Subagio S.Waluyo
Dari penelusuran kami, klaim bahwa Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri melanggar kode etik karena menunggangi helikopter, adalah salah. Faktanya, Dewan Pengawas (Dewas) KPK masih mendalami dugaan penggunaan helikopter tersebut apakah terbukti melanggar kode etik atau tidak..
Dilansir Medcom.id, Dewas tidak bisa memutuskan kasus tersebut dari keterangan satu orang saja. Pihaknya perlu menelusuri sejumlah bukti dan saksi lainnya.
“Dewas masih akan terus kumpulkan bukti dan meminta keterangan saksi-saksi dan pihak-pihak yang tahu, mendengar, melihat, dan atau memiliki info terkait isu tersebut,” kata anggota anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris, seperti dilansir Medcom.id, Senin 29 Juni 2020.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Dewas memberikan tenggat waktu terkait proses pengusutan kasus tersebut. ICW khawatir pengusutan kasus ini tidak jelas dan menguap seperti sejumlah kasus sebelumnya.
“Dewan Pengawas harus segera menindaklanjuti temuan ini dengan memanggil Komjen Firli Bahuri. Jika ditemukan adanya fakta bahwa yang bersangkutan melanggar kode etik, maka Dewan Pengawas harus mengumumkan hal ini kepada publik,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, seperti dilansir Detik.com, Senin 29 Juni 2020.
***
Pada kutipan di atas ada sebuah kata yang menarik perhatian kita: menguap. Kata `menguap` menurut Kamus Besar bahasa Indonesia kalau berasal dari kata `kuap` berarti `mengangakan mulut dengan mengeluarkan napas karena mengantuk`. Meskipun demikian, kata `menguap` kalau berasal dari kata `uap` berarti 1` menjadi uap, mengeluarkan uap` misalnya dalam kalimat `Spiritus itu benda cair yang mudah menguap`. Bisa juga 2 `hilang,lenyap` misalnya dalam kalimat `Jika tidak kamu kunci, sepedamu akan menguap.` Tampaknya, kata `menguap` yang berarti `hilang, lenyap` yang digunakan dalam tulisan ini.
Kata `masalah-masalah` atau `kasus-kasus` jika dirangkaikan dengan kata `menguap` menjadi `masalah-masalah` atau `kasus-kasus` (yang) menguap berarti `masalah-masalah` atau `kasus-kasus` (yang) `hilang, lenyap.` Boleh juga, `masalah-masalah` atau `kasus-kasus` (yang) memang (bisa juga sengaja) dihilangkan. Kok, bisa-bisanya `masalah-masaalah` atau `kasus-kasus` itu (sengaja) hilang atau dihilangkan? Bisa saja setiap masalah atau kasus (apalagi yang sudah menyentuh unsur vital kekuasaan) sengaja dihilangkan karena kalau tidak dihilangkan akan membuka borok-borok kekuasaan. Siapa sih yang mau pimpinan daerah atau negara sekalipun yang borok-borok kekuasaannya dibuka? Daripada dibuka yang akan membikin malu wajah kekuasaan lebih baik dihilangkan saja. Muncullah masalah-masalah atau kasus-kasus yang bertumpuk yang tidak kunjung diselesaikan. Akhirnya, semua masalah atau kasus itu menjadi Pekerjaan Rumah (PR) besar bagi pengelola negeri ini.
***
PR besar bagi pengelola negeri ini adalah menghilangkan perilaku yang mengarah pada kesengajaan menghilangkan masalah atau kasus yang sering muncul di negara ini. Faktor kesengajaan menghilangkan masalah atau kasus buat negara ini (di beberapa negara juga sama) repotnya bukan hanya dilakukan rezim yang saat ini berkuasa. Rezim-rezim terdahulu juga melakukan hal yang sama. Dikaitkan dengan adanya pengawasan sangat boleh jadi munculnya perilaku buruk baik yang dilakukan rezim saat ini maupun yang terdahulu lebih disebabkan oleh lemahnya pengawasan. Dalam hal ini yang layak dituding adalah lembaga legislatif siapa lagi kalau bukan parlemen (DPR, DPRD). Mereka-mereka yang mengaku sebagai wakil rakyat sering abai melaksanakan tugas utamanya: pengawasan.
Fungsi DPR menurut Pasal 20 A ayat (1) UUD 1945 NKRI (Amandemen keempat) disebutkan bahwa fungsi DPR meliputi tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Berkaitan dengan fungsi pengawasan, DPR memiliki tugas dan wewenang dalam hal melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan pemerintah. Selain itu, juga membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD. Dengan adanya fungsi pengawasan yang melekat pada parlemen untuk mewujudkan check and balances parlemen mau tidak mau harus mengawasi pemerintah. Keberadan parlemen bukan lagi sebagai sekedar pemberi stempel bagi kekuasaan eksekutif.
Parlemen merupakan salah satu institusi krusial bagi demokrasi di Indonesia. Parlemen memiliki beberapa fungsi. Fungsi representatif merujuk pada fungsinya sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, sehingga parlemen harus mewakili dan mengekspresikan kepentingan dan pendapat masyarakat. Selain itu, parlemen memiliki fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi terkait di antaranya dengan penyusunan rancangan undang-undang. Sementara fungsi pengawasan lebih pada bagaimana parlemen mengawasi pemerintah untuk mewujudkan sistem checks and balances.[2] Dalam konstitusi sendiri disebutkan bahwa fungsi DPR adalah fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.[3] Perubahan dari rezim otoritarian ke reformasi saat ini membuat parlemen di Indonesia tidak lagi memperlihatkan apa yang diistilahkan dengan “presidential heavy”, merujuk pada sebuah sistem politik di mana institusi seperti legislatif dan institusi-institusi lain pemerintah berada dalam subordinat presiden.[4] Terkait dengan itu, keberadaan parlemen dalam sistem demokrasi tidak lagi sekadar pemberi ‘stempel’ bagi kekuasaan eksekutif. Parlemen merupakan institusi yang mempunyai mandat salah satunya melakukan pengawasan atau kontrol terhadap kerja pemerintah hasil dari pemilu. Dengan kata lain, pengawasan parlemen secara konseptual meliputi kerja-kerja parlemen yang membuat parlemen bisa memperoleh konfirmasi atas pelaksanaan kebijakan yang dilakukan pemerintah.[5] Dalam kerangka itu, kerja parlemen akan menjadi cermatan publik bahkan ketika pandemi COVID-19 melanda Indonesia. Kerja parlemen dengan sendirinya berhadapan dengan situasi darurat karena virus. Jika melihat aktivitas parlemen di berbagai negara, setidaknya praktik kerja parlemen yang bisa dilakukan pada masa pandemi ini adalah melakukan pertemuan secara fisik, namun dengan pembatasan seperti jumlah peserta rapat yang dibatasi; melakukan pertemuan atau rapat secara virtual; dan parlemen tidak bertemu, ini misal terjadi dalam masa reses.[6] [2] Patrick Ziegenhain, The Indonesian Legislature and Its Impact on Democratic Cnsolidation, in Marco Bünte and Andreas Ufen (Ed), Democratization in Post-Suharto Indonesia, (Oxon and New York: Routledge: 2009), hlm. 37. [3] Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20A, Ayat 1. [4] Stephen Sherlock, The Indonesian Parliament after Two Elections: What has Really Changed?, CDI Policy Papers on Political Governance, 2007/1. [5] Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 195. [6] Lihat dalam Ipu.org, “How to Run a Parliament During a Pandemic: Q and A”, 1 April 2020, “https://www.ipu.org/news/news-in-brief/2020-04/how-run-parli-ament-during-pandemic-q-and, diakses 8 Mei 2020. Untuk melihat praktik kerja parlemen di berbagai negara saat pandemi, lihat juga Ipu.org, “Country Compi-lation Parliamentary Responses to the Pandemic, “https:// www.ipu.org/ country-compilation-parliamentary-responses-pandemic, diakses 8 Mei 2020. |
***
Sayangnya keberadaan parlemen sebagai stempel pemerintah tampaknya terulang lagi di era reformasi ini. Buktinya, publik mengkritik dari hal-hal yang sebenarnya sepele seperti rencana melakukan tes cepat Covid-19 pada anggota DPR dan keluarganya. Selain itu, yang juga membuat rakyat ini tidak habis pikir di mana kepekaan mereka terhadap rakyatnya yang di masa pandemi seperti saat ini enak-enaknya membahas sejumlah RUU yang sudah jelas-jelas kontroversial? Bahkan, Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang sempat menuai kritikan dari masyarakat karena isinya berpotensi merusak penataan demokrasi (lihat tulisan Subagio S Waluyo dalam “Wakil Rakyat Fatalis” yang terdapat di website:www.subagiowaluyo.com) telah disahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Masih banyak lagi hal-hal lain yang dibahas justru di saat rakyat negeri ini menghadapi Pandemi Covid -19. Bukannya fokus menangani Pandemi Covid-19 malah melahirkan dan mensahkan UU yang mengundang kontroversial. Di sini pemerintah telah berkolaborasi dengan DPR yang telah hilang sensitivitasnya memanfaatkan situasi genting. Di mana rasa kemanusiannya mereka ini?
Pada saat yang sama, jejak parlemen juga tidak lepas dari kritik publik. Kritik muncul ketika DPR merencanakan melakukan tes cepat COVID-19 terhadap anggota DPR dan keluarganya dengan alasan baru saja menjalani reses dari daerah pemilihan. Rencana tersebut terang mendapat penolakan dari masyarakat, baik melalui media sosial maupun aksi menggalang dukungan dengan membuat petisi. Apa yang direncanakan DPR tersebut seperti menunjukkan ketidakpekaannya karena rakyat kebanyakan masih tidak mudah mengakses tes cepat tersebut.[10] Kritik lain adalah ketika DPR melanjutkan pembahasan terhadap sejumlah RUU kontroversial di tengah suasana pandemi. Desakan publik agar di masa pandemi tidak membahas RUU yang kontroversial, tidak menjadi penghalang DPR melanjutkan pembahasan.[11] Pada 2 April 2020, Rapat Paripurna DPR menyerahkan pembahasan RUU Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode omnibus law kepada Badan Legislasi dan juga menyetujui pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan RUU Pemasyarakatan ke tingkat II atau rapat paripurna.[12]
Pembahasan rancangan undang-undang yang menuai polemik semestinya memerlukan partisipasi publik yang luas dan hal ini tidak mudah mengingat situasi pandemi. Melanjutkan pembahasan seperti itu bukan tidak mungkin bisa memunculkan persepsi minor terhadap citra parlemen. Wakil rakyat yang duduk di parlemen bisa dianggap tidak cukup menempatkan suara rakyat, konstituen mereka, terutama yang berkaitan dengan persoalan pandemi sebagai basis aktivitasnya. Merujuk jajak pendapat Litbang Kompas yang dirilis 20 April 2020, pembahasan sejumlah rancangan undang-undang kontroversial tersebut bisa menimbulkan dampak buruk bagi citra parlemen. Disebutkan 78,4 persen responden menilai DPR tidak peka terhadap kondisi masyarakat saat ini jika tetap membahas dan mengesahkan rancangan undang-undang di atas. Sebagian besar responden (84,8 persen) juga setuju bahwa DPR sebaiknya fokus pada kontrol kinerja pemerintah dalam penanganan COVID-19.[13] Untuk itu, meminjam apa yang disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, “di tengah kesulitan rakyat, ditambah lagi petugas medis, menghadapi COVID-19, sesungguhnya ujian kenegarawanan dan sensitivitas elite politik di DPR sangat diuji.”[14] (Ridho Imawan Hanafi) [10] Kompas.id, “DPR di Pusaran Polemik Tes Korona,” 26 Maret 2020, https://kompas.id/baca/polhuk/2020/03/26/polemik-tes-korona-dpr-di-tengah-wabah/, diakses 10 Mei 2020. [11] Kompas.id, “DPR Abaikan Desakan Publik Soal RUU Cipta Kerja,” 2 April 2020, https://kompas.id/baca/polhuk/2020/04/02/tatib-dan-surpres-omnibus-law-dibacakan-2/, diakses 10 Mei 2020. [12] Kompas.id, “Fokuskan Kerja Legislasi Untuk Kebutuhan Publik,” 4 April 2020,“ https://kompas.id/baca/polhuk/2020/04/04/fokuskan-legislasi-kepada-kebutuhan-publik/; diakses 10 Mei 2020. [13] Lihat laporan hasil jajak pendapat Kompas: “Menanti Kepekaan Wakil Rakyat,” Harian Kompas, 20 April 2020, juga di laman Kompas.id, “Menanti Kepekaan Wakil Rakyat,” 20 April 2020, https://kompas.id/ baca/polhuk/ 2020/ 04/20/ menanti-kepekaan-wakil-rakyat/, diakses 11 Mei 2020. [14] Kompas.id, “DPR Diminta Tunjukkan Sikap Sebagai Negarawan,” 4 April 2020,” https://kompas.id/baca/polhuk/2020/04/04/publik-minta-dpr-fokus-co-vid-19/, diakses 11 Mei 2020. |
Jangan salahkan masyarakat kalau ada suara miring tentang parlemen. Bisa saja masyarakat akan berkomentar anggota dewan kita persis seperti paduan suara karena mereka telah dikooptasi oleh penguasa (eksekutif) sehingga wajar-wajar saja kalau anggota dewan kita diragukan kinerjanya. Kinerja pemerintah yang seharusnya di bawah pengawasan mereka malah mereka sendiri selaku anggota dewan di bawah kontrol penguasa. Anggota dewan kita kalau sudah tidak sanggup melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah tidak mustahil masalah-masalah atau kasus-kasus yang merugikan publik akan menguap begitu saja. Bahkan, tidak mustahil ada faktor kesengajaan dari anggota dewan kita melakukan pembiaran.
Apa yang terjadi kalau anggota dewan terhormat melakukan pembiaran terhadap segala masalah atau kasus yang bermunculan di negara ini? Bisa ditebak negara ini akan setback ke masa orde baru. Di masa orde baru saking kuatnya kekuasaan parlemen cuma jadi simbol saja. Dia telah mati sebelum mati. Sia-sia saja masyarakat dan mahasiswa yang berjibaku di tahun 1998 memperjuangkan reformasi kalau ujung-ujungnya akan seperti ini: setback ke masa orde baru. Kalau sudah demikian, kita akan melihat wakil-wakil rakyat walaupun dipilih secara demokratis, ternyata mereka hanya jadi tukang stempel kekuasaan. Mereka tidak lebih hanya menjadi boneka-boneka kekuasaan yang dikendalikan oleh penguasa yang memiliki tirani kekuasaan. Sang penguasa (eksekutif) pemegang remote control yang demikian mudah mengatur para anggota dewannya. Karena itu, anggota dewan produk reformasi adalah anggota dewan fatalis.
(https://images.app.goo.gl/6mGzi5RK9FBRPHW4A)
Apa yang diharapkan dari anggota dewan fatalis? Tidak ada yang bisa kita harapkan dari anggota dewan fatalis. Mereka hanya menjadi Pemberi Harapan Palsu (PHP) pada konstituennya (dalam hal ini rakyat). Semua yang disampaikannya ketika kampanye lebih merupakan kepalsuan atau sekedar PHP. Buktinya, begitu masuk gerbang parlemen mereka telah lupa dengan janji-janjinya. Mungkin juga memang sudah ada niat dari awal untuk melupakannya. Jadi, jangan banyak berharap pada anggota dewan. Kalau sudah seperti ini, pada saatnya nanti yang berbuat adalah rakyat lewat parlemen jalanan. Kehadiran parlemen jalanan (kalau memang benar-benar terjadi) jauh lebih efektif meskipun lebih berbahaya karena sudah bisa dipastikan akan memakan korban yang tidak sedikit daripada parlemen yang katanya resmi tapi isinya boneka-boneka yang dikendalikan penguasa yang syahwat politiknya sudah sampai ke ubun-ubun. Penguasa yang dikuasai syahwat politiknya cenderung korup. Dengan demikian, mereka (penguasa dan anggota dewan) cenderung zalim pada rakyatnya.
Lord Acton, Sejarawan Inggris, berujar “kekuasaan itu cenderung korup, kekuasan yang absolut sudah pasti korup”. Adagium itu bermakna bahwa setiap kekuasaan sudah pasti memiliki kemungkinan untuk korup, Kekuasaan selalu memiliki peluang untuk menjahati rakyat, termasuk dalam kehidupan demokrasi dimana penguasa dipilih oleh rakyat.
Kita sudah kenyang menyaksikan wakil rakyat yang terpilih melakukan korupsi atau mengeluarkan kebijakan yang merugikan rakyat. Terakhir kita menyaksikan bagaimana lembaga anti korupsi (KPK) dilemahkan melalui Undang-Undang KPK yang baru. Oleh karena itu oposisi menjadi penting sebagai kontrol atas kekuasaan itu sendiri. Lembaga DPR menjadi tempat dimana hal itu terjadi, check and balace dilakukan agar penguasa (Pemerintah) tidak menjadi penghianat dari mandat rakyat yang telah menyerahkan kekuasaaan kepadanya. ……………………………………………………………………………………………………… Parlemen jalanan pun menjadi pilihan yang ditempuh oleh mahasiswa dan masyarakat. Demonstrasi dilakukan di berbagai daerah, titik utamanya adalah gedung DPR dan DPRD. Aksi ini dilakukan sebagai konsekuensi absennya oposisi politik hari ini. Parlemen jalanan adalah istilah yang digunakan untuk aksi demonstrasi yang dilakukan di jalan guna mendesak penguasa. Secara sederhana dapat dimaknai sebagai pengambil alihan fungsi parlemen (yang bermukim di gedung-gedung parlemen) sebagai kontrol atas penguasa. (https://aksaraintimes.id/matinya-oposisi-parlemen-jalanan-jadi-solusi/ ) |
Mereka penguasa dan anggota dewan memang telah berbuat zalim pada rakyatnya. Kalau tidak zalim, tidak mungkin di tengah-tengah kondisi bangsa ini menghadapi Pandemi Covid-19 mereka mensahkan RUU dan UU yang kontroversial. Termasuk kezaliman ini adalah menguapkan berbagai masalah yang justru seharusnya diselesaikan. Sengaja menghilangkan berbagai masalah atau kasus yang merugikan publik adalah sebuah kezaliman. Kezaliman itu harus dilawan sebagaimana Wiji Thukul mengatakan dalam puisinya di bawah ini.
PERINGATAN
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan Maka hanya ada satu kata: lawan!.
(Wiji Thukul, 1986)
Jadi, sah-sah saja kalau rakyat melawan lewat parlemen jalanan. Hanya lewat parlemen jalanan rakyat bisa menyampaikan aspirasinya karena aspirasi rakyat telah tersumbat oleh `jaring laba-laba` (mengambil istilah yang dipakai WS Rendra dalam puisinya “Aku Tulis Pamflet Ini’) bernama oligarki kekuasaan.
***
Oligarki jelas bertentangan dengan demokrasi. Oligarki menutup kebenaran hakiki. Karena menutup kebenaran, oligarki juga berperan menguapkan berbagai masalah yang muncul di tengah-tengah negara tercinta ini. Untuk itu, sebaiknya oligarki itu dikubur dalam-dalam. Tidak boleh ada lagi siapa pun di negeri tercinta ini berpikiran menghidupkannya lagi. Bagaimana dengan penguasa negeri ini yang telah terlanjur mempraktekkan oligarki saat ini? Apakah harus dilakukan pembiaran? Sampai kapan pun itu harus dilawan. Tapi, bukan lewat menggulingkan kekuasaan. Lewat saluran resmi yang ada di kekuasaan. Lewat anggota dewan yang kritis pada kekuasaan. Lewat anggota dewan yang masih patuh untuk menegakkan check and balance. Bukankah masih cukup banyak anggota dewan seperti itu? Wallahu a`lam bissawab.