan berikut ini.

………………………………………………………………………………………………………………………

Mengapresiasi lewat pemberian hadiah selain memberikan penghormatan pada seseorang bisa juga merupakan upaya menghentikan ruang gerak seseorang yang masif mengkritisi entah perilaku seseorang atau kebijakan yang dibuat pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak tertentu bisa saja datangnya dari kalangan penguasa yang kerap mengeluarkan kebijakan. Kebijakan-kebijakan penguasa yang di mata seseorang menyimpang dari aturan yang berlaku di masyarakat atau yang dikhawatirkan akan terjadi gejolak, misalnya, dikritisi. Orang-orang kritis seperti ini oleh `orang-orang pintar` yang kaya pengalaman (tentu saja dari kalangan penguasa) cenderung dibiarkan atau dilakukan pembiaran. Meskipun dilakukan pembiaran, diam-diam penguasa mengatur strategi. Salah satu strateginya adalah memberikan apresiasi dalam bentuk hadiah atau kehormatan. Hadiah yang diberikan penguasa diharapkan bisa menekan daya kritis orang-orang yang selama ini mengkritisinya. Dengan demikian, pemberian apresiasi dalam bentuk hadiah dari penguasa bukan sebagai penghormatan karena di balik itu ada agenda yang sengaja di-hidden-kan.

Pemberian apresiasi dengan agenda di-hidden-kan jelas bukan atas dasar prestasi seseorang (walaupun di media mainstream dan media sosial selalu digembar-gemborkan sebagai prestasi yang luar biasa). Pemberian apresiasi jenis ini jelas merupakan upaya menekan orang atau kelompok tertentu agar tidak atau mengurangi kekritisannya pada pihak penguasa. Harapan penguasa dengan pemberian hadiah kehormatan akan terjadi pengurangan orang-orang yang kritis. Meskipun demikian, tetap akan berlaku adigium `mati satu tumbuh seribu`. Artinya, satu atau dua orang yang ditundukkan akan muncul sekian banyak orang yang serupa. Bukankah di mana-mana muncul kasus serupa yang tidak pernah habis-habisnya diapresiasi?

Mengapresiasi orang-orang yang kritis berupa penghargaan dari penguasa dengan tujuan membungkam suara-suara miring bertentangan dengan konsep apresiasi itu sendiri. Apresiasi secara terminologi adalah proses penilaian atau penghargaan positif yang dilakukan oleh seseorang terhadap sesuatu. Untuk itu,tujuan apresiasi sebenarnya adalah memberikan sebuah semangat atas suatu hasil dan motivasi bagi pengembangan suatu karya atau suatu hasil tersebut (https://www.dosenpendidikan.co.id/apresiasi-adalah/). Melihat pada pengertian secara terminologi dan tujuan apresiasi dibandingkan dengan fakta yang ditemukan di lapangan ketika sang penguasa membungkam orang-orang kritis berupa pemberian penghargaan yang dikatakan sebagai sebuah apresiasi, jelas baik konsep maupun tujuan apresiasi versi penguasa sangat bertentangan. Dikatakan bertentangan  karena ada agenda terselubung yang bukan rahasia umum lagi bahwa tujuan pemberian apresiasi adalah mengurangi jumlah orang yang bikin pusing kepala penguasa. Kenapa orang-orang kritis itu dibungkam dengan pemberian penghargaan sebagai sebuah apresiasi? Bukankah akan lebih baik orang-orang kritis itu diapresiasi dalam bentuk menerima dan menampung pendapat mereka serta mengkajinya. Suara-suara mereka harus didengar dan (kalau) perlu dikaji serta (kalau terbukti benar) ditindak lanjuti. Mereka bersuara bukan sembarang bersuara. Suara-suara mereka berangkat dari hasil-hasil kajian atau penelitian.

Suara-suara kritis yang berangkat dari hasil kajian atau penelitian harus diapresiasi oleh orang atau sekelompok orang (penguasa sekalipun) dengan tindakan nyata. Bukan sekedar menampung yang kemudian setelah sudah banyak hasil tampungannya dibuang begitu saja. Dalam hal ini ditampung, dikaji, dan diperbaiki (kalau memang ada yang menyimpang/dikhawatirkan akan menyimpang). Bahkan, kalau memang solusi yang disampaikan oleh pengeritik itu setelah dikaji memang benar, kenapa harus malu-malu untuk menyatakan persetujuannya? Setelah itu, lakukan perubahan dan langsung diimplementasikan. Apa susahnya melakukan itu semua?

Sebenarnya tidak ada yang susah. Yang susah mengakui kesalahan dan berupaya menutupi kesalahan dengan membungkam suara-suara yang mengkritisinya. Yang susah  mengalahkan ego dan sikap tinggi hati karena yang mengkritisinya bukan levelnya. Kalau sudah sampai ke tahap itu, bukan hati lagi yang bicara, tapi nafsu berkuasa. Nafsu berkuasa telah menutupi mata hatinya untuk melihat kebenaran. Karena mata hatinya telah tertutupi, orang atau penguasa merasa perlu melakukan jalan pintas, yaitu kalau tidak bisa ditundukkan dengan intimidasi, apa boleh buat dengan cara-cara halus salah satu di antaranya pemberian apresiasi dalam bentuk pemberian hadiah penghormatan. Di sini terjadi bukan saja kata `apresiasi` telah mengalami perluasan, tapi juga penyimpangan.

***

Dengan melihat pada konsep kata `apresiasi` yang semula digunakan untuk hal-hal yang positif (penilaian dan penghargaan) oleh pihak tertentu telah dibuat melenceng ke pemberian hadiah sebagai penghormatan agar orang yang semula kritis menjadi terhenti kekritisannya. Orang itu telah menjadi kerbau yang dicocok hidungnya. Kalau sudah seperti ini, orang yang kritis itu akan menjadi `pak turut` alias `pengekor` yang telah mati nalarnya. Dia telah mati logika berpikirnya. Dia tidak akan bisa berpendapat. Pendapat-pendapat yang dikemukakan akan diatur sedemikian rupa. Dia akan menjadi robot karena dalam banyak hal dia harus menuruti sang pemegang remote-nya (siapa lagi kalau bukan yang memberikan `apresiasi` dalam bentuk hadiah penghormatan). Jauh di lubuk hatinya yang  jernih, pasti dia merasakan ada kemelut dalam hidupnya.

(Dikutip dari buku Kota Gigantisme: Produk Bangsa Berperilaku Degil oleh Subagio S.Waluyo)

Setelah membaca tulisan tersebut, apa yang bisa kita simpulkan? Ternyata, diakui atau tidak, kita semakin tahu bahwa memang benar kata `apresiasi` telah mengalami perluasan makna. Kata `apresiasi` bukan semata memiliki makna menikmati atau menilai sebuah karya seni, tapi juga bisa saja kata tersebut digunakan untuk memberikan penghargaan pada orang (di sini penghargaan bukan sebatas memberi sertifikat, tapi juga berupa materi atau uang dengan jumlah besar). Orang atau siapapun yang memberikannya pasti punya maksud-maksud tertentu. Salah satu di antaranya adalah upaya untuk menghentikan gerak seseorang supaya tidak lagi membuat lawannya merasa tidak nyaman. Tentu saja pemberian penghargaan pada orang lain berkaitan dengan maksud agar kekuasaan sang pejabat tinggi atau penguasa daerah atau negara sekalipun tidak terganggu. Dengan demikian, kata `apresiasi` di sini lebih cenderung bertujuan mematikan daya kritis seseorang.

***

Tulisan kedua yang juga diawali dengan riset kecil-kecilan ketika TOKOH KITA menulis tentang teralienasi. Hasil riset TOKOH KITA menemukan ternyata kata `teralienasi` berkaitan dengan orang yang terasing, terisolasi, atau boleh juga orang yang terpinggirkan (dalam hal ini nasibnya atau bisa juga orang-orang miskin). Berkaitan dengan kata tersebut, TOKOH KITA tiba-tiba teringat dengan puisi yang ditulis Chairil Anwar “Hampa”. Di puisi itu Chairil menggambarkan perasaan sepi yang mencekam dirinya. Putusannya TOKOH KITA ketika menulis tentang teralienasi mengawalinya dengan sebuah puisi Charil Anwar “Hampa”. Dari puisi tersebut baru dikembangkan menjadi sebuah tulisan yang berkaitan dengan teralienasi. Untuk lebih jelasnya, bisa kita simak tulisan berikut ini.

HAMPA

                            Kepada Sri


Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.

Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

Karya: Chairil Anwar 

Puisi di atas menggambarkan tentang kesepian. Kesepian merupakan sebuah ketentuan Tuhan yang tidak bisa dihindari manusia. Seperti halnya Chairil Anwar yang mencoba mengungkapkan kesepian dengan kata-kata “Sepi di luar. Sepi menekan mendesak./Lurus kaku pohonan.Tak bergerak/Sampai ke puncak. Jadi, suasana yang digambarkan Chairil memang benar-benar sepi sampai-sampai pepohonan pun tidak bergerak. Bisa dibayangkan kalau pepohonan sampai sama sekali tidak bergerak berarti suasananya sudah benar-benar seperti stagnan, mati. Suasana seperti itu akan membikin orang semakin galau karena biar bagaimana pun manusia membutuhkan suasana yang hidup. Suasana yang hidup setidaknya memunculkan kedinamisan. Dengan demikian, kesepian itu sebuah kematian atau keterasingan sebagaimana diungkap oleh Chairil di puisi “Sia-Sia” yang di akhir puisinya ia mengungkapkan …Ah hatiku yang tak mau memberi/mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Chairil kemudian juga mengungkapkan kalau sepi itu telah membuat dia benar-benar tidak tenang, gelisah, galau. Dia tercekik oleh kesepian sebagaimana diungkapkan …Sepi./Tambah ini menanti jadi mencekik/Memberat mencekung punda/Sampai binasa segala. Belum apa-apa/Udara bertuba. Setan bertempik/ Ini sepi terus ada. Dan menanti. Jadi, suasananya memang bertambah sepi. Sampai-sampai digambarkan lehernya tercekik oleh kesepian. Saking kuatnya cekikan itu, membuat bahunya berat dan mencekung. Bahkan, kesepian itu telah  membuat segalanya binasa. Kesepian itu membuat udara di sekitarnya beracun. Karena itu, kesepian itu telah membuat setan berteriak keras sehingga suasana sepi itu membuat suasana di sekitarnya semakin seram.

Ungkapan Chairil tentang sepi memang sangat berlebihan (hiperbola). Tapi, jauh di balik itu ada pesan Chairil sebagai penyair, yaitu dia ingin menyampaikan tentang hidup manusia yang tidak lepas dari keterasingan atau keterisolasian. Bisa juga jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat atau bangsa, dijabarkan sebagai bangsa yang harus siap menerima kondisi yang tidak mengenakkan. Kalau sebelumnya posisinya sangat diperhatikan, mereka pada akhirnya mau tidak mau harus menerima nasib sebagai bangsa yang terasingkan atau terisolasi atau teralienasi. Bangsa yang teralienasi bukankah bangsa yang digambarkan Chairil pada puisi di atas sebagai bangsa yang tercekik sampai mencekung bahunya? Artinya, bangsa tersebut telah benar-benar menderita lahir-batin. Bangsa seperti itu hanya menjadi penonton bukan pemain. Mereka menjadi objek bukan menjadi subjek. Mereka pada akhirnya hanya menatap kekayaan negaranya dirampok habis-habisan oleh pemain-pemain luar (ada juga bangsa sendiri yang bermental hipokrit). Mereka menangisi harga dirinya yang juga dirampok oleh bangsa lain. Dari tangisan mereka bukan lagi keluar air mata, tapi darah karena air mata mereka telah kering sehingga yang keluar dari matanya darah.

Apakah bangsa ini hanya bisa menangis sampai keluar air mata darah? Apakah dengan air mata darah bisa menyelesaikan masalah? Widji Thukul lewat puisinya, “Puisi untuk Adik”, mengatakan tidak! Katanya, …kita akan terus  melawan karena waktu yang bijak bestari katanya sudah mengajari kita bagaimana menghadapi derita. Kalau dengan cara apapun, kita bisa menghadapi bangsa lain yang telah merampok kekayaan negara kita, kata Widji kita akan bisa memberi senyum dalam menghadapi derita. Jadi, jangan kita menyerah pada ketakutan kata Widji. Untuk itu, kita akan terus bergulat katanya. Coba kita simak puisi Widji Thukul berikut ini.

PUISI UNTUK ADIK

 

apakah nasib kita akan terus seperti

sepeda rongsokan karatan itu?

o… tidak, dik!

kita akan terus melawan

waktu yang bijak bestari

kan sudah mengajari kita

bagaimana menghadapi derita

kitalah yang akan memberi senyum

kepada masa depan

jangan menyerahkan diri kepada ketakutan

kita akan terus bergulat

Karya: Widji Thukul

(https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/158831-puisi-wiji-thukul)

(Dikutip dari buku Kota Gigantisme: Produk Bangsa Berperilaku Degil oleh Subagio S.Waluyo)

Ternyata kata `teralienasi` ketika masuk ke dalam ranah `kemiskinan` bisa meluas uraiannya seperti yang kita baca dari tulisan TOKOH KITA di atas. Bisa jadi TOKOH KITA sebenarnya ingin mengangkat nasib orang-orang yang hidupnya di bawah garis kemiskinan. Untuk menuliskannya karena TOKOH KITA mengawalinya dengan sebuah puisi karya Chairil Anwar: “Hampa”, akhirnya tulisan diawali dengan menguraikan isi puisi tersebut. Kemudian, tulisan dilanjutkan dengan gambaran orang-orang yang kesepian, orang-orang yang terisolasi, sampai masuk ke dalam inti persoalan: mereka-mereka yang  terpinggirkan (miskin). Selanjutnya, TOKOH KITA memfokuskan tulisannya pada nasib orang-orang yang miskin di negeri ini yang digambarkan sampai dengan keluar air mata darah. Tulisan di atas ditutup dengan puisi Widji Tukul: “Puisi untuk Adik”. Puisi Widji Tukul berisikan mereka-mereka yang bernasib kurang beruntung (miskin) untuk melakukan perlawanan agar di masa depan tidak ada lagi tangisan tapi berganti menjadi senyuman.

Tulisan di atas sebenarnya tidak berakhir dengan puisi Widji Tukul. TOKOH KITA masih meneruskannya dengan petikan sebuah cerpen yang juga berisikan kemiskinan. Karena seperti yang dikatakan Widji Tukul sebagai anak bangsa kita tidak cukup berdiam diri tapi perlu melakukan perlawanan atau perlu juga melakukan langkah-langkah positif, tampaknya kita cukup mengutip bagian-bagian dari tulisan tersebut yang memberikan jalan keluar menghadapi kemelut kemiskinan. Dalam hal ini TOKOH KITA mengingatkan agar tidak menjadi bangsa yang celaka sampai berkali-kali, bangsa ini harus berani mengatakan tidak terhadap sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya. Termasuk dalam hal ini harus berani menghadapi tantangan agar terhindar dari kemiskinan. Caranya? Bangsa ini harus mengubah diri menjadi bangsa yang semula inferior menjadi superior. Sebagai pelengkap tulisan, TOKOH KITA memasukkan sebuah lirik lagu dari Iwan Fals yang mengangkat nasib supir bajaj yang merasa dipermainkan oleh pihak rumah sakit. Lirik lagu tersebut walaupun sudah ditulis sejak masa Orde Baru, sampai sekarang masih tetap bisa dijadikan contoh betapa nasib orang-orang miskin di negara ini memang seperti itu gambarannya. Untuk selanjutnya, kita simak baik-baik bagian tulisan terakhir dari tulisan TOKOH KITA: “Teralienasi” yang dikutip dari buku Kota Gigantisme: Produk Bangsa Berperilaku Degil oleh Subagio S.Waluyo di bawah ini.

…………………………………………………………………………………………………………………..

Agar tidak menjadi bangsa yang celaka dua kali harus ada usaha untuk melawan. Anak bangsa ini harus bisa mengatakan `tidak` terhadap sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani walaupun resikonya harus merenggang nyawa. Bagaimana caranya? Tidak ada cara kecuali melalui pendidikan. Pendidikan yang bisa mengubah cara berpikir bangsa ini. Mereka harus dididik menjadi orang-orang  yang berpikir rasional. Jangan ada lagi anak bangsa yang masih percaya pada mitos. Jangan ada lagi anak bangsa yang masih terikat pada ketokohan karena akan memunculkan sikap jumud. Jangan ada lagi anak bangsa yang fatalis. Ubah bangsa ini dari bangsa yang inferior menjadi bangsa yang superior. Tapi, jangan lupa mereka harus punya landasan nilai-nilai keimanan dan akhlak yang mulia. Lebih dari itu siapapun yang mau terlibat mengubah kondisi bangsa ini harus  meluruskan niat untuk benar-benar ikhlas membenahi anak bangsa ini dengan landasan lillahi ta`ala. Kalau masih ada agenda tersembunyi yang ujung-ujungnya mencari keuntungan pribadi, naudzubilllahi min dzalik, tujuan itu tidak akan tercapai. Sebagai pelengkap, bicara tentang teralienasi rasa-rasanya kurang lengkap kalau kita belum menyimak salah satu lagu Iwan Fals yang bicara nasib pekerja pangkalan bensin yang merasa diremehkan (dialienasi) oleh pihak rumah sakit ketika seluruh tubuhnya melepuh akibat pangkalan bensinnya meledak. Kita simak lirik lagu Iwan Fals yang memang sering fals (kritis/suara miring) ketika mengeritik nasib bangsanya yang dialienasi.

Ambulance Zig Zag 

Deru ambulance

Memasuki pelataran rumah sakit

Yang putih berkilau

Di dalam ambulance tersebut

Tergolek sosok tubuh gemuk

Bergelimang perhiasan

Nyonya kaya pingsan

Mendengar kabar

Putranya kecelakaan
Dan para medis

Berdatangan kerja cepat

Lalu langsung membawa korban menuju ruang periksa

Tanpa basa basiIni mungkin sudah terbiasa
Tak lama berselang

Supir helicak datang

Masuk membawa korban yang berkain sarung
Seluruh badannya melepuh

Akibat pangkalan bensin ecerannyaMeledak

Suster cantik datang

Mau menanyakan

Dia menanyakan data si korban

Di jawab dengan

Jerit kesakitan

Suster menyarankan bayar ongkos pengobatan

Ai sungguh sayang korban tak bawa uang

Suster cantik ngotot

Lalu melotot

Dan berkata “Silahkan bapak tunggu di muka!”

Hai modar aku

Hai modar aku

Jerit si pasien merasa kesakitan

Hai modar aku

Hai modar aku

Jerit si pasien merasa diremehkan

(https://lirik.kapanlagi.com/artis/iwan-fals/ambulance-zig-zag/)

***

Keterampilan melakukan riset sangat dibutuhkan oleh setiap penulis. Untuk bisa melakukan riset tentu saja seorang penulis harus membiasakan diri membaca, baik membaca teks maupun membaca yang kontekstual. Membaca teks (dalam hal ini buku-buku atau berbagai tulisan baik cetak maupun yang terdapat di media sosial) jelas merupakan kebutuhan utama seorang penulis. Jadi, tidak mungkin seorang penulis bisa melakukan riset tanpa memiliki kebiasaan membaca. Membaca kontekstual (fakta atau realita) hanya bisa dilakukan kalau seorang penulis kerap melakukan aktivitas sosial. Artinya, dia tidak cukup duduk manis di rumah. Dia harus keluar rumah dan coba amati setiap hal yang ada di luar rumah. Dia harus bisa menemukan data, entah itu berupa fakta atau realita. Meskipun di rumah juga bisa karena aktivitasnya lebih banyak menonton TV atau membuka internet, itu tidak cukup. Biar bagaimanapun dia harus belajar menemukan fakta atau realita yang menurutnya bertentangan dengan konsep yang dia miliki. Untuk bisa memiliki konsep tidak gratis, dia harus punya kebiasaan seperti yang disampaikan di atas, yaitu dia harus membiasakan diri membaca yang tekstual.

Sumber Gambar:

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *