Subagio S. Waluyo

Jujun S. Suriasumantri dalam Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (2007:231) menyampaikan bahwa ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi itu sendiri. Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Namun, bahkan, kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri. Dengan kata lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Karena tujuan hidup manusia ditentukan oleh ilmu itu sendiri, sah-sah saja kalau ada anggapan kegiatan keilmuan tidak perlu meninggikan kebenaran atau kegiatan keilmuan tidak bisa dipengaruhi oleh pandangan moral.

***

          Bagaimana kalau kegiatan keilmuan terlepas dari pandangan moral? Bisa jadi kalangan ilmuwan yang berpegang teguh dengan prinsip tersebut termasuk ilmuwan yang sekuler. Bukankah sekuler itu didefinisikan sebagai suatu hal yang bukan bersifat keagamaan atau bisa juga diartikan suatu hal yang cenderung bersifat kebendaan. Jika kata `sekuler` diberi akhiran –isme menjadi `sekulerisme` bisa didefinisikan sebagai paham yang memisahkan antara agama dan urusan-urusan negara, politik, atau institusi publik (https: //www.liputan6.com/hot/read/5370934/sekuler-adalah-bersifat-kebendaan-bukan-keagamaan-kenali-contoh -negara-sekuler). Untuk itu, sekulerisme bisa diartikan sebagai paham atau kepercayaan yang berpendirian bahwa paham agama tidak dimasukkan dalam urusan politik, negara, atau institusi publik.

          Bagaimana seandainya agama tidak dimasukkan ke dalam urusan-urusan politik, negara, atau institusi publik (sebut saja semuanya itu urusan duniawi)? Bukankah dalam agama diajarkan hal-hal yang berkaitan dengan moral atau akhlak? Kalau tidak dimasukkan unsur-unsur agama, sudah bisa dipastikan akan ada ilmuwan yang tidak bermoral atau berakhlak. Ilmuwan jenis ini ketika mengkaji hakikat ilmu dan cara mendapatkan ilmu tentu saja  akan melakukan cara apapun. Cara-cara yang ditempuh sangat mungkin cara-cara yang tidak berpegang teguh pada unsur moral. Bisa juga dikatakan ilmuwan jenis ini telah menyepelekan konsep aksiologi. Kalau  konsep aksiologi sudah tidak ada lagi dalam menjalankan kerja-kerja keilmuannya, sah-sah saja ilmuwan jenis ini akan melakukan berbagai kebohongan seperti yang sudah disampaikan dalam “Catatan dari Menara Gading (3)”. Berbicara tentang kebohongan atau ketidakjujuran bisa dilihat dari dua orang tokoh nasional: Kasino Hadiwibowo (Kasino Warkop) dan Buya Hamka. Silakan disimak yang disampaikan oleh kedua tokoh tersebut berikut ini.

(https://web.facebook.com/prof.Hamka/photos/a.950233551693538/2299247236792156/?type=3&_rdc=1&_rdr)

Kasino Hadiwibowo yang lebih dikenal dengan Kasino Warkop adalah salah seorang pelawak di masa Orde Baru (akhir 70-an) yang cukup terkenal. Sebagai pelawak yang berpendidikan tinggi (alumnus FISIP UI) Kasino dalam suatu momen tertentu pernah menyampaikan pernyataan kalau bangsa ini tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur. Ada benarnya juga pernyataan Kasino. Diakui atau tidak bangsa ini orang pintar boleh dikatakan cukup banyak. Semakin ke mari semakin banyak sarjana keluaran PTN-PTS terkenal, baik dalam negeri maupun luar negeri. Tapi, itu perilakunya boleh dikatakan tidak jujur. Justru, kejujuran itu lebih penting daripada seorang akademis yang bertitel guru besar tetapi keblinger perilakunya. Ternyata, di masa reformasi seorang rektor pun tidak luput dari korupsi. Bahkan, kalau diadakan pendataan tentang mereka-mereka yang korup dilihat dari latar belakang pendidikannya, kita yakin sebagian besar mereka adalah orang-orang pintar. Jadi, negara ini boleh dikatakan sudah rusak (kalau boleh hancur sekalipun) karena ulah orang-orang pintar yang tidak jujur.

Setiap orang yang pernah berbuat bohong karena perbuatan bohongnya tidak diketahui orang lain, dia akan mengulanginya. Akhirnya, dia akan kerap melakukan hal yang sama; berbuat bohong. Orang jenis ini tanpa disadarinya telah terbiasa hidup dengan kebohongan. Perbuatan bohong telah mendarah daging dalam hidupnya. Tidak mustahil suatu saat boleh jadi dia sendiri tidak tahu yang keluar dari mulutnya mana perkataan yang benar, mana yang tidak benar (bohong). Berkaitan dengan itu, di negara ini sudah sulit sekali orang percaya dengan ucapan sang pejabat publik karena sesuatu yang disampaikan yang sebenarnya benar oleh masyarakat sudah dianggap tidak benar (bohong). Sebaliknya, sesuatu yang disampaikan tidak benar (bohong) oleh masyarakat dianggap benar. Semua itu lebih disebabkan oleh perilaku pejabat publik yang kerap berbuat bohong. Untuk itu, siapapun orangnya jangan memulai sesuatu dengan kebohongan karena tidak mustahil di samping orang itu tidak bisa lagi membedakan mana ucapannya yang benar, mana ucapannya yang bohong seperti yang disampaikan Buya Hamka di atas.

***

          Sebagai ilmuwan harus terhindar dari kebiasaan bohong. Seorang ilmuwan yang kerap berkutat dengan konsep ontologi dan epistemologi agar terhindar dari kebohongan harus memiliki niat dalam mengkaji ilmu memiliki konsep aksiologi atau dia harus bisa mengambil manfaat dari pengkajian ilmunya. Kalau sudah bisa mengambil manfaat dari ilmu yang dikajinya, ilmuwan tersebut sudah bisa dipastikan tidak akan melakukan kebohongan. Ilmuwan jenis ini benar-benar sudah memiliki konsep aksiologi. Sebaliknya, kalau masih saja ada kebohongan dalam bertindak dan bertutur kata, sangat mungkin ada yang belum beres: ilmuwan tersebut belum secara mendalam mengkaji, memahami, dan menerapkan konsep aksiologi. Mudah-mudahan saja masih ada di antara ilmuwan yang bisa mengambil manfaat dari ilmu yang dikajinya sehingga anak-anak didiknya terhindar dari kebohongan. Wallahu a`lam bissawab.

Sumber Gambar :

  1. (https://web.facebook.com/prof.Hamka/photos/a.950233551693538/2299247236792156/?type=3&_rdc=1&_rdr)
  2. (https://web.facebook.com/prof.Hamka/photos/a.950233 551693538/2299247236792156/?type=3&_rdc=1&_rdr)

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *