Subagio S. Waluyo
di The New York Review, 27 Agustus 1992, William Pfaff
menulis:
menolong warga yang terperangkap
tanpa menghentikan pengepungan itu sendiri
sama halnya dengan menolong korban hari ini
untuk dibiarkan mati esok hari
Mengevakuasi warga sipil dan tawanan
dari wilayah yang terkena “pembersihan etnis”
sama saja dengan membantu Serbia mengusir orang Bosnia
atas biaya dunia internasional
Pendek kata, pemerintah Barat hanya berusaha mencari jalan
untuk memuaskan opini masyarakat yang berang
sambil menghindari isu-isu serius dalam krisis ini.
Paris, London, dan Washington
bukan berusaha mencegah atau menyetop agresi,
melainkan mencari jalan untuk menyelamatkan muka sendiri
(Majalah Tempo 17 Oktober 1992)
***
Suatu saat di sebuah masjid seorang penceramah, pada waktu itu diadakan acara Maulud Nabi SAW, mengatakan kalau kulit Rasulullah SAW bisa diibaratkan marmer. Di luar beliau kulitnya bisa diibaratkan aspal. Masih kata sang penceramah kalau keringat Rasulullah SAW benar-benar wangi. Ketika seorang sahabat bertamu ke rumahnya diberikannya keringat Rasulullah SAW sebagai hadiah dari beliau kepada sang tamu yang mau menikah. Itupun untuk mendapatkan keringat Rasulullah SAW sang sahabat harus bersabar menunggunya. Masih kata sang penceramah, Rasulullah SAW tidak pernah pakai minyak wangi meskipun berkeringat. Saking harumnya keringat Rasulullah, satu Kota Madinah bisa mencium wanginya keringat Rasulullah. Benar tidaknya kisah itu, wallahu a`lam bissawab.
Kita tidak memasalahkan kisah di atas ada tidaknya di hadits-hadits shahih. Yang jadi masalah apa manfaatnya sang penceramah berkisah tentang kulit dan keringat Rasulullah? Apakah cerita tentang kulit dan keringat Rasulullah begitu pentingnya sehingga dipandang perlu untuk disampaikan ke jamaah masjid? Di sini sang penceramah tidak pandai membaca `sesuatu` yang lebih berharga yang justru dibutuhkan umat. Umat Islam tidak butuh kisah tersebut walaupun sebagian besar peserta mengangguk-anggukkan kepala entah tanda setuju atau memang mengantuk. Umat (bukan hanya umat Islam tetapi juga masyarakat umum) sebenarnya kalau mau jujur saja tidak butuh kisah seperti itu. Masyarakat butuh pencerahan. Masyarakat butuh sesuatu yang bikin cerdas bukan malah sebaliknya masih saja ada penceramah yang tega-teganya berkisah tentang kulit dan keringat Rasulullah. Dengan kisah itu umat seperti dibodoh-bodohi atau dengan kata lain: pembodohan. Sudah saatnya setiap orang yang berceramah membaca situasi dan kondisi bangsa. Bangsa kita saat ini sebagian besar hidup tidak nyaman, tidak aman, tidak sejahtera, dan selalu diliputi kegelisahan karena kehadiran negara tidak menyentuh ke dalam kehidupan mereka.
***
Berbicara tentang negara dengan sistem demokrasi yang dijalankannya mau tidak mau kita harus menengok baik pemilu maupun pilkada yang selama ini secara masif diselenggarakan. Untuk pemilu, misalnya, Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu`ti, memberikan penilaian tentang isu-isu yang diperdebatkan ketika debat calon presiden (capres) beberapa waktu lalu tidak membikin bangsa ini cerdas. Dengan kata lain ada pembodohan demokrasi. Alasannya kedua capres tersebut ketika berdebat tidak mengangkat program bangsa Indonesia untuk lima tahun ke depan. Kedua capres lebih cenderung saling menangkis. Kesan yang terjadi masalah-masalah substansial seperti kesenjangan sosial yang selayaknya diangkat, justru diabaikan. Selain itu, ada kecenderungan masyarakat lebih tertarik pada pemilihan presiden (pilpres) daripada pemilihan anggota legislatif (pileg) di level pusat dan daerah. Padahal dalam penyusunan baik yang namanya itu undang-undang, peraturan-peraturan gubernur, maupun peraturan-peraturan daerah yang memegang peranan penting adalah anggota legislatif. Kalau masyarakat fokus pada pilpres, tidak mustahil akan terjadi musibah. Pandangan ini yang harus diluruskan bahwa pileg itu lebih penting daripada pilpres.
Jakarta – Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai isu-isu yang diperdebatkan kedua kubu capres-cawapres tidak bermutu. Abdul menilai isu tersebut sebagai pembodohan demokrasi. “Terus terang saja saya melihat perdebatan akhir-akhir ini sangat tidak bermutu. Sangat mengecewakan bagi saya secara pribadi karena tidak ada debat program, tidak ada adu argumentasi menyangkut Indonesia 5 tahun ke depan. Yang ada saling tangkis-menangkis isu, yang sesungguhnya itu sebuah proses yang saya menyebutnya sebagai pembodohan demokrasi,” kata Abdul, di Hotel Grand Melia, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (13/12/2018). Ia mendorong secepatnya paslon capres-cawapres melakukan debat yang substantif terkait program Indonesia 5 tahun ke depan. Menurutnya lebih baik agama dapat berperan mempercepat konsolidasi demokrasi. “Menurut saya jadi agenda penting sehingga paling tidak mulai Januari ini sudah dimulailah ada debat-debat substantif yang menggambarkan bagaimana Indonesia 5 tahun ke depan dari program para capres-cawapres,” ungkapnya. Selain itu dia juga menyoroti masyarakat yang bersikap apatis terhadap calon legislatif, masyarakat dinilai berfokus pada Pilpres saja. Padahal calon legislatif dinilai penting untuk penyusunan undang-undang. “Kalau soal legislatif saya kira masyarakat apatis. Ini menurut saya sebagai pertanda karena peran DPR luar biasa mereka yang membuat UU dan regulasi sehingga kalau terlalu fokus pada presiden dan wakil presiden dan mengabaikan anggota legislatif ini juga bisa jadi malapetaka demokrasi,” ungkapnya. Oleh karena itu dia meminta para tokoh agama ikut berperan meningkatkan peran aktif masyarakat mengikuti proses demokrasi. Serta jangan sampai ada lagi politisasi agama karena saat ini salah satu tantangannya adalah isu politisasi agama. “Sehingga peran tokoh agama menurut saya perlu untuk kita tingkatkan bagaimana untuk tidak ada politisasi agama tetapi juga tidak boleh ada apatisme umat beragama dalam proses demokrasi,” ujarnya. |
Sebenarnya kita sudah diingatkan bahwa pileg lebih penting daripada pilpres. Di masa orde baru yang memang waktu itu tidak ada pilpres sudah ditekankan agar rakyat memilih anggota dewan (wakil rakyat) yang bisa dipercaya. Dalam syair lagu yang sudah populer dinyanyikan di masa orde baru, karena setiap lima tahun sekali lagu itu diputar kembali, ada petikan syair lagu yang berbunyi “Pililhlah wakil rakyatmu yang dapat dipercaya. Mengemban ampera yang setia. Di bawah Undang-Undang Dasar `45. Kita menuju ke pemillihan umum.” Agar tidak penasaran, ada baiknya kita tampilkan syair lagu itu selengkapnya.
MARS PEMILU
(Masa Orde Baru)
Pemilihan umum telah memanggil kita
S’luruh rakyat menyambut gembira
Hak demokrasi Pancasila
Hikmah Indonesia merdeka.
Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya
Pengemban Ampera yang setia
Di bawah Undang-Undang Dasar 45
Kita menuju ke pemilihan umum.
Dalam rentang waktu yang cukup panjang, dari Pemilu Pertama (1971) sampai dengan Pemilu Terakhir (1997) rakyat Indonesia digiring untuk memilih wakil rakyat. Di masa-masa itu tidak ada yang namanya pemilihan kepala daerah (gubernur dan walikota/bupati). Pesta demokrasi hanya lima tahun sekali diadakan. Walaupun di sebuah kota atau kabupaten yang meraih suara tertinggi bukan Golkar, walikota/bupatinya berasal dari pusat karena segala-galanya memang pusat yang berperan. Kita harus memahami pada saat itu negara ini cenderung ke arah sentralisasi. Negara dalam hal ini pemerintah memegang peranan sangat penting. Kedudukannya juga sangat kuat. Bahkan, rakyat benar-benar dibungkam oleh rezim yang berkuasa waktu itu sehingga rakyat cenderung pasif. Pemerintahan masa orde baru cenderung ke arah pemerintahan otoritarian. Militer pada waktu itu benar-benar dominan. Keberadaan militer diperkuat dengan dwifungsi ABRI (https://www. kompasiana. com/riaoktiyani/ 55287992f17e61 b354 8b 45a1/sistem-otoriter-soeharto-pada-masa-pemerintahanya). Di masa orde baru rakyat Indonesia mengalami pembodohan demokrasi. Sekarang kita sedang memasuki masa-masa reformasi. Kepahitan sejarah akibat adanya pembodohan demokrasi selayaknya tidak terulang kembali.
***
Bagaimana supaya bangsa ini tidak mengalami pembodohan demokrasi? Bangsa ini harus dicerdaskan. Mencerdaskan kehidupan bangsa itu `kan memang sudah tercantum dalam alinea keempat UUD 1945. Bunyinya seperti ini: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Di teks tersebut jelas-jelas disebut “…mencerdaskan kehidupan bangsa…”. Artinya, ada kewajiban penuh agar bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas. Siapa yang terlibat? Tentu saja semua pihak baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat sendiri. Bagi negara ini, mencerdaskan kehidupan bangsa harus menjadi prioritas pertama dalam pembangunan. Pembangunan itu sendiri memang sepenuhnya digariskan melalui kebijakan yang disusun pemerintah bersama legislatif (anggota dewan). Pembangunan juga tidak bisa berjalan jika hanya dilimpahkan pada pemerintah. Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai pembuat regulasi, perencana, pengendali, pemotivasi, pengawas, dan pengevaluasi pembangunan. Agar semua itu bisa berjalan dengan baik, pemerintah harus menjalin kemitraan dengan masyarakat dan swasta (pengusaha).
Dalam melakukan pembangunan di bidang pendidikan pemerintah juga harus menjalin kemitraan, Hanya saja pemerintah juga harus melakukan perbaikan dalam pengelolaan pendidikan. Termasuk ke dalamnya cara mengubah mindset masyarakat kita yang sudah kadung berorientasi nilai dalam mengejar prestasi akademik. Sebagai bukti bahwa masyarakat sudah kadung mengejar prestasi akademik bisa dibuktikan masih bernafsunya orang tua/wali siswa memberi pelajaran tambahan lewat bimbingan belajar (bimbel) baik yang diadakan oleh guru di sekolah atau lewat bimbel yang dilakukan di luar sekolah. Umumnya lembaga-lembaga bimbel di luar sekolah yang diburu oleh orang tua siswa, tentu saja termasuk siswanya sendiri, adalah lembaga-lembaga bimbel yang sudah punya nama dan memang terbukti banyak berhasil meningkatkan prestasi belajar siswa. Jadi, yang dikejar oleh baik orang tua siswa maupun siswanya adalah prestasi akademik. Hal-hal lain seperti perilaku siswa atau keterampilan siswa yang nantinya bisa bermanfaat buat masa depan siswa kurang mendapat perhatian. Karena itu, tidak usah aneh banyak anak berprestasi secara akademik tetapi perilakunya sama sekali tidak mencerminkan anak terdidik.
Anak-anak didik itu sejak awal sudah dibentuk oleh orang tuanya (juga oleh guru-guru di sekolahnya) agar bisa mencapai rangking tertinggi di sekolahnya. Nafsu besar orang tua siswa plus arahan guru-guru yang salah agar anak berprestasi (kalau bisa anak diterima di sekolah favorit atau PTN-PTN papan kelas atas) berpengaruh terhadap perilaku guru. Para guru pada akhirnya membocorkan soal-soal ujian (entah dapat dari mana bahan-bahan soal ujian tersebut). Bahkan, banyak guru yang sengaja me-mark up nilai anak-anak didiknya yang sudah demikian besar mengeluarkan biaya ternyata hasilnya nihil atau tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kalau sejak dini anak-anak bangsa itu sudah diberi banyak kemudahan dengan cara-cara yang tidak etis, akan jadi apa anak bangsa itu di masa depan? Apakah mereka juga akan meneruskan generasi sebelumnya yang sudah jelas-jelas banyak di antaranya yang diduga melakukan praktek-praktek KKN? Kalau sudah seperti itu, nasib sebagian besar anak bangsa ini tidak akan pernah berubah. Sebagian besar anak bangsa ini tetap saja hidup tidak nyaman, tidak aman, tidak sejahtera, dan selalu diliputi kegelisahan.
Mencerdaskan kehidupan bangsa. Itulah salah satu cita-cita luhur para pendiri negara ini. Cita-cita luhur ini tertuang pada Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Untuk mencerdaskan bangsa ini, masalah pendidikan pun menjadi prioritas pembangunan. Bahkan, masyarakat cenderung mengartikan mencerdaskan ini sebagai mengejar nilai akademis. Padahal, mencerdaskan kehidupan bangsa seperti termaktub dalam UUD 1945 cakupannya jauh lebih luas. Mencerdaskan kehidupan bangsa seperti cita-cita para pendiri negara ini, lebih dari sekadar melahirkan manusia cerdas seperti para ahli. Kehidupan yang cerdas menyangkut kesadaran akan harga diri, harkat, dan martabat, kemandirian, kejujuran dan sejenisnya. Bukan cerdas hanya pintar dalam akademis. Cerdas dalam hal ini mampu menciptakan solusi bagi masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata. Cerdas dalam arti mampu mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari pendidikan untuk dirinya dan lingkungan serta kondisi yang dihadapi. Kekeliruan mengartikan cerdas terfokus pada akademis, berdampak pada antusiasme masyarakat mengejar prestasi akademik anak-anak mereka. Bahkan, ini telah menjadi semacam gengsi di masyarakat. Antusiasme dan gengsi para orangtua ini melahirkan peluang berdirinya berbagai tempat bimbingan belajar (bimbel), les dan sejenisnya. Bahkan, para guru ikut membuat bimbel, memberikan les pada murid-muridnya. Hanya sangat disayangkan, banyak oknum guru menjalankan tujuan mulia ini dengan menyimpang. Di antaranya, sengaja mengurangi materi pelajaran yang diberikan di dalam kelas agar bisa diberikan pada bimbel atau les yang dibukanya. Parahnya lagi, ada yang sampai melakukan ‘’intimidasi’’ pada peserta didik yang berani tidak ikut di tempat bimbel atau les guru bersangkutan. Misalnya, dengan memberikan nilai jelek meski sebenarnya si anak itu lebih pintar dari anak-anak asuhnya di bimbel atau les yang dimiliki sang guru. Mirisnya lagi, banyak oknum guru pemilik bimbel atau les yang membocorkan soal, memberi kunci jawaban pada anak-anak yang ikut di bimbel atau les miliknya. Ini tentu tidak adil dan sangat merugikan anak-anak yang tidak ikut belajar di bimbel atau tempat les guru yang bersangkutan. (http://www.balipost.com/news/2019/01/22/66738/Pembodohan-dalam-Mencerdaskan-Kehidupan-Bangsa.html) |
***
Termasuk program pembodohan terhadap anak bangsa adalah masih terjadinya aksi-aksi penggusuran rumah orang-orang kecil. Penggusuran dilakukan oleh orang-orang yang punya kekuasaan (pemerintah) atau boleh juga kalangan para pengusaha yang memanfaatkan penguasa untuk menggusur orang-orang kecil. Kalau pemerintah daerah seperti biasa ketika menggusur masyarakat yang tinggal di pinggir kali dengan alasan ingin mengembalikan fungsi semula bahwa sekian meter dari pinggir kali digunakan sebagai resapan. Bisa juga masyarakat yang tinggal di tanah-tanah yang semula tidak bertuan, lagi-lagi dengan alasan ingin mengembalikan fungsi tanah-tanah kosong itu sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) pemerintah dengan terpaksa menggusur tempat tinggal masyarakat kecil yang telah tinggal puluhan tahun di tanah tidak bertuan tersebut. Anehnya, setelah digurus tanah itu sengaja dikosongkan dulu sampai sekian bulan. Kemudian baru dilakukan pembangunan di atas tanah tidak bertuan (yang pada akhirnya diakui milik pemerintah). Jebulnya, di atas tanah itu bukan dibangun RTH, tetapi apartemen-apartemen mewah yang dibeli orang-orang berduit. Apakah ini tidak menyakitkan masyarakat kecil yang tergusur?
Berbicara tentang penggusuran, seorang Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Hafidz Abbas, dengan tegas menyatakan bahwa penggusuran secara paksa adalah bentuk pelanggaran HAM. Kalau itu sudah jelas pelanggaran HAM, mengapa sampai saat ini pemerintah masih giat melakukan penggusuran? Penggusuran dilakukan terhadap tempat-tempat tinggal masyarakat kecil. Sementara itu, kenapa tidak dilakukan penggusuran terhadap vila-vila mewah yang dibangun orang-orang kaya di pegunungan yang sudah jelas-jelas melanggar peraturan? Kok, hukum yang berlaku di negara ini tidak adil? Artinya, hukum itu diibaratkan `pisau yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas`? Hukum itu hanya berlaku untuk orang-orang kecil yang sudah jelas tidak akan ada usaha melawan kalau sudah berhadapan dengan hukum. Untuk kalangan atas, hukum itu tidak berlaku. Hukum di negara ini bisa diatur. Jadi, kita tidak usah berbusa-busa bicara tentang penegakan hukum kalau masih ada sebagian anak bangsa ini masih jadi korban penggusuran. Hukum di negara ini hanya sebatas retorika. Dengan demikian, kita bisa mengatakan negara menutup mata ketika orang-orang kecil terjerat hukum. Tetapi negara akan benar-benar melek matanya kalau menyangkut orang-orang besar, orang-orang berduit, atau orang-orang yang memegang tampuk kekuasaan di negara ini. Negara ini memang belum menjamin sama sekali rasa kenyamanan, keamanan, kesejahteraan, dan ketenangan bagi orang-orang kecil. Orang-orang yang teralienasi.
JAKARTA – Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Hafidz Abbas menyatakan, jika dilihat dari peraturan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) penggusuran secara paksa adalah bentuk pelanggaran HAM. Menurutnya, hal itu disebabkan dengan indikator perampasan hak manusia atas tempat tinggal, dan sebagai Warga Negara Indonesia hak mereka tidak boleh diambil secara paksa. “Prinsip penanganan penggusuran, menurut PBB adalah penggusuran paksa bentuk pelanggaran ham yang serius, setiap warga negara punya hak bertempat tinggal. Karena hak maka tidak boleh dirampas,” ujar Hafidz saat gelar Forum Gorup Discussion tentang Pemenuhan HAM bagi warga korban penggusuran di Provinsi DKI di Ruang Pleno Utama Komnas HAM, Jakarta Pusat, Kamis (15/9/2016). Seharusnya, Hafidz menjelaskan negara harus mampu menciptakan keamanan manusia, keamanan bangsanya, lalu keamanan keluarganya, dan terbebas dari perlakuan kasar yang tidak manusiawi serta merendahkan martabatnya. Oleh sebab itu, pelanggaran HAM yang dimaksud adalah hak-hak mereka terganggu. Karena itu, baginya penggusuran paksa hanya akan melahirkan kesenjangan yang berujung pada konflik sosial masyarakat. Selain itu, akan memperluas Gap antara kelas atas dan bawah dalam tatanan hidup masyarakat. “Jadi penggusuran itu hanya jembatan yang melahirkan kesenjangan, bisa terjadi konflik sosial, mengakibatkan kemiskinan meluas, tambah banyak orang sengsara, kelompok marjinal semakin meluas. Dan yang merasakan ini rerata usia lanjut, anak balita, masyarakat yang sudah tinggal puluhan tahun tapi tergusur,” jelasnya. Dengan demikian, Hafidz menegaskan, peran negara harus hadir saat masyarakat mendapatkan perlakuan tidak adil atas hak-haknya. Karena, lahirnya suatu bangsa, tidak boleh ada yang tersiksa khususnya di Indonesia. “Tugas negara pada penanganan penggusuran ini adalah, Negara harus hadir, memajukan kesejahteraan umum, tidak boleh ada yang terlalu kaya dan terlalu miskin, kehidupan bangsa yang cerdas, ikut mewujudkan ketertiban dunia,” pungkasnya. |
***
Pembangunan ekonomi (PE) di Indonesia belum bisa menyentuh orang-orang kecil. PE di Indonesia tampaknya cenderung menguntungkan kalangan pengusaha kelas kakap. Mereka ini yang dari segi jumlah sangat sedikit (minoritas) hanya satu persen tapi dari sisi penguasaan ekonomi (dalam hal ini aset nasional) menguasai separuh aset nasional (https:// akurat.co/id-238730-read-separuh-aset-nasional-dikuasai-1-persen-orang-kaya-sehat). Akibatnya, terjadi ketimpangan sosial di negara ini karena sebagian besar bangsa ini (99%) kalau melihat uraian di atas boleh dikatakan hanya menguasai separuhnya. Data itu kalau dianalisis lebih jauh masih bisa ditemukan misalnya yang menguasai perkebunan kelapa sawit di Indonesia dimiliki perusahaan swasta. Mirisnya lagi hanya empat perusahaan kelas kakap yang menguasai 74 persen pasar ekspor minyak sawit mentah. Kepemilikan perkebunan sawit yang dikuasai perusahaan swasta berdampak terhadap ketimpangan ekonomi, yaitu ketimpangan akses lahan dan pasar. Dilihat dari luasnya tanah yang digunakan untuk perkebunan sawit 6,8 juta hektare perkebunan sawit di Indonesia, atau 55 persen dari total luas perkebunan, dimiliki perusahaan swasta. Selebihnya, luas perkebunan rakyat hanya memiliki 4,8 juta hektaare atau 38,6 persen dan perkebunan negara sebanyak 752,5 ribu hektare atau 6,1 persen. Jadi yang benar-benar dimiliki bangsa ini hanya 44,7 persen (https://beritagar. id/artikel/berita/ sawit-di-tangan-segelintir-pengusaha).
Melihat kondisi seperti itu tampaknya sampai saat ini belum ada kesadaran pemerintah untuk mengubah mindset-nya agar melakukan PE inklusif. Padahal model PE yang selama ini ditekuni oleh pemerintah yang cenderung ekslusif lebih terkonsentrasi dan menguntungkan sebagian kecil kelompok tertentu. Jadi, yang perlu dipertanyakan sampai sejauhmana rasa nasionalisme di kalangan penguasa negeri ini? Kalau memang punya rasa nasionalisme, kenapa sampai saat ini kue PE hanya dinikmati oleh segelintir orang (kalau menurut data di atas hanya satu persen) sementara anak bangsanya sendiri banyak yang menjadi pengangguran dan hidup dalam kemiskinan? Untuk mengatasi ketimpangan sosial yang berakibat pada semakin tinggi tingkat kemiskinan dan pengangguran hanya bisa diatasi oleh PE inklusif. Dengan PE inklusif seluruh lapisan masyarakat memiliki saham untuk terlibat aktif. Keterlibatan aktif seluruh masyarakat dalam PE diharapkan akan terselamatkan bangsa ini dari salah satu ciri negara gagal, yaitu kebutuhan masyarakat,terutama kebutuhab primer yang mencakup sandang, pangan, dan papan, akan terpenuhi. Kalau kebutuhan mendasar telah terpenuhi, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan meningkat. Diharapkan pula akan merembet ke hal yang lain, yaitu bentrokan horisontal yang cukup sering menghiasai pemberitaan baik di media cetak maupun online akan jauh lebih berkurang. Dengan demikian, negara ini akan terhindar dari negara gagal.
Kritik mendasar atas model pembangunan ekonomi eksklusif terletak pada polanya yang hanya terkonsentrasi dan menguntungkan sebagaian kecil kelompok tertentu. Benar memang pembangunan dengan rupa tersebut mampu menghasilkan pertumbuhan tinggi, tetapi sesungguhnya tidak pernah menetes ke bawah dan dinikmati kelompok miskin. Model pembangunan eksklusif tidak mampu mengajak seluruh lapisan masyarakat melakukan mobilitas vertikal untuk berbagi menikmati nisbah dan irisan-irisan kue pembangunan. Sederetan data dan angka statistik baik dari pemerintah dan juga lembaga-lembaga non pemerintah akan angka-angka ketimpangan, kemiskinan, dan pengangguran tampaknya sudah cukup membuktikan akan kelemahan model pembangunan ekonomi eksklusif yang selama ini masih mewarnai setiap kebijakan yang diambil. Munculnya keraguan yang mempertanyakan kredibilitas pemerintah dalam pengelolaan anggaran negara, yang berdampak pada seluruh sector perekonomian hanyalah satu indikator saja bahwa sudah saatnya mengubah haluan model pembangunan dari pembangunan ekonomi eksklusif ke arah pembangunan ekonomi inklusif. Konsep utama pembangunan ekonomi inklusif adalah bahwa strategi dalam pembangunan ini lebih mengedepankan pemerataan aset dan akses pembangunan. Pembangunan ekonomi inklusif merupakan sebuah proses untuk memastikan bahwa semua kelompok masyarakat yang terpinggirkan bisa terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan. Konsep ini mengupayakan pemberian hak bagi kelompok yang terpinggirkan. Namun demikian, model pembangunan ekonomi inklusif Indonesia hemat saya tetap perlu memakai parameter pertumbuhan karena dengan itulah indikator-indikator kuantitatif bisa diukur. Hanya saja, model pembangunan ini harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat ikut andil dan berperan aktif membangun konsensus pemihakan kepada masyarakat yang tertinggal. Komitmen menumbuhkan perekonomian yang inkusif ini saya kira yang harus terus dikawal pemerintah agar tidak mengalami deficit dalam implementasinya. Acemonglu dan Robinson (2014) mengingatkan pentingnya pembangunan ekonomi model ini karena ia akan membantu sebuah negara terhindar dari kategori negara gagal. Argumentasi yang dibangun bahwa negara yang institusi politik-ekonominya bersifat inklusif berpotensi menjadi negara kaya. (https://investor.id/opinion/meretas-jalan-baru-pembangunan) |
***
Kembali pada ceramah Maulid Nabi Muhammad SAW yang disampaikan sang ulama, kalau negara ini mau terhindar dari kegagalan, tidak ada cara lain hindari ceramah-ceramah yang membuat masyarakat semakin bodoh. Masih banyak dari kisah Nabi SAW yang bisa digali di antaranya kisah Nabi ketika melakukan musyawarah, cara Rasulullah memberikan jawaban atau contoh-contoh penyelesaian setiap permasalahan yang dihadapi para sahabat Nabi, sikap Rasulullah ketika menghadapi orang-orang Yahudi di Madinah, atau boleh juga ketika Rasulullah mengatur strategi perang dalam berbagai perperangan. Kita bisa banyak mengambil hikmah dari berbagai kisah Rasulullah yang mudah-mudahan juga bisa mencerdaskan bangsa ini. Jangan sampai kita jadi korban atau pelaku dari yang ditulis William Pfaff ketika PBB sebagai lembaga yang disegani dan dihormati mengambil sebuah kebijakan yang justru lebih merupakan cara-cara yang merugikan bangsa lain: Bosnia Herzegovina. Kenapa dianggap merugikan? Kebijakan tersebut mengarah pada pembodohan karena “menolong warga yang terperangkap tanpa menghentikan pengepungan itu sendiri sama halnya dengan menolong korban hari ini untuk dibiarkan mati esok hari.: Selain itu, “mengevakuasi warga sipil dan tawanan dari wilayah yang terkena `pembersihan etnis` sama saja membantu Serbia mengusir Bosnia atas biaya dunia internasional.” Langkah tersebut dilakukan PBB sebagai cara melindungi Barat agar mereka (Pemerintah Amerika dan Eropa) tidak merasa dipermalukan oleh dunia internasional. Bukankah cara-cara itu jelas-jelas menunjukkan pembodohan bagi etnis Bosnia yang memang di negara tersebut terjadi `pembersihan etnis`? Mudah-mudahan saja cara-cara pembodohan terhadap anak bangsa sendiri tidak dilakukan oleh negara kita. Semoga saja!
Sumber Gambar :
(https://images.app.goo.gl/jQrgC7m2wFZmQk5q8)
(https://images.app.goo.gl/5addbvKgcgH36gNo7)
(https://images.app.goo.gl/MtNYwv78A6CfGmRg7)
(https://images.app.goo.gl/ayV6PZhSRh5nfjJe6)