Subagio S. Waluyo

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,

Dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
Sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang…
Sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan Indonesia padaku…
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam…
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,

(Petikan dari Puisi “Kembalikan Indonesia Padaku”/Taufik Ismail)

7. Pendidikan yang Rendah

Talyda dan Anna Karenina Wijayanti wanita-wanita karier jelas wanita-wanita berpendidikan tinggi. Jum wanita desa yang berusaha  membantu ekonomi keluarga lewat cara-cara yang tidak bisa dibenarkan agama karena latar pendidikannya yang rendah. Begitu juga Tokoh Aku dalam Cerita Cinta Enrico dan Tokoh Aku dalam “Bursa Efek Jakarta, Suatu Senja” adalah laki-laki pekerja kantoran yang kerahnya bersih. Sebaliknya, Kartawi laki-laki pekerja kasar (boleh juga serabutan), orang desa yang pendidikannya rendah. Baik Kartawi maupun Gambir masih punya harga diri ketika diketahui istrinya selingkuh sehingga marah besar. Kartawi meskipun dari pendidikannya rendah, ternyata tidak bisa menerima perilaku istrinya yang berbuat selingkuh dengan Koyor. Dia tinggalkan istrinya meskipun ada keinginan untuk balik ke rumahnya. Gambir yang benar-benar dikhianati oleh istrinya yang selingkuh dengan adiknya dan teman-temannya berbuat keji dengan menghabisi nyawa istrinya berikut orang-orang yang pernah menyetubuhi istrinya.

Kita tidak perlu mengkorelasikan latar belakang pendidikan dengan orang-orang yang melakukan perselingkuhan. Perselingkuhan bisa dilakukan oleh setiap orang. Tentu saja, orang-orang yang melakukan perselingkuhan adalah orang-orang yang tipis keimanannya. Orang-orang yang teperdaya oleh bujukan setan. Orang-orang yang minim pendidikan agamanya. Agama manapun tidak bisa membiarkan kalau ada umatnya mengumbar-umbar syahwatnya dalam bentuk perselingkuhan. Jum, istri Kartawi, dilihat dari pembelaannya saja ketika suaminya  marah besar terlihat sebagai orang desa yang lugu. Orang desa yang minim baik pendidikan umum maupun agamanya. Kalau memiliki pendidikan umum dan agama yang memadai, tidak mungkin Jum melakukan jalan pintas menyerahkan tubuhnya pada Koyor. Orang-orang seperti ini di negara ini tergolong masih banyak. 

Orang-orang miskin, pengangguran, dan berpendidikan rendah tidak luput dari pengamatan para sastrawan kita. Sebut saja Ahmad Tohari baik dalam cerpen-cerpennya maupun novel-novelnya banyak menyoroti kehidupan orang-orang desa yang lugu, sederhana, miskin, pengangguran, dan rendah pendidikannya. Salah satu kumpulan cerpen Ahmad Tohari: Senyum Karyamin berkisah tentang kehidupan orang-orang di pedesaan yang  sederhana, lugu, dan berpendidikan rendah. Dalam cerpen berjudul “Kang Sarpin Minta Dikebiri” tampak sekali keluguan sekaligus ketidaktahuan Kang Sarpin untuk menghentikan hasrat seksualnya hanya bisa dilakukan dengan cara mengebiri kemaluannya. Lebih tidak masuk di akal lagi kalau dia minta diantar ke tukang penyabung ayam yang biasa mengebiri ayam. Dia berasumsi tukang penyabung ayam bisa mengebiri kemaluannya. Jelas, hal itu menunjukkan keluguan dan sekaligus tingkat pendidikannya yang rendah. Atau mungkin orang seperti Kang Sarpin tidak pernah mengecap dunia pendidikan. Selain itu, kenapa dia harus menyalahkan kemaluannya yang dia sebut `burung` yang tidak bisa diatur?Bukankah ini menunjukkan ketidaktahuannya dalam masalah agama? Masalah hasrat seksual yang menggebu-gebu tidak bisa disalahkan kemaluannya, tapi berhubungan dengan masalah iman, masalah dosa besar bagi orang yang berzina, atau masalah menahan hawa nafsu. Jadi, bukan masalah `burungnya` yang tidak bisa diatur sehingga ada pikiran untuk  mengebirinya. Ini salah satu contoh orang yang tingkat pendidikannya rendah dan minim pemahaman agamanya.  

Ah, Mas tidak tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Burung saya lho, Mas! Burung saya; betapapun saya ingin berhenti main perempuan, dia tidak bisa diatur. Dia amat bandel. Bila sedang punya mau, burung sama sekali tak bisa dicegah. Pokoknya dia harus dituruti, tak kapan, tak di mana. Sungguh Mas, burung saya sangat keras kepala sehingga saya selalu dibuatnya jengkel. Dan bila sudah demikian saya tak bisa berbuat lain kecuali menuruti apa maunya.

“Sekarang, Mas, saya datang kemari untuk minta bantuan. Tolong. Saya suka rela diapakan saja asal saya bisa jadi wong bener. Saya benar-benar ingin berhenti jadi wong gemblung.”

Terasa pandangan Kang Sarpin menusuk mata saya. Saya tahu dia sungguh-sungguh menunggu jawaban. Sialnya, lagi-lagi saya gagal menahan senyum. Kang Sarpin tersinggung.

“Mas, mungkin saya harus dikebiri.”

Saya terkejut. Dan Kang Sarpin bicara dengan mata terus menatap saya.

“Ya. Saya rasa satu-satunya cara untuk menghentikan kegemblungan saya adalah kebiri. Ah, burung saya yang kurang ajar itu memang harus dikebiri. Sekarang Mas, tolong kasih tahu dokter mana yang kiranya mau mengebiri saya. Saya tidak main-main. Betul Mas, saya tidak main-main!”

Tatapan Kang Sarpin makin terasa menusuk-nusuk mata saya. Wajahnya keras. Dan saya hanya bisa menarik napas panjang.

“Entah di tempat lain Kang, tetapi di sini saya belum pernah ada orang dikebiri. Keinginanmu sangat ganjil, Kang.”

“Bila tak ada dokter mau mengebiri, saya akan pergi kepada orang lain. Saya tahu di kampung sebelah ada penyabung yang pandai mengebiri ayam aduannya. Saya kira, sebaiknya saya pergi ke sana. Bila penyabung itu bisa mengebiri ayam, maka dia pun harus bisa mengebiri saya. Ya. Besuk, sehabis menjual beras ke pasar ….”

“Jangan Kang,” potong saya. Tatapan Kang Sarpin kembali menusuk mata saya. “Kamu jangan pergi ke tukang sabung ayam. Dokter memang tidak mau mengebiri kamu. Tetapi saya kira dia punya cara lain untuk menolong kamu. Besuk Kang, kamu saya temani pergi ke dokter.”

(Dikutip dari cerpen “Kang Sarpin Minta Dikebiri”/Ahmad Tohari)

Dalam kumpulan cerpen yang sama, Ahmad Tohari mengangkat perilaku seorang Haji Bakir (cerpen “Rumah yang Terang”) yang bersikeras tidak mau memasang listrik di rumahnya. Padahal di tempat tinggalnya listrik telah masuk empat tahun lalu. Akibatnya, rumah-rumah di sekitarnya tidak bisa tersambung listrik karena untuk menyambungkan aliran listrik cukup jauh. Sementara tiang listrik ada di depan rumahnya. Perilaku Haji Bakir yang seperti itu menjadi bahan omongan orang-orang kampung sehingga namanya diplesetkan menjadi `Haji Bakhil` (pelit, kikir). Bukan hanya itu, mereka juga menyebut kalau rumah terang akan ditakuti tuyul karena Haji Bakir memelihara tuyul. Yang paling banyak menyerang terutama adalah dua orang tetangga yang tidak bisa teraliri listrik kalau Haji Bakir tidak juga disambungkan aliran listrik ke rumahnya karena untuk tersambung ke rumah yang terdekat harus ada dakstang di bubungan rumah Haji Bakir. Jadi, sampai sekian lama baik rumah Haji Bakir maupun kedua orang tetangganya masih  tetap kondisi tidak teraliri listrik. Saking kesalnya kedua tetangga itu bersepakat mau mengkomplain Haji Bakir ke lurah setempat dengan tuduhan melanggar asas kepentingan umum.

Pandangan-pandangan picik orang-orang kampung terhadap Haji Bakir jelas menunjukkan intelektualnya rendah sehingga mereka tidak bisa berpikir positif. Kalau memiliki intelektual yang memadai, mereka tidak mau bertindak sejauh itu. Mereka dengan seenak perutnya memelesetkan nama Haji Bakir menjadi Haji Bakhil. Menuduh Haji Bakir memelihara tuyul. Yang lebih tidak masuk akal lagi Haji Bakir telah melanggar asas kepentingan umum. Padahal Haji Bakir tidak mau memasang listrik karena teringat pada keyakinannya (yang tentu saja bersumber pada ajaran agama) yang menyebutkan kalau dengan listrik akan mengundang keborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiskan semasa hidupnya maka khawatir tidak ada lagi cahaya buat Haji Bakir di dalam kuburnya. Tampaknya, ungkapan Haji Bakir juga perlu dikoreksi. Apa korelasinya sesuatu yang pernah didengar (mungkin juga diketahui) ketika mendapat petuah agama dengan listrik? Jelas, tidak ada relevansinya bukan? Boleh jadi yang didengar atau diketahui Haji Bakir tentang ajaran itu perlu dikaji kembali. Memang, dengan listrik rumah atau di sekitar tempat tinggal kita, bahkan dunia ini akan terang benderang. Tapi, perlu diingat listrik sama saja TV, komputer, HP/android/gadget, itu semuanya sarana yang sifatnya netral. Semua sarana itu bisa saja mendatangkan kerugian kalau disalahgunakan. Listrik, misalnya, kalau kita gunakan berlebihan, digunakan untuk siang malam menonton TV sehingga sering lalai beribadah pada Tuhan, jelas orang seperti ini nanti di dalam kubur akan merugi (yang dibahasakan dalam cerpen itu `tidak ada lagi cahaya baginya di dalam kubur`). Di sini Haji Bakir juga walaupun telah menyempurnakan agamanya dalam hal ini termasuk orang yang berpandangan sempit. Bisa juga termasuk orang-orang yang jumud (fanatik buta). Di negara ini boleh dikatakan banyak orang beragama yang jumud, fanatik buta, atau ikut-ikutan sehingga ketika berhadapan dengan suatu masalah cenderung tidak menggunakan dalil atau bukti berdasarkan nilai-nilai agama.           

Listrik sudah empat tahun masuk kampungku dan sudah banyak yang dilakukannya. Kampung seperti mendampat injeksi tenaga baru yang membuatnya menggeliat penuh gairah. Listrik memberi kampungku cahaya, musik, es, sampai api dan angin. Di kampungku, listrik juga membunuh bulan di langit. Bulan tidak lagi menarik hati anak-anak. Bulan tidak lagi mampu membuat bayang-bayang pepohonan. Tapi kampung tidak merasa kehilangan bulan. Juga tidak merasa kehilangan tiga laki-laki yang tersengat listrik hingga mati.

Sebuah tiang lampu tertancap di depan rumahku. Seperti semasa teman-temannya sesama tiang listrik yang membawa perubahan pada rumah yang terdekat, demikian halnya beton langsing yang menyangga kabel-kabel di depan rumahku itu. Bedanya, yang dibawa ke rumahku adalah celoteh-celoteh sengit dua tetangga di belakang rumahku.

Sampai sekian lama, rumahku tetap gelap. Ayahku tidak mau pasang listrik. Inilah yang membuat tetangga di belakang rumah jengkel terusterusan. Keduanya sangat berhasrat menjadi pelanggan listrik. Tapi hasrat mereka tak mungkin terlaksana sebelum ada dakstang di bubungan rumahku. Rumah dua tetangga di belakang itu terlalu jauh dari tiang. Kampungku yang punya kegemaran berceloteh seperti mendapat jalan buat berkata seenaknya terhadap ayah. Tentu saja dua tetangga itulah sumbernya. “Haji Bakir itu seharusnya berganti nama menjadi Haji Bakhil.Dia kaya tetapi tak mau pasang listrik. Tentu saja dia kawatir akan keluar banyak duit.”

Kadang celoteh yang sampai di telingaku sedemikian tajam sehingga aku tak kuat lagi menerimanya. Mereka mengatakan ayahku memelihara tuyul. “Tentu saja Haji Bakir tak mau pasang listrik karena tuyul tidak suka cahaya terang.” Yang terakhir kedua tetangga itu merencanakan tindakan yang lebih jauh. Entah belajar dari mana mereka menuduh ayahku telah melanggar asas kepentingan umum. Mereka menyamakan ayahku dengan orang yang tidak mau menyediakan jalan bagi seseorang yang bertempat tinggal di tanah yang terkurung. Konon mereka akan mengadukan ayahku kepada lurah.

………………………………………………………………………………………………………….

Seratus hari sudah kematian ayah orang-orang bertahlil di rumahku sudah duduk di bawah lampu neon dua puluh watt. Mereka memandangi lampu dan tersenyum. Dua tetangga belakang yang tentu saja sudah pasang listrik mendekatiku.

“Nah, lebih enak dengan listrik, ya Mas?”

Aku diam karena sebal melihat gaya mereka yang pasti menghubung-hubungkan pemasangan listrik di rumahku yang baru bisa terlaksana sesudah kematian ayah. Oh, mereka tidak tahu bahwa aku sendiri menjadi linglung.

Listrik memang sudah kupasang tapi aku justru takut menghidupkan radio, TV, dan pemutar pita rekaman. Sore hari aku tak pernah berbuat apa pun sampai ibu yang menghidupkan lampu. Aku enggan menjamah sakelar karena setiap kali aku melakukan hal itu tiba-tiba bayangan ayah muncul

dan kudengar keletak-keletik suara tasbihnya. Linglung. Maka tiba-tiba mulutku nyerocos. Kepada tamu yang bertahlil aku mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa ayahku tidak suka listrik, suatu hal yang seharusnya tetap kusimpan.

“Ayahku memang tidak suka listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan listrik akan mengundang keborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiskan semasa hidupnya maka ayahku khawatir tidak ada lagi cahaya bagi beliau di dalam kubur”.

Aku siap menerima celoteh dan olok-olok yang mungkin akan dilontarkan para tamu. Karena aku sendiri pernah menertawakan pikiran ayah yang antik itu. Aneh, para tamu malah menunduk. Aku juga menunduk, sambil berdoa tanpa sedikitpun kadar olok-olok. Kiranya ayahnya mendapat cukup cahaya di alam sana.

(Dikutip dari cerpen “Rumah yang Terang”/Ahmad Tohari)

Di cerpen “Mereka Mengeja Larangan Mengemis” Ahmad Tohari juga berkisah tentang anak-anak jalanan yang berpendidikan rendah. Dari lima anak jalanan, satu perempuan dan empat laki-laki, hanya Gupris (anak perempuan) yang pernah mengecap dunia pendidikan walaupun cuma sebentar. Cuma Gupris juga yang bisa membaca walaupun belum lancar sehingga bila berhadapan dengan sebuah bacaan dia harus mengejanya. Berkaitan dengan itu, suatu saat ketika ada tulisan di perempatan yang berbunyi: “Barangsiapa mengemis dan memengamen dipidana kurungan” Gupris yang memang tergolong melek huruf berupaya mengejanya. Setelah selesai membacanya, dia bertanya tentang pengertian kata `dipidana` pada Karidun sekuriti dari Dinas Sosial. Karidun yang ditanya tentang itu cukup kaget sehingga tidak siap menjawabnya. Untuk menutupi kekurangannya Karidun menjawabnya walaupun jawabannya kurang tepat. Karidun juga menekankan agar mereka bersekolah. Gupris boleh jadi mengerti yang dijelaskan Karidun, tapi tidak demikian dengan teman-temannya. Teman-temannya malah bertanya pada Gupris yang membuat Karidun naik pitam ketika mendengarnya karena teman-temannya cenderung ingin mengamen. Mereka beralasan kalau mengamen dapat uang, sedangkan kalau sekolah tidak dapat uang. Gupris yang termasuk cukup kritis juga menanyakan  tentang siapa yang  membuat larangan? Yang dijawab Karidun: walikota dan para dewan. Sampai akhirnya Gupris dengan keluguannya mengambil kesimpulan baik walikota maupun anggota dewan adalah sejenis manusia juga yang membuat larangan itu. Gupris juga beranggapan kalau selama ini dia dan teman-temannya aman-aman saja. Artinya, dia dan teman-temannya tidak pernah dihukum (ditangkap) sehingga dia dan teman-temannya memutuskan akan tetap memengamen sambil mereka pergi dari situ.     

Tetapi tiba-tiba dia berhenti bergerak. Dia melihat sesuatu; ada yang berubah di sudut perempatan itu. Di dekat mereka telah terpancang sebuah papan pengumuman. Tulisannya hitam di atas papan kayu bercat putih. Berbeda dengan teman-temannya yang tidak tertarik karena tidak bisa membaca, Gupris lain. Dia ingin membaca tulisan itu. Dia mulai mengeja. Teman-temannya mendekat dan berdiri di belakangnya untuk menguping.

“Ba-ran-g si-a-pa me-nge-mis dan me-ng-a-men… di-pi-da-na… ku-ru-ng-an…”.

Gupris berhenti, lalu berbalik menghadap teman-teman.

“Dipidana itu apa? Dipidana kurungan artinya apa?” tanyanya.

Keempat anak laki-laki itu nyengir lalu bergantian menggeleng. Semua tidak tahu. Mereka hanya saling pandang. Gupris kesal dan jadi merasa percuma. Maka Gupris mengajak teman-temannya pergi. Tetapi mereka mendadak berhenti.

“Nah, baca itu! Kalian anak-anak liar yang kerjanya keluyuran, harus baca itu. Harus!”

Gupris dan teman-temannya serentak menoleh ke samping. Ada seorang hansip keluar dari warung nasi sambil membersihkan mulut dengan punggung tangan. Di atas saku kanan bajunya tersulam jelas nama Karidun. Dia bergerak setengah berlari. Dan berhenti, pasang gaya. Suara kerasnya mengatasi bunyi mobil dan motor. Masih ada remah nasi atau ampas kelapa di sudut bibirnya. Sisa makanan terus berjoget mengikuti gerak mulut ketika hansip itu bicara. Itu pemandangan yang membuat Gupris menahan tawa.

“Teruskan baca. Harus!” kata hansip Karidun. Tangannya menunjuk ke papan di sana dengan gaya komandan. “Aku petugas keamanan, eh, sekuriti dari Dinas Sosial. Aku yang memasang papan itu tadi pagi. Untuk orang-orang semacam kalian. Tahu? Ingat, aku sekuriti dari Dinas Sosial, tahu?”

Lengang, Gupris berhenti, wajahnya buntu. Lalu menoleh ke belakang ke arah teman-temannya.

“He, kenapa berhenti. Baca terus. Aku ini sekuriti. Dan menyuruh kamu membaca. Ayo terus,” seru hansip Karidun, kali ini dengan suara lebih keras.

“Di-pi-da-na, itu artinya apa, Pak?” tanya Gupris dengan gaya yang biasa saja. Meskipun masih gadis kecil yang jarang mandi, Gupris berani cengar-cengir kepada hansip Karidun yang maunya disebut sekuriti.

………………………………………………………………………………………………………….

“Jadi, menurut saya, dipidana pasti tidak sama dengan diberi dana. Dipidana mungkin sama dengan dihukum. Ya. Dipidana kurungan sama dengan dihukum kurung, dibui, dipenjara. Tahu? Itulah, maka kalian jangan ngemis dan ngamen terus. Seharusnya kalian bersekolah. Jadi kalian bisa seperti saya yang sekuriti dan tahu dipidana itu artinya apa.”

Gupris diam sejenak. Lalu berbalik lagi menghadap teman-teman. “Kalian dengar, kita seharusnya sekolah.”

“Sekolah dapat uang apa tidak?” potong seorang anak.

“Ah, dasar! Sekolah, ya, tidak dapat uang, malah bayar,” jawab Gupris.

“Wah, susah kalau begitu? Tidak dapat uang? Lalu kita beli makan pakai apa? Enakan ngamen terus, ngemis terus, bisa makan terus.”

“Hai, apa?” seru hansip Karidun dengan muka dibuat galak. “Kamu sudah saya kasih tahu, mengemis dan mengamen dipidana kurungan. Di-pi-da-na ku-ru-ngan 30 hari dan didenda 50 juta rupiah! Kamu dengar itu?”

Wajah Gupris ciut. Tapi kemudian tersenyum samar karena melihat sisa makanan di sudut bibir Karidun berjoget-joget lagi.

Mengapa bisa begitu?” tanggap Gupris lagi. “Mengemis bukan nyopet atau mencuri, kan?”

“Ya, tapi melanggar larangan. Siapa saja yang melanggar larangan pasti dipidana, ya dihukum.”

“Mengapa bisa begitu? Siapa yang membuat larangan?”

“Nah, saya sekuriti. Maka saya tahu siapa yang membuat larangan mengemis itu: Bapak Wali Kota dan para dewan.”

“Wali Kota itu apa?”

“Dasar anak liar. Wali Kota adalah pejabat penting.”

“Para dewan itu orang juga?”

“Iyyya. Nah dengar, saya sekuriti mau menerangkan semua. Dewan itu wakil rakyat, jadi wakil kalian juga.”

Alis Gupris merapat. Bingung dia. Tapi setidaknya dia sudah tahu, dewan itu sejenis manusia juga. Dan mereka bersama wali kota membuat larangan, siapa mengemis dan mengamen dipidana kurungan. “Ya, ya. Kami mengemis dan ngamen saban hari. Tapi kami belum pernah dihukum.” Gupris nyengir. Empat temannya tertawa.

(Dikutip dari cerpen “Mereka Mengeja Larangan Mengemis”/Ahmad Tohari)

Tiga cerpen Ahmad Tohari yang diangkat di sini berkisah tentang orang-orang kecil yang minim pendidikannya. Orang-orang kecil yang juga begitu sederhana cara berpikirnya. Orang-orang kecil inilah yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Orang-orang kecil ini kurang  mendapat perhatian para pejabat publik di negeri ini karena mereka (para pejabat) publik cenderung berpikir `wani piro`. Dengan kata lain, orang-orang kecil itu tidak memiliki kompetensi. Orang-orang kecil itu tidak mungkin bisa diberdayakan. Orang-orang kecil itu buat mereka tidak menguntungkan buat negara karena tidak punya nilai ekonomis. Mereka lebih cenderung melirik orang-orang besar yang memiliki potensi ekonomi yang sanggup ditantang jika diajukan pertanyaan `wani piro`. Negara ini masih berpihak pada orang-orang berduit yang berani menekan penguasa. Negara ini rasa-rasanya tidak akan bisa mewujudkan negara sejahtera kalau masih ada di benak para pejabat publiknya berorientasi pada materi atau keuntungan ekonomi. Untuk bisa mewujudkan negara sejahtera sudah saatnya penguasa negeri ini berpihak pada orang-orang kecil. Beruntunglah masih ada orang-orang seperti Ahmad Tohari yang masih konsisten mengangkat orang-orang kecil ke dalam karya sastra. Walaupun karya-karyanya hanya sebuah lecutan kecil yang tidak memberi bekas, buat mereka yang masih punya kepekaan tetap saja sedikit banyak bisa memerahkan telinganya.    

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *