Subagio S.Waluyo

         Sebutan Islam sebagai agama ‘rahmatan lil alamin’ tidak akan pernah hilang sampai akhir zaman (hari kiamat). Tetapi, bagaimana dengan umatnya? Saat ini sebagian kecil umat Islam masih bisa menunjukkan dalam praktek kehidupannya sehari-hari masih relevan dengan sebutan tersebut. Artinya, hanya sedikit sekali dari umat Islam yang benar-benar kehadirannya di muka bumi ini memiliki ‘rahmatan lil alamin’. Sementara itu bagian besar umat Islam jauh dari nilai-nilai tersebut. Mengapa bisa seperti itu? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu uraian yang mendetail. 

          Di masa-masa Rasulullah SAW yang diteruskan dengan masa-masa kekhalifahan Islam pernah berjaya (termasuk ke dalamnya masa Umar bin Abdul Aziz sebagai raja walaupun sangat singkat). Masa-masa itu umat Islam sangat layak disebut umat yang bisa memberikan rahmat bagi seluruh alam (‘rahmatan lil alamin’). Umat Islam di saat itu bisa menunjukkan diri sebagai umatan waahidah (umat yang satu). Karena itu, umat Islam saat itu sulit ditaklukkan oleh umat-umat lain. Sebaliknya, dalam banyak peperangan umat Islam selalu memperoleh kemenangan walaupun dari segi jumlah pasukan dan perlengkapan perang jauh lebih kecil daripada musuh-musuhnya.

          Masa-masa kejayaan Islam berlangsung sekitar 43 tahun. Sepuluh tahun di masa Rasulullah SAW (terbentuknya masyarakat Islam di Madinah dan Fathul Makkah), tiga puluh tahun masa kekhalifahan, dan tiga tahun masa Umar bin Abdul Aziz sebagai raja. Meskipun demikian singkat, warisan yang ditinggalkan Islam luar biasa. Bukan saja menyangkut masalah-masalah ukhrawi yang diwariskan, masalah-masalah duniawi yang berkaitan denganmuamalah dan sebagainya juga diwariskan. Dalam dunia ilmu pengetahuan di masa-masa kerajaan juga berkembang pesat. Eropa yang dulu dikenal sebagai wilayah yang boleh dikatakan masih belum mengenal ilmu, begitu masuknya Islam di benua tersebut terjadi percepatan perkembangan ilmu pengetahuan. Ekspansi umat Islam yang telah dilakukan di masa-masa Rasulullah dan para khalifah yang empat diteruskan di masa-masa kerajaan. Berbagai capaian kemenangan yang diperoleh umat Islam masa itu yang kurang disyukuri (termasuk menjauhkan diri dari Al-Qur’an) menjadi penyebab kekalahan umat Islam sehingga wilayah-wilayah yang dulu dikuasai umat Islam rontok satu persatu. Singkatnya, umat Islam yang dulu berkuasa lambat-laun menjadi yang dikuasai umat lain. Terjadilah sesuatu yang tidak kita inginkan, banyak negara Islam yang dijajah umat lain. Bahkan, yang lebih memilukan lagi tidak sedikit negara Islam menjadi negara-negara yang dikuasai kaum kafir karena umat Islam di negara-negara tersebut menjadi minoritas.

          Berbarengan dengan penguasaan musuh-musuh Islam (negara-negara barat) atas negara-negara Islam, masuk juga berbagai macam paham yang merusak pemikiran (fikroh) umat Islam. Banyak umat Islam yang mengenyam pendidikan barat (yang dianggap modern)fikroh-nya menjadi sekuler. Tidak sedikit juga yang menjadi atheis dan cenderung memusuhi agamanya sendiri. Umat Islam menjadi asing terhadap agamanya sendiri. Seandainya ada di antara umat Islam yang masih menjalankan ibadahnya, dalam berperilaku jauh dari nilai-nilai Islam. Agama bagi sebagian besar umat Islam hanya sebatas pelengkap bukan menjadi tujuan. Agama hanya menjadi asesori agar tidak dianggap kafir atau tidak beragama. Kalau ada di antara umat Islam yang melakukan amalan-amalan yang menunjukkan kepedulian pada sesama (zakat atau sedekah), punya kecenderungan untuk dipublikasi secara luas agar semua orang tahu bahwa mereka masih punya kepeduliaan pada sesamanya. Jadi, umat Islam golongan ini cenderung gila publikasi atau jaga image (gila pencitraan). Dengan demikian, niat awal untuk melakukan ibadah telah dirusak oleh keinginan-keinginan rendah yang dimotivasi oleh hawa nafsu. Naudzubillahi min dzaalik.    

          Timbulnya perilaku umat Islam yang jauh dari nilai-nilai Islam (bahkan cenderung memusuhi sesamanya) bukan tanpa sebab. Perilaku buruk umat Islam itu bisa terjadi karena adanya perang pemikiran (ghazwul fikri) yang dilakukan musuh-musuh Islam secara masif, sistemik, teratur, dan terancang dengan baik. Bukan itu saja, ghazwul fikri yang mereka lakukan serangannya juga mencakup semua segi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat baik itu di bidang politik, sosial, budaya, mental, maupun konsep. Musuh-musuh Islam melakukan ghazwul fikri setelah sebelumnya mereka memerangi umat Islam melalui peperangan fisik yang ternyata tidak banyak membawa hasil. Peperangan secara fisik yang melelahkan bukannya menjadikan umat Islam itu kalah justru semakin kuat melawan mereka. Upaya musuh-musuh Islam yang memang telah digariskan oleh Allah dalam Surat Al-Baqoroh 120 dan 212 sebagai orang-orang yang tidak akan henti-hentinya memusuhi Islam sampai umat Islam murtad dari agamanya, akhirnya membuahkan hasil, yaitu memunculkan konsep ghazwul fikri.

          Peperangan yang tidak memerlukan pengorbanan fisik, cukup dengan perusakan akhlak ternyata jauh lebih efektif. Sarana ghazwul fikri dari masa ke masa (sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi)  mengalami perkembangan baik dari sisi kemudahan maupun kelengkapannya. Kalau di awal-awal tahun ’60-an sarana ghazwul fikriyang masuk ke rumah-rumah umat Islam baru sebatas televisi (TV), di akhir-akhir abad 20 semakin banyak dan semakin mudah mengakses ghazwul fikri. Tidak hanya TV, sarana komunikasi, dalam hal ini Hand Phone (HP), menjadi sarana paling efektif untuk merusak umat Islam. Bukan saja orang dewasa, anak-anak kecil pun bisa dirusak perilakunya oleh kehadiran HP. Selain, HP juga bisa lewat komputer, notebook, atau laptop. Semua sarana, baik informasi maupun komunikasi yang terhubung dengan internet bisa menjadi sarana ghazwul fikri yang paling efektif dan efisien. Akibat, ghazwul fikri sekarang bisa kita lihat kondisi umat Islam saat ini. Perilaku umat Islam jauh dari nilai-nilai ke-Islam-an. Karena jauh dari nilai-nilai ke-Islam-an,wajar-wajar saja juga banyak umat Islam yang merasa asing dengan agamanya sendiri. Tujuan musuh-musuh Islam dengan demikian telah tercapai, yaitu umat Islam telah murtad dari agamanya meskipun umat Islam tidak harus keluar dari agamanya. Kalau cara hidup dan perilakunya sama dengan musuh-musuh Islam, sudah dianggap cukup.

          Gambaran kerusakan perilaku umat Islam bisa dilihat pada banyaknya penyimpangan sosial. Setiap hari, bahkan setiap saat, di negara kita yang kita cintai ini seringkali kita ditemukan entah itu di antaranya anak-anak didik kita yang tawuran, terlibat dalam seks bebas, korban narkoba, atau larut dalam kehidupan malam (dugem). Sementara itu, di kalangan orang-orang dewasa selain banyak di antara mereka yang juga terlibat dalam seks bebas, keranjingan narkoba, dan dugem, gaya hidup yang semakin permisif dan hedonis juga melanda umat ini. Semua gambaran keburukan yang terjadi di belahan dunia lain juga terjadi di negara yang mayoritas Muslim ini. Akibat ghazwul fikri memunculkan cara hidup dan perilaku umat Islam yang dulunya mencerminkan umat yang benar-benar menjunjung tinggi ‘rahmatan lil alamin’ telah menjadi umat yang tidak lagi memiliki kepribadian atau kepribadian yang terpecah. Kalau di belahan dunia lain karena cara hidup dan perilakunya rusak yang berujung dengan kerusakan umat, hal itu boleh jadi juga terjadi pada negara-negara yang notabene-nya Muslim. Negara-negara yang masih menggunakan simbol-simbol Islam hanya sebatas simbol. Cara hidup dan perilaku umat di negara-negara tersebut telah sama rusaknya dengan umat yang hidup di negara-negara musuh-musuh Islam.

          Cara hidup dan perilaku umat Islam yang rusak yang lebih disebabkan oleh musuh-musuh Islam menjadikan umat ini tidak memiliki izzah ‘harga diri’. Karena tidak memiliki harga diri, umat Islam dengan mudah dikalahkan oleh musuh-musuhnya. Memang, dari segi jumlah umat ini masih tergolong besar, tetapi dari segi kualitas, umat ini rendah kualitasnya. Kalau ada hadits yang mengatakan ‘seperti buih di atas lautan’, ada benarnya. Jadi, umat ini karena telah rusak perilakunya, cara dan gaya hidupnya telah sama dengan musuh-musuh Islam yang berujung dengan tidak memiliki harga diri sehingga umat ini ‘seperti buih di atas lautan’ yang jika ada ombak besar akan hancur. Inilah gambaran umat Islam saat ini yang menunjukkan benar-benar tidak memiliki kualitas walaupun secara kuantitas masih tergolong besar. Dengan kondisi umat seperti ‘buih di atas lautan’, apakah kita sebagai bagian dari umat ini tidak bisa melakukan apa-apa? Pertanyaan ini yang harus kita jawab dalam bentuk revolusi. Revolusi yang dilakukan bukan menumbangkan rezim yang berkuasa, tetapi revolusi akhlak. Bagaimana melakukan revolusi akhlak? Sebuah pertanyaan yang menarik yang akan menjadi PR kita untuk sesegera mungkin melaksanakannya.   

(bersambung)

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *