Subagio S.Waluyo

          Bagi sivitas akademika (mahasiswa dan dosen) penelitian merupakan suatu kegiatan yang tidak asing lagi karena dalam dunia akademik selalu dituntut untuk selalu berpikir ilmiah (Metode Penelitian Sosial/Nanang Martono, 2015: xvii). Jadi, kalau tidak ada penelitian insan akademis yang bernama mahasiswa dan dosen, tidak akan bisa berpikir ilmiah. Kalau tidak bisa berpikir ilmiah, insan akademis itu ketika melakukan suatu analisis terhadap suatu kejadian akan mengalami kesulitan karena keduanya tidak bisa berpikir logis dan empiris. Dengan demikian, ketika keduanya melakukan pembahasan tidak dapat membahas fakta yang seharusnya dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimana jadinya kalau sang insan akademis tidak dapat membahas fakta yang seharusnya dapat dipertanggungjawabkan?

          Untuk bisa berpikir logis dibutuhkan sarana berpikir ilmiah (https:// rikaariyani46.worldpress.com). Tanpa adanya sarana berpikir ilmiah jangan diharapkan kegiatan ilmiah dapat dilakukan dengan baik. Sarana ilmiah lebih merupakan alat untuk membantu kegiatan ilmiah dengan berbagai langkah yang harus ditempuh. Sarana ilmiah merupakan alat untuk mengembangkan pengetahuan berdasarkan metode ilmiah. Sarana ilmiah dalam ilmu pengetahuan ada empat, yaitu bahasa, logika, matematika, dan statistika. Karena itu, perguruan tinggi yang tidak melakukan penelitian berarti diragukan kemampuannya dalam penguasaan sarana ilmiah sehingga kegiatan ilmiah tidak dapat dilakukan dengan baik. Boleh juga dikatakan perguruan tinggi tersebut insan akademisnya diragukan dalam penguasaan bahasanya, logikanya, matematikanya, dan statistikanya? Apakah itu terjadi pada semua lembaga pendidikan yang bernama perguruan tinggi.

          Dalam pembelajaran di perguruan tinggi selama ini tidak terlepas dari keempat aspek di atas: bahasa, logika, matematika, dan statistika. Insan akademis di setiap perguruan tinggi jelas-jalas mempraktekkannya. Sebagai bukti, pembelajaran di semua perguruan tinggi secara umum bisa berjalan normal. Dikatakan berjalan normal karena dalam pembelajaran ada aktivitas selain kuliah dari dosen, juga ada yang namanya tanya-jawab, diskusi, presentasi baik perorangan maupun kelompok, atau penugasan. Ketika melakukan penugasan ada dosen yang meminta mahasiswanya memperoleh bahan dari studi di lapangan. Meskipun demikian, juga ada dosen yang meminta mahasiswanya cukup dengan studi kepustakaan. Sebagai tambahan, setiap mahasiswa calon sarjana (S1, S2, atau S3) sebelum memperoleh gelar kesarjanaannya wajib menulis skripsi, tesis, atau disertasi. Bukankah ketika setiap calon sarjana yang menulis skripsi, tesis, atau disertasi juga melakukan penelitian? Jadi, tidak bisa disimpulkan kalau banyak perguruan tinggi (terutama di Indonesia) yang tidak mempraktekkan aktivitas berpikir ilmiah.  Untuk itu, juga tidak bisa diberikan vonis bahwa banyak perguruan tinggi yang tidak melakukan aktivitas penelitian sehingga budaya berpikir ilmiah tidak terwujud di perguruan tinggi.

          Sampai saat ini banyak orang yang terkecoh dengan sebuah aktivitas di perguruan tinggi yang bernama penelitian. Seolah-olah penelitian hanya terjadi kalau dibiayai oleh sebuah lembaga entah perguruan tinggi tersebut atau di luar perguruan tinggi tempat sang insan akademis melakukan pembelajaran. Orang sering merasa bangga kalau penelitiannya dibiayai lembaga tertentu dengan dana ratusan juta atau milyaran rupiah. Bahkan, ada insan akademis yang hidup dari proyek-proyek penelitian. Dari proyek-proyek penelitian itu sang insan akademis bisa memiliki tabungan di bank, rumah mewah, mobil mewah, atau bisa menyekolahkan anak-anaknya di perguruan-perguruan tinggi ternama di luar negeri. Sang insan akademis lupa bahwa hasil-hasil karyanya bukan sebatas untuk memperkaya diri, tetapi juga untuk aktivitas tridharma perguruan tinggi berikutnya, yaitu pengabdian masyarakat. Sang insan akademis juga lupa bahwa negara ini membutuhkan uluran tangannya dalam turut membenahi kondisi bangsa yang saat ini cenderung carut-marut karena banyak masalah sosial yang tidak terselesaikan.

          Walaupun hanya membuka program studi dengan jenjang pendidikan S1, kalau ada dosen dalam pembelajarannya kerap kali melakukan curah pendapat, presentasi, atau penugasan pada mahasiswanya tentang masalah-masalah sosial yang ada di sekitarnya, kemudian hasil kerja para mahasiswanya dibukukan bukankah itu merupakan sebuah penelitian? Seringkali aktivitas seperti ini dipandang sebelah mata alias diremehkan karena aktivitas tersebut dikatakan bukan penelitian. Paradigma yang mengatakan bahwa sebuah penelitian harus dimulai dari menyusun proposal sampai dengan menulis laporan hasil penelitian yang di dalamnya untuk membuktikan bahwa penelitian ini dianggap ilmiah karena dimasukkan teori-teori, metode penelitian, dan hasil temuan di lapangan atau kepustakaan sudah saatnya diubah.

Aktivitas pembelajaran yang disebutkan di atas kalau saja disertai dengan aktivitas penulisan entah itu dari hasil curah pendapat, presentasi, atau penugasan sah-sah saja kalau diberi label penelitian. Sang insan akademis yang menulis skripsi, tesis, atau disertasi yang benar-benar dari hasil penelitian sendiri (bukan hasil menjiplak atau hasil pekerjaan orang lain) jelas-jelas ini merupakan penelitian. Hasil penelitiannya bisa lebih bernilai karena semua yang dilakukannya atas keinginan sendiri dan dibiayai atas biaya sendiri. Hasil penelitian yang dibiayai oleh lembaga yang bertindak sebagai donor belum tentu bisa lebih baik daripada sebuah skripsi, tesis, atau disertasi hasil jerih payah sang insan akademis. Perguruan tinggi yang tidak pernah atau jarang mendapat bantuan biaya penelitian dari lembaga-lembaga donor tidak perlu berkecil hati karena sebenarnya perguruan tinggi tersebut telah melakukan penelitian walaupun sebatas penulisan skripsi, tesis, atau disertasi.

Skripsi, tesis, atau disertasi yang benar-benar merupakan hasil penelitian murni (sekali lagi bukan hasil copy paste atau hasil pekerjaan orang lain) sudah saatnya dijadikan sebagai bahan pembelajaran. Selain itu, semua hasil aktivitas pembelajaran yang dilakukan melalui diskusi/curah pendapat, tanya-jawab, presentasi, atau penugasan sudah saatnya juga dibukukan. Dengan demikian, aktivitas penulisan sudah saatnya juga dibudayakan. Bayangkan, seandainya skripsi, tesis, atau disertasi termasuk ke dalamnya hasil-hasil aktivitas dari pembelajaran di kelas dibukukan,   tidak mustahil semua itu akan memperkaya wawasan berpikir para insan akademis. Tentu saja, buku-buku teks perguruan tinggi yang diterbitkan baik dalam bentuk buku cetak maupun e-book diharapkan sekali bisa mengantisipasi kelangkaan buku-buku perguruan tinggi yang selama ini sering dikeluhkan oleh para insan akademis.

Untuk mengatasi masalah di atas tentu saja tidak semudah membalikkan tangan. Perlu ada upaya dari aktor-aktor perguruan tinggi terutama dari kalangan tertinggi, rektor, misalnya, yang diteruskan ke para dekan dan ketua-ketua program studi untuk melakukan hal yang sama, yaitu aktivitas penelitian bukan sebatas keberhasilan memperoleh bantuan dana baik dari perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga donor di luar perguruan tinggi. Aktivitas penelitian bisa dilakukan dari cara yang paling mudah, yaitu hasil-hasil pembelajaran di ruang kuliah atau penugasan. Dosen-dosen di perguruan tinggi sudah saatnya membiasakan diri untuk menulis buku dari hasil-hasil baik pembelajaran di kelas maupun penugasan pada mahasiswa-mahasiswanya. Jadi, budaya membaca dan menulis sudah saatnya dibudayakan. Bukankah dunia baca dan tulis merupakan dunianya insan akademis?

Khusus penulisan skripsi, tesis, atau disertasi, untuk menghindari adanya penjiplakan para ketua program studi harus punya database yang berkenaan dengan skripsi, tesis, atau disertasi yang pernah ditulis di program studinya dari awal program studi itu dibuka sampai saat ini. Akan lebih baik lagi jika ketua program studi juga memiliki database judul-judul skripsi, tesis, atau disertasi yang pernah ditulis di luar perguruan tinggi tersebut. Kalau perlu, judul-judul hasil penelitian yang berhubungan dengan program studinya juga ada dalam database-nya. Selain itu, juga setiap fakultas (bahkan kalau perlu prodi-prodi di fakultas tersebut) memiliki alat pendeteksi seperti turnitin yang bisa melacak keaslian sebuah tulisan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi perilaku buruk di dunia perguruan tinggi, yaitu aktivitas plagiat atau copy paste. Sebagai tambahan, dosen-dosen pembimbing skripsi, tesis, atau disertasi harus orang  yang benar-benar menguasai penelitian. Para dosen pembimbing ini  juga harus bisa mengarahkan mahasiswa bimbingannya baik yang menyangkut masalah materi maupun teknis penulisannya. Mudah-mudahan saja semua itu bisa diwujudkan.

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *