Subagio S Waluyo
“Seharusnya ada pepatah bijak yang berbunyi: `Bila engkau ambil satu jangan engkau ambil dua. Karena satu menggenapkan tapi dua melenyapkan. Sekalipun ganjil terdengar tapi itu penting. Pepatah bukan sekedar kembang gula susastra. Dibutuhkan pengalaman pahit untuk memformulasikannya. Dibutuhkan orang yang setengah mati berakit-rakit ke hulu agar tahu nikmatnya berenang-renang santai ke tepian.”
(Dikutip dari Cerpen “Mencari Herman (2004)” oleh Dee)
6. Modernisasi dan Globalisasi
Talyda merupakan salah satu contoh korban globalisasi dan modernisasi. Globalisasi dan modernisasi menjadikan seseorang terseret ke dalam arus perilaku konsumtif. Globalisasi dan modernisasi telah menciptakan manusia Indonesia yang hedonis. Globalisasi dan mordenisasi juga telah menjadikan bangsa ini masuk ke dalam pusaran hidup yang serba permisif. Ungkapan Talyda bahwa seseorang bisa disebut selingkuh kalau sudah jatuh cinta pada orang lain yang bukan suaminya. Sementara orang yang baru sekedar bercinta dengan orang yang bukan suaminya, tapi tidak sampai jatuh cinta belum masuk kategori selingkuh. Ungkapan ini relevan dengan ungkapan Jum dalam cerpen “Warung Penajem” oleh Ahmad Tohari yang mengatakan: “Yang saya berikan kepada Pak Koyor bukan begitu-begitu yang sesungguhnya. Saya Cuma main-main. Cuma pura-pura. Tidak sepenuh hati. Kang, saya masih eling. Begitu-begitu yang sebenarnya hanya untuk Kamu. Sungguh, Kang.” Pertanyaannya, bukankah pengakuan Jum sebagai istri merupakan perselingkuhan walaupun katanya main-main, tidak sungguhan karena biar bagaimanapun dia masih sadar kalau Kartawi (suaminya) tetap merupakan orang yang dicintainya? Kenapa hanya untuk melariskan usaha dilakukan cara-cara yang cenderung asusila (dalam cerpen tersebut Jum harus bersedia bersetubuh dengan sang dukun)? Bukankah ini merupakan cara-cara permisif yang menjadi ciri modernisasi dan globalisasi?
”Jadi betul Kamu…” Tangan Kartawi meraih gelas yang seperti hendak diremukkannya dalam genggaman. Otot yang mngikat kedua rahangnya menggumpal. Matanya menyala. Jum menyembunyikan wajah karena mengira Kartawi akan memukulnya, Tidak, ternyata Kartawi bisa menahan diri meski seluruh tubuhnya bergetar menahan marah. ”Kang,” ujar Jum setelah suaminya agak kendur. ”Dengarlah, saya mau bicara.” Jum berhenti dan menelan ludah yang tiba-tiba terasa lebih pekat. ”Yang saya berikan kepada Pak Koyor bukan begitu-begitu yang sesungguhnya. Saya cuma main-main, Cuma pura-pura, Tidak sepenuh hati. Kang, saya masih eling. Begitu-begitu yang sebenarnya hanya untuk Kamu. Sungguh, Kang.” Kartawi tatap membatu. Matanya tetap berpijar. Urat rahangnya masih menggumpal. Dalam perasaan yang terpanggang itu Kartawi melihat wilayah-wilayah pribadi tempat bersemayam harga diri dan martabat kelelakiannya terinjak-injak. Porak-porak. Jemari kembali meregang untuk meremas gelas yang masih digenggamnya. Jum malah mencoba tersenyum. Tetapi Jum terkejut karena tiba-tiba Kartawi berteriak. ”Lalu apa bedanya begitu-begitu yang main-main dengan begitu-begitu yang sungguhan?” Jum kembali menelan ludah. Dan ketenangannya yang kemudian berhasil ditampilkannya membuat Kartawi harus tetap pada posisi menahan diri. ”Oalah Kang, bedanya banyak. Karena Cuma main-main maka begitu-begitu yang saya lakukan itu tidak sampai ke hati. Tujuan saya hanya untuk membayar penajem, agar warung kita laris, tidak lebih. Jadi, Kamu tidak kehilangan apa-apa, Kang. Semuanya utuh. Kang, jika warung kita bertambah laris, kita juga yang bakal enak-kepenak, bukan?” Belum satu detik setelah Jum selesai mengucapkan kata-katanya Kartawi bangkit. Detik berikut terdengar suara gelas hancur terbanting di lantai. Kartawi ke luar setelah membanting pintu keras-keras. Dan Jum menangis. (http://yolasastra.blogspot.com/2012/04/warung-penajem.html) |
Baik Talyda maupun Jum memiliki pandangan yang sama. Sama-sama permisif. Perbedaannya terletak pada tujuannya masing-masing. Talyda berbuat selingkuh karena tuntutan seksual yang memang sudah ada sejak remaja. Dia berdalih kalau yang dikerjakan bukan sebuah perselingkuhan karena mengikuti gaya hidup modern yang menganggap sah-sah saja setiap perempuan berhubungan seks dengan siapapun asal tidak disertai dengan perasaan jatuh cinta. Gaya hidup permisif seperti ini memang menjadi ciri masyarakat di barat yang menganggap dirinya sebagai masyarakat modern. Jum, perempuan desa yang berpendidikan rendah tidak demikian. Dia secara sadar melakukan hubungan seks dengan Koyor lebih merupakan tuntutan ritual yang menjadi syarat agar usahanya berhasil. Cara ini tentu saja tidak dibenarkan oleh agama. Tidak ada agama yang melakukan pembiaran terhadap perilaku seperti itu. Walaupun Jum mengatakan kalau yang dia lakukan tidak berangkat dari rasa cinta, tetap saja itu merupakan sebuah perselingkuhan (zina) sehingga cara yang dilakukan tidak bisa dibenarkan.
Dalam novel Cerita Cinta Enrico (Ayu Utami) juga diangkat masalah hubungan seks bebas yang sudah menjadi ciri hidup masyarakat modern di era globalisasi ini. Tokoh Aku dalam usianya yang telah menginjak kepala empat (40-an tahun) belum juga berkeluarga. Ia tidak pernah ingin menjadi suami. Untuk itu, dalam hidupnya ia selalu berganti-ganti pasangan atau memuaskan hasrat seksualnya pada perempuan-perempuan yang memang membutuhkan dirinya. Tidak mustahil perempuan-perempuan yang pernah diajaknya tidur ada di antaranya yang sudah bersuami. Jadi, dia menjadi tempat penyaluran bagi perempuan-perempuan yang ingin berselingkuh. Prinsip hidupnya ia lebih mencari teman tidur bukan mencari istri. Ayahnya tidak pernah peduli dengan jalan hidupnya yang cenderung menganut paham seks bebas. Baginya yang namanya seks cenderung sementara karena, menurutnya, semua orang jujur tahu bahwa seberapapun kita mencintai orang, gairah akan selalu padam. Dengan demikian, Tokoh Aku (Enrico) sama dengan Talyda, sama-sama penganut free sex yang memang telah menjadi ciri gaya hidup masyarakat (yang mengaku) modern di masa globalisasi ini.
Aku suka berkhayal punya pacar seorang seniman. Sepertinya menyenangkan bisa bangun tidur dan melihat kekasihku sedang melukis, atau bermain musik, atau merancang desain, atau menulis novel. aku senang membayang-bayangkan memandangi perempuan yang kerjanya mengasah rasa seni dan menciptakan sesuatu yang bagus. Sebagai wujud rasa kagum, aku akan menyiapkan sarapan buatnya. Segala yang enak. Jus segar, buah-buahan, roti atau sereal, tartbuah seperti bikinan Ibu. Sayangnya, aku tidak pernah ingin jadi suami. Jadi, aku tak bisa menimbang bibit-bebet-bobot cewek yang kuincar. Sikap penuh pertimbangan itu hanya cocok untuk orang yang mencari istri. aku tidak mencari istri. aku hanya mencari teman tidur. Pada akhirnya, aku berpindah-pindah pelukan perempuan-perempuan yang menurutku seksi dan sedang membutuhkan lelaki yang bukan bakal suami. atau yang sedang jenuh dengan suami mereka. Wanita yang sekadar membutuhkan transit. Cewek-cewek yang diam-diam sedang mencari jodoh akan kecewa dan meninggalkan aku setelah beberapa kali kami bercinta. Mereka kesal mengetahui bahwa hubungan kami tidak akan ke mana-mana meskipun aku memperlakukan mereka dan meninggalkan aku setelah beberapa kali kami bercinta. Mereka kesal mengetahui bahwa hubungan kami tidak akan ke mana-mana meskipun aku memperlakukan mereka dengan aman dan penuh penghargaan. Sedang yang mencari petualangan juga akan menghentikan hubungan—sambil berterima kasih karena aku memberi mereka petualangan sebelum mereka yakin pada pilihan mereka dan kembali kepada suami atau pacar serius mereka itu. ah, sebenarnya aku pernah punya pacar seorang mahasiswi arsitektur. Ia mirip seniman juga. Hubungan kami lumayan panjang. Tapi ia meninggalkan aku setelah sahabat kami jatuh dan mati ketika selesai panjat tebing. Bertahun-tahun aku tak bisa melupakan mereka—pacarku, dan partner climbing-ku itu. Ayah tidak pernah bertanya apapun tentang bagian hidupku yang berhubungan dengan perempuan. Ia percaya bahwa aku tidak akan kesepian sebab aku punya nina, sahabat yang menyayangiku, sementara seks memang akan selalu sementara belaka. Semua orang jujur tahu bahwa seberapapun kita mencintai orang, gairah akan selalu padam. ………………………………………………………………………………………………………….. Aku tak pernah merasa kosong sebelum ini. Aku telah memilih hidupku dan aku bahagia. aku tak mau punya istri, apalagi anak. Mimpi paling burukku—yang syukurlah tak pernah hadir dalam demam ini—adalah kamera leica-ku hilang dan pacarku hamil sehingga aku harus mengawininya. Untuk mencegah mimpi buruk itu aku tidak bisa bercinta kalau tidak pakai kondom. Aku menginginkan perempuan sebatas teman tidur. Itupun, kalau bisa, jangan dengan jatuh tertidur betulan. Kecuali bila pacarku menginap di rumah, sebisa mungkin aku tidak mau tidur betulan dengan perempuan. Kau tak tahu apa yang bisa terjadi jika kita tidur. Suatu kali saat aku terlelap salah satu perempuanku naik ke atasku dan menyetubuhiku tanpa kondom. Untung rasa takutku akan kehamilan lebih besar daripada nafsuku. Jadi, kami tak bercinta karena kondom habis. Tapi, begitulah, perempuan diam-diam suka menjebak kita. Mereka buat diri mereka hamil dan mereka suruh kita bertanggung jawab. Kadang-kadang kupikir mungkin aku juga harus menunjukkan bahwa kondomku tidak bocor sebelum kami bermain. Tapi, aku selalu memperlakukan pacar-pacarku dengan manis. Cuma, mereka selalu punya harapan lebih. Tidur betulan bersama-sama juga akan menjalin rasa intim dan rasa aman. Rasa intim dan aman itu bisa disalahartikan oleh perempuan sebagai kesediaan untuk berumahtangga. Kecuali nina sahabatku, rasanya semua perempuan ingin berumah tangga. Yang mereka inginkan sesungguhnya adalah menimang anak. Dan dengan kata-kata manja mereka bilang pada kita bahwa mereka ingin agar kita menjadi ayah bagi anak-anaknya, seolah-olah itu adalah sebuah kehormatan bagi kita. Sebaliknya, aku jadi sangat takut dan segera ingin secepatnya membebaskan diri jika cewekku mulai mengigau begitu. Lagipula, aku tidak disunat. Kalau aku tidur nyenyak, bisa saja cewekku menemukan fakta itu dan jadi terkejut. Kau tahu, banyak perempuan Indonesia, meskipun mereka suka juga tidur dengan lelaki yang bukan suami, tapi mereka jadi salah tingkah bahkan ill feel kalau tahu bahwa selingkuhan atau gebetannya tidak bersunat. Mereka membicarakan kulup seperti membicarakan daging babi. Jadi, untuk amannya, aku tidak membiarkan mereka tahu. Itu artinya aku tidak boleh berada dalam keadaan tidur. Pendek kata, sebisa mungkin aku tidak tidur betulan bersama perempuanku. atau, jika ia menginap, aku akan tidur dengan tetap pakai celana. Aku selalu dalam keadaan waspada. Dikutip dari novel Cerita Cinta Enrico/Ayu Utami |
Meskipun Tokoh Aku penganut free sex, yang paling ditakutinya adalah kalau pacarnya sampai hamil dari hubungan seks yang ia lakukan. Untuk itu, setiap berhubungan seks Tokoh Aku selalu menyiapkan kondom. Dia juga menghindari setiap selesai hubungan seks tertidur karena dia punya pengalaman buruk ketika tertidur tanpa disadarinya seorang perempuan hampir menyetubuhinya tanpa menggunakan kondom. Jadi, dia tidak mau dijebak oleh perempuan-perempuan yang punya niat punya anak sehingga dia terpaksa harus menikahinya. Bukankah Tokoh Aku sejak awal memang sudah punya niat tidak berkeinginan untuk berkeluarga? Wajar-wajar saja kalau sejak dini dia berusaha mencegah terjadi kehamilan bagi pasangan bercintanya. Sebagai tambahan (disampaikan secara vulgar), karena Tokoh Aku tidak disunat, seandainya dalam berhubungan seks tidak menggunakan kondom, yang dia khawatirkan perempuan yang disetubuhinya akan ill feel (timbul rasa tidak suka) sehingga akan terjadi kegagalan dalam berhubungan seks.
Modernisasi dan globalisasi tidak hanya bicara tentang perselingkuhan yang mulai dipersempit penggunaannya baik oleh Talyda, Jum, maupun Tokoh Aku (Enrico). Modernisasi dan globalisasi juga bisa ditandai oleh kebiasaan yang sekarang sedang ngetrend di kalangan anak-anak milenial yang salah satu di antaranya kebiasaan ngopi di kafe-kafe. Budaya ngopi di kafe-kafe menjadi gengsi tersendiri bagi anak-anak muda milenial. Mereka merasa akan jatuh levelnya kalau untuk ngopi saja di warung kopi pinggir jalan yang menyajikan hidangan kopi tubruk, pisang goreng, singkong goreng, ubi goreng, bakwan goreng, atau nasi uduk. Sebaliknya, mereka akan merasa bangga kalau sudah ngopi di Starbucks, salah satu tempat nongkrong anak-anak muda milenial terkenal yang gerainya mencapai ratusan baik di berbagai kota besar maupun kecil di negeri ini. Mereka yang sempat mampir ngopi ke Starbucks ada rasa kebanggaan tersendiri. Mereka merasa telah menjadi bagian dari Amerika. Bahkan, tidak mustahil gara-gara sering ngopi di Starbucks mereka menjadi penganut American minded.
(https://images.app.goo.gl/Y1bvWL1hL2kXC2PY6)
Starbucks menjadi pilihan mereka untuk ngopi (walaupun untuk segelas kecil kopi harganya bisa untuk makan nasi di warteg 2-3 orang) karena di tempat itu tidak hanya menyediakan kopi. Starbucks juga menyediakan makanan kecil sebagai teman nyemil ngopi. Selain itu, supaya mereka tertarik pihak Starbucks juga menyediakan tempat yang nyaman dan aman. Asesori yang ada di Starbucks ditata sedemikian rupa dengan warna Amerika. Bisa saja ketika orang masuk ke Starbucks, orang seperti masuk ke bar-bar yang ada di film-film cowboy. Selain, itu agar pengunjungnya nyaman disediakan wifi yang dijamin tidak akan membikin lemot walaupun diakses oleh sekian banyak pengunjung baik di android/gadget maupun di notebook/laptop. Pramusaji tidak akan mengusir seorang atau beberapa orang pengunjung yang berjam-jam hanya minum segelas kopi. Pihak pengelola Starbucks cenderung memanjakan pengunjungnya agar para pengunjungnya tidak merasa bosan untuk datang lagi ke tempat tersebut. Karena Starbucks benar-benar mempraktekkan konsep `pembeli adalah raja.` Untuk mempromosikan usahanya pengelola Starbucks tidak memerlukan biaya besar. Mungkin cukup paling lama satu bulan mereka mempromosikan usahanya. Setelah mulai tampak adanya kenaikan pengunjung, mereka cukup menggunakan manajemen promosi dari mulut ke mulut yang dilakukan oleh para pengunjungnya.
(https://images.app.goo.gl/4b1PyupjbDbyiun18)
Sekarang bukan hanya Starbucks sebagai tempat kumpul anak-anak muda milenial untuk ngopi. Di kota-kota besar dan kecil di Indonesia sudah ada ratusan tempat ngopi yang mirip-mirip Starbucks dalam memberikan layanan. Mereka, para pengelola kedai-kedai kopi modern yang milenial itu menjadi pengekor Starbucks. Terkadang, walaupun dalam pelayanannya, hidangannya, bahkan penataan desain interiornya mengekor pada Starbucks, tapi dari sisi harga jauh lebih murah. Kehadiran kedai-kedai kopi semacam ini yang banyak menjadi pilihan masyarakat yang berkantong pas-pasan. Artinya, mereka yang tidak sanggup ke Starbucks mengingat dari sisi harga tidak mungkin terjangkau oleh kantongnya yang tipis, cenderung memilih kedai-kedai kopi pengekor Starbucks. Bahkan, di beberapa tempat minimarket waralaba, seperti Indomaret, Alfamaret juga menyediakan tempat untuk ngopi, walaupun dari segi tempat tidak seperti di Starbucks karena hanya disediakan di emperan gerai. Buat para pelaju yang pulang kerja atau kuliah sudah lebih dari cukup asalkan mereka bisa melepaskan kepenatan setelah menerobos kemacetan jalan.
Tentang Starbucks, AM Lilik Agung mengabadikannya dalam sebuah kumpulan cerpennya: Starbuck Coffee. Di bawah ini bisa kita lihat salah satu cerpennya yang terdapat dalam kumpulan cerpennya berjudul “Bursa Efek Jakarta, Suatu Senja” yang menjadikan Starbucks Coffee sebagai salah satu lokasi setting kisahnya. AM Lilik memulai kisahnya dari lokasi Starbucks yang menyempil di Tower 2 lobi Gedung Bursa Efek Jakarta. Meskipun demikian, Starbucks dengan slogannya yang terkenal the world history of coffee bagi Tokoh Aku bukan hanya sebagai tempat ngopi, tapi juga tempat untuk berkencan. Buktinya, di pagi itu sebelum masuk kantor ia sempat-sempatnya bertemu dengan Anna Karenina Wijayanti. Anna gadis berparas cantik dan cerdas terbiasa memilih Capucinno atau terkadang Espresso Macchiato dengan teman nyeruputnya sepotong tirumisu. Sambil menikmati minuman dan nyamikan keduanya terlibat perbincangan serius. Dari masalah-masalah ringan seperti novel yang baru saja habis dibaca sampai dengan masalah-masalah berat seperti eksekutif dan legislatif yang tidak pernah akur. Ketika jam telah menunjukkan pukul 07.52 mereka sepakat untuk masuk kantor. Tokoh Aku di lantai 27, sang wanita, Anna Karenina Wijayanti di lantai 21. Nanti seperti biasa seusai pulang kerja keduanya bertemu kembali di tempat yang sama.
Starbucks Coffee menyempil di Tower 2 lobi gedung Bursa Efek Jakarta. Jam 7 pagi. Ketika waiter pertama kali membuka pintu dan para barista masih sibuk dengan racikan kopi. Kakiku langsung memasuki gerai kopi anak kandung dari budaya global. Selalu begitu ritual pagi di Starbucks Coffee. Waiter membuka pintu, barista meracik kopi, aku duduk di kursi belakang sebelah kiri. Di bawah poster.” Secangkir espresso ditemani sepotong pastry . Ah, betapa eksotiknya.
Lalu ritual pagi semakin eksotik ketika beberapa menit berikut muncul wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya: Anna Karenina Wijayanti. Nama yang mengingatkan aku pada novel besutan Tolstoy. Anna, namanya seindah parasnya, secerdas otaknya. Anna biasa memilih cappuccino. Kesukaan lainnya espresso macchiato. Dan kesukaan Anna yang lain lagi; duduk di hadapanku. Menyibakkan rambut sebahunya. Memperlihatkan dua antingnya. Menyeruput cappuccinonya. Lalu Anna mulai membuka bibir. Bercerita apa saja. Mulai dari urusan politik lokal, sastrawan peraih nobel, harga minyak dunia yang tidak pernah stabil hingga diskon celana di Plaza Senayan. Seperti pagi ini. Blouse hitam berpasangan dengan celana panjang hitam. Sepatu berhak tinggi. Bau parfum estee lauder . Rambut dibiarkan tergerai sebahu. Secangkir cappuccino. Sepotong tiramisu. Anna menelanjangi wajahku. “Matamu masih merah. Apa semalaman pikiranmu berkelana sehingga bantal tidak mampu menyelamatkan kantukmu?” Anna membuka ritual percakapan pagi. ” The Conch Bearer -nya Chitra Divakaruni. Membuat saya semalaman harus menyelesaikannya,” kusebut buku terbaru karya sastrawati besar India . “Dua anak keturunan India – laki-laki dan perempuan – yang hidup di Amerika. Anak-anak imigran yang tidak tercerabut dari akar budayanya. Lalu Divakaruni membawa pembacanya ke dalam petualangan untuk belajar, menerima dan mengagumi budaya India. Sungguh luar biasa.” “Aku juga sudah melahap dua novel Divakaruni, Sister of My Heart dan The Mistress of Spices . Memang luar biasa tuh si Diva.” Anna melahap tiramisunya. Diaduk cappuccinonya. Lalu dua teguk masuk ke mulutnya. ……………………………………………………………………………………………………….. Espresso tinggal sepertiga cangkir. Kulirik jam tangan. Angka-angka digital menunjuk ke 07.52. Segera kuteguk habis sisa espresso. Anna setali tiga uang dengan polahku. Disambar habis tiramisunya. Diteruskan dengan menenggak habis sisa-sisa capucinno. Kami berbarengan meninggalkan Starbucks Coffee. Menuju pintu lift . Terbenam di dalamnya. Di lantai 21 Anna meloncat keluar. Menuju kantornya. Enam lantai berikut, di lantai 27. Di sini kantorku. ……………………………………………………………………………………………………….. Pikiranku kacau. Metabolisme di tubuhku tidak karu-karuan. Lunglai. Sebelum akhirnya sebuah suara keluar dari HP-ku. Suara wanita berparas ayu dengan dua anting di telinganya, ” Frappucino cream atau iced latte ? Jangan dijajah pekerjaan. Kutunggu kau di Starbucks.” ” Iced latte !” segera kusahut suara Anna. Kuangkat tubuh. Kulangkahkan kaki. Di Starbucks Coffee, Anna sudah menunggu. Terhidang satu frappucino cream . Satu lagi iced latte. ” Ada film bagus. Bintangnya Tom Cruise. The Collateral . Kau sudah nonton?” tanpa ditunggu Anna sudah membuka bibir begitu aku menaruh tubuh di hadapannya. “Belum. Hanya membaca resensinya saja.,” langsung kuteguk iced latte . Senja hari. Apa yang lebih eksotik dibanding secangkir iced latte dan ditemani gadis ayu cerdas bernama Anna Karenina? ………………………………………………………………………………………………………. Senja semakin merangkak. Mentari menghilang berganti bulan. Bintang-bintang di langit bermunculan. Jam mendekati angka tujuh. Kuselesaikan iced latte -ku. “Anna, sudah jam tujuh. Three in one berakhir. Kita teruskan ngobrolnya besok pagi. Malam ini ada tulisan yang harus aku selesaikan. Terima kasih iced latte -nya,” aku mengangkat tubuh. Sejenak kutatap Anna. Kusalami tangannya. Lalu kuangkat kaki. Dua langkah dari kursi, tiba-tiba Anna sedikit berseru. Kuhentikan langkah. Kubalikkan badan. “Hari ini sahammu hancur. Aku yang menghancurkan. Hari ini kamu kalah,” Anna menelanjangi wajahku.” “Dugaanku begitu. Pasti kamu yang melakukan. Hari ini aku memang kalah. Lalu?” kutanya Anna. “Orang kalah layak dihukum.” Kubalikkan tubuh lagi,”Apa hukumannya?” Anna menelan ludah. Menelanjangi wajahku. Lalu bibirnya terbuka. Berbisik. Sebuah bisikan yang sudah lama aku tunggu-tunggu. “Malam ini, kau dihukum untuk menemani tidurku….” Anna Karenina Wijayanti. Hari ini menjadi pemenang. Pemenang yang menghukum pecundang. Sebuah hukuman nan elok. Akan kujalani hukuman itu. (http://ceritaindonesia.angelfire.com/cerita-pendek-bursa-efek-jakarta2.html) |
Dalam percakapan keduanya diketahui saham-saham yang dijual Tokoh Aku hancur. Yang menghancurkannya siapa lagi kalau bukan teman minum kopinya sendiri di Starbucks itu: Anna Karenina Wijayanti. Sebagai orang yang kalah tentu saja Tokoh Aku harus dihukum. Tapi, hukuman yang akan dilakoni membuat Tokoh Aku kaget sekaligus menyenangkan. Bukankah sesuatu yang memang sejak bertemu tadi pagi dengan gadis itu sudah dibayangkan Tokoh Aku kesempatan untuk mengencaninya sekaligus tidur dengannya? Bukankah ini juga merupakan gaya hidup modern yang telah mengglobal? Kehidupan modernis yang serba permisif yang menghalalkan free sex yang juga merupakan produk dari globalisasi. Ah,Starbucks, ternyata diam-diam bisa juga dijadikan ajang untuk transaksi seksual orang-orang liberalis.