Subagio S. Waluyo

Orang tua itu mendengar apa yang dibicarakan anak dan menantunya. Dia melihat ke depan, ke arah yang dikatakan anak dan menantunya. Tampak olehnya Polisi Patung di bawah guyuran hujan lebat dalam posisi memberi hormat kepada mereka. Mobil pun berjalan karena lampu telah hijau. Dari jendela orang tua itu melihat ke luar. Dia perhatikan patung polisi itu dalam guyuran hujan. Dia iba melihat Polisi Patung itu. Dia tiba-tiba tersentak.

“Ya Allah. Polisi itu…, menjadi batu….”

 

(Cerpen Hamsad Rangkuti ”Si Lugu dan Si Malin Kundang”)

***

Banyak kalangan umat Islam yang tertipu oleh cerita-cerita yang tidak jelas tentang hal-hal di sekitar karomah seseorang entah ustadz, kyai, ajengan, syekh, atau habaib. Mendengar kabar ada seorang kiai yang bisa bikin mengubah nasib seseorang lewat tamparan Sang Kiai (lihat “Tertipu Mitos (1)) spontan Sang Kiai disebut memiliki kesaktian. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga bersegera mendatangi tempat kediaman Sang Kiai `ngalap berkah` istilah yang kerap dipakai di kalangan umat Islam yang minim nilai agamanya. Mereka-mereka ini karena minimnya nilai agama (walaupun banyak juga di antara mereka rajin beribadah dan berpendidikan tinggi) sering ikut-ikutan dengan orang-orang di sekitarnya yang pernah bertemu dengan Sang Kiai. Mereka-mereka ini yang kita sebut sebagai umat Islam yang jumud. Dikatakan jumud karena mereka beragama ikut-ikutan, tidak didasari oleh ilmu agama (syariat Islam) yang memadai. Mereka-mereka ini yang sering tertipu oleh berbagai macam mitos yang memang banyak orang sengaja menghembus-hembuskan mitos yang sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Bicara tentang mitos dari sejak dulu di negara ini sudah beredar sekian banyak mitos. Salah satu mitos yang sampai saat ini banyak dikenal orang  adalah kisah Si Malin Kundang. Dalam kisah tersebut Malin Kundang dikutuk menjadi batu karena berbuat durhaka pada ibunya. Malin Kundang tidak mengakui seorang wanita tua, miskin, dan berpakaian lusuh yang datang menemuinya. Bahkan, Malin Kundang mengusir wanita tua itu. Sang Wanita tua yang tidak suka dengan perilaku Malin Kundang kemudian mengutuknya. Akibat kutukannya, Si Malin Kundang menjadi batu. Memang, di balik kisah tersebut ada pembelajaran, yaitu agar setiap anak berbuat baik pada orang tuanya sehingga tidak boleh seorang anak menyia-nyiakan orang tuanya. Meskipun tujuan kisah tersebut demikian mulia, karena di akhir kisah ada orang dikutuk menjadi batu, bagi orang-orang yang berpikir realistis jadi masalah tersendiri.

(https://images.app.goo.gl/WroDxW6MR37zJ1pQA)

Kisah Si Malin Kundang juga dijadikan alat bagi seorang bapak tua dari kampung yang mau bertemu dengan anaknya yang menurut pengakuannya tinggal di komplek perumahan mewah itu. Pihak sekuriti jelas tidak percaya ada orang dari kampung yang dari penampilannya saja tidak meyakinkan. Selain itu, barang-barang bawaannya pun tidak meyakinkan Sang Sekuriti kalau ada penghuni komplek perumahan itu yang punya orang tua semacam itu. Tapi, orang tua dari kampung ini bersikeras kalau anaknya memang tinggal di komplek perumahan mewah itu. Di saat-saat terjadi perselisihan itu datang seorang polisi lalu lintas yang bukan melerai malah membuat persoalan baru, yaitu membunuh ayam bawaan orang tua dari kampung itu. Tentu saja bapak tua itu tidak terima diperlakukan kasar seperti itu. Keluarlah perkataan yang membuat Pak Polisi terkejut karena dia dikutuk akan jadi batu. Kutukan tersebut setahu Pak Polisi pernah ada dalam kisah Si Malin Kundang yang di akhir cerita dikutuk ibunya menjadi batu.

Keluarnya kutukan dari mulut Si Bapak Tua tidak keluar begitu saja tanpa didahului perlakuan kasar dari Pak Polisi. Pak Polisi sendiri punya alasan terpaksa  membunuh ayam bawaan Si Bapak Tua karena dikhawatirkan ayam bawaannya itu membawa virus. Karena itu, setelah ditetak dengan gagang pistol, Pak Polisi menyuruh sekuriti untuk membuat lubang dan membakarnya. Perlakuan kasar seperti itu (walaupun didahului dengan permintaan maaf dari Pak Polisi) tetap tidak bisa diterima Si Bapak Tua sehingga keluarlah kutukan tersebut. Si Bapak Tua yang sejak awal sudah dicurigai oleh Pak Polisi dan Pak Sekuriti karena penampilannya yang tidak meyakinkan (orang kampung yang kumal bawa hasil kebun dan ayam kampung) mengeluarkan kutukan yang di telinga Pak Polisi seperti lelucon saja.Meskipun demikian, kutukan itu sempat membuat Pak Polisi terobsesi.

“Ayam ini tidak boleh dibiarkan hidup di sekitar kita. Kulihat tanda-tanda pembawa virus dimilikinya.” Dicabutnya pistol. “Mengorbankan sebutir peluru lebih baik daripada membiarkan virus yang dibawanya menyebar di kompleks perumahan ini.” Dia arahkan moncong pistol ke kepala ayam itu. Dia lihat ulang mata ayam itu. Paruhnya yang menganga, kerongkongan yang bergerak terus mengatur napas. Lidah menjulur mengeluarkan liur. “Maaf Pak. Ayam ini harus dimusnahkan. Satu butir peluru…,” dia mulai menimbang-nimbang, “sayang juga.” Dia balikkan arah pistol. Moncong pistol dia pegang. Dia sangat berbakat dalam hal tak berperasaan. Dia tetak kepala ayam itu dengan gagang pistol. Ayam menggelupur dalam anyaman daun kelapa. Dia menoleh ke sekuriti, “Bawa ke sana. Gali lubang. Bakar!” Sekuriti rumah mewah itu mengambil ayam yang masih menggelepar-gelepar di dalam anyaman daun kelapa. Dia pun menggali lubang, memasukkan ayam yang masih terus menggelepar ke dalam lubang, dan membakarnya dengan ranting-ranting kering dan daun-daun kering. Orang tua itu ternganga melihat semua itu.

“Maaf Bapak. Ini terpaksa saya lakukan.” Katanya sambil menggosokkan gagang pistol ke rumput. “Coba Bapak katakan apa yang ingin Bapak lakukan bila kami izinkan Bapak masuk ke dalam kompleks perumahan mewah ini?”

“Aku akan mendatangi rumah anakku di dalam kompleks perumahan yang Engkau katakan mewah ini.”

“O, begitu. Tapi itu tidak mungkin. Tidak masuk akal kami. Kami tidak yakin Bapak adalah ayah dari salah seorang penghuni rumah mewah ini.”

“Jadi Engkau juga tidak percaya kalau aku adalah ayah dari salah seorang penghuni kompleks perumahan ini? Aku tidak boleh masuk mencari rumah anakku. Aku tidak boleh mengetuk dari pintu ke pintu sampai aku menemukan pintu rumah anakku.”

……………………………………………………………………………………………………………….

“Jadi Engkau tidak percaya kalau aku adalah orangtua salah seorang penghuni rumah mewah yang kalian katakan itu? Kalian adalah masyarakat Malin Kundang. Engkau mewakili masyarakat itu! Engkau akan menjadi batu.” Orang tua itu menunjuk ke polisi lalu lintas itu. Polisi lalu lintas itu terkejut:

Apa maksud orang tua ini? Aku mewakili masyarakat Malin Kundang? Legenda itu menceritakan orang-orang tidak percaya kalau wanita tua yang mengenakan pakaian yang dia punya adalah ibu si Malin Kundang. Tidaklah mungkin wanita tua terlunta-lunta di tepi pantai menunggu kedatangan anaknya adalah ibu seorang kaya raya. Ibu orang yang bepergian dengan kapal miliknya dari pulau ke pulau, menjalankan usaha di jalur perdagangannya. Dia datang ke pulau itu rindu akan kampung halamannya. Ibunya mendengar kabar kedatangan anaknya. Dia datang menyambut, tetapi orang-orang menertawakannya dan mengejeknya. Malin Kundang tidak mengakuinya sebagai ibu. Jadi, orang tua ini merasa diperlakukan seperti yang dilakukan Malin Kundang terhadap ibunya.

***

Si Bapak Tua yang sudah hampir putus asa menghadapi dua orang petugas yang sejak semula tidak percaya kalau dia mempunyai anak yang tinggal di komplek perumahan itu, tiba-tiba ada sedikit harapan ketika anaknya dan menantunya yang mengendarai mobil mewah berhenti di dekatnya. Mereka mendekati Si Bapak Tua dan mengajaknya masuk ke mobil dan  menuju rumahnya. Susah dibayangkan kalau di detik-detik yang menggentingkan itu Sang Anak dan menantunya tidak kunjung datang. Perlakuan kasar dari Pak Polisi dan sikap tidak percaya yang ditunjukkan kedua petugas itu boleh jadi membuat Si Bapak Tua itu panik, jiwanya tidak tenang, stres. Kedatangan anak dan menantunya membuat semuanya jadi cair meskipun kedua petugas itu hanya bisa tertegun tidak mengerti (bisa-bisanya seorang bapak tua dari kampung dengan pakaian yang lusuh dan membawa hasil kebunnya mempunyai anak yang tinggal di komplek perumahan mewah).

Sebuah mobil kelas termahal berbelok ke arah pintu gerbang perumahan mewah itu. Lelaki yang duduk di bangku belakang menyentuh pundak sopir dan meminta kendaraan itu dihentikan. Lelaki itu bersama istrinya sedang pulang dari bepergian.

“Tunggu sebentar,” katanya. Dia perhatikan orang tua yang duduk di bendul jalan. Dia menoleh kepada istrinya. “Orang tua itu seperti ayah. Coba kau lihat. Ya…, seperti ayah. Ya! Itu Ayah! Lihat, apa yang dia bawa? Setandan pisang. Dua ikat jagung, dan sebuah nangka.”

“Ya, betul. Itu ayahmu. Ayahku juga. Mertuaku!”

“Ya, itu adalah ayah!”

Lelaki itu membuka pintu mobil. Dia turun. Langkahnya diikuti istrinya.

“Ayah!” Kata lelaki itu. Orang tua itu melihat ke lelaki itu. Dia berdiri dan air matanya menetes. Lelaki itu menerkam tubuh orang tua itu dan memasukkannya ke dalam dekapannya. Si istri mencium tangan laki-laki tua itu.

“Ayah!” Katanya.

Si Polisi lalu lintas tercengang menyaksikan peristiwa itu. Penjaga kompleks perumahan mewah itu juga tercengang. Buru-buru dia membuka pintu gerbang.

“Ayo, Ayah!” Kata laki-laki itu membimbing ayahnya masuk ke dalam mobil. Si wanita memeluk ayah suaminya itu dan mendudukkannya di bangku depan. Sebelum pintu tertutup, orang tua itu masih sempat menoleh ke polisi lalu lintas itu.

Dalam kehidupan sehari-hari sering orang tertipu dengan penampilan luar seseorang yang tidak dikenalnya. Orang hanya melihat penampilan luarnya  kemudian mengambil kesimpulan yang salah karena juga memiliki stigma yang juga salah. Orang lebih cederung melayani seseorang dengan melihat terlebih dahulu tampilan luarnya. Kalau dari tampilannya terlihat berduit atau punya kedudukan, pasti orang seperti itu dilayani. Tapi, kalau yang di hadapannya seorang tua lusuh, datang dari kampung, sudah pasti tidak dilayani. Bahkan, orang seperti itu layak dicurigai. Padahal di mata Allah semua orang kedudukannya sama. Yang berbeda adalah tingkat ketakwaannya (Surat Al-Hujurat:13). Seandainya saja semua orang berpatokan pada bunyi ayat di Surat Al-Hujurat ayat 13 itu, peristiwa yang sempat membuat ketegangan antara petugas dan bapak tua tidak mungkin terjadi.

***

Hamsad Rangkuti melalui cerpennya (“Si Lugu dan Si Malin Kundang”) ingin mengajak pembacanya agar menghormati, melayani, dan menolong setiap orang tanpa memandang tampilan luarnya. Tampilan luar bisa saja lusuh, kampungan, tidak berpendidikan. Tapi, sebagai hamba Allah orang seperti itu tetap harus dilayani. Bukankah semua agama juga mengajarkan pada setiap umatnya untuk menghormati orang lain? Alangkah indah hidup ini kalau orang muda menghormati orang yang lebih tua (apalagi orang tersebut sudah lansia). Begitu pun orang yang tua mengasihi orang-orang muda. Dalam Islam telah dicontohkan oleh Rasulullah menghormati orang-orang yang lanjut usia. Rasulullah juga mengasihi anak-anak. Semua itu selayaknya ditiru oleh kita semua karena itu merupakan salah satu contoh akhlak mulia yang saat ini sudah memudar di tengah-tengah kehidupan yang serba materialistis. Budaya materialistis telah membutakan mata hati kita sehingga kita silau oleh sesuatu yang di hadapan kita serba berkilau. Kita akan hormati orang yang berpenampilan meyakinkan sementara itu kita mencampakkan orang-orang yang dianggap kampungan atau tidak terdidik. Mudah-mudahan pengalaman hidup kita mengajarkan kita untuk saling menghormati dan melayani siapapun yang ada di hadapan kita. Wallahu`alam bissawab.

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *