Subagio S.Waluyo
Tulisan ini dimulai dengan sebuah pernyataan yang disampaikan oleh Budi Darma dalam salah satu ceramah sastranya di FKSS IKIP Surabaya (sekarang FBS Universitas Negeri Surabaya), Juni 1973 yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
“Kekalutan dalam sastra Indonesia antara lain terjadi karena banyak tulisan-tulisan dalam sastra Indonesia yang sebetulnya tidak dapat dimasukkan dalam sastra. Ada yang seharusnya masuk ke dalam kotak sastra remaja, atau picisan atau entah ke mana lagi. Dan yang paling buruk adalah karya-karya yang sebetulnya tidak dapat dimasukkan ke mana-mana, tapi karena keadaan-keadaan tertentu terpaksa dianggap masuk kotak sastra.”
Sesuai dengan judul tulisan ini, yaitu “Puisi Mbeling: Menolak Kerutan Dahi”, kita menjadi bertanya-tanya: puisi mbeling itu termasuk jenis sastra atau bukan? Puisi mbeling itu masuk ke dalam kotak sastra remaja, picisan, ataukah tidak dimasukkan ke mana-mana? Demikianlah pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita ajukan dalam tulisan ini yang merupakan masalah dalam tulisan ini. Sedangkan di sisi lain, apakah puisi mbeling ini menuntut kerutan dahi?
Diakui atau tidak puisi mbeling di tahun-tahun `70-an dan `80-an peredarannya cukup luas. Bahkan, kalau bisa mengkhawatirkan para sastrawan pada waktu itu. Dikatakan mengkhawatirkan karena ada sebagian anggapan para sastrawan bahwa keberadaan puisi tersebut akan dapat menarik minat orang dari karya sastra serius ke karya-karya sastra murahan, picisan, atau kitsch. Apakah memang demikian? Tampaknya kekhawatiran para sastrawan pada waktu itu perlu ditinjau kembali (kalau bisa berlebihan). Justru, dengan kekhawatiran para sastrawan pada waktu itu membuat para peminat sastra merasa penasaran sehingga banyak juga di antara mereka yang mencari tempat puisi-puisi mbeling itu berada.
****
Puisi mbeling dikenal juga dengan sebutan puisi lugu atau puisi nakal karena kata `mbeling` yang melekat pada puisi tersebut berasal dari bahasa Jawa yang kira-kira berarti `nakal`, `kurang ajar`,`sukar diatur`, dan `suka berontak`. Apakah memang demikian arti yang melekat pada puisi tersebut? Arti yang tersandang pada puisi tersebut memang sesuai dengan isinya.
Puisi-pusi jenis ini dari segi isinya memang cenderung nakal, kurang ajar, ada kesan sukar diatur, dan ada kecenderungan memberontak sebagaimana gayanya anak-anak muda. Puisi-puisi jenis ini juga mudah untuk dicerna. Tidak diperlukan perenungan untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya karena disampaikan dalam bentuk yang demikian sederhana. Dari segi bentuk tidak terpaku pada aturan yang ada. Artinya tidak perlu terpaku pada bentuk puisi tahun `20-an, `40an, `50-an, apalagi bentuk puisi-puisi lama. Bahkan, ada kecenderungan dalam pembuatannya juga tampaknya demikian mudah. Karena itu, sangat layak jika jenis puisi ini disebut puisi murahan, picisan, populer, atau kitsch.
Meskipun puisi mbeling tergolong puisi murahan, picisan, atau kitsch, penulis-penulis puisi tersebut bukan tergolong orang sembarangan. Mereka saat ini telah menjadi sastrawan-sastrawan terkenal. Sebut saja, Abdul Hadi WM, misalnya, sekarang lebih dikenal sebagai sastrawan sufistik daripada penyair mbeling. Kita yakin, kalau saat ini HB Jassin melihat puisi-puisinya terdahulu yang banyak dimuat di majalah Aktuil (majalah yang banyak memuat puisi-puisi mbeling yang sudah lama tidak terbit lagi), HB Jassin akan tertawa geli melihat kekonyolannya pada waktu itu. Sebagai tambahan, perlu juga dijelaskan di sini, para penulis puisi mbeling yang kerap kali mengisi di majalah Aktuil (majalah pop musik yang terbit di Bandung pada tahun-tahun `70-an) bukanlah dari golongan orang-orang yang berkicau tanpa alasan berharga karena mereka mempunyai ciri khas terutama dalam gaya penyampaiannya.
Jika di atas dikatakan perkembangannya pada saat itu mengkhawatirkan, memang bisa dibenarkan mengingat puisi-puisi mbeling dimuat di majalah populer yang tirasnya pada waktu itu demikian besar. Peminat majalah tersebut adalah dari kalangan muda, baik karyawan, pelajar, mahasiswa, maupun dosen (meskipun tidak sedikit di antara pembaca adalah ibu rumah tangga dan kalangan eksekutif muda). Perlu diketahui, majalah Aktuil adalah majalah populer yang lebih banyak berisikan hiburan (musik). Majalah ini pertama kali berdomisili di Bandung. Namun, pada akhir tahun `70-an majalah ini hijrah ke Jakarta. Tidak ada informasi yang jelas tentang keberadaan majalah tersebut pada waktu ini karena sejak tahun `80-an tampaknya majalah ini sudah tidak terbit lagi. Penyair-penyair mbeling yang sering mengisi lembaran-lembaran khusus pada majalah tersebut, di antaranya: Remy Silado (yang juga merangkap sebagai redaktur untuk lembaran khusus tersebut), Jeihan, Noorca Marenda, Saif Backan, Hariyadi S., Estam Supardi, Wan Muhammad, dan Abdul Hadi WM (sebenarnya masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu).
****
Ciri khas dari gaya penulisan puisi mbeling adalah berisi ejekan terhadap siapapun. Bisa saja dalam hal ini ejekan pada para penyair, sastrawan, atau ahli sastra. Mereka mengejek karena keberadaan mereka tidak atau belum diakui sebagai penyair (mungkin juga puisi-puisi yang mereka hasilkan dipandang oleh para sastrawan kita sebagai puisi-puisi yang tidak bermutu). Namun, ejekan-ejekan mereka sebenarnya tidak menarik minat kita untuk ditanggapi. Sebagai contoh dapat dilihat pada puisi berikut ini.
Teka-teki (2)
oleh Mahawan
saya ada dalam puisi
saya ada dalam cerpen
saya ada dalam novel
saya ada dalam roman
saya ada dalam kritik
saya ada dalam esei
saya ada dalam w.c.
siapakah saya?
jawab: hb jassin
(Aktuil, no 182, 1975)
Siapapun yang membaca puisi di atas akan merah telinganya. Coba saja kita bayangkan, kritikus terkenal HB Jassin (almarhum) dibuat teka-teki seperti itu. Namun, apakah HB Jassin pada waktu itu gusar melihat puisi di atas? Tampaknya, HB Jassin tidak pernah memberikan tanggapan meskipun kita tahu HB Jassin pasti menyimpan naskah puisi tersebut pada koleksi perpustakaannya (PDS HB Jassin).
Bukan hanya HB Jassin, seniman dan sastrawan yang dikenal di tahun `80-an sebagai `burung merak` (WS Rendra) pun tak luput dari ejekan mereka. Lihat saja puisi di bawah ini.
Burung Kondor dan Mastodon
Estam Supardi
selamat malam tuan rendra
oh tuan, laki-laki bukan?
Burung
tuan
kondor, kedodor
(Aktuil no. 136)
WS Rendra boleh senewen, boleh keki, dan boleh juga mencaci-maki atas kekurangajaran Estam Supardi ketika menulis puisi di atas. Siapa pun layak untuk tersinggung (kalau perlu mem-PTUN-kan, misalnya). Tetapi, melayani kegilaan mereka tidak akan memecahkan masalah karena kita pun akan turut gila. Lebih baik diamkan saja. Itu sikap yang paling baik. Bukankah dengan menulis puisi yang sedikit agak nyeleneh itu menunjukkan sebenarnya mereka masih mempunyai perhatian terhadap sastra Indonesia?
Noorca Marenda juga pernah mengejek Goenawan Moehammad yang pada waktu itu aktivitasnya di samping di bidang sastra juga berkecimpung di dunia kewartawanan. Noorca menulis dalam salah satu puisinya kira-kira begini:
Journal Senen
Noorca Marenda
siang tadi aku ketemu Dayan
dia tanya siapa Goenawan
aku bilang wartawan
lalu Dayan titip pesan
“kalau pacaran jangan sungkan
tante Golda masih perawan”
(Aktuil No. 136)
Goenawan tidak perlu marah karena Noorca tidak menyampaikan amanat. Puisinya sekedar menekankan segi penceritaan yang kurang mendalam. Puisi itu kalau mau ditilik hanya memberikan kritik terhadap Goenawan yang dikenal bukan saja sebagai seorang kritikus sastra, sastrawan, seniman, tetapi juga wartawan yang banyak memberikan warna pada majalah yang dikomandoinya (Tempo). Dengan sekian banyak predikat yang melekat pada diri Goenawan, mau tidak mau membuat Noorca iri sehingga melahirkan puisi yang cenderung sarkasme. Meskipun sarkasme, mereka juga mengakui jika puisi-puisi yang ditulisnya tergolong puisi-puisi awam, puisi-puisi yang bisa digolongkan tidak masuk ke dalam khasanah sastra Indonesia. Gumilar Soeparya mengakui jika puisi yang ditulisnya puisi awam. Namun, kekayaan mencampur aduk bahasa menjadikan puisi yang ditulisnya layak untuk disimak.
Kata
Demi kata
Kita mencabut arti kata.
Jaman bahaela Ken Arok berkata:
Aku njaluk mangan Ken Dedes!
Jaman sekarang Ken Norton berkata:
— How do you do?
Dan lalu kataku:
— puisi awam bukan?
Kekayaan mencampur aduk bahasa juga terdapat pada puisi Remy Sylado berikut ini.
Dua Jembatan: Mirabeau & Asemka
Mengapa orang mau dengar Apollinaire
Yang berkisah tentang kebohongan dunia
— Sous le pont Mirabeau coule la Seine
At nos amours
?
Mengapa tak mau dengar Remifasolasido
Yang berkisah tentang kejujuran dunia
— Neng ngisore kreteg Asemka iku
Akeh umbele Cino
?
Puisi di atas memang terkesan konyol. Tetapi juga menuntut kita untuk memahami bahasa yang digunakan dan nama tokoh yang tercantum di sana. Kekonyolan juga bukan hanya terjadi dalam pencampuradukan bahasa tetapi juga pada hal-hal yang berbau pornografi. Remy Sylado, misalnya, membuat permainan kata yang berakhir dengan hal-hal yang berbau seks meskipun dari judul puisinya terkesan intelek.
Belajar Menghargai Hak Azasi Kawan
jika
laki mahasiswa
ya perempuan mahasiswi
jika
laki saudara
ya perempuan saudari
jika
laki pemuda
ya perempuan pemudi
jika
laki putra
ya perempuan putri
jika laki kawan
ya perempuan kawin
jika kawan kawin
ya jangan ngintip
Yudhistira tidak mau kalah ketika berkisah tentang Bu Pun Su yang mengajarkan silat pada An Niocu sang murid perempuannya. Sang murid perempuan yang diajarkan silat suatu kali ketika ujian menggeletak. Namun, yang unik sang murid yang menggeletak (terkena tendangan gurunya?) digambarkan payudaranya bengkak dan perutnya kembung.
Mencakar Dada Meremas Bukit
Sambil cengar cengir Bu Pun Su mengajar silat
pada Ang Niocu murid perempuannya
lamanya sekian bulan
sesudah mahir Ang Niocu ujian
ia menggeletak kena pukulan ciamik suhunya
dadanya jadi bengkak perutnya jadi kembung
itulah ajaran locianpwe budiman
Salah satu lagu pop, Diana Nasution juga diplesetkan sehingga menghasilkan sebuah lagu yang cenderung berbau porno. Si penulis, Yoppy O.L. memelesetkan hampir semua baris pada syair lagu tersebut sehingga menghasilkan sebuah lagu yang benar-benar mengundang nafsu seksual. Coba kita lihat puisi dimaksud.
SAKIT TAPI RINDU
Bukan hanya sekedar melepas gaunku ohh
sayang ….
Bukan hanya sekedar memeluk diruku ini
sayang ….
Sakit badanku kau buat begitu…
Kau datang dan pergi sesuka hatimu ohh….
Nafsunya engkau, ganasnya engkau, padaku
Kau pergi dan datang sesuka hatimu ohh….
Perihnya anu, sakitnya anu, karnamu….
sakitnya anu ini namun aku rinduuu….
Kurang ajar? Memang terkesan kurang ajar! Tetapi, coba kita lihat apakah mereka juga mengeritik keadaan sekitar? Ternyata, mereka juga mau diajak serius ketika mengeritik keadaan di sekitarnya. Puisi mbeling di bawah ini memberikan gambaran kehidupan yang paradoks tentang kehidupan di Jakarta.
JAKARTA
Puntung
Di balik kemegahan Monas
di balik keindahan taman mini
di balik kemegahan pencakar langitnya gedung
adalah
gelandangan yang sedang kelaparan
Bukan hanya gambaran paradoks tentang sisi kehidupan di Jakarta, mereka juga mengeritik tentang wakil-wakil rakyat di parlemen yang hanya ribut membahas undang-undang perkawinan. Tetapi, sebagai bangsa beragama mereka melupakan Tuhan seperti terungkap pada puisi Menik Sugiyah berikut ini.
ASTAGA, MASIH ADA DI SINI PAK
Pemerintah dan parlemen di Republik ini
ribut ngurus undang-undang aturan orang kawin
Koran-koran ribut
Ribut
Ribut
Tapi celaka semua lupa: Tuhan
— Astaga!
Dalam kaitannya dengan parlemen, Daniel Alexey juga menyampaikan bahwa rakyat kecil berteriak antri beras. Sementara bapak-bapak di DPR sibuk dengan antri mobil-mobil mewah. Gambaran paradoks itu digambarkannya pada puisinya di bawah ini.
SEKEDAR BERTANYA
berita dari daerah:
“wahai bapak-bapak di DPR
kami sibuk antri beras
apakah di sini
masih sibuk
antri vw holden dan datsun?
Kritikan bukan hanya ditujukan pada DPR, tetapi juga program pemerintah yang pada waktu itu demikian gencar-gencarnya dilakukan, yaitu program Keluarga Berencana (KB). Program pemerintah tentang KB terkesan memang lebih ditujukan pada kalangan pribumi. Sementara nonpribumi dibiarkan saja sehingga memang tidak mustahil kalangan nonpribumi akan bertambah pesat. Didik Suwardi menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah tentang pelaksanaan program KB.
K B
yang item pakailah kondom
yang kuning biarkan saja
yang item 3 anak
sikuning merajalela
Dengan membuat puisi seperti contoh di atas, ada saluran kritik yang bisa dilakukan. Manakala orang tidak bisa lagi menyampaikan aspirasinya lewat saluran resmi, puisi mbeling bisa dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik sosialnya meskipun kritik tersebut tidak banyak memberi bekas bagi orang/ institusi yang dikritiknya. Rezim orde baru yang demikian berkuasanya pada waktu itu sehingga tidak memberi kesempatan kepada setiap orang untuk menyampaikan aspirasinya, ternyata tidak bisa mengontrol munculnya sekian banyak puisi mbeling yang justru banyak mengeritik kebijakan pemerintah yang dirasakan penuh dengan nuansa KKN.
****
Setelah membaca sebagian puisi-puisi mbeling yang ditampilkan di atas, apakah kita harus marah melihat kepolosan, kekonyolan, kekurangajaran, dan kekritisan mereka? Apakah kita harus mengerutkan dahi kita seraya menyatakan tidak habis pikir menyaksikan ulah mereka? Kita tidak perlu marah. Kita tidak perlu mengerutkan dahi. Mereka yang saat itu menulis puisi-puisi murahan, picisan, atau kitsch saat ini sudah berubah total. Artinya, mereka tidak lagi menulis puisi-puisi semacam itu. Bukankah usia mengajak orang untuk berpikir serius dan menghasilkan karya-karya yang serius juga? Begitu juga yang terjadi pada mereka saat ini. Penulis-penulis puisi mbeling yang dulu pernah merajai majalah-majalah pop seperti Aktuil, sekarang telah menjadi sastrawan-sastrawan ulung. Sebut saja Abdul Hadi WM yang karya-karyanya lebih cenderung berbau kesufian. Remy Sylado juga tidak mau kalah. Karya-karyanya juga sudah mengarah pada hasil karya sastra serius. Jadi, tidak usah dihiraukan seandainya pada setiap masa muncul penyair-penyair mbeling. Bukankah puisi-puisi mbeling juga memperkaya khasanah sastra Indonesia? Mengapa kita harus mengerutkan dahi?
Sumber Gambar:
(https://images.app.goo.gl/HaXP55ws2ctkQDuU8)