Subagio S.Waluyo
Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan (maksiat)[1] manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) [Ar-Rûm/30:41]
Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi !” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar (Al-Baqarah/2:11-12).
——————————————————————————————–
Ada kado istimewa dari tahun baru yang baru saja berlalu. Kadonya berupa banjir luar biasa. Konon kabarnya banjir tahun ini (2020) adalah banjir terbesar. Curah hujannya memang terbesar sejak hampir 24 tahun lalu. Bahkan, menurut BMKG curah hujan tahun ini tertinggi sejak 154 tahun lalu (https:// news.detik. com/berita/d-4843572/data-bmkg-curah-hujan-2020-tertinggi-sejak -154-tahun-lalu). Akibatnya, juga luar biasa. Coba saja lihat di beberapa tempat banyak rumah yang terendam air. Wilayah yang diterjang banjir persis seperti diterjang Tsunami. Apa jangan-jangan ini memang Tsunami?
Curah hujan yang demikian besar (konon kabarnya mencapai 377 mm/ hari) yang merendam ribuan rumah penduduk benar-benar mematikan kehidupan penduduk Jabotabek dan sebagian Provinsi Banten yang baru saja bersenang-senang merayakan kedatangan tahun baru. Bersamaan dengan air yang merendam rumah-rumah penduduk turut juga beberapa barang termasuk barang-barang elektronik yang ikut mengambang. Selain itu, juga tidak sedikit mobil pribadi yang ikut berenang dan (bahkan) banyak yang nyungsep. Tidak sedikit kerugian yang diderita rakyat korban banjir kali ini. Kado tahun baru kali ini juga memakan korban sebanyak 43 orang yang meninggal. Dari 43 orang itu sebanyak 17 orang terseret arus banjir, 12 orang tertimbun tanah longsor, 5 orang tersengat listrik, dan 3 hiportema. Selebihnya, 5 orang masih didata kematiannya dan 1 orang hilang tidak jelas rimbanya (https:// nasional. kompas.com/ read/ 2020/ 01/03/11055161/upda-te-bnpb-43-meninggal-akibat-banjir-di-jabodatebek -dan-lebak). Karena kejadiannya pas di awal tahun baru, layak saja ini lebih merupakan kado tahun baru yang satire dan sarkasme bukan?
***
Kado tahun baru berupa banjir di Wilayah Jabotabek (termasuk sebagian Provinsi Banten) bisa jadi merupakan musibah. Musibah itu bisa jadi merupakan teguran dari Sang Khalik kepada makhluk-Nya. Sah-sah saja kalau Sang Khalik murka karena perilaku makhluk-Nya yang kedatangan tahun baru bukan bersyukur malah berpesta-pora. Musibah juga bisa dijadikan tolak ukur untuk mengetahui solidaritas bangsa ini terhadap sesamanya. Ternyata, banyak juga anak bangsa ini yang hanya bisa jadi penonton. Mereka tidak berbuat apapun. Bukan tidak mampu, tapi lebih disebabkan anak bangsa ini telah hilang rasa kepeduliannya. Kalau punya rasa kepedulian, mereka tanpa disuruh pasti mau membantu sesamanya yang jadi korban banjir.
Perilaku tidak peduli juga diperlihatkan oleh beberapa pengurus masjid yang tidak mau mengeluarkan dari uang kasnya untuk membantu korban banjir. Padahal uang kas masjid setiap jumat selalu dilaporkan. Ada masjid yang punya uang kas sampai puluhan bahkan ratusan juta. Uang kas itu juga diperoleh dari infak jamaahnya. Bagi sebagian jamaah yang punya kepeduliaan bisa-bisa saja terusik melihat kebijakan pengurus masjid yang tidak mau mengeluarkan sebagian dari uang kasnya untuk membantu sesamanya yang sedang terkena musibah. Sebenarnya, apa salahnya kalau pengurus masjid yang masjidnya tidak terkena musibah membuka semacam posko banjir? Insya Allah dengan membuka posko banjir akan banyak jamaah memberikan bantuan. Bukankah ini lebih merupakan pembelajaran umat agar mau menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah dalam bentuk membantu sesamanya? Seringkali masalah-masalah seperti ini tidak terpikirkan oleh mereka.
Di samping memang mereka, para pengurus masjid, tidak terpikirkan masalah membantu sesamanya boleh jadi mereka juga gagap ketika harus ikut terlibat menghadapi masalah musibah. Pengurus masjid seharusnya ketika menghadapi masalah musibah yang pertama kali dilakukan adalah melakukan penyelamatan terhadap sesama. Mereka dievakuasi agar tidak terjebak oleh banjir karena tidak sedikit di antara mereka yang harus meregang nyawa ketika terjebak oleh banjir. Setelah dievakuasi di tempat yang aman, mereka juga harus dibantu dalam hal pemenuhan kebutuhan mereka yang paling mendasar. Kebutuhan yang paling mendasar apalagi kalau bukan pemenuhan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan pangan (makanan-minuman), pakaian, dan kesehatan. Untuk bisa membantu mereka memenuhi kebutuhannya apalagi kalau bukan dana. Banyak pengurus masjid yang tidak berpikir sampai sejauh itu. Mereka cenderung menuruti egonya. Uang kas masjid yang begitu besar tidak jelas peruntukkannya. Paling-paling kalau uang kasnya sudah cukup besar ada saja pikiran untuk merehab masjid. Ada saja di benaknya untuk melakukan ini-itu supaya masjidnya terlihat mewah, megah, indah, syiar. Beginikah caranya memakmurkan masjid?
***
Kembali pada masalah musibah banjir yang merupakan kado tahun baru tampaknya ada yang lalai dilakukan pemerintah selama ini. Pemerintah lalai bahkan cenderung mengabaikan bahwa yang namanya tanah-tanah yang dulunya rawa atau bekas pesawahan sebenarnya tidak layak dijadikan untuk pemukiman. Pemerintah sejak orde baru begitu mudah memberikan izin kepada pengembang untuk membangun di atas tanah-tanah bekas rawa atau pesawahan itu komplek perumahan. Bukankah selama ini yang kerap kali terkena banjir memang perumahan yang dibangun di tanah-tanah bekas rawa atau pesawahan itu? Kalau memang terbukti bahwa tanah-tanah rawa atau pesawahan itu sebagai biang banjir, pemerintah di masa lalu (bahkan sampai saat ini pun masih seperti itu kebijakannya) seharusnya sebelum mengambil kebijakan terlebih dahulu melakukan studi kelayakan: apakah layak tidak membangun komplek pemukiman di atas tanah itu? Jangan-jangan karena mengikuti syahwat kekuasaannya mereka cenderung pragmatis. Akibatnya, seperti yang dialami sebagian anak bangsa ini: : banjir merata di beberapa titik di Jabotabek dan Provinsi Banten.
Ada juga beberapa tempat bekas rawa atau sawah yang dikembangkan para pebisnis properti dibangun pemukiman. Mereka jor-joran membangun di atas rawa atau sawah itu bukan hanya perumahan tapi juga rumah susun atau apartemen-apartemen mewah pencakar langit. Permukaan tanah yang semula rendah dibikin tinggi. Dengan cara demikian diharapkan bebas banjir. Memang, terbukti bisnis properti yang mereka kembangkan berhasil. Hal itu terbukti ketika curah hujan demikian tinggi perumahan mewah, rumah-rumah susun, atau apartemen-apartemen mewah pencakar langit yang mereka bangun benar-benar bebas dari banjir. Tapi, rumah-rumah penduduk di sekitar mereka terkena dampaknya. Terjadi banjir yang demikian dahsyat. Yang semula rawa-rawa atau sawah-sawah itu jadi tempat resapan air berpindah ke rumah-rumah pemukiman penduduk. Beginikah caranya berbisnis kapitalis yang tak menghiraukan nilai-nilai moral atau akhlak?
***
Pada tulisan terdahulu tentang “Kota Gigantisme” telah dijelaskan bahwa pemerintah kota memiliki tata ruang yang berantakan. Mereka lebih mementingkan syahwat kekuasaannya yang cenderung menguntungkan pribadinya. Tidak aneh kalau banyak pejabat publik di daerah manapun lebih mementingkan pembangunan mal atau pusat-pusat perindustrian atau perekonomian atau apatemen-apartemen mewah pencakar langit daripada memikirkan nasib warga kotanya. Mereka entah kenapa tidak pernah memikirkan akibatnya kalau ketidakadaan atau kekurang-tersediaannya RTH di kotanya akan berakibat fatal. Hampir sebagian besar kota di Indonesia ketentuan tentang RTH masih cenderung terpinggirkan. Kutipan berikut ini merupakan warning kepada para pejabat publik yang mengelola daerahnya.
JawaPos.com – Gedung-gedung pencakar langit semakin mendominasi pemandangan di Jakarta. Perkampungan semakin tergerus, bahkan warga dan penduduk asli berpindahan ke daerah-daerah pinggir ibu kota. Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Nirwono Joga mengatakan, hilangnya perkampungan juga bersamaan dengan berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH) di DKI Jakarta. Hal itu sebagai dampak dari pembangunan kota yang tidak berwawasan lingkungan jangka panjang. Menurutnya, itu berakibat fatal, kini Jakarta rentan banjir, rob, hingga pencemaran udara. RTH dan perkampungan harus dipertahankan seperti kota-kota di luar negeri yang berambisi untuk memperbanyak RTH lebih 30 persen. Begini Kata Pengamat Risiko Pembangunan Gedung di Jakarta Perkampungan yang tersisa di Setiabudi, Jakarta Selatan (Ikhsan Prayogi/ JawaPos.com) “(Seharusnya) tata kota dikendalikan, perumahan dan permukiman dan bangunan gedung dikendalikan bukan diserahkan kepada pengembang swasta seperti sekarang,” ujar Nirwono saat dihubungi JawaPos.com, Selasa (6/3). Dia menuturkan, luas RTH di ibu kota semakin menurun sejak tahun 1965 sebanyak 37,2 persen, kemudian tahun 1985 berkurang menjadi 25,85 persen, tahun 2000 menyusut hingga 9 persen dan pada 2017 lalu sempat naik ke 9,98 persen. Padahal, lanjut Nirwono, penataan RTH sesuai Undang-undang 26/2007 yakni minimal 30 persen dari total luas wilayah kota. “30 persen yang terbagi atas RTH publik 20 persen dan RTH privat 10 persen,” katanya. Di beberapa kawasan, kampung kumuh yang padat penduduk juga sudah berubah menjadi perumahan mewah. Lokasinya pun di atas daerah resapan air. “Dari yang kampung kumuh padat yang menjamur di bantaran kali, kolong jembatan atau jalan layang, tepi rel KA, tepian waduk atau situ sampai dengan perumahan mewah seperti Kelapa Gading yang dibangun di atas daerah resapan air, dan Pantai Indah Kapuk yang dibangun di atas hutan mangrove,” jelas Nirwono. Editor : Bintang Pradewo Reporter : (yes/JPC) |
Entah itu prestise atau gengsi yang membikin pemerintah daerah yang demikian berambisi melakukan pembiaran terhadap perilaku pelaku bisnis yang demikian serakahnya untuk membangun setiap jengkal tanah tanpa menghiraukan faktor lingkungan. Hal itu bisa terjadi karena iming-iming entah itu yang namanya uang atau boleh juga perempuan, para konglomerat yang melakukan berbagai cara agar pimpinan di daerah mau mengikuti keinginannya. Kalau upayanya kurang berhasil, mereka melakukan pendekatan (sekaligus penekanan) pada pejabat yang lebih tinggi (kalau perlu sampai kepala negara). Biasanya para kepala daerah kalau sudah berhadapan dengan pimpinan yang lebih tinggi tidak bisa berbuat apa-apa. Dari sini sebenarnya awal munculnya kerusakan lingkungan hidup di negara ini. Jadi, yang pegang peranan penting kerusakan lingkungan hidup di negara ini adalah para pejabat publik yang berkongkalikong dengan para konglomerat. Kalau musim hujan terjadi banjir. Kalau musim kemarau terjadi kebakaran hutan. Siapa lagi pelakunya semua itu kalau bukan pejabat publik yang telah bersekongkol dengan para konglomerat.
***
Petikan ayat-ayat Qur`an di awal tulisan ini tepat sekali bahwa kerusakan baik di darat maupun di lautan adalah hasil ulah manusia. Kalau begitu jangan salahkan Sang Khalik yang membuat musim kemarau demikian panjang sehingga banyak sawah dan kebun yang kekeringan atau hutan-hutan yang terbakar. Sawah-sawah dan kebun-kebun yang kekeringan bukankah juga ulah manusia yang merusaknya di antaranya lewat penyempitan lebar sungai karena dibangun di bantaran sepanjang sungai rumah-rumah pemukiman? Kalau saja manusia mau menahan diri dengan tidak membangun pemukiman secara serampangan, tidak terjadi yang namanya kekurangan air. Boleh juga pengeboran air tanah yang menggunakan alat-alat berat untuk memperoleh air tanah dengan debit yang cukup tinggi bisa berakibat kekurangan air di tempat-tempat yang lain. Bahkan, tidak mustahil yang terjadi di beberapa tempat di kota-kota besar di Indonesia air laut akan menjorok masuk ke daratan. Tidak aneh jika terjadi penurunan kualitas air tanah karena terkontaminasi air laut. Kalau terjadi pencemaran air minum di beberapa tempat di sebuah daerah, jangan salahkan Sang Khalik. Tapi, coba direnungkan semua itu lebih karena ulah siapa? Bukankah karena ulah manusia yang merusak lingkungan?
Kalau sudah terjadi kerusakan lingkungan, seperti banjir, misalnya, jangan saling nyinyir atau jangan saling menyalahkan bahwa terjadinya banjir yang kali ini benar-benar sangat dahsyat akibat kelalaian pejabat si anu. Kenapa harus memulainya dengan debat yang berkepanjangan? Kalau memang ada musibah banjir, langkah awal lakukan penyelamatan dulu. Tidak usah ribut-ribut di media sampai-sampai saling tuding pengamat dengan pejabat publik atau tokoh masyarakat dengan pejabat publik. Selesaikan dulu masalah-masalah yang mendesak yang berkaitan dengan masalah-masalah kemanusiaan. Membantu orang yang terkena musibah itu sesuatu yang diutamakan dan wajib hukumnya. Media massa atau sosial jangan karena cari keuntungan komersial memancing-mancing orang untuk ikut-ikut komentar yang cenderung nyinyir. Jadi, hindari sikap masa bodo. Jangan ikuti seperti yang dikatakan The Beatles dalam lirik lagunya “Obladi Oblada” yang mengatakan berulang-ulang ` Ob la di, ob-la-da, life goes on, bra. La-la, how the life goes on.` Di petikan lirik itu tampak sekali menurut mereka `kalau yang sudah berlalu biarkan saja berlalu seperti kehidupan yang terus berlangsung`. Bukankah petikan dari lirik lagu itu sebenarnya mengajarkan pendengarnya agar cuek saja dengan masalah kehidupan termasuk cuek saja dengan masalah kepedulian? Dengan kata lain, sama seperti yang populer dikatakan orang:`emangnya gue pikirin.` Wallahu a`lam bissawab.
Sumber Gambar/Foto:
- (https://images.app.goo.gl/EkomXqnP4eFTfy2T9)
- (https://images.app.goo.gl/SehqJ8fyMLPEYDrG6)
- (https://images.app.goo.gl/KPsK7xiN4F4hUxmk9)