Subagio S.Waluyo

Seorang guru ketika ditanya oleh muridnya, apa itu `blo`on`? Dia tidak menjawab definisi `blo`on`, tapi dijawabnya dengan mengatakan,` orang `blo`on` itu orang yang minum es pake ditiup.` Mendengar jawaban spontan sang guru, semua anak di kelas itu tertawa. Boleh jadi mereka menertawakan dirinya sendiri, bukankah memang kita sering berbuat `blo`on` ketika minum es pake ditiup? Kenapa minum es pake ditiup? `Kan es itu dingin? Kok, pake ditiup? Apakah orang yang melakukan cara itu dianggap `blo`on`? Kalo gitu, supaya tidak dianggap `blo`on` jangan sekali-sekali minum es pake ditiup! Kira-kira begitu persepsi kita.

Orang minum es pake ditiup memang tergolong `blo`on` (kalau `blo`on` diartikan `bodoh`, `goblok`, atau `tolol`). Tetapi, manusia terkadang bisa saja berbuat `blo`on` asal frekuensinya tidak terlampau sering. Kalau frekuensinya sudah tergolong sering berbuat atau bertindak `blo`on` baru perlu diwaspadai. Jangan-jangan memang orang itu tergolong `blo`on`. Perlu juga diketahui, jika orang berbuat `blo`on` hanya untuk dirinya sendiri, tidak ada yang dirugikan, tidak ada masalah. Akan jadi lain kalau orang berbuat `blo`on` justru orang lain yang dirugikan. Bahkan, bukan hanya orang lain (termasuk anggota keluarganya) tapi juga masyarakatnya, bangsanya, jelas perbuatan `blo`on` seperti ini perlu diwaspadai karena sudah merugikan berbagai pihak.

Seorang aktor politik, misalnya, ketika mengeluarkan kebijakan yang meresahkan masyarakat jelas merupakan perbuatan yang tergolong `blo`on.` Sebagai contoh bisa dilihat apa yang akan terjadi kalau di tengah-tengah kondisi kehidupan masyarakat yang semakin sulit dengan seenaknya saja sang aktor politik minta dinaikkan tunjangan jabatannya? Jelas, sang aktor jenis ini tergolong `blo`on.` Apakah dia tidak pernah berpikir efek samping dari usulan dinaikkannya tunjangan jabatan itu? Apakah dia tidak pernah pakai perasaan bahwa masih banyak rakyatnya yang tidak bisa hidup normal akibat kekurangan gizi karena kemiskinannya? Apakah dia juga tidak punya hati nurani akibat kemiskinan rakyatnya banyak yang tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya meskipun pemerintah telah membebaskan biaya pendidikan dan memberikan bantuan semacam Kartu Jakarta Pintar (KJP) misalnya? Jadi ini salah satu contoh aktor politik yang tergolong `blo`on.` Aktor-aktor politik yang termasuk golongan ini yang sering gelap mata pada akhirnya bertindak `blo`on` dengan melakukan korupsi. Karena yang ada di pikirannya adalah cara mengembalikan modalnya ketika ingin memperoleh suara rakyat dulu, sang aktor politik tidak lagi berpikir logis sehingga dia melakukan cara-cara ilegal. Sang aktor politik yang sudah dikuasai egoisme, mau tidak mau harus `ngibul` sehingga jadilah dia aktor politik yang oportunis.

Aktor politik oportunis banyak kita temukan di negara ini. Bukan hanya aktor poltik, aparatur sipil negara (ASN) yang kita sebut saja birokrat juga banyak yang oportunis. Mereka-mereka yang tergolong oportunis umumnya tidak pernah menggunakan akal sehat ketika mengambil tindakan. Para orang tua calon siswa yang bernafsu besar supaya anaknya bisa diterima di sekolah-sekolah negeri berkualitas di kotanya karena `dibantu` oleh para birokrat oportunis melakukan cara-cara yang tidak masuk di akal, apalagi kalau bukan `ngibul`. Mereka memalsukan KK, domisili tempat tinggal, dan (kalau dipandang perlu) mendompleng kerabatnya yang berpangkat atau punya pengaruh besar di kota tempat sekolah itu berada untuk mengintervensi pihak sekolah. Bisa saja mereka memanfaatkan bina lingkungan atau menyediakan dana besar agar anaknya diterima di sekolah yang mau dituju. Jadi, berbagai macam cara harus ditempuh. Bukankah mereka berpatokan pada adagium lama `banyak jalan menuju Roma`? Adagium itu di saat mereka terjepit oleh kondisi yang tidak mengenakkan dimanfaatkan benar.

Para birokrat yang `turut berpartisipasi` melayani orang tua calon siswa dengan menunjukkan jalan lain ke Roma, jelas bukan perbuatan terpuji. Itu tergolong tindakan yang dinilai `blo`on` karena memang menguntungkan orang tua calon siswa, tapi merugikan siswa lain yang seharusnya diterima di sekolah yang memang telah menjadi pilihannya. Siswa yang seharusnya diterima di sekolah yang telah jadi pilihannya dan NUN-nya berikut nilai prestasi di sekolahnya telah memenuhi syarat terpaksa harus disingkirkan ke sekolah lain yang lebih rendah peringkatnya. Bisa juga sekolah yang di kota tersebut terkena kebijakan bina lingkungan siswa-siswa yang bisa ditolong berkat bina lingkungan harus bisa menerima calon siswa yang baik NUN-nya maupun prestasi sekolahnya biasa-biasa saja. Jadi, memang ada resikonya bagi sekolah negeri berkualitas dengan adanya kebijakan bina lingkungan: mereka mau tidak mau harus menerima calon siswa yang tidak tergolong pintar bahkan cenderung anak-anak yang malas.

Kebijakan bina lingkungan jelas merupakan kebijakan yang tanpa kita sadari menyuburkan perilaku KKN karena di sana ada kolusi antara aktor politik, birokrat, dan orang tua calon siswa. Di sana juga ada kans para aktor politik dan birokrat (sebut saja keduanya pejabat publik) untuk korupsi karena tidak ada istilah `makan siang yang gratis`. Artinya, para orang tua calon siswa tidak mungkin memberikan `apa-apa` pada para pejabat publik. Di sana ada nepotisme karena bisa saja sang pejabat publik (dengan sedikit `ngibul) memberikan katabelece pada pihak sekolah bahwa si pembawa katabelece itu kerabatnya. Para pejabat publik dari pihak sekolah kalau sudah berhadapan dengan pejabat publik (atasan atau aktor politik) akan `loyo` alias tidak berdaya. Pejabat publik dari pihak sekolah tidak mau menanggung resiko. Jika tidak mau menerima, resikonya dimutasi ke sekolah lain. Masih mending kalau tetap jadi kepala sekolah di sekolah yang baru di tempat dia dimutasi. Dia akan terpukul kalau hanya jadi guru biasa di tempat yang baru atau di Kantor Dinas Pendidikan yang sama sekali hanya menerima gaji tanpa tunjangan ini-itu. Sebaliknya, jika menerima, dia telah bertindak tidak jujur. Sedikit banyak perilakunya akan mewarnai kualitas anak didiknya bukan saja dari prestasi yang diperoleh sekolah tetapi juga pendidikan karakter yang ditanamkan pada anak didiknya akan sia-sia. Untuk itu, jangan main-main dengan kebijakan karena kebijakan yang mungkin bisa menguntungkan pihak lain, ternyata bisa berdampak melemahkan cita-cita pendidikan yang luhur.

 Pejabat publik yang telah mengintervensi masyarakat dan sesama pejabat publik yang lain (yang kedudukannya tentu saja lebih tinggi dan lebih terhormat daripada pejabat publik yang diintervensi) kalau mau ditelisik lebih jauh ternyata dilatarbelakangi oleh adanya birokrasi patrimonial. Birokrasi patrimonial merupakan bagian birokrasi tradisional. Hal itu bisa dibuktikan dengan cara kerja  sistem birokrasi masyarakat tradisional yang sangat patuh terhadap para birokrat. Kenapa masyarakat begitu patuh? Boleh jadi ini merupakan warisan dari zaman kerajaan dulu ketika rakyat harus menunjukkan kepatuhannya pada raja atau bangsawan sebagai atasan. Kepatuhan ini boleh jadi karena adanya sistem feodalisme dalam masyarakat sehingga masyarakat memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan (http://akangsantoso. blogspot.com /2016/ 04/birokrasi-patrimonial-di indonesia. html). Kepatuhan itu bersambung sampai ketika memasuki masa-masa penjajahanmeskipun Belanda sebagai penjajah sebenarnya menerapkan birokrasi rasional. Bahkan, bersambung terus sampai memasuki masa kemerdekaan, orde baru, dan reformasi seperti sekarang ini. Meskipun di masa reformasi pejabat publik bukan lagi sebagai abdi negara, tetap saja masyarakat beranggapan pejabat publik adalah makhluk yang harus dihormati dan kalau perlu dipenuhi keinginannya.  Bukankah bisa dibuktikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari ketika masyarakat Indonesia sebagai orang yang suatu saat membutuhkan pelayanan pejabat publik justru harus menunjukkan kepatuhannya pada sang pejabat publik?

Kepatuhan masyarakat pada pejabat publik menjadikan pejabat publik tersebut arogan, ingin menang sendiri, merasa benar sendiri, dan menafikan kepentingan rakyat. Agar penyakit birokrasi jenis itu bisa didelete, menurut M. Mas`ud Said dalam Birokrasi di Negara Birokratis(2007:52-53) pejabat publik jenis ini dipandang perlu dilakukan brain wash (cuci otak) sehingga dengan cara seperti itu diharapkan sang pejabat publik akan bisa berpikir jernih dan positif untuk membela kebenaran. Pejabat publik yang terkena penyakit gemar korupsi, memiliki perilaku bodong (tidak jujur), dan tidak bertanggung jawab perlu dilakukan blood wash (cuci darah). Sebagai pelengkap, pejabat publik yang `sok kuasa` karena masih ada dalam dirinya merasa menang sendiri, pemarah, dan antiperbedaan perlu dilakukanheartwash (cuci hati). Minimal dengan melakukan cara-cara tersebut diharapkan pejabat publik yang telah bersih otaknya, darahnya, dan hatinya terhindar dari vested interest(kepentingan politik). Dengan kata lain pejabat publik yang telah bersih otaknya, darahnya, dan hatinya tidak lagi terkooptasi sikap dan perilakunya oleh kepentingan pribadi dan politik.

Pejabat publik yang telah dicuci otaknya, darahnya, dan hatinya paling tidak akan terjadi perubahan perilaku. Yang semula mereka tergolong memiliki perilaku bodong (egois, pragmatis, dan oportunis) menjadi pejabat publik yang berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. Artinya, dia akan secara sungguh-sungguh menjalankan prinsip-prinsip good governance. Dia akan, misalnya, menegakkan prinsip transparansi. Artinya, dia secara tegas dan konsisten akan menegakkan prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang/masyarakat untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai https:// www.kompasiana.com/ shellyn/ 5c08bf3643322f129c4c1b8a/keterbukaan-dan-transparansi-dalam-good-governance). Boleh juga dia, misalnya, menegakkan prinsip partisipasi. Dalam hal ini dia akan mendorong setiap orang atau masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan (https://perencanaankota. blogspot.com/ 2011 /11/prinsip-partisipatif-dalam-good.html). Pokoknya, dia akan berusaha menegakkan minimal delapan prinsip Good Governance yang telah digariskan oleh The UN Development Program (UNDP), yaitu yang meliputi butir-butir berikut ini.

  1. Kesetaraan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan
  2. Ketanggapan atas kebutuhan stakeholder atau pemegang kepentingan
  3. Kemampuan untuk bermediasi jika ada perbedaan di antara parastakeholder untuk bisa mencapai konsensus bersama
  4. Akuntabilitas kepada stakeholder yang dilayani,
  5. Proses pengambilan kebijakan yang transparan,
  6. Aturan atau kerangka hukum dijadikan dasar dari segala aktivitas yang dilakukan,
  7. Adanya visi yang luas dan jangka panjang untuk memperbaiki proses tata kelola yang menjamin pembangunan sosial dan ekonomi secara keberlanjutan,
  8. Adanya jaminan atas hak semua orang untuk bisa meningkatkan taraf hidup melalui cara-cara yang adil dan inklusif.

(https://guruppkn.com/prinsip-good-governance)

Kalau kedelapan prinsip Good Governance di atas secara konsekuen dan konsisten benar-benar dijalankan, dijamin tidak ada lagi kebiasaan `ngibul` baik yang dilakukan oleh pejabat publik maupun masyarakat. Tentu saja, tidak ada lagi tindakan-tindakan `blo`on` yang dilakukan oleh semua pihak. Mudah-mudah saja itu bukan hanya mimpi.

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *