Subagio S. Waluyo

 Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.

(Surat Bani Israil: 36)

Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sssat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. 

(Surat Al-A`raf: 179)

Sesungguhnya Allah SWT tidaklah mencabut ilmu (agama) dengan cara mencabutnya langsung dari hamba-hamba-Nya, tapi ia mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama, hingga tiada seorang ulama pun yang tertinggal maka manusia mengambil pemimpin-pemimpin yang jahil (bodoh dalam masalah agama). Lalu, mereka ditanya (tentang masalah agama), maka mereka memberikan fatwanya tanpa pengetahuan, karena itu mereka menjadi sesat dan menyesatkan.

(Riwayat Bukhari dan Muslim melalui Ibnu Umar R.A.)

***

Rumor yang beredar menyebutkan kalau Kiai Genggong pernah menampar orang. Orang yang ditampar itu konon kabarnya hidupnya sukses. Artinya, mereka memiliki harta dan kedudukan terhormat. Orang-orang di sekitar tinggal Kiai Genggong ada yang percaya, ada yang ragu, dan ada juga orang tidak percaya sama sekali. Di cerpen “Kiai Genggong” yang ditulis Moh Wan Anwar dalam sebuah dialognya disebutkan kalau Kiai Genggong termasuk orang tidak tega menampar. Kalau begitu, perlu konfirmasi apakah benar pernah ada orang yang ditampar Kiai Genggong? Apakah benar orang yang ditampar Kiai Genggong jadi sukses hidupnya? Jangan-jangan ini hanya hoax yang sengaja dibuat-buat orang-orang yang tidak bertanggung jawab agar masyarakat kita semakin jumud (beku, statis, bisa juga bodoh). Atau boleh juga ini merupakan progam penjumudan?

Moh Wan Anwar mengangkat masalah kejumudan di kalangan umat Islam yang bermula dari sikap berlebihan terhadap orang-orang berilmu. Sikap ini seolah-olah memitoskan orang-orang berilmu. Saking kuatnya umat Islam memitoskan orang-orang pintar, sampai-sampai ada orang mengkultuskan orang-orang pintar itu. Salah satu perilaku berlebihan dalam memitoskan orang-orang berilmu diangkat oleh Moh Wan Anwar (dalam cerpennya) ada pada diri Kiai Genggong. Padahal Kiai Genggong ulama muda. Mungkin karena kemudaannya ada sedikit tempramental. Meskipun demikian, kalau  melihat dialog berikut ini, kita bisa menyimpulkan Kiai Genggong orang yang lembut karena termasuk orang yang tidak tega menampar orang. Ketika dipukuli oleh Bung Hamid dan Bung Jamal yang berkeinginan ditampar olehnya, dia tidak berupaya melawan. Justru, Om Sarjono, satpam pesantren yang akhirnya menanganinya sehingga  keduanya dibuat babak belur.

“Bapak-bapak teh ada keperluan apa, tolong segera katakan!”

“Pertama-tama.…”

“Mohon langsung ajah ke pokok tujuan!”

“Kami ingin bersilaturahmi.…”

“Alhamdulillah, kita sekarang sudah bertemu bukan?”

“Kami… ehm… ingin belajar.…”

“Niat yang mulia.…”

“Maksud kami…, kami… punya masalah.”

“Subhanallah, bertawakalah kepada Allah!” Dan Kiai seakan mau beranjak.

“Tapi… Kiai, kami…, kami… membutuhkan bantuan.…”

“Berdoalah kepada Allah, lalu berusaha.…”

“Kami… sengaja… kami mau memohon nasihat….”

“Bacalah kitab suci dan….”

“Maksud kami…, kami… ingin menyumbang.…”

“Alhamdulillah, nuhun, bersedekahlah terutama ke fakir miskin.”

“Kiai, kami ada perlu,” kata Bung Hamid tiba-tiba tegas.

“Dan penting sekali!” sambung Bung Jamal.

“Perlu apa atuh, mohon segera katakan!” Kiai Genggong suaranya dalam.

“Kami banyak kehilangan harta….”

“Carilah kembali dengan jalan yang benar.”

“Kami ingin kembali kaya.”

“Niat yang bagus, asal demi kemaslahatan dunya akherat.”

“Kami membutuhkan Kiai!” kata Bung Hamid lepas.

“Kiai harus membantu kami!” Bung Jamal teriak.

Kiai Genggong beranjak dan hendak meninggalkan mereka, tetapi Bung Hamid dan Bung Jamal berbarengan teriak, “Kami minta Kiai menampar kami!”

Kiai Genggong benar-benar meninggalkan mereka, menuju pintu ruang tengah, menyentuh gerendel kunci, tetapi Bung Hamid dan Bung Jamal sigap menepuk punggung Kiai, membalikkannya, dan kembali teriak, “Tamparlah kami, tamparlah Kiai!”

Kiai Genggong melepaskan cengkeraman tangan mereka, tapi Bung Hamid menghadang dekat pintu ruang tengah. “Kami mohon Kiai, tamparlah kami!”

“Maafkan Bapak-bapak, sayah tak pernah tega menampar orang!”

“Jangan berdusta, Kiai!” Dan plak! Bung Hamid menampar Kiai hingga terhuyung ke sudut ruang dan juga plak, sebuah tamparan lagi kali ini dari telapak tangan Bung Jamal. Darah tipis mengalir dari sela bibir Kiai. “Tamparlah kami, Kiai, kalau tidak terpaksa.…”

Namun tiba-tiba buuk, buuk, tinju Om Sarjono yang sejak tadi mengawasi mereka mendarat di hidung Bung Hamid dan mata Bung Jamal. Darah meleleh dan begitu tubuh mereka rebah, Om Sarjono menekukkan siku lengannya dan sebelah kakinya ke masing-masing dada mereka. “Pak Kiai, tolong tinggalkan kami, biar mereka saya yang ngurus!”

Dari dialog di atas tampak sekali kealimannya. Mata hatinya bisa melihat ada niat tersembunyi tamunya yang sengaja datang untuk silaturahim. Karena kedatangannya sudah terbaca niatnya oleh Kiai Genggong, ketika mereka mengajukan berbagai permasalahan (semacam curhat) Sang Kiai jawabannya diplomatis. Jelas, mereka merasa tidak puas dengan respon Sang Kiai. Sampai-sampai mereka minta ditamparpun oleh Kiai Genggong tidak direspon. Padahal kedatangan mereka sebenarnya memang minta ditampar (karena mereka termakan berita hoax kalau ditampar Kiai Genggong akan sukses hidupnya). Kiai Genggong yang memang termasuk orang yang tidak tega menampar orang, tidak melakukannya. Akibatnya, mereka sendiri yang berbuat kasar dengan menampar Sang Kiai. Orang terdekat Kiai Genggong, Om Sarjono, tidak tinggal diam, mereka dihajar habis-habisan sampai babak belur.

***

Pengajian yang dipimpin Kiai Genggong mengalami penyusutan sejak terjadi penamparan oleh Sang Kiai (menurut kabarnya). Tapi, daerah di lingkungan pesantren Kiai Genggong justru semakin ramai karena oleh orang-orang yang berziarah ke makam Mama (termasuk salah seorang pimpinan pesantren sebelum Kiai Genggong). Lingkungan pesantren semakin ramai sejak adanya aktivitas haulan (tradisi memperingati kematian yang biasa dilakukan setahun sekali di sebagian kalangan umat Islam terutama di Jawa) yang memakan waktu sampai lima hari. Selain itu, beredar juga cerita-cerita di sekitar Kiai Genggong yang diduga punya kesaktian (karomah). Cerita-cerita kesaktian ini yang membuat orang penasaran di antaranya, yaitu ingin ditampar Sang Kiai agar hidupnya sukses. Jadi, mereka yang datang berziarah dan juga silaturahim ke tempat Kiai Genggong umumnya punya niat yang sama: ingin mengubah nasib dengan cara ditampar oleh Kiai.

Tapi Gupitan tidak ditakdirkan menjadi kampung yang sunyi. Meski pesantren sepi, di sekitar kuburan Mama malah tumbuh semacam pasar. Banyak orang berziarah, malah mereka datang dari kota-kota yang jauh. Warga Gupitan tak menyia-nyiakan peluang itu. Mereka berdagang: sate kambing, nasi goreng, soto ayam, ikan goreng, busana muslim, mainan anak, dan lain-lain. Suasana semakin ramai ketika Kiai Genggong memaklumatkan tiap tahun akan ditradisikan haolan mangkatnya Mama.

Tradisi haolan dari tahun ke tahun pun berkembang. Lokasi pasar dekat kuburan meluas. Di lokasi kuburan, Kiai Genggong membangun gedung besar untuk berdoa. Haolan yang awalnya cuma semalam dua malam, lama-lama jadi seminggu. Pamor Kiai Genggong terangkat lagi, jemaah ke pesantrennya kembali bertambah. Pelataran parkir pesantren kemudian diperluas karena jemaah dan peziarah selalu datang bermobil-mobil, bahkan berbus-bus.

Seiring dengan banjirnya jemaah dan peziarah, perilaku Kiai Genggong kembali normal. Malah warga Gupitan dan para jemaah mulai memandang lain ketika suatu hari gilinding yang mengaspal lapangan parkir pesantren terjerumus ke jurang sungai. Semua pekerja panik, tapi Kiai Genggong tampil mencengangkan. Dengan tenang, diambilnya sehelai benang, dikaitkan ke tiang gilinding, lalu gilinding itu diangkat ke tempat semula.

Sejak itu masyarakat percaya, Kiai Genggong kiai sakti. Kesaktiannya terbukti pula pada suatu hari hujan lebat padahal banyak peziarah di luar bangunan kuburan. Hanya dengan mengangkat kedua tangan dan mengibaskan sorbannya, hujan di sekitar kuburan tiba-tiba reda. Bukan hanya itu, bila masjid pesantren tidak cukup menampung jemaah, Kiai Genggong meminta santrinya membentangkan tikar pandan di atas kolam pinggir masjid dan menyuruh jemaah shalat di tikar itu.

Kesaktian Kiai Genggong tersiar dari mulut ke mulut, juga berita-berita koran. Jemaah pun kian berjubel. Sementara itu, kuburan Mama terus dikunjungi peziarah dari berbagai penjuru. Memang akhirnya ada banyak orang datang hanya berharap menyaksikan kesaktian Kiai Genggong-entah sebagai hiburan, bahan cerita, atau berharap dapat barokah kesaktian tersebut.

…………………………………………………………………………………………………….

Pada suatu hari, dua lelaki bernama Hamid dan Jamal, dari kota provinsi, datang juga ke Pesantren Gupitan. Mereka shalat di sana, ziarah ke kuburan Mama, dan menyimak pengajian Kiai Genggong. Seperti jemaah lain, di hati dua petinggi partai yang juga pengusaha itu tebersit harapan siapa tahu kena tamparan Kiai Genggong.

Niat para peziarah yang datang dengan niat agar ditampar Kiai Genggong sehingga hidupnya nanti sukses jelas menunjukkan perilaku kejumudan. Perilaku ini banyak dianut umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini. Mereka yang jumud umumnya adalah orang-orang yang patut diduga ilmu ke-Islam-annya rendah. Ibadah yang mereka lakukan tidak didasari oleh ilmu yang memadai. Sangat mungkin mereka awam dengan niat, amal, dan tujuan beribadah. Mereka juga tidak pernah mengkaji nilai-nilai agama secara benar. Artinya, mereka hanya sekedar melaksanakan ibadah tapi tidak disertai dengan ilmunya atau syari`atnya (dalam hal ini tidak pernah berupaya mengambil dari sumber-sumbernya yang benar). Tidak mustahil banyak di antara mereka yang sekedar bisa baca Qur`an tapi sama sekali tidak memahami isi kandungan Al-Qur`an. Kalau mengikuti pengajian, sudah menjadi rahasia umum, mereka telan mentah-mentah semua yang disampaikan gurunya. Boleh jadi sang guru juga ikut punya saham menanamkan nilai-nilai kejumudah dengan membahasakannya ke para jamaahnya bahwa semua yang dikatakannya benar dan haram dibantah.

Dalam cerpen “Kiai Genggong” yang ditulis Moh Wan Anwar, misalnya, itu sebuah contoh kejumudan yang memakan korbannya di antaranya Bung Hamid dan Bung Jamal. Mereka berdua dikenal sebagai petinggi partai. Berarti mereka bukan orang sembarang. Sedikitnya mereka termasuk orang terpelajar, kaya, dan tokoh masyarakat di daerahnya. Meskipun demikian, mereka yang seharusnya bisa berpikir realistis, karena didasari ilmu agama yang sempit dan cenderung beragama hanya ikut-ikutan, pada akhirnya malah melakukan tindakan yang tidak terpuji. Saking mau ditampar oleh Kiai Genggong mereka sampai berbuat kasar terhadap Sang Kiai. Bukankah ini sebuah contoh betapa seharusnya orang seperti ini bisa berpikir realistis justru sebaliknya berperilaku jumud. Karena kejumudan, membuat mereka gelap mata sampai-sampai orang alim yang seharusnya dihormati malah diperlakukan secara kasar. Dengan demikian, kejumudah bisa membuat orang hilang akal yang merembet juga pada hilangnya akhlak.

***

Di awal tulisan ini dikutip dua ayat Qur`an (Surat Bani Israil: 36 dan Surat Al-A`raf: 179) dan satu petikan hadits dari Bukhari-Muslim. Kalau diamati isinya sama, yaitu sama-sama menekankan pada umat Islam agar menuntut ilmu (terutama ilmu agama atau syariat Islam). Di Surat Bani Israil:36 isinya mengarah pada perintah menuntut ilmu karena nanti setiap orang  yang mengaku muslim ketika mengambil keputusan (dalam masalah agama) juga harus berdasarkan syariat Islam. Dalam Surat Al-A`raf: 179 juga sama menekankan agar setiap muslim wajib menuntut ilmu (dalam hal ini ilmu agama) karena orang yang tidak berilmu itu diibaratkan seperti hewan ternak bahkan bisa lebih buruk lagi kedudukannya. Di hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim juga sama ada perintah tersirat untuk menuntut ilmu karena orang yang tidak berilmu akan minta pendapat pada pemimpin-pemimpin yang dzolim. Pemimpin-pemimpin ini yang akhirnya banyak menjerumuskan orang.

Sebelum kita dijerumuskan oleh pemimpin-pemimpin yang dzolim sudah saatnya kita ikut kajian-kajian Islam yang dipimpin oleh para guru yang `mumpuni`. Guru-guru yang mumpuni ini benar-benar guru  yang punya referensi ilmu-ilmu ke-Islam-an yang memadai. Guru-guru yang `mumpuni`, guru-guru yang berakhlak mulia seperti Rasulullah. Guru-guru yang mumpuni, guru-guru yang kerap membaca, menghafal, mentadaburkan, dan juga mengamalkan isi Al-Qur`an. Guru-guru yang mumpuni, guru-guru yang selalu basah lidahnya dengan dzikir pada Allah. Guru-guru yang `mumpuni` ini guru-guru yang benar-benar cinta akhirat. Meskipun demikian, guru-guru yang `mumpuni` ini bukan guru-guru yang membenci dunia. Justru, guru-guru yang `mumpuni` ini banyak memberikan motivasi pada para jamaahnya agar berperan aktif dalam segala aspek kehidupan di dunia ini. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang jauh dari kejumudan karena kalau masih saja dalam kejumudan, tidak mustahil kita akan ditenggelamkan oleh Allah. Naudzubillahi min dzaalik. Wallahu a`lam bissawab.

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *