Subagio S. Waluyo
(1)
Submenu kebahasaan dan Kesastraan kali ini dinamakan Pembelajaran Penulisan karena memang sengaja disediakan kolom untuk siapa saja yang ingin belajar menulis. Dinamakan Pembelajaran Penulisan karena belajar menulis merupakan sebuah proses. Tentang lamanya mengikuti proses belajar menulis itu sendiri bukan semata-mata adanya talenta, tapi juga dibutuhkan keseriusan. Selain itu, perhatian harus fokus. Perlu juga dicamkan, belajar menulis harus disertai kesabaran dan tetap konsisten dengan komitmen yang telah dicanangkan di awal ketika belajar. Komitmen yang harus ada pada seorang calon penulis adalah dia mau belajar menulis untuk memperoleh tulisan-tulisan yang bermanfaat bagi pembacanya. Memberikan wawasan pada setiap pembacanya. Tentu saja wawasan yang bermanfaat bagi kehidupan pembacanya di masa depan dan diharapkan (setidak-tidaknya) membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi pembaca.
Setiap orang yang mau belajar menulis harus punya komitmen. Tulisan yang mau dibuat hanya akan mengarah pada dua tujuan, tulisan yang berangkat dari ide-ide cemerlang, smart, atau cerdas akan melahirkan tulisan yanga cemerlang, smart, atau cerdas, Sementara itu, tulisan-tulisan yang mengarah pada hal-hal yang negatif, yang berangkat dari ide-ide gila atau senewen akan melahirkan tulisan-tulisan yang penuh kegilaan atau kesenewenan. Di submenu ini hanya disediakan bagi mereka yang mau belajar menulis dengan tujuan untuk mencerdaskan anak bangsa. Jadi, yang akan dilakukan adalah pembelajaran penulisan yang diawali dengan ide-ide cemerlang, smart, atau cerdas. Tidak ada tempat bagi penulis `nyeleneh` yang hanya menghasilkan tulisan-tulisan murahan. Tulisan-tulisan yang cenderung ke arah pembodohan. Bangsa ini sudah terlalu lelah dengan banyaknya orang bodoh yang terjerembab ke dalam lubang yang sama. Jangan lagi ada orang-orang bodoh yang terjerembab di lubang yang sama. Karena itu, buatlah program pencerdasan bangsa melalui tulisan-tulisan yang cemerlang, smart, dan cerdas agar bangsa ini terselamatkan dari kebodohan.
Imbuhan peN-an pada kata belajar dan tulis mengandung arti `proses`. Untuk menjadi penulis handal memang membutuhkan proses. Di dunia ini untuk diketahui saja tidak ada segalanya serba instan. Semuanya membutuhkan proses. Tidak ada orang menjadi besar dan tersohor tanpa ada sebuah perjalanan panjang, sebuah proses. Karena dia merupakan sebuah proses, diperlukan kesabaran, ketekunan, keseriusan, dan kekonsistenan. Terasa berat bagi siapa saja yang mau menjalaninya. Tapi, memang harus demikian caranya dan tidak ada cara lain. Penulis-penulis pemula siap-siap saja diuji oleh pembaca yang akan mengomentari tulisannya. Siap-siap saja kalau ada yang mengomentari dengan cara yang memerahkan telinga. Semua penulis yang sekarang ini telah menjadi penulis besar dan tersohor di awal-awal menulis selalu diuji dengan penolakan untuk diterbitkan oleh redaksi-redaksi surat kabar atau majalah. Mereka, para redaksi, ada juga yang memberikan motivasi untuk tetap semangat menulis. Tetapi, ada juga yang langsung berkomentar kalau tulisannya tidak berbobot dan layak dimasukkan ke keranjang sampah. Itulah ujian yang memang harus dilalui. Dalam hidup ini bukankah manusia diuji dengan sesuatu yang tidak mengenakkan? Orang yang punya tekad kuat akan tetap menulis, tetapi orang cepat putus asa akan berhenti untuk menulis lagi. Berarti dia orang yang tidak tahan ujian. Jadilah orang yang tahan ujian meskipun harus berkali-kali jatuh bangun menghadapi berbagai ujian.
Pembaca yang baik, Insya Allah, menjadi penulis yang baik. Banyak membaca akan memberi manfaat bagi siapa saja yang ingin tulisannya dinikmati pembacanya. Penulis yang miskin kosa kata karena kurang baca akan menghasilkan tulisan yang kering. Membiasakan diri untuk membaca juga merupakan pekerjaan kebiasaan yang sulit. Tetapi, memang tidak ada cara lain mau tidak mau harus dipaksa diri ini untuk membaca. Sesuatu yang awalnya berat, Insya Allah, akan menjadi terasa nikmat manakala mau mencobanya. Awali dulu dengan bacaan-bacaan yang ringan, yang mudah dicerna, yang tidak membutuhkan banyak kerja otak. Setiap kata yang dianggap sulit dicatat. Cari padanannya atau definisinya di kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Pusat Bahasa bisa dijadikan rujukan. Nanti, perlahan-lahan sesuai dengan kebutuhan membaca bacaan-bacaan yang sedikit berat. Mulailah membaca sehari 10-20 halaman dan berkelanjutan. Dengan cara demikian, diharapkan sesuatu yang di awalnya berat akan terasa ringan bahkan tidak mustahil ternyata membaca itu merupakan sebuah kenikmatan tersendiri.
Setelah kebiasaan membaca telah menjadi sebuah kebutuhan, buku-buku yang dibaca setidak-tidaknya akan membentuk pemikiran seseorang. Orang yang kerap membaca buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan karakter diharapkan akan terbentuk karakternya persis seperti yang digambarkan dalam buku tersebut. Begitu juga orang yang sering membaca karya fiksi sastra yang banyak mengajarkan tentang perilaku yang baik akan terbentuk perilaku seperti yang digambarkan di karya fiksi sastra tersebut meskipun ada penolakan dalam dirinya. Pada saat seseorang telah terbentuk kepribadiannya melalui bacaan, dia akan memiliki konsep nilai. Konsep nilai yang dimilikinya boleh jadi bertentangan dengan yang didapati dalam kehidupannya sehari-hari. Di saat-saat seperti itu dia telah menemukan masalah. Sekarang masalah yang didapatkannya akankah didiamkan saja sehingga tersimpan di arsip pikirannya atau diselesaikan dengan cara menuangkannya dalam tulisan? Kembali pada judul tulisan ini yang dijadikan submenu dari menu bahasa: “Pembelajaran Penulisan”, menulis merupakan sebuah proses. Menulis juga butuh untuk fokus perhatian pada masalah yang ditemukan. Untuk itu, catat dengan teliti hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang ditemukan. Siapkan bahan-bahan yang diperkirakan akan mendukung tulisan yang akan dibuat. Setelah itu, coba cari gagasan atau ide untuk memecahkan masalah itu. Corat-coret yang telah dibuat jangan sampai dibuang karena boleh jadi ada manfaatnya nanti.
(2)
Orang menulis sama seperti orang menuntut ilmu/belajar, yaitu sama-sama sampai ke liang lahat. Bedanya, menuntut ilmu/belajar dari buaian (lahir). Sedangkan menulis dimulai dari orang bisa membaca yang diteruskan dengan bisa menulis. Jadi, kalau di usia kelas I SD anak sudah bisa membaca dan menulis, nah di usia itulah harus ada keinginan untuk menulis sampai ke liang lahat. Kenapa sampai liang lahat? Ya, sampai liang lahat karena ada orang yang mati muda, ada yang mati setengah tua, dan ada juga yang mati tua. Kalau dikatakan menulis sampai tua, tiba-tiba belum sampai tua sudah wafat, gimana? Berarti benar `kan hanya sampai liang lahat?
Kalau sudah punya niat mau jadi penulis, jangan sampai mundur dari niat tersebut. Sekarang persiapkan diri untuk mulai menulis. Modal utamanya harus punya tekad kuat.Penulis-penulis tua seperti Goenawan Mochamad masih aktif menulis walaupun lebih banyak menulis di Majalah Tempo terutama di Catatan Pinggir. Di kolom itu tidak boleh ada orang lain yang menulis karena akan terasa hambar jika bukan Goenawan yang mengisi kolom itu. Mochtar Loebis sampai menjelang wafatnya masih tetap menulis. Dari tangan beliau lahir puluhan karya-karya fiksi dan nonfiksi. Ada penulis muda, ibu rumah tangga, yang menulis sejak awal tahun 2000-an menulis karya-karya fiksi dan nonfiksi sampai lima puluh judul. Dalam rentang waktu sepuluh tahun menghasilkan karya sebanyak itu. Setiap tahun paling tidak ada lima buku yang ditulis. Sebuah prestasi luar biasa. Kalau mau didata bisa puluhan bahkan ratusan penulis di Indonesia. Tidak semua penulis zaman kiwari di Indonesia menulis dengan komputer atau laptop atau notebook. Sebagian penulis masih bertahan menulis dengan bantuan mesin. Penulis seperti Remy Silado, sampai sekarang masih menulis dengan mesin tik. Di samping memang gaptek, Remy merasa lebih pas jika harus menggunakan mesin tik. Tidak perlu dipermasalahkan dengan apa mereka menulis. Tetapi yang perlu kita jadikan motivasi untuk tetap bertekad menulis adalah semangat mereka yang tidak pernah padam menggeluti dunia penulisan.
Jika ditilik dari latar belakangnya, Mochtar Loebis dan Goenawan Mochamad keduanya selain sastrawan juga wartawan. Tidak aneh kalau dalam novel-novel Mochtar Loebis lebih merupakan sebuah hasil reportase daripada sebuah karya fiksi yang sarat dengan imajinasi. Sementara itu, Goenawan Mochamad walaupun seorang wartawan lebih cenderung menulis puisi dan esei. Jauh sebelum mereka menulis karya-karyanya ada seorang ulama besar yang juga sastrawan yang mulai menulis di tahun-tahun `20-an. Orang mengenalnya sebagai Buya Hamka (Allah ya arham) walaupun nama aslinya sebenarnya Abdul Malik Karim Amrullah Beliau sendiri yang menulis namanya Hamka. Karena dikenal sebagai ulama dari Sumatra Barat, akhirnya orang memberikan embel-embel di depannya Buya, yaitu sebutan seorang ustadz atau ulama. Sejak itu beliau lebih dikenal sebagai Buya Hamka. Ratusan karya baik fiksi maupun nonfiksi lahir dari tangannya. Banyak juga tulisannya yang tersebar di berbagai majalah Islam yang terbit sejak di masa-masa penjajahan sampai menjelang beliau wafat, yaitu tahun 80-an. Novelnya yang cukup terkenal Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck baru-baru ini diangkat ke layar perak (difilmkan). Karya beliau yang monumental adalah Tafsir Al-Azhar sebanyak 30 juz. Untuk ukuran Indonesia kemungkinan besar belum ada penulis seproduktif beliau. Perlu juga diketahui, selain sebagai sastrawan dan ulama, beliau pernah terjun di dunia politik di masa penjajahan, yaitu di Serikat Islam pada tahun 1925. Pada Pemilu pertama tahun 1955 beliau terpilih sebagai anggota dewan konstituante dari Partai Masyumi. Dengan demikian, Buya Hamka bukan hanya penulis, tetapi juga sastrawan dan tokoh politik di negara ini.
Di luar sana, maksudnya di belahan dunia lain, begitu banyak penulis dunia yang sampai saat ini masih aktif menulis. Di Inggris, Agatha Christie penulis novel-novel detektif sampai dengan tahun 2003 buku-bukunya telah terjual sebanyak 1 miliar eksemplar dalam bahasa Inggris dan 1 miliar eksemplar lagi dalam 45 bahasa. Di Prancis saja buku-buku beliau terjual sampai 40 juta eksemplar. Jumlah tersebut mengalahkan penulis sainganya Emile Zola (penulis Prancis) yang karya-karyanya terjual 20 juta eksemplar. Agatha Christie menulis lebih dari 80 novel dan sandiwara teater yang semuanya bercerita tentang dunia kriminal atau detektif. Beberapa penulis dunia lain yang sampai saat ini masih aktif sebut saja J.K. Rowling penulis novel-novel Harry Potter yang sebagian besar karyanya telah difilmkan, pada mulanya menulis karena desakan ekonomi. Saking miskinnya, penulis wanita ini menulis di lembaran-lembaran tisu. Penerbit-penerbit banyak yang menolak hasil tulisannya yang ditulis di lembaran-lembaran tisu. Tekad yang kuat untuk tetap menulis disertai dorongan karena kemiskinan membawakan hasil. Belakangan penerbit-penerbit tersebut mau menerima hasil karya-karyanya. Begitu karya-karyanya melejit di pasaran berebutan penerbit ingin menerbitkan buku-bukunya. Lagi-lagi prestasi ini diukir oleh seorang wanita generasi penerus sepeninggal Agatha Christie. Bedanya, jika Agatha Christie lebih konsens di dunia penulisan novel-novel detektif sedangkan J.K. Rowling di dunia penulisan novel-novel sihir.
Penulis-penulis besar baik penulis lokal (dalam negeri) maupun mancanegara tidak lahir tanpa adanya tekad yang kuat untuk tetap menulis. Buat mereka tidak ada mantan penulis. Seandainya, ada di antara mereka yang sempat berhenti menulis, pada kesempatan berikutnya langsung `ngebut` mengejar target untuk mengisi kekosongan selama berhenti menulis. Memang, tidak sedikit di antara mereka yang menulis karena adanya kesibukan yang dinilai lebih menguntungkan. Tetapi, penulis sejati tidak pernah berhenti untuk memberikan yang terbaik pada pembacanya, yaitu tulisan yang berbobot. Untuk itu, jadilah penulis sejati yang tidak akan berhenti menulis walaupun sempat ditolak redaksi atau penerbit tulisan-tulisannya. Seandainya, media cetak tidak berkenan memuat tulisan-tulisannya, masih ada ruang buat penulis melalui media seperti blogspot atau website. Artinya, tulisan-tulisan yang ditulis sendiri bisa diedit sendiri dan dimuat sendiri kapanpun dan di manapun walaupun tidak ada honor untuk itu. Tapi, yakinlah bahwa suatu saat akan ada penerbit yang melirik dan tertaribk untuk menerbitkannya. Bukankah di zaman kiwari ini orang yang rajin ber-tweet-tweet di twitter saja ada penerbit yang berminat menerbitkannya? Mau? Cobalah!
(3)
`Sedia payung sebelum hujan` begitu kata peribahasa yang juga bisa diartikan `sedia bahan sebelum menulis`. Kok, bahan? Bahan apa? Bahan di sini referensi. Bisa buku, bisa artikel di koran/majalah (kliping), atau bisa juga dari hasil browsing di internet. Zaman kiwari ini begitu banyak bahan yang bisa diperoleh. Semua yang bisa dibaca adalah bahan. Termasuk semua yang bisa didengar adalah bahan. Hanya bahan yang lewat pendengaran (karena terbiasa `nguping`) tidak bisa dipertanggungjawakan. Boleh saja hasil mendengar dijadikan bahan, tapi harus ada tindak lanjutnya. Teruskan dengan cari bahan sesuai dari yang kita dengar sebagai informasi awal. Bisa juga hasil menyaksikan lewat media elektronik atau ikut kegiatan ilmiah atau ceramah/khutbah di kegiatan agama dijadikan sebagai bahan. Tapi, ya, itu tadi, harus diteruskan dengan mencari referensi dalam bentuk bahan-bahan tertulis. Hasil memanfaatkan audio-visual yang digunakan untuk menyaksikan acara di media elektronik atau kegiatan ilmiah atau ceramah/khutbah keagamaan tidak bisa dijadikan referensi utama. Dia hanya menjadi stimulus agar seseorang melakukan penelusuran mencari bahan-bahan tertulis.
Apakah seseorang hanya mencari referensi ketika menulis ilmiah? Tidak juga. Seorang penulis fiksi sekalipun agar tulisannya tidak kering mau tidak mau harus rajin mencari referensi. Ada seorang penulis fiksi terkenal yang menulis sebuah novel yang latarnya bukan di tempat tinggal dia. Tetapi, penulis ini dengan apiknya bisa menceritakan sedetil mungkin mungkin sudut-sudut kota yang dijadikan latar cerita. Apakah dia harus terjun ke lokasi yang dijadikan latar cerita itu? Ternyata dia tidak pernah ke lokasi yang dimaksud. Usut punya usut ternyata dia hanya banyak membaca dari berbagai referensi tentang gambaran lengkap kota yang dijadikan latar cerita. Sama halnya seorang penulis fiksi yang menulis dunia kedokteran, apakah dia harus seorang dokter? Tidak juga. Dia cukup menjadi seolah-olah seorang jurnalis yang menerapkan prinsip-prinsip 5 W+1 H yang biasa digunakan dalam dunia kewartawanan. Selebihnya, dia cari bahan-bahan yang membahas secara langsung tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia kedokteran. Dalam hal ini cukup, misalnya, dia hanya menulis di sekitar penyakit epidemi, seperti demam berdarah. Memang hasil karyanya tidak lebih baik dari seorang yang benar-benar dokter. Tapi, itulah dunia penulisan bisa dilakukan seseorang manakala dia mau membaca. Jadi, untuk menulis sebuah karya fiksi tidak semata-mata mengandalkan imajinasi atau kontemplasi, tapi juga harus banyak mencari referensi.
Bagaimana untuk tulisan yang bukan nonfiksi? Sama saja harus banyak mencari referensi untuk memperkaya wawasan penulis. Semakin tinggi kadar ilmiah sebuah tulisan harus semakin banyak referensinya. Tentang jumlah referensinya tidak ada ketentuan. Tulisan- tulisan yang berangkat dari hasil penelitian entah itu yang namanya makalah atau kertas kerja, karya ilmiah yang dilombakan, skripsi, tesis, atau disertasi wajib mencantumkan daftar pustaka. Kalau perlu di setiap kutipan harus disebutkan sumber kutipannya. Untuk tulisan nonfiksi walaupun tulisan yang cenderung ilmiah populer juga dibutuhkan referensi. Hanya untuk tulisan jenis ini tidak mutlak digunakan daftar pustaka. Tetapi, kalau ada kutipan sudah selayaknya mencantumkan sumber datanya. Sekali lagi modal utama penulis bukan hanya punya tekad, tetapi juga mau membiasakan diri membaca. Menjadi penulis harus juga rajin mencatat segala hal yang dia lihat dan didengar. Semua yang dilihat dan didengar harus diperkuat dengan data-data tertulis: bahan-bahan bacaan. Dengan menjadi penulis seseorang akan memulai budaya baca yang justru budaya ini belum tumbuh di negara ini.
Kata kunci untuk bisa menulis itu `membaca`. Budaya baca di negara ini masih tergolong rendah. Di dunia pendidikan bisa dihitung dengan jari seberapa banyak guru atau dosen yang membiasakan diri untuk membaca? Murid-murid atau mahasiswa-mahasiswa di negara ini masih kurang minat bacanya. Hal ini bisa dibuktikan dengan seberapa banyak buku-buku serius diterbitkan dan berapa lama buku itu akan terjual? Di negara ini orang hanya mau membaca buku-buku yang cenderung tidak banyak membutuhkan energi otak alias tidak mau capek untuk berpikir. Buku-buku yang ringan dibaca akan jadi best seller seperti `kacang goreng` (kata orang jadul kalau sekarang apa ya?). Ini menunjukkan anak bangsa ini belum menjadi orang serius untuk menangani segala hal yang berkaitan dengan bidang-bidang kehidupan manusia.
Orang yang banyak membaca bukan hanya menambah wawasan keilmuan, tapi juga akan memiliki daya kritis atau kepekaan. Lha, kok bisa begitu? Ya, karena orang yang banyak membaca akan banyak menemukan masalah. Masalah tidak akan dia dapat kalau dia tumpul alias tidak punya konsep untuk memecahkan masalah. Dia tahu baik-buruk suatu kebijakan, misalnya, karena dia punya konsep tentang kebijakan yang ideal. Dari mana dia peroleh itu? Ya, dari hasil membaca. Mungkin, ini suatu hal yang berat karena berhubungan dengan masalah kebijakan. Bagaimana dengan masalah adanya jurang pemisah yang sangat dalam antara orang kaya dan miskin? Mungkin ini lebih mudah. Untuk mengetahui konsep tentang orang kaya dan orang miskin, dia harus punya konsep gambaran yang sesungguhnya orang yang tergolong kaya dan miskin. Dia tidak cukup mengandalkan visualnya dengan melihat di depan matanya ada orang kaya dan miskin. Dia harus tahu setidaknya kriteria orang kaya dan orang miskin. Untuk mengetahui kriteria kedua golongan itu mau tidak mau harus lewat bahan bacaan. Dia harus punya referensi tentang ukuran kekayaan dan kemiskinan dengan melihat pada pendapatan perkapita tertinggi dan terendah. Begitupun ketika seorang penulis ingin menyampaikan masalah ketertiban, dia harus punya konsep tentang ketertiban. Dari mana dia tahu tentang konsep ketertiban, ya dari literatur yang khusus membahas tentang ketertiban. Di sana bisa jadi didapati kriteria ketertiban, syarat-syaratnya, dan seterusnya. Singkatnya, siapapun orangnya yang menyampaikan suatu hal dia harus punya konsep. Konsep tidak bisa datang begitu saja atau gratis. Dia harus dilakukan dengan kerja keras. Dia akan diperoleh dengan banyak membaca.
Belajar menulis memang banyak dituntut bukan hanya tekad yang kuat, tetapi juga kesabaran, kekomitmenan, dan kekonsistenan. Dia harus sabar menghadapi cibiran pembaca yang memang tulisannya dinilai tidak/kurang berbobot atau memang ada orang yang sentimen dengan hasil tulisannya. Dia harus punya komitmen untuk tetap menulis sesuai dengan hati nuraninya. Dia tidak boleh terganggu untuk menulis yang menyimpang dari keinginan hatinya atau menjual idealismenya. Dia juga harus konsisten untuk tetap menjadikan dunia menulis sebagai cara untuk menuangkan gagasannya. Kalau perlu, dengan tulisan dia bisa mengekspresikan dirinya. Namun, untuk melengkapi itu semua harus didukung dengan minat baca. Membaca harus menjadi tekad untuk mengubah paradigma yang selama ini melekat di kalangan anak bangsa ini, yaitu minat baca yang rendah.
(4)
Orang banyak baca pasti banyak tahu. Orang banyak tahu pasti memunculkan pengetahuan. Karena punya pengetahuan, orang minimal punya kepekaan. Kalau sudah punya kepekaan, mau dikemanakan? Ada orang yang menyalurkan kepekaannya lewat melukis. Jadilah, sebuah lukisan dari hasil mengekspresikan kepekaannya. Ada orang yang menyalurkan kepekaannya lewat menyanyi. Jadilah, sebuah lagu dari hasil mengekspresikan kepekaannya. Ada juga orang yang menyalurkan lewat menulis. Jadilah, berbagai macam bentuk tulisan dari hasil mengekspresikan kepekaannya. Tulisan yang dihasilkannya bisa berupa karya fiksi, bisa juga nonfiksi. Dia bisa mewujudkan ekspresi kepekaannya lewat puisi-puisi. WS Rendra (almarhum), misalnya, mencoba mengekspresikan kepekaaannya lewat kumpulan puisi yang terkenal Potret Pembangunan dalam Puisi (PPdP). Di dalam kumpulan puisi tersebut banyak berisikan protes terhadap kebijakan pembangunan di waktu itu (masa orde baru). WS Renda sang penyair ketika mengekspresikan kepekaannya tidak berangkat dari nol. Dari hasil banyak baca buku (tentu saja ditambah dengan input yang diperoleh dari hasil mengikuti berbagai kajian) sehingga tanpa disadari membentuk satu sikap, yaitu munculnya kepekaan terhadap masalah-masalah ketimpangan sosial. Selanjutnya diekspresikan yang dirasakannya lewat menulis kumpulan puisi. Jadilah, sebuah kumpulan puisi yang sarat kritik sosial terhadap rezim orde baru: PPdP.
Bagaimana dengan tulisan-tulisan nonfiksi? Sama saja. Setiap membaca sebuah tulisan secara tanpa disadari pembaca sebenarnya menangkap adanya ide seorang penulis mengekspresikan sesuatu yang dirasakannya. Jika ada tulisan tentang tingkat kriminalitas di setiap kota besar di Indonesia sudah memprihatinkan, berarti si penulis telah banyak memperoleh masukan lewat bacaan atau paling tidak lewat tayangan-tayangan televisi atau dari hasil mendengar berbagai berita yang memuat berbagai berita kriminalitas. Ada orang yang sekedar tahu. Tapi, ada orang yang ingin lebih jauh menelusuri sehingga memunculkan pertanyaan: mengapa di negeri ini terjadi tingkat kriminalitas yang semakin memprihatinkan? Orang tersebut bisa lebih jauh lagi bertanya dan berupaya memberikan solusi dengan mengajukan pertanyaan: bagaimana cara menurunkan tingkat kriminalitas di negeri ini? Kalau seorang sosiolog, dia akan menelusuri faktor penyebab dari tinjauan sosiologi. Kalau seorang psikolog, dia akan menelusurinya dari sisi kejiwaan. Begitulah seterusnya setiap orang berupaya mencari faktor penyebab dan solusinya sesuai dengan latar belakang pendidikan dan kompetensinya. Bagi seorang penulis, orang yang peka semacam ini yang layak ditiru. Bukan orang yang berderet gelar kesarjanaannya sampai mengalahkan namanya tapi `cuek bebek` terhadap kondisi sekitarnya. Dia cuma pintar untuk diri sendiri. Gelar kesarjanaan yang berderet cuma jadi sarana untuk mengais fulus (uang).
Kepekaan tidak muncul begitu saja. Kepekaan tidak bisa diperoleh dengan gratis. Kepekaan tidak bisa dipaksakan pada setiap orang. Kepekaan harus dimulai dengan pembelajaran. Pembelajaran yang mengajar orang untuk peka butuh waktu. Orang tidak bisa langsung peka lewat pendidikan dan pelatihan (diklat) kepekaan walaupun dilakukan sebulan penuh. Buktinya, penataran P4 yang pernah secara masif dilakukan di masa orde baru dengan berbagai pola yang menunjukkan waktu penataran di setiap instansi pemerintah dan pendidikan tinggi tidak menghasilkan manusia Indonesia yang bersih dari praktek-praktek KKN. Bahkan, Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang merupakan salah satu mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah dan diteruskan di perguruan-perguruan tinggi ternyata `g ngepek`, `g ngaruh`, atau tidak berpengaruh terhadap anak didik atau mahasiswa. Buktinya, mereka tetap saja punya banyak perilaku buruk, seperti kebiasaan `nyontek` atau `tawuran` atau berkembangnya budaya `copas` di kalangan mahasiswa dan dosen. Jadi, tidak ada jaminan diklat atau pendidikan yang menahun memberikan kepekaan.
Penanaman rasa peka yang paling efektif dari keluarga. Setiap orang tua harus bisa memberikan contoh pada anak-anaknya kalau mereka punya kepekaan. Praktek-praktek kepekaan melalui contoh-contoh kongkret dari orang tua jelas lebih mudah ditiru oleh anak-anak ketimbang anak diceramahi sampai si orang tua berbusa-busa mulutnya atau anak-anak hanya disuruh tapi orang tua tidak memberikan contoh yang kongkret. Kalau di rumah saja orang tua tidak pernah berusaha menunjukkan kepekaannya, jangan berharap anak-anak punya kepekaan. Selain itu, masyarakat di lingkungan tempat tinggal atau sekolah atau tempat kerja juga turut berpengaruh. Boleh-boleh saja di rumah (kalau bisa jangan sampai terjadi) orang tua tidak punya kepekaan, tetapi di sekolah guru-guru memberikan contoh kongkret tentang kepekaan. Dengan sendirinya anak-anak didik (karena selama ini guru merupakan panutan buat mereka) akhirnya tanpa disadari memiliki kepekaan yang sama dengan guru-gurunya. Justru, yang paling repot sudah di rumah orang tua tidak pernah memberikan contoh kepekaan, di sekolah guru-guru bersikap sama. Akhirnya, muncullah generasi penerus yang tidak punya kepekaan sekaligus kepedulian. Sebut saja generasi `cuek bebek`.
Di dunia ini begitu banyak objek yang bisa ditulis. Untuk bisa menulisnya dibutuhkan kepekaan. Untuk memperoleh kepekaan tidak bisa orang hanya semata-mata mengandalkan wangsit atau ilham agar bisa menuangkan gagasan ke dalam tulisan. Untuk memiliki kepekaan selain melihat contoh kongkret di rumah, di sekolah, atau di masyarakat lingkungan, bisa juga melalui pembelajaran lewat membaca. Jadi, kata kuncinya terletak pada membaca, Tentu saja bacaan yang banyak menggugah hati seseorang bukan bacaan yang `murahan` atau `picisan` atau kitsch yang berselera rendah. Orang yang sering membaca bacaan yang serius akan menghasilkan penulis yang serius. Untuk masalah membaca tidak dibutuhkan orang yang harus berpendidikan tinggi atau orang akademis. Membaca itu aktivitas yang gratis kok. Yang harus keluar uang `kan beli bukunya atau beli sarana lain di luar buku. Masih banyak orang/lembaga yang berbaik hati untuk meminjamkan buku. Untuk mengakses internet banyak tempat gratis yang menyediakan hotspot dan sejenisnya. Yang jadi masalah `kan bagi seseorang karena tidak punya sarana untuk bisa mengakses hotspot atau wifi gratis. Syukur-syukur kalau masih ada lembaga yang menyediakan PC gratis plus tersedia sarana untuk berselancar di dunia maya. Jangan jadi orang yang sebenarnya sudah banyak diberikan kemudahan tapi tetap saja malas untuk membaca. Akhirnya, orang seperti ini hanya cenderung mengandalkan telinga atau mata untuk mendengar atau melihat sesuatu yang bernilai itu tadi: `murahan` atau `picisan` atau kitcsh yang berselera rendah.
Memang benar latar belakang pendidikan seseorang berpengaruh untuk bisa mencerna sebuah tulisan. Bisa mencerna tapi tidak mau atau tidak bisa menuangkan ke dalam tulisan, akhirnya tulisan yang dia baca hanya ada di benaknya. Hanya jadi referensi di otaknya. Dia terpendam seperti air yang tidak disalurkan. Selanjutnya, air itu keruh, bau, dan jadi sumber penyakit. Daripada sudah sekian banyak referensi yang dibaca yang nantinya jadi sumber penyakit, coba disalurkan bahan-bahan yang seharusnya sudah bisa membantu itu ke dalam sebuah gagasan. Apa salahnya kalau memulainya dengan menggoreskan pena atau menekan tuts-tuts PC atau laptop atau notebook sehingga menghasilkan kata-kata yang kemudian diteruskan dengan kalimat-kalimat dan seterusnya sehingga menjadi sebuah tulisan utuh? Orang yang peka manakala telah menuntaskan gagasannya ke dalam sebuah tulisan seperti orang yang selesai melaksanakan sebuah kewajiban. Ada perasaan lega yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Tentang hasilnya tidak perlu dibahas dulu. Seiring perjalanan waktu ketika suatu saat orang itu membaca kembali tulisan-tulisannya yang terdahulu, sudah pasti orang tersebut akan `nyengir-nyengir` sendiri (walaupun tidak gila) karena menganggap tulisan-tulisannya yang dulu dinilai berbobot ternyata untuk saat ini sudah lawas gagasannya. Meskipun demikian, orang semacam ini lebih beruntung daripada seorang akademis yang berderet gelar kesarjanaannya, yang sampai-sampai gelar sarjana itu jika ditulis lengkap akan menutupi nama aslinya, seumur-umur hanya menulis serius dalam bentuk skripsi, tesis, atau disertasi (itupun terkadang hasil `copas`) tetapi berhasil mendapat gelar akademis tertinggi: profesor! Masih beruntung orang semacam ini bergelar profesor permanen alias seumur hidup, bagaimana kalau gelar profesor itu hanya diberikan setahun sekali berdasarkan hasil evaluasi dari tulisan-tulisannya atau penelitian-penelitiannya? Begitu sang profesor yang bangga dengan gelar akademis tertingginya ternyata dari hasil evaluasinya minim tulisannya atau hasil-hasil penelitiannya boleh dikatakan nihil sehingga gelar profesor itu dicopot (berikut tunjangannya). Sang profesor akan senewen dan siap-siap jadi penghuni rumah sakit jiwa atau minimal hipertensinya naik, gula darahnya naik, sakit jantungnya kumat, dan …siap-siap saja berhadapan dengan Sang Khalik. Untuk itu, setiap orang harus belajar mengasah kepekaan karena hanya yang peka yang bisa menuangkan gagasan ke dalam tulisan. Kapan lagi?
(5)
Batang singkong jika ditancapkan di tanah seperti zat hidup. Dia akan berusaha mengeluarkan akar-akarnya yang diteruskan dengan keluarnya tunas-tunas muda. Begitupun orang yang sudah punya bahan manakala sudah cukup penuh memorinya dengan bahan hasil bacaannya, dia akan menyalurkannya lewat tulisan. Cuma timbul pertanyaan dari mana dia akan memulainya? Selama ini orang akan selalu digiring menulis dimulai dari judul. Cara ini tidak selalu benar. Kalau ada orang yang beranggapan toh judul yang dibuat hanya bersifat sementara, anggapan itu bisa dibenarkan karena memang judul baru bisa dicantumkan ketika tulisan telah selesai.
Dalam pelajaran bahasa Indonesia, guru-guru (yang tentu saja diperkuat dengan buku pegangan atau buku paket) selalu mengajarkan pada siswa-siswanya ketika ingin menulis paragraf (terutama untuk tulisan nonfiksi) dimulai dengan menentukan tema atau topik. Sering juga mereka menyebutnya sebagai pikiran utama (lagi-lagi konsep ini pun dari buku) yang kemudian dijabarkan ke dalam pikiran-pikiran penjelas. Pikiran utama itu sendiri bisa diletakkan di awal atau di akhir paragraf atau bisa juga diletakkan di awal dan akhir paragraf. Guru-guru bahasa Indonesia pada akhirnya disibukkan dengan mencari pikiran utama atau paling banter siswa-siswa diminta meneruskan kalimat utama yang terletak di awal paragraf sehingga menjadi paragraf yang utuh dengan tidak lupa menjelaskan ada kata-kata kunci atau kata-kata pengikat satu kalimat dengan kalimat yang lain. Apa hasilnya? Siswa-siswa itu tetap saja tidak bisa menulis dengan baik.
Pembelajaran penulisan dengan gaya seperti itu yang cenderung normatif tidak akan menjadikan anak bisa menulis karena sudah digiring untuk mengikuti aturan-aturan baku kebahasaan. Kalau ada anak-anak didik yang kelak mereka menjadi penulis, hal itu sangat jarang. Boleh jadi mereka menjadi penulis lebih banyak belajar di luar sekolah (bisa saja melalui pembelajaran di rumah atau ikut kursus penulisan yang saat ini cukup banyak di setiap kota di Indonesia). Kalau dikaitkan dengan talenta, apakah kemampuan menulis memang ada faktor keturunan dari orang tuanya? Jawabannya bisa ya, bisa tidak karena sering dijumpai penulis-penulis besar keturunannya belum tentu akan melahirkan penulis besar. Namun, yang pasti untuk menjadi penulis perlu pembelajaran. Perlu proses yang berkesinambungan. Aktivitas yang harus tetap dilakoni dengan konsisten dan penuh kesabaran.
Kembali pada uraian di atas, untuk menulis dengan baik orang tidak bisa diminta mengikuti norma-norma baku yang terdapat dalam pelajaran bahasa Indonesia. Terlalu sulit bagi anak didik untuk menentukan temanya dulu. Setelah tema ditentukan, jabarkan tema (pikiran utama) tersebut ke dalam pikiran-pikiran penjelas yang kemudian dituangkan ke dalam kalimat-kalimat penjelas. Pola seperti ini jelas `ribet`, bertele-tele (tidak praktis). Sering anak didik itu `g mudeng` alias `g nyambung` sehingga timbul persepsi yang berbeda-beda di antara mereka. Mengapa tidak dimulai dari masalah saja? Caranya? Pancinglah mereka dengan menunjukkan sebuah gambar yang memuat sebuah masalah yang tersirat (karena di balik gambar itu ada masalah). Dari gambar itu suruh mereka bercerita tentang kisah di balik gambar itu ke dalam tulisan. Biarkan mereka menulis yang ada di benak mereka. Setelah jadi tulisan utuh (gaya anak-anak) baru diperbaiki. Gambar berikut ini bisa dijadikan stimulus agar mereka bercerita tentang isi gambar itu.
Untuk anak didik cukuplah mereka menceritakan isi gambar dengan berpatokan pada 4 W, yaitu What (apa yang terjadi?), When (kapan kejadiannya?), Where (di mana kejadiannya?), dan Who (siapa pelakunya/siapa saja yang terlibat dalam peristiwa itu?). Seiring dengan perkembangan usia dan pendidikan, pada saatnya boleh juga diajukan pertanyaan Why (mengapa hal itu bisa terjadi) dan How (bagaimana mengatasi masalah itu?). Pertanyaan tambahan Why lebih menggiring orang untuk mencari faktor-faktor penyebab. Sedangkan How sudah mengarah pada mengajukan solusi terhadap masalah tersebut. Jelas, untuk menjawab kedua pertanyaan terakhir itu dibutuhkan keruta n dahi.
Cara lain bisa juga dilakukan dengan mengajukan pertanyaan masalah apa yang sedang dihadapi? Jawaban yang dikehendaki cukup dengan satu kata atau satu frase. Jawaban itu bisa diangkat menjadi masalah. Di tahap awal silakan saja orang membuat deskripsi tentang sesuatu yang dia lihat atau diperoleh dari hasil bacaan. Mereka bisa membuatnya dalam satu paragraf atau satu wacana yang panjangnya tidak lebih dari lima paragraf. Untuk yang baru belajar menulis bisa melihat contoh yang sudah ada yang dalam hal ini tulisan yang berisikan berita (bahasa jadulnya pandangan mata) yang berintikan pada 4 W (What, When, Where, Who). Berikut ini bisa dilihat contoh sederhana.
Kecelakaan lalu lintas kembali terjadi. Kali ini tabrakan KA dengan truk tanki BBM Pertamina, senin, 9 Desember 2013 . Peristiwanya di tempat yang sama, Bintaro, tempat yang 26 tahun lalu pernah terjadi tabrakan KA. Kali ini yang jadi korban bukan saja supir dan crew truk tanki BBM Pertamina tapi juga masinis, crew-nya, dan banyak penumpang yang sebagian besar wanita. Terhitung ada tujuh penumpang yang meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka. Umumnya, mereka baik yang meninggal dunia maupun luka-luka adalah penumpang di gerbong pertama yang memang dikhususkan buat wanita sehingga sebagian besar penumpang yang menjadi korban adalah kaum wanita.
Tulisan di atas tidak diungkapkan faktor penyebab dan solusinya atau opini dari penulis. Jadi, cenderung hanya sampai sebatas menceritakan yang terjadi. Kalau sudah sampai mencari jawaban pertanyaan Why dan How dibutuhkan daya analisis yang tajam. Di sini dituntut penulis sudah memiliki konsep yang diperoleh dari hasil banyak membaca atau belajar atau melalui pengalaman hidup (?). Singkatnya, penulis kalau sudah berhasil mengorek faktor penyebab (apalagi kalau sudah sampai mengaitkannya dengan hal-hal yang bersifat akademis) dan memberikan solusi/pendapat dibutuhkan kompetensi intelektual. Intelektual ini agar memiliki kompetensi harus diasah melalui banyak baca, belajar, brainstorming, dan secara aktif mengikuti kegiatan-kegiatan keilmuan.
Tulisan-tulisan yang bersifat fiksi, seperti novel atau cerpen juga sama bisa diajukan sebuah stimulus dalam bentuk tayangan-tayangan film atau gambar karikatur seperti yang terdapat di atas. Bedanya, dalam karya fiksi penulis dituntut untuk berimajinasi dan berkontemplasi. Dia bukan hanya sebatas memberikan deskripsi atas sebuah kejadian, tetapi juga harus memasukkan tokoh-tokoh yang diperlukan dalam sebuah novel atau cerpen yang kemudian terjadi dialog, mungkin juga terjadi keributan antartokoh, terjadi klimaks, dan terjadi pula antiklimaks yang semuanya bisa diketahui oleh alur cerita dan dialog di antara tokoh-tokoh ceritanya. Akhir cerita dengan kekuatan daya khayal penulis bisa happy ending, bisa juga sebaliknya berakhir dengan sesuatu yang tidak mengenakkan atau boleh juga penulis yang dengan sengaja membuat PR pembaca untuk menyimpulkannya sendiri. Dengan demikian, untuk menulis fiksi juga dibutuhkan kemampuan intelektual karena penulis apabila melihat suatu kejadian baik untuk mencari faktor penyebab maupun solusi berupaya menyampaikannya. Hanya saja untuk karya-karya fiksi semua itu dibungkus dengan imajinasi dan kontemplasi.
Sebagai penutup dari tulisan ini, sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa menulis harus dimulai dari mencari masalah. Setelah masalahnya ditemukan, buat deskripsi timbulnya masalah tersebut dengan berpatokan pada 4 W. Kemudian, seandainya mau diteruskan agar terpenuhi 5 W + 1 H, siapkan bahan (referensi) dari mana saja baik dari media cetak maupun elektronik atau hasil sharing dengan beberapa orang. Kalau tulisan tersebut disiapkan untuk kebutuhan akademis (laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi, atau makalah/kertas kerja) cantumkan daftar pustaka. Jadi, mulailah menulis dengan masalah bukan judul atau menentukan tema.