Subagio S.Waluyo
- Siapa lagi ..??? ya jelas tikus got yg itu-itu aje bro.
- Yang komen pada ga . ga tau permasalahannya dasar xxxx..lu pada.
- Untuk menusuk pemerintah dari dalam dan menambah kekuatan mereka yang sudah ada di dalam plus mendapatkan proyek pemerintah agar kocek partai terisi kembali.
- Menpora wajib diganti sudah membunuh sepakbola yg merupakan olahraga masyarakat.
- Sejak kapan waras otak lu. Apa lu udah baru saja minum obat. Tumben otak lu encer.
- Kalo semua keinginan warga dituruti sodetan ndak bakalan selesai. Sialnya warga maunya banyak. Sampe kiamatpun pun tak terwujud karena kalian kalo disuruh baik-baik tak di gubris jd terpaksa di gusur sajalah.
- kalau DPR-RI itu ibaratnya lampu lalulintas jalan: ada hijau (tanda jalan), ada kuning (peringatan), kemudian lampu merah (Stop): kegaduhan isu reshuffle!
(Dikutip dari Skripsi Dewi Erlinawati: “Penggunaan Disfemia dalam Komentar Para Netizin di Situs Online Kompas.Com pada Rubrik Politik)
***
Orang yang nyinyir tidak sama dengan orang yang kritis. Orang yang nyinyir juga tidak sama dengan orang yang peduli. Orang yang nyinyir berangkat dari rasa iri, dengki, atau hasad. Orang yang kritis sudah pasti berangkat dari kejernihan berpikir dan hati yang bersih. Orang yang peduli berangkat dari kepekaan. Sebagai bukti kalau orang yang nyinyir berangkat dari rasa iri, hati yang dengki, atau hasad, dia selalu melihat orang atau kelompok lain dari sisi negatifnya. Atau dia selalu melihat semua yang dikerjakan orang atau kelompok pasti dinilainya buruk. Dia tidak pernah melihat dari sisi positifnya. Tidak aneh kalau orang yang nyinyir selalu tidak pernah memberikan pendapat, jalan keluar, atau solusi
Orang yang punya kebiasaan nyinyir tidak pernah memberikan pendapat atau solusi. Dia cenderung berbust `lempar batu sembunyi tangan` atau `hit and run`. Dengan kata lain, orang semacam ini bisa digolongkan sebagai orang yang tidak bertanggung jawab. Kalau dari hasil nyinyirannya, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, timbul masalah, dia akan lari dari tanggung jawab. Dia akan berupaya menghindar. Perilaku seperti ini bisa dilihat pada cerpen yang ditulis AA Navis: “Robohnya Surau Kami”. Di cerpen tersebut Ajo Sidi akibat nyinyirannya memakan korban seorang kakek penjaga surau. Kakek itu menggorok lehernya setelah mendengar bualan Ajo Sidi tentang orang-orang yang di dunianya taat beribadah tetapi di akhirat dimasukkan ke neraka. Akibat mendengar bualan Ajo Sidi, kakek penjaga surau gelap mata sehingga menggorok lehernya. Ajo Sidi yang tahu buah dari perbuatannya bukannya menyesali perbuatannya dia malah pergi kerja dan menitipkan ke istrinya uang untuk membeli kafan.
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek. Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget. “Kakek.” “Kakek?” “Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.” “Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi. “Tidak ia tahu Kakek meninggal?” “Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.” “Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang kemana dia?” “Kerja.” “Kerja?” tanyaku mengulangi hampa. “Ya, dia pergi kerja.” |
Sepeninggal kakek surau itu terbengkalai karena tidak ada lagi orang yang mengurusinya. Surau itu menjadi tempat bermain anak-anak. Di sana-sini dinding yang terbuat dari papan dicopoti ibu-ibu untuk dijadikan bahan bakar. Rumah Allah tersebut hanya tinggal kenangan karena orang-orang di sekitar surau juga sudah tidak peduli akan keberadaan rumah Allah. Kalau ditilik faktor penyebabnya adalah akibat dari dongengan Ajo Sidi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ajo Sidi-lah yang telah menorehkan peristiwa yang memilukan bukan hanya kakek penjaga surau yang meninggal karena ulahnya, tapi juga rumah suci yang menjadi tempat ibadah umat Islam telah terbengkalai. Cepat atau lambat rumah Allah itu akan roboh.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. (Cerpen “Robohnya Surau Kami”/AA Navis) |
***
Dalam kehidupan sehari-hari banyak dijumpai orang berperilaku seperti Ajo Sidi. Orang yang selalu saja membuat ulah baik lewat ucapan maupun tulisan. Ucapan atau tulisannya sulit untuk dipertanggungjawabkan karena berangkat dari sinisme. Istilah sinisme menurut A.Mangunhardjana dalam Isme-Isme dari A sampai Z (2001:213) ialah sikap suka mengejek, mengolok-olok, mencari kesalahan, dan melemparkan kritik. Dalam istilah yang ada di media sosial (medsos) biasa disebut `nyinyir`. Sebagai bukti kalau istilah sinisme ada kemiripan dengan `nyinyir di dunia medsos bisa dilihat dari pengertian `nyinyir` menurut orang-orang yang terlibat di dunia maya (netizen). Para netizen sepakat menganggap nyinyir ini sama artinya dengan menggunjing, menyindir atau mengkritik seseorang atau pihak lawan. Si tukang nyinyir ini, menurut para netizen artinya sama saja dengan tukang gosip, tukang sebar aib orang, tukang kritik, dan menggunjing orang lain dan tukang sebar berita hoax (https://inspirasipedia.com/2019/04/20/ apa-itu-nyinyir/). Bisa juga mereka orang-orang yang tukang gosip, tukang sebar aib orang, tukang kritik dan menggunjing orang lain, dan tukang sebar berita hoax adalah orang-orang yang sinis. Orang-orang penganut paham sinisme.
Orang-orang penganut paham sinisme adalah orang-orang yang tidak bisa mengendalikan diri, emosi, atau (boleh juga) hawa nafsu. Hawa nafsu yang tidak bisa dikendalikan akan memunculkan hal-hal yang negatif dalam diri seseorang. Wajar-wajar saja kalau orang yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu memunculkan penyakit-penyakit hati entah dengki, iri, atau hasad. Penyakit-penyakit hati inilah yang menjadi faktor penyebab orang yang biasa di dunia medsos memunculkan ungkapan-ungkapan `nyinyir`. Orang yang biasa `nyinyir` tidak pernah berpikir akibat dari perbuatannya. Ajo Sidi, dalam “Robohnya Surau Kami”, misalnya, adalah orang yang tidak pernah berpikir akibat dari bualannya. Begitu juga orang yang terbiasa membuat cuitan-cuitan yang negatif di medsos tidak pernah berpikir akibat cuitan-cuitannya. Contoh-contoh cuitan `nyinyir` yang biasa ditemukan di dunia medsos bisa dilihat berikut ini.
- “Rame gini palingan piara jin”
- “Hamil duluan ni pasti”
- “Riya` amat, sedekah diumbar-umbar pahalanya abis woy”
- “Apaan, sayang sekolah tinggi-2 kalo di rumah nyuci gosok momong anak doang”
Dari `nyinyiran` di atas, coba kita ungkapkan satu persatu isi `nyinyiran` tersebut. `Nyinyiran` nomor satu ditujukan buat pedagang yang baru saja membuka usahanya yang langsung diserbu pengunjung. Orang yang suka `nyinyir` ada kemungkinan mengeluarkan `nyinyiran`: “Rame gini palingan piara jin” (Banyaknya pengunjung ada kemungkinan sang pedagang menggunakan jin). Orang yang menyampaikan `nyinyiran` ini sudah pasti orang yang berprangsaka buruk. Kalau berpikir positif, dia akan menyampaikan boleh jadi banyaknya pengunjung karena ketika launching ada diskon besar-besaran atau doorprize yang menarik. Masih banyak lagi hal positif yang dilakukan pedagang ketika membuka usahanya. Untuk `nyinyiran` nomor dua ditujukan buat mereka yang menikah muda. Repotnya ketika orang yang punya hobi `nyinyir` sering kelewatan menyampaikan `nyinyiran`. Ini bisa menyinggung perasaan orang (tujuan utama orang bikin `nyinyiran` `kan untuk menyakiti orang?). Pasangan pengantin yang menikah muda kok ditulis: “Hamil duluan nih pasti”? Bukannya mendoakan orang yang menikah malah memunculkan `nyinyiran` yang `nyelekit` dan bikin orang tersinggung berat. Masih untung kalau tersinggung, tapi kalau sampai dituntut ke pengadilan?
Untuk `nyinyiran` nomor empat, kalau saja tidak memunculkan `nyinyiran`: “Riya` amat, sedekah diumbar-umbar pahalanya abis woy” orang akan mengapresiasinya (tapi kalau bukan seperti itu pernyataannya bukan lagi `nyinyiran`). Di sini sang pembuat `nyinyiran` (mudah-mudahan) punya maksud baik. Dia mengingatkan pada orang yang bersedekah agar tidak menyebut-nyebut entah jumlah uangnya yang disedekahkan atau memamer-mamerkan barang yang disedekahkannya. Karena kalimatnya seperti tertera di atas, terkesan sarkasme sehingga tidak mustahil orang yang membacanya menilai sebagai orang yang tidak berakhlak. Niat baik seharusnya disertai dengan komentar yang baik.
`Nyinyiran` terakhir tertuju pada seorang ibu rumah tangga yang tentu saja berpendidikan tinggi. Sang ibu cenderung lebih memilih mengurus rumah tangga daripada bekerja. Sang ibu yang memilih menjadi ibu rumah tangga ini aktivitas kesehariannya bisa ditebak mengurusi anak-anak, suami, dan urusan rumah tangga lainnya (memasak, mencuci, menyetrika, bersih-bersih rumah). Kalau sang suami termasuk orang yang mapan pekerjaan dan usahanya, sebenarnya tidak ada masalah. Tapi, kalau sebaliknya dari sisi penghasilan tidak mencukupi, tidak ada salahnya sang istri juga ikut bekerja atau berwirausaha (apalagi sekarang juga ada bisnis online yang tidak perlu seorang istri keluar rumah). Jadi, orang yang mengomentari keputusan seorang ibu rumah tangga yang mau sepenuhnya mengurus rumah tangganya perlu diapresiasi. Bukan malah dikomentari dengan nada sumbang yang bikin orang tidak berempati.
***
Orang-orang yang sering berkomentar dengan nada-nada sumbang alias `nyinyir` adalah orang yang menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak bermanfaat. Orang-orang seperti itu sudah pasti tidak bisa memanfaatkan waktunya. Waktunya hanya dihabiskan untuk melihat sisi-sisi negatif yang ada pada orang lain. Bisa jadi setiap senti dari fisik orang yang diamatinya selalu tampak di matanya ada kekurangan. Mereka tidak pernah melihat sisi-sisi positif dari orang yang diamatinya. Begitupun ketika melihat skala yang lebih besar: masyarakat atau negara sekalipun selalu saja di matanya ada sisi-sisi negatif. Wajar-wajar saja kalau orang seperti itu punya sangka buruk, tidak bisa berpikir positif, selalu ada rasa iri, dan (tentu saja) ada sikap merendahkan orang lain. Wajar-wajar juga kalau yang keluar entah dari mulutnya atau tangannya (tulisan-tulisannya) ungkapan-ungkapan yang `nyelekit` dan membikin orang atau masyarakat tersinggung. Dari situ saja bisa disimpulkan (kalau mereka muslim) kadar keimanan dan akhlaknya rendah (minim).
Kadar keimanan dan akhlak seseorang bisa dilihat dari ucapan dan juga tulisannya. Iman dan akhlak dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Akhlak merupakan refleksi iman. Orang yang imannya baik, akhlaknya juga baik. Sebaliknya, akhlak yang buruk merupakan refleksi dari iman yang buruk. Jadi, tulisan-tulisan di atas (yang diambil sebagai contoh) bisa dipastikan adalah orang-orang yang akhlaknya minim karena kalau akhlaknya baik tidak mungkin mereka menyampaikan pernyataan-pernyataan lewat tulisan yang `nyelekit` dan membikin orang terpukul jiwanya. Orang-orang yang akhlaknya minim senang melihat orang terpukul jiwanya. Bisa jadi orang-seperti ini adalah orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Paling tidak (kalau bukan mengalami gangguan jiwa) orang-orang seperti ini adalah orang yang mengalami gangguan kepribadian atau bipolar (https: //www.klikdokter.com/info-sehat/read/3619764/suka-nyinyir-adakah-hu-bungannya-dengan-gangguan-kejiwaan).
***
Apakah kebiasaan `nyinyir` itu harus dibiarkan berlarut-larut? Kalau sudah diketahui kebiasaan `nyinyir` itu merupakan kebiasaan buruk, tidak ada salahnya ditinggalkan. Bukankah kebiasaan `nyinyir` itu memang refleksi lemahnya keimanan? Agar tidak terjadi kelemahan iman yang berakibat pada rusaknya akhlak tidak ada salahnya kebiasaan `nyinyir` itu dibuang jauh-jauh. Bagaimana caranya? Ada tips yang menarik untuk diterapkan dari tulisan berikut ini. Silakan disimak mudah-mudahan ada manfaatnya.
Apabila Anda termasuk orang yang mudah nyinyir, mulailah berubah dari sekarang. Jangan biarkan sifat nyinyir tersebut hinggap berlarut-larut dalam diri Anda. Bersihkan aura negatif dari dalam diri, dan masukkan semua hal positif ke dalam diri Anda.
Bersyukurlah atas segala hal yang Anda miliki, yang paling sederhana sekalipun. Berhentilah membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. Daripada mengomentari orang lain, lebih baik Anda mencari kesibukan yang bersifat positif, misalnya dengan mengikuti komunitas yang sesuai hobi atau bergabung di kegiatan sosial. Aktivitas ini dapat mengalihkan pikiran negatif Anda dan tentunya membuat hidup Anda menjadi lebih bahagia. |