Subagio S. Waluyo

Ingat kata `ngibul` ingat film komedi yang dimainkan mendiang Benyamin Suaib;Benyamin Tukang Ngibul. Di film yang sebenarnya penuh dengan sindiran (satire) itu Benny (Benyamin) nekad datang ke Jakarta. Dia nekad bermain judi sampai ludes duitnya di meja judi. Dengan uang yang tersisa, dia nekad menggandakan uangnya dengan cara apapun termasuk dia nekad jualan obat. Cara-cara Benny menggandakan uangnya tentu saja dengan cara `ngibul`. Kalau ada pepatah yang mengatakan: `sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya akan jatuh juga` Benny juga mengalami hal yang sama. Sepintar-pintarnya dia `ngibul` akhirnya harus berhadapan dengan amukan massa yang merasa dikibuli oleh ulahnya.

          Kata `ngibul` kalau kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sama dengan bohong atau tipu, yaitu perbuatan atau perkataan yang tidak dilandasi kejujuran yang bertujuan untuk mencari keuntungan, mengakali, atau menyesatkan. Kata `ngibul` jelas tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karena kata itu biasa digunakan oleh orang-orang yang tinggal di DKI Jakarta dan sekitarnya. Dalam percakapan sehari-hari kata `ngibul` diberi imbuhan sehingga menjadi seperti `dikibulin` dan `ngibulin` (di kalangan masyarakat Betawi ada akhiran –in) yang artinya `dibohongi` dan `membohongi`.  Masih dalam percakapan sehari-hari orang yang biasa membohongi atau  menipu orang lain disebut `tukang ngibul`.

          Predikat `tukang ngibul` yang dilekatkan pada Benyamin alias Benny dalam filmBenyamin Tukang Ngibul memang sangat tepat. Isi cerita film tersebut lebih merupakan sebuah satire terhadap suatu keadaan yang memang di masa orde baru sangat sulit setiap orang untuk menyampaikan pendapatnya. Di masa itu setiap orang yang tidak sepaham dengan rezim yang berkuasa pasti harus berurusan dengan yang berwajib. Semua warga negara telah dibentuk oleh penguasa untuk tidak menjadi penentang atau oposisi. Semua warga negara harus menerima putusan pemerintah yang berkuasa saat itu walaupun terasa tidak mengenakkan. Wajar-wajar saja jika ada segelintir orang yang terpaksa harus menggunakan cara lain untuk mengungkapkan hati nuraninya lewat seni seperti tokoh Benny sang tukang ngibul. Benny terpaksa harus `ngibul` agar dia bisa survive dalam menjalankan kehidupannya yang ganas di kota besar semacam Jakarta. Benny sejak awal juga tahu kalau dia akan menghadapi berbagai resiko dengan pekerjaan ngibulnya itu.

          Benny hanya salah satu kasus yang kita dapati dalam film Benyamin Tukang Ngibul yang pekerjaannya memang penuh dengan tipu-menipu. Benny hanya sebuah kasus yang lambat-laun menjadi sebuah fenomena bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari penuh dengan tipu-menipu. Sebagian besar orang di negara ini seperti sudah menganggap biasa `ngibul` sehingga tidak ada sama sekali perasaan bersalah atau berdosa untuk melakukannya. Coba tengok para pemimpin kita yang demikian entengnya `ngibul` di hadapan rakyatnya tentang capaian-capaian baik di level daerah maupun nasional, tetapi ada sesuatu yang paradoks dalam kehidupan sehari-hari, semakin menganganya jurang pemisah antara orang yang kaya dan miskin. Orang-orang yang kaya semakin kaya dan semakin mudah menggunakan fasilitas hidupnya. Di sisi lain orang-orang miskin semakin sulit menjalankan kehidupannya. Seolah-olah tidak ada tempat bagi orang-orang miskin untuk memperoleh kesehatan yang prima karena rumah sakit menolak kehadiran mereka. Di dunia pendidikan orang-orang miskin hanya gigit jari untuk bisa menikmati pendidikan berkualitas.

          Bukti bahwa `ngibul` sudah menjadi fenomena bisa dilihat ketika PPDB digelar di seantero negeri ini, tiba-tiba saja bermunculan Benny-Benny yang tidak kalah serunya melakukan penipuan. Benny-Benny yang sudah jadi budak hawa nafsu itu terpaksa harus memalsukan KK, domisili, sampai melakukan intervensi dengan uang atau kekuasaan (jabatan). Benny-Benny itu menganggap hal yang biasa kalau melakukan berbagai cara demi memperjuangkan generasinya agar memperoleh pendidikan yang berkualitas dan bergensi (lihat “Perilaku Bodong” yang ditulis oleh  penulis yang sama). Kalau ditelisik, Benny-Benny itu melakukan cara-cara yang jelas-jelas menyimpang karena  memang ada kesempatan yang distimulus oleh para birokrat terhormat di negeri ini. Jadi, perilaku Benny-Benny sama buruknya dengan para birokrat terhormat karena memang `tidak ada asap kalau tidak ada api` begitu kira-kira pepatah mengatakan.

          Anak bangsa yang jadi `tukang ngibul` cenderung egois. Kalau sifat egois telah mendarah daging mereka telah menjadi pengikut aliran egoisme. Egoisme itu sendiri menurut A.Mangunhardjana (Isme-Isme dari A sampai Z, 1997: 58) ialah ajaran atau sikap hidup yang berhubungan dengan ego (aku, keakuan, saya). Orang yang telah menjadi penganut aliran egoisme (walaupun ada egoisme yang sehat) cenderung mementingkan diri sendiri dan mencari kepentingan diri tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Untuk itu, karena didasari mementingkan kepentingan diri sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain, orang yang sudah dikuasai egoisme melakukan cara apapun termasuk `ngibul`.Predikat `tukang ngibul` layak disematkan pada mereka-mereka penganut egoisme.

          Anak bangsa yang telah didominasi egoismenya tanpa disadari mereka sebenarnya telah menjadi pengikut barisan orang-orang yang cenderung pragmatis. Kalau kata pragmatis sudah mendarah daging, mereka telah menjadi penganut pragmatisme. Pragmatis dalam bahasa Inggris pragmatic yang artinya `berkaitan dengan hal-hal yang praktis`. Mungkin karena saking praktisnya orang lebih memprioritaskan tindakan daripada hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan dan ajaran (Mangunhardjana,Isme-Isme dari A sampai Z, 1997:189).  Bahkan, Wona mengatakan bahwa  pragmatis ini lawan dari idealis, yakni konsep yang lebih menitikberatkan untuk melalui cara atau jalur apapun yang sifatnya jangka pendek dengan melakukan hal-hal yang bersifat praktis serta mengesampingkan sisi ketidakbergunaan (http://www.corinnerogero.com/ pengertian-pragmatis-dan-contohnya-dalam-kehidupan). Dengan demikian, orang-orang yang tergolong pramatis menurut pendapat Wona di atas mengesampingkan hal-hal yang idealis. Karena mengesampingkan yang idealis, wajar-wajar saja orang-orang yang pragmatis melakukan cara-cara tidak terpuji, salah satu di antaranya `ngibul`.

          Orang yang pragmatis karena mempraktekkan cara-cara yang ilegal (termasuk suka ngibul) mau tidak mau bisa juga digolongkan orang yang oportunis (penganut paham/aliran oportunisme). Oportunisme sendiri didefinisikan sebagai suatu aliran pemikiran yang menghendaki pemakaian kesempatan menguntungkan dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri, kelompok,atau suatu tujuan tertentu (Ensiklopedi Nasional Indonesia. Bekasi: Delta Pamungkas, 2004:289). Tampaknya, semakin jelas, orang yang `suka ngibul` karena perbuatan atau perkataannya tidak dilandasi kejujuran yang bertujuan hanya untuk mencari kepentingan diri sendiri selain orang itu tergolong egois, juga pragmatis. Karena untuk memenuhi kepentingan diri sendiri (boleh juga keluarga, kelompok, masyarakat, atau institusinya) terpaksa harus `ngibul`, mereka juga menjadi orang-orang yang oportunis.

          Pola hidup pragmatis yang diiringi dengan perilaku oportunis telah melanda sebagian besar bangsa ini. Pola hidup pragmatis dan oportunis juga melanda para aktor politik. Tidak aneh kalau muncul pragamatisme politik yang ditujukan siapa lagi kalau bukan pada aktor-aktor politik. Artinya, menjadikan politik sebagai sarana untuk mencapai keuntungan dan kepentingan pribadi. Karena terkena sindrom pragmatisme politik, para aktor politik melakukan berbagai cara, salah satu di antaranya apalagi kalau bukan `ngibul`. Kalau sudah `ngibul` dan kata `ngibul` sendiri sudah dijadikan cara untuk memenuhi egonya, jadilah aktor-aktor politik di negara ini aktor politik yang pragmatis dan oportunis.

          Aktor-aktor politik yang semula mengedepankan egonya, kemudian menjadi orang yang pragmatis, dan terakhir melakukan cara-cara kerja orang-orang yang oportunis selain berperan menghancurkan kekayaan daerah atau negara sekalipun, juga berperan merusak karakter anak-anak bangsa. Tatanan birokrasi yang dibangun pemerintah bersama rakyat dan swasta juga bisa rusak. Kalau birokrasi yang dibangun sudah rusak, rasa-rasanya cita-cita luhur bangsa ini ingin mewujudkan bangsa Indonesia yang adil dan makmur jauh dari harapan. Sebaliknya, yang terjadi adalah kehancuran atau tidak mustahil negara ini akan termasuk negara gagal. Kita sudah melihat contoh-contoh konkrit gambaran negara yang tergolong gagal. Mereka di samping sudah terbelit hutang yang rasa-rasanya sulit untuk melunasi hutang-hutangnya, kekayaan negara yang dieksplorasi habis-habisan oleh negara-negara yang menamakan dirinya sebagai `negara donatur` juga makin hari makin menipis. Tidak mustahil negara-negara semacam ini akan dijajah oleh `negara-negara donatur`. Kita tidak ingin negara ini memasuki fase penjajahan jilid kesekian karena kita sudah bertekad sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”  Jadi, sudah jelas kalau kita tidak menghendaki adanya penjajahan karena penjajahan itu telah merampas hak-hak kita sebagai bangsa Indonesia. Agar kita terhindar dari penjajahan jilid kesekian jauhkan kebiasaan `ngibul` yang sudah jelas-jelas menjadikan kita egois, pragmatis, dan oportunis. Sekarang saatnya kita menjauhkan virus-virus itu. Kalau bukan sekarang kapan lagi?

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *