Subagio S.Waluyo

Kapal Titanic itu yang semula merupakan kapal pesiar termewah di zamannya perlahan-lahan tenggelam dan akhirnya lenyap dari pandangan mata. Rakyat yang menyaksikannya turut menangisinya sehingga banjir air mata. Air mata yang membanjir itu membentuk kolam. Itulah kolam air mata. Air mata mengucur deras dari orang-orang dhuafa, orang-orang jelata, orang-orang miskin negeri ini. Air mata orang-orang dhuafa, orang-orang jelata, orang-orang miskin negeri ini sampai-sampai bukan hanya air mata  yang mengucur deras, tetapi juga darah. Kapal Titanic yang ditangisi orang-orang miskin negeri ini (yang sampai-sampai berlumuran darah dari kedua pelupuk matanya) adalah Indonesia yang terlalu banyak bebannya. Indonesia yang habis-habisan dieksplorasi bangsa sendiri dan bangsa-bangsa asing yang serakah, yang haus kekuasaan, penganut neoliberalisme. Indonesia yang mewarisi hutang yang boro-boro bisa membayar hutang, untuk membayar bunganya saja harus berhutang lagi. Kata peribahasa yang terdengar sarkasme, `gali lubang, tutup lubang`.  Sampai kapan itu bisa berakhir?

Indonesiaku, Indonesiaku, sampai kapan bisa mengakhiri peribahasa yang jelas-jelas sarkasme itu? Indonesiaku yang punya kolam susu, kok mau-maunya hidup dari hutang ke hutang? Indonesiaku yang diperjuangkan para pahlawan yang siap mati membela negeri ini, kok bertekuk lutut pada bangsa asing yang jelas-jelas penganut neoliberalisme? Indonesiaku yang makin hari makin banyak orang pintar bererot gelar akademis, kok makin tidak pede saja menghadapi gempuran neoliberalisme? Indonesiaku yang katanya sudah menegakkan tuntutan good governance, kok masih ada segelintir bangsa ini yang masih serakah, haus kekuasaan, dan penganut fanatik neoliberalisme sampai-sampai alpa dengan anak bangsanya sendiri? Indonesiaku, penguasa bangsa ini (bisa sebagian kecil, bisa sebagian besar) telah terkena sindrom `emangnya gue pikirin (EGP)` sampai-sampai lupa untuk menyelamatkan anak bangsa dari menangis berkepanjangan karena dililit kemiskinan. Sampai kapan sindrom EGP ini benar-benar bersih dari penguasa bangsa ini yang serakah, haus kekuasaan, dan fans berat neoliberalisme?

Sindrom EGP yang melanda penguasa negeri kolam susu itu merupakan wujud dari keinginan kuat mereka untuk menggapai level keempat dari Teori Maslow, yaitu penghargaan. Sah-sah saja sih kalau mereka mau mewujudkannya. Dijamin tidak ada orang yang melarang kalau memang ada penguasa atau siapapun yang ingin memperoleh penghargaan karena dari penghargaan itu merupakan bukti pencapaiannya, statusnya, tanggung jawabnya, atau reputasinya. Bahkan, kalau sampai pada puncaknya, yaitu aktualisasi diri juga tidak ada yang melarang. Di iklim demokrasi seperti sekarang ini semua anak bangsa boleh-boleh saja berupaya menggapai Hirarki Kebutuhan Teori Maslow yang tertinggi, yaitu aktualisasi diri.  Meskipun demikian, untuk mencapai puncak tertinggi itu jangan sampai mengorbankan orang lain. Sampai kapan orang yang lebih mengedepankan EGP tidak mengorbankan orang lain?

EGP itu merupakan perwujudan dari egoisme yang cenderung tidak sehat. Egoisme yang tidak sehat adalah pandangan dan sikap hidup yang mendewakan/mempertuhankan pemenuhan kebutuhan ego dan penghargaan  (A. Mangunhardjana, Isme-Isme dari A sampai Z, 2001:58). Jadi, orang yang terkena sindrom EGP tergila-gila pada penghargaan karena mereka telah diperbudak oleh kebutuhan egonya yang selalu harus dipenuhi. Singkatnya, mereka gila status, gila tanggung jawab (tapi juga kalau ada masalah saling lempar tanggung jawab), gila reputasi. Saking semangatnya untuk menggapai yang tertinggi dalam Hirarki Kebutuhan Teori Maslow, yaitu aktualisasi diri, demi pengembangan diri dan pemenuhan ideologi kalau perlu lawan-lawan politiknya disingkirkan. Mereka ingin menunjukkan `we are the champion my friend` tetapi melakukan cara-cara tidak terpuji sehingga banyak orang yang menjadi korbannya. Sampai kapan orang-orang dhuafa, orang-orang jelata, orang-orang miskin menjadi korban penguasa-penguasa EGP?

Dalam memandang hidup, mereka yang tergolong EGP (yang terkena sindrom egoisme) itu kata A.Mangunhardjana hanya berisi kepentingan pribadi sehingga seluruh isi bumi hanyalah alat untuk mencapai pemenuhan pribadi (Isme-Isme dari A sampai Z, 2001:60). Kalau sudah seperti itu sikap mereka, wajar-wajar saja mereka yang tergolong EGP itu sibuk dengan dirinya sendiri dan kepentingannya. Mereka juga tidak segan-segan jika ada orang yang mengganggu kepentingannya, tidak mustahil mereka juga akan berupaya menyingkirkannya. Hal ini yang berakibat pada marginalisasi orang-orang kecil yang tergolong dhuafa, jelata, miskin. Kasihan nasib orang-orang alit, sudah tidak punya kemampuan baik materi maupun intelektual, dipinggirkan lagi posisinya (kalau perlu jadi korban yang mengatasnamakan keadilan). Ah, elit politik bangsa ini, elit politik yang mengelola negeri kolam susu ini begitu teganya mereka menghabisi bukan hanya nasib tapi juga nyawa sesama anak bangsa. Anak bangsa yang dihabisi nasibnya dan nyawanya oleh para elit politik negeri kolam susu itu akhirnya menangis bukan hanya air mata yang mengalir tapi juga darah. Ya, darah keluar dari seluruh tubuhnya. Sampai kapan anak-anak bangsa yang dimarginalkan itu meregangkan nasib dan nyawanya karena ulah orang-orang EGP?

Ingat anak-anak bangsa yang dimarginalkan sehingga mereka harus meregangkan nasib dan nyawanya, ingat puisi yang ditulis Taufik Ismail yang berbicara tentang nasib bangsa yang cenderung menjadi pengemis. Bangsa ini menjadi pengemis karena tertanam budaya meminjam uang ke mancanegara. Akibatnya, bangsa ini punya penyakit rendah diri. Kekayaan bangsa kolam susu yang sebenarnya sangat kaya ini digadaikan pada bangsa-bangsa asing. Akhirnya, bangsa ini tidak punya apa-apa. Bangsa ini jadi pengemis dan tidak punya harga diri. Sampai demikian rendahnya harga diri bangsa ini, sampai-sampai bangsa ini harus membeli barang-barang kebutuhannya dari bangsa yang jelas-jelas mengeruk kekayaan bangsa ini. Untuk membelinya juga harus berhutang?! Bukankah ini cermin bangsa yang sudah terlanjur gaya hidup konsumtif, hedonis, dan materialistis? Silakan disimak puisi berikut ini.

Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis,

Lalu Kalian Paksa Kami

Masuk Penjajahan, Kata Si Toni

                                                                 Taufik Ismail

“Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri

Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan

Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami

Sejak lahir sampai dewasa ini

Jadi sangat tepergantung pada budaya

Meminjam uang ke mancanegara

Sudah satu keturunan jangka waktunya

Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula

Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni

Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi

Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini

Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi

Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia

Kita gadaikan sikap bersahaja kita

Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta

Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka

Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita

Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia

Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama

Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia

Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi

Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri

Sambil kepala kita dimakan begini

Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti

Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi

Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni

Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama

Menggigit dan mengunyah teratur berirama

Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi

Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini

Bagai ikan kekurangan air dan zat asam

Beratus juta kita menggelepar menggelinjang

Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang

Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya

Meminjam kepeng ke mancanegara

Dari membuat peniti dua senti

Sampai membangun kilang gas bumi

Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi

Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi

Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri

Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis

Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis

Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa

Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa

Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya

Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami

Kalian lah yang membuat kami jadi begini

Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi

Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini.”

         Melihat nasib bangsa negeri kolam susu, seperti melihat gambar di sebelah kanan ini. Kalau bangsa ini diibaratkan orang berkacamata yang berteriak-teriak minta tolong karena di bawahnya ada sekian ikan hiu yang seraya menunjukkan taringnya siap untuk memangsanya, begitulah nasib bangsa negeri kolam susu. Bangsa ini telah tidak punya kekuatan menghadapi bangsa-bangsa lain yang jelas-jelas bermantel neoliberalisme, berkedokan good governance berusaha menjajah bangsa negeri kolam susu dengan menguras habis kekayaan alamnya. Yang lebih buruk lagi, segelintir anak bangsa yang dididik di negara-negara penjajah itu berperan serta menumbuhkan, bahkan mengembangbiakkan, penyakit ketergantungan pada bangsa-bangsa asing sehingga Taufik Ismail sendiri pun merasa sedih sebagaimana juga diungkapkan pada kutipan puisi di bawah ini.

………………………………………………………..

Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi

Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini

Bagai ikan kekurangan air dan zat asam

Beratus juta kita menggelepar menggelinjang

Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang

Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya

Meminjam kepeng ke mancanegara

………………………………………………………….

Kalau begitu, sampai kapan bangsa ini bisa mengeringkan kolam mata airnya sehingga tidak ada lagi ungkapan sarkasme `negeri kolam mata air`? Singkat saja jawabannya, sampai bangsa ini mau menjadi rajawali  sebagaimana WS Rendra mengungkapkannya dalam puisi “Rajawali” berikut ini.

Rajawali

                         W.S Rendra

Sebuah sangkar besi
tidak bisa mengubah rajawali
menjadi seekor burung nuri

Rajawali adalah pacar langit
dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti

Langit tanpa rajawali
adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma
tujuh langit, tujuh rajawali
tujuh cakrawala, tujuh pengembara

Rajawali terbang tinggi memasuki sepi
memandang dunia
rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya

Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan
yang terjadi dari keringat matahari
tanpa kemantapan hati rajawali
mata kita hanya melihat matamorgana

Rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia
dan ia akan mematuk kedua matamu
wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka

~ W.S Rendra ~
Kumpulan Puisi ” Perjalanan Bu Aminah “, Yayasan Obor Indonesia – 1997

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *