Subagio S. Waluyo

 

 “Pak, Sulam mati tergilas truk di batas kota Jatilawang.”

Bisa jadi tukang beca itu masih berkata banyak. Namun kalimat pertamanya yang kudengar sudah cukup. Aku tak ingin mendengar ceritanya lebih jauh. Aku malu, perih. Demikian malu sehingga aku tak berani menjenguk mayat Sulam di Jatilawang meski istriku berkali-kali menyuruhku ke sana. Sulam telah menyindirku dengan cara yang paling sarkastik sehingga aku mengerti bahwa diriku sama sekali tidak lebih baik daripadanya. Atau memang demikianlah keadaan yang sesungguhnya. Karena dalam hati sejak lama aku percaya, setiap hari Tuhan tak pernah jauh dari diri Sulam. Dan aku konon telah mencoba bersuci jiwa hampir sebulan lamanya, malah menampik permintaan Sulam yang terakhir. Padahal sungguh aku mampu memberikannya.

(Cerpen “Wangon-Jatilawang”/Ahmad Tohari)

***

          Kematian Sulam bagi tokoh Aku lebih merupakan sindiran (satire) tetapi menyakitkan (sarkasme). Tokoh Aku merasa sia-sia selama bulan Ramadhan bersuci diri karena  masih ada benih-benih kekurangpercayaannya pada Sulam. Masih ada perasaan sangka buruk. Perasaan sangka buruk itu ditegur oleh Sang Khalik dengan mengujinya lewat Sulam yang di cerpen “Wangon-Jatilawang” karya Ahmad Tohari sebagai orang yang terbelakang mentalnya. Wajar kalau Tokoh Aku merasa malu pada Sulam yang telah menyindirnya lewat sebuah kematian yang sungguh mengenaskan: ditabrak truk. Entah itu perasaan berlebihan pada Tokoh Aku atau memang sesungguhnya manusia yang peduli pada sesamanya harus memiliki sikap seperti itu. Sikap orang-orang yang altruisme. Sikap yang mulai memudar karena tergerus oleh roda-roda pembangunan.

          Orang-orang yang altruis memang cenderung cepat merespon kalau ada hal-hal yang mengena pada orang lain (terutama musibah). Mereka tidak bisa berdiam diri kalau ada kejadian yang menimpa orang-orang di sekitarnya. Mereka akan berupaya membantu orang-orang yang terkena musibah. Jangankan musibah, seperti petikan cerpen di atas, ada orang yang tergolong berkebutuhan khusus saja, yang hidupnya tidak nyaman, tidak aman, jauh dari sejahtera mereka akan berusaha menolongnya semampu mungkin.  Kalau tidak bisa menolongnya, karena alasan tertentu, kemudian timbul musibah, mereka akan melakukan introspeksi diri. Kebalikan dari orang-orang yang altruis adalah orang yang egois. Egois atau egoisme adalah sikap yang berpusat pada diri sendiri, mementingkan diri sendiri, dan mencari kepentingan diri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain, bahkan cenderung meniadakannya (A.Mangunhardjana, Isme-Isme dari A sampai Z, 2001 :58). Sikap egoisme sama dengan sikap altruisme bukan hanya terjadi pada orang tapi juga pada keluarga, kelompok, organisasi, lembaga, atau instansi (termasuk pemerintah). Sikap egois tentu saja akan berdampak negatif. Dampaknya bisa terjadi secara perorangan, keluarga, kelompok, dan bisa juga pada daerah/negara kalau pemerintahnya egois.

***

Pemerintah yang egois cenderung melakukan pengabaian terhadap penyakit-penyakit sosial di daerah atau negaranya. Penyakit-penyakit sosial seperti korupsi, mafia hukum, kemiskinan, kekerasan, pelanggaran HAM, bahkan narkoba sekalipun bukan semakin berkurang malah semakin bertambah kasusnya. Dikatakan pengabaian karena adanya faktor psikologis dan sosiologis yang  menunjukkan pelakunya (pemerintah) lebih menunjukkan ego dan keinginan untuk menjaga imej (jaim) yang didasari adanya reputasi diri sehingga pelaku enggan mengakui kesalahan dan kegagalan. Akibat adanya pengabaian tidak aneh kalau negara yang dipimpin pemerintah yang egois nyaris terpeleset ke negara gagal. Satire yang sarkasme bahwa negara yang dipimpinnya sedang menuju negara gagal masih ditempis dengan kalimat-kalimat yang membesarkan hati rakyat. Tujuannya apalagi kalau bukan menutupi aib yang lebih besar dengan kebohongan.    

Perilaku menutupi aib besar dengan kebohongan bukan hanya dilakukan pemerintahan reformasi, sebelum reformasi, Soeharto juga melakukan cara-cara kekerasan manakala berhadapan dengan para oposisi (penentangnya). Tapi, perlu juga diketahui Soeharto menanamkan juga perilaku patronase sehingga muncul perilaku `Asal Bapak Senang` (ABS). Karena ABS, juga banyak pejabat publik yang berusaha `cari  muka` (carmuk) di hadapan Soeharto. Muncullah perilaku carmuk yang sampai sekarang masih dan semakin banyak pelakunya. Tidak cukup sampai di situ, Soeharto juga mengontrol secara ketat administrasi pemerintahan sehingga yang namanya daerah tidak diberi kewenangan untuk mengelola daerahnya sendiri. Semuanya harus dikontrol pusat (sentralisasi). Supaya para pendukungnya loyal, Soeharto mengangkat dan mendudukkan mereka-mereka yang menjadi penantang dan calon penentang di berbagai instansi sipil yang konon kabarnya instansi-instansi sipil yang basah. Siapa yang menempati instansi-instansi tersebut? Tentu saja para perwira militer. Mereka diberi fasilitas untuk berbisnis. Mereka juga diberi berbagai kemudahan administratif entah itu yang berkaitan dengan lisensi, kredit, kontak. Dengan cara demikian, karena dukungan militer, Soeharto benar-benar dapat memenangkan dan mempertahankan kekuasaannya. Seandainya, cara-cara tersebut tidak dilakukan, tidak mungkin Soeharto bisa berkuasa lebih dari 32 tahun.

Ekspansi kekuasaan Soeharto ditopang oleh kapasitasnya yang membengkak dalam memakai kekerasan terhadap kelompok-kelompok penentang tetapi cara utama yang dipakai adalah lewat patronasi. Dengan mengontrol administrasi pemerintah, ia membagi-bagi imbalan kepada para pendukung yang loyal, mematahkan para penantang dan calon penentang dengan mengangkat mereka menduduki jabatan-jabatan sipil yang basah denga keuntungan material. Para perwira militer diberi fasilitas terjun ke dunia bisnis, dengan janji bantuan dari jajaran adminitrasi kapan pun mereka butuh lisensi, kredit, kontak. Kontrol atas mesin patronasi inilah kunci yang membuat Soeharto dapat memenangkan dan mempertahankan dukungan militer bagi kekuasaannya.

(B. Herry Priyono, Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi, 2018: 284-285) 

***

Penyakit sosial bernama korupsi di masa orde baru sudah mulai marak. Di masa reformasi lebih marak lagi. Kalau di masa orde baru korupsinya benar-benar tersentralisasi, di masa reformasi berbarengan dengan kebijakan yang mengarah pada desentralisasi juga korupsi terdesentralisasi. Artinya, korupsi di masa reformasi lebih gila lagi dari masa orde baru karena korupsinya benar-benar sudah dilakukan semua pihak dari pejabat-pejabat politik di pusat sampai pejabat-pejabat politik di pelosok-pelosok daerah. Kalau dulu jarang terdengar gubernur, bupati, atau walikota sampai dengan anggota dewan korupsi, sekarang menurut data terakhir saja dari KPK pejabat politik ada  70 anggota DPR, 1 orang anggota DPD 165  orang pejabat DPRD,  dan 108 orang kepala daerah (https://jarrak.id/344-pejabat-publik-terjerat-kasus-korupsi-ini-rinciannya/). Ironisnya, di negara ini orang yang demikian giat melancarkan kampanye anti korupsi justru diam-diam menerima fee dari para konglomerat seperti terlihat pada gambar kartun di bawah ini. Selain itu, ada desakan kuat untuk membubarkan KPK tetapi di sisi lain juga meminta memaafkan para koruptor.  Bukankah ini sebuah satire yang sarkasme?

Masih berkaitan dengan korupsi, Indonesian Corruption Watch (ICW) pernah mendesak pemerintah agar tidak mengangkat residivis korupsi atau mantan koruptor menjadi pejabat publik. Boleh jadi ICW mencium gelagat bahwa pemerintah yang berkuasa bernafsu besar mengangkat pejabat publik di negara ini dari mantan koruptor atau boleh juga yang pernah masuk penjara. ICW menengarai bahwa orang yang pernah terlibat korupsi tidak ada istilah kata jera dalam hal melakukan korupsi. Bupati Kudus, Muhammad Tamzil, menjadi tersangka suap terkait jual-beli jabatan di Pemkab Kudus. Sebelumnya, di periode jabatan yang terdahulu tahun 2003-2008 pernah divonis bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus. ICW mengusulkan agar ketentuan pelarangan tersebut dimasukkan ke dalam Perpu Pemilu atau UU Pemilu yang telah direvisi karena kalau hanya pelarangan di level Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) mudah dimentahkan begitu digugat ke Mahkamah Agung (MA). Jadi, lembaga semacam KPU yang mengatur pelarangan mantan residivis korupsi mencalonkan diri menjadi pejabat publik (anggota dewan, gubernur, bupati, walikota) saja bisa dimentahkan MA. Benar-benar sebuah satire yang sarkasme buat lembaga-lembaga negara yang terlibat dalam perpolitikan di negara ini.     

Tirto.id – Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak ada peraturan yang melarang residivis kasus korupsi atau mantan koruptor mencalonkan diri menjadi pejabat publik.

“Larangan mantan napi korupsi [jadi pejabat publik] berkaca dari kasus Bupati Kudus yang sudah pernah dipenjara dan dia mengulangi lagi dengan kasus yang sama,” kata peneliti ICW Donal Fariz di kawasan Cikini, Jakarta Pusat pada Selasa (20/7/2019).

Donal menyatakan hal ini saat menyinggung Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menjaring Bupati Kudus Muhammad Tamzil.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menetapkan Tamzil menjadi tersangka suap terkait jual-beli jabatan di Pemkab Kudus. Tamzil bukan sekali ini saja terjerat kasus korupsi. Dia sudah pernah divonis bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus saat menjabat bupati periode 2003-2008.

Donal mengatakan, aturan yang dibutuhkan untuk melarang mantan koruptor menjadi pejabat publik bukan pada level Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).

Sebab, berkaca pada PKPU pelarangan mantan napi korupsi maju di Pemilihan Legislatif, aturan itu gampang dimentahkan begitu digugat ke Mahkamah Agung.

Oleh karena itu, menurut dia, larangan tersebut perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang-Undang (Perppu) atau dimasukkan dalam revisi UU Pemilu.

“Inisiatif ini kami dorong ke pemerintah untuk melakukan kebijakan itu,” katanya.

Di sisi lain, Donal meminta penegak hukum menambahkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih ke dalam tuntutan terhadap terdakwa korupsi. Menurut dia, selama ini hal itu baru dilakukan oleh KPK.

(https://tirto.id/icw-desak-mantan-koruptor-dilarang-jadi-peja-bat-publik-efjC)

         ***

          Negeri ini memang penuh satire dan sarkasme. Tentang satire dan sarkasme tidak luput dari pengamatan KH Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus. Gus Mus menulis hasil pengamatannya dalam sebuah pusi berjudul “Amplop”. Gus Mus menulis di negeri ini semua bisa diatur dan juga bisa dirusak oleh amplop. Hal-hal yang semula teratur (karena ada regulasinya) bisa dirusak oleh amplop.Sebaliknya, sesuatu yang tidak ada aturannya bisa ada aturannya, juga sama lewat amplop. Amplop bisa memutuskan suatu putusan yang belum/tidak terputuskan. Amplop juga bisa tidak memutuskan suatu putusan yang sudah putus. Bukankah negeri ini memang dikuasai `mafia hukum` yang semuanya bisa diselesaikan lewat amplop? Amplop juga bisa menguasai penguasa sehingga penguasa bisa mengendalikan rakyatnya. Cuma gara-gara amplop penguasa bisa ditundukkan. Cuma gara-gara amplop rakyat bisa dikendalikan. Bukankah ini luar biasa. Konon kabarnya saking luar biasanya, amplop bisa membeberkan dan menyembunyikan. Apa yang bisa dibeberkan dan disembunyikan? Amplop bisa membeberkan keburukan seorang pejabat publik yang terkena skandal entah korupsi, jabatan, atau…perempuan. Amplop juga bisa menyembunyikan keburukan seseorang. Seorang koruptor yang mau aman dan nyaman dengan uang hasil korupsinya bisa lewat amplop yang digunakan untuk menyumpal pejabat-pejabat KPK atau kepolisian. Amplop bisa menyumpal orang-orang yang sering bersuara miring terhadap pemerintah menjadi orang yang diam seribu bahasa atau bisa juga `masuk angin`. Amplop bisa saja mengubah seorang alim sekalipun menjadi orang yang penuh  nafsu duniawi. Dia bisa menjadi orang yang dikuasai hawa nafsunya. Terakhir, amplop bisa meluluh-lantakkan orang yang dianggap kebal hukum menjadi tidak berkutik sama sekali. Semuanya, di negeri kolam susu ini bisa diselesaikan semua permasalahan lewat amplop.     

DI NEGERI AMPLOP

Oleh : (Gus Mus)

Aladin menyembunyikan lampu wasiatnya “malu”

Samson tersipu – sipu, rambut keramatnya ditutupi topi “rapi – rapi”

David coverfil dan rudini bersembunyi “rendah diri”

Entah, andai Nabi Musa bersedia datang membawa tongkatnya

Amplop – amplop di negeri amplop mengatur dengan teratur

Hal – hal yang tak teratur menjadi teratur

Hal – hal yang teratur menjadi tak teratur

Memutuskan putusan yang tak putus

Membatalkan putusan yang sudah putus

Amplop – amplop menguasai penguasa

Dan mengendalikan orang – orang biasa

Amplop – amplop membeberkan dan menyembunyikan

Mencairkan dan membekukan

Mengganjal dan melicinkan

Orang bicara bisa bisu

Orang mendengar bisa tuli

Orang alim bisa nafsu

Orang sakti bisa mati

Di negri amplop, amplop – amplop mengamplopi apa saja dan siapa saja.

(https://mengakujenius.com/5-contoh-puisi-satire-dan-pengertiannya-lengkap/)

Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri atau lebih sering dipanggil dengan Gus Mus (lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944; umur 75 tahun) adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang dan menjadi Rais Syuriah PBNU. Ia adalah salah seorang pendeklarasi Partai Kebangkitan Bangsa dan sekaligus perancang logo PKB yang digunakan hingga kini.

Ia juga seorang penyair dan penulis kolom yang sangat dikenal di kalangan sastrawan. Di samping budayawan, dia juga dikenal sebagai penyair.

(https://id.wikipedia.org/wiki/Mustofa_Bisri)

Sori Siregar di masa orde baru juga pernah menulis cerpen dengan judul “Maaf”. Walaupun cerpennya hanya berkisah tentang petugas yang salah tangkap karena dituduh mencuri jam tangan, isi cerpen tersebut lebih menunjukkan perilaku pejabat publik di masa itu yang cenderung menggunakan pemaksaan dengan cara kekerasan agar orang mengaku. Maksudnya, orang dipaksa mengaku walaupun belum terbukti bersalah. Cara-cara yang dilakukan para petugas pada waktu itu lebih disebabkan oleh telah mengguritanya mental ABS seperti yang telah diungkapkan di atas. Orang-orang kecil tidak bisa berbuat apa-apa. Jangan diharap ada lembaga hukum atau tenaga advokasi yang siap membela mereka. Mereka jika sudah berhadapan dengan penegak hukum hanya bisa pasrah. Mereka tidak bisa melawan. Semua itu diamati oleh Sori Siregar. Dituang ke dalam sebuah cerpen. Cerpen tersebut lebih merupakan satire yang sarkasme. Petikan berikut ini merupakan cermin ketidakberdayaan orang-orang kecil ketika berhadapan dengan penegak hukum.

Sebuah persoalan selesai dengan perkataan “maaf” dari pihak petugas barulah Salamat sadar, betapa pentingnya arti kekuasaan. Selama ini ia memang sering membaca dalam surat kabar, tentang banyaknya orang-orang berkuasa yang telah menggunakan kekuasaannya sesuka hati. Tapi soal kekuasaan itu tidak menarik hati. Baru setelah ia sendiri korban dari kekuasaan orang lain,

……………………………………………………………………………………………………….

Setelah petugas yang satu tidak dapat memaksa Salamat untuk mengakui bahwa jam itu adalah curian, muncul petugas lain dengan wajah seram. Pertanyaan yang sebelumnya telah diajukan pertama diulang lagi oleh petugas berwajah seram ini. Salamat tetap pada pendiriannya. Tidak akan mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Walaupun petugas yang kedua ini menginterogasi Salamat dengan menghardik dan menggertak, Salamat tetap tidak mengaku.

            Pemeriksaan berikut dilakukan oleh petugas ketiga. Wajahnya tidak sekejam petugas kedua. Namun di tangannya ia memegang pentung karet. Pentung itu berkali-kali dipukulnya ke meja untuk mendapatkan pengakuan, Salamat tidak mengaku.

            “Saya telah memukulkan pentung ini lima belas kali ke atas meja,” kata petugas, “Jangan paksa saya  memukulnya ke tubuh Anda. Biasanya setelah pukulan kedua puluh, saya tidak sadar lagi, apakah saya memukul meja atau memukul tubuh orang yang saya periksa.”

            “Bagaimana saya harus mengaku, kalau saya memang membelinya dan bukan mencurinya,” jawab Salamat.

            “Jangan banyak omong penjambret jam meningkat akhir-akhir ini, terutama sekali di daerah sekitar sini Anda termasuk yang kami cari dan foto serta keterangan tentang diri Anda lengkap pada kami.” Salamat tentu saja terkejut. Lalu ia menggelengkan kepala. “Jangan main-main. Pak” katanya. “Bangsat,” teriak petugas sambil mengayunkan pentungnya ke meja untuk keenam belas kalinya.

            “Bagaimana keterangan tentang diri saya dan foto saya dimiliki petugas, kalau saya tidak pernah memberikannya,” sahut Salamat dengan sedikit gemetar.

            “Binatang. Sudah berapa kali kau tertangkap,  masih juga kau berlagak pilon,” hardik petugas sambil menghantamkan lagi pentungnya ke meja untuk ketujuh belas kalinya.

            Salamat sadar petugas ini memang marah sekali. Mungkin ia merasa dirinya dipermainkan. Tapi pengakuan apa yang harus diberikan kalau aku memang tidak pernah mencuri jam?, pikir Salamat.

            “Hayo mengaku,” teriak petugas itu lagi sambil memukul meja untuk kedelapan belas kalinya.

            Salamat menatap petugas itu memohon belas kasihan. Ia sadar petugas itu akan berbuat apa saja, kalau ia mau. Ia punya alasan dan kekuasaan untuk itu. Tatapan memohon belas kasihan dibalas petugas dengan pandangan penuh kebencian.

……………………………………………………………………………………..

“Kami minta maaf atas nama petugas. Kan lebih baik dimaafkan saja Pak? Tak usahlah persoalannya diperpanjang.” Salama ingin mengucapkan sesuatu. Tapi istrinya buru-buru menegakkan jari telunjuknya di mulut Salamat.

Sudah tak usah diperpanjang kita orang susah.” Istrinya terdengar menyabarkan. Salamat mencaoba menguasai diri. Keberanian dan kemarahannya ditekan ke titik nol. Tanpa merasa perlu mengucapkan apa-apa kepada petugas yang masih tersenyum di depannya ia menarik istrinya meninggalkan kamar tunggu itu dan kemudian meninggalkan para petugas itu.

(Dikutip dari cerpen “Ma`af” oleh Sori Siregar)

***

Negeri ini memang sedang sakit. Negeri ini sedang oleng. Negeri ini sedang dibebani berbagai permasalahan sosial: kemiskinan, korupsi, narkoba, pelanggaran HAM, pengangguran, dan mafia hukum yang kesemuanya tidak menimbulkan rasa aman dan nyaman bagi warganya. Permasalahan sosial yang sudah demikian kompleks itu memerlukan terapi yang ampuh sebelum negeri ini terpeleset ke jurang kehancuran (negara gagal). Salah satu terapi yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah jangan `baper` terhadap segala macam suara miring yang mungkin saja menyerempet ke arah satire. Setiap satire yang mungkin saja terasa tidak enak di telinga (mungkin juga di hati) `dicuekin` saja. Sesuatu yang satire tapi terasa sarkasme harus dijadikan introspeksi diri. Dengan cara tersebut tidak mustahil akan terjadi perubahan perilaku pejabat publik yang mengendalikan pemerintahan di negeri ini. Bukankan dengan cara introspeksi diri para pejabat publik akan melakukan perubahan mindset? Dari mindset yang cenderung negatif ke arah mindset yang positif. Atau dari cara berpikir negatif atau konvensional ke arah berpikir positif atau moderat? Wallahu a`lam bissawab.  

Sumber Gambar:

(https://images.app.goo.gl/SQMYoN8WcKXhXQQLA)

(https://images.app.goo.gl/cJyd4gTyoqS8mDhNA) (https://images.app.goo.gl/nhK6FFTL3XVMhtnQ9)

(https://images.app.goo.gl/2nzpQdtZenThSk3aA

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *