Subagio S. Waluyo
………………………………………………………………………..
Aku bertanya
Apakah gunanya pendidikan,
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota,
menjadi sekrup-sekrup di Schlumberger, Freeport, dan sebagainya,
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajar teknik, kedokteran, filsafat, sastra,
atau apa saja,
ketika ia pulang ke rumahnya, lalu berkata :
“Di sini aku merasa asing dan sepi !!”
(“Sajak Seonggok Jagung” oleh WS. Rendra)
***
Masa depan adalah hasil kreativitas. Masa depan sesuatu yang tidak kita ketahui karena semuanya masih tanda tanya. Boleh juga dikatakan masih samar-samar. Masa depan dikatakan samar-samar karena manusia itu serba terbatas kemampuannya. Keterbatasan itu tidak boleh menjadikan kita menjadi manusia yang pasrah terhadap nasib atau fatalis. Kita harus kerja keras untuk menerobos yang masih samar-samar. Kerja keras di sini mencakup kerja fisik, kerja otak, dan kerja ruh/rohani/jiwa. Karena kita berupaya menyeimbangkan ketiga faktor itu (kerja fisik, otak, dan rohani), muncullah sebuah kreativitas.
Hasil perpaduan ketiga faktor di atas akan menghasilkan kreativitas yang memiliki nilai tambah. Jika demikian, apakah ada kreativitas yang tidak memiliki nilai tambah (nilai kurang)? Ada, yaitu kreativitas yang hanya bermodalkan fisik dan otak. Kerja yang hanya bermodalkan dua faktor tersebut menghasilkan sebuah kreativitas yang tidak ada unsur/kurang unsur positifnya. Ini yang disebut sebagai kreativitas yang memiliki nilai kurang (boleh juga negatif). Katakanlah ada sebuah seni kreatif yang kata sebagian orang ahli seni memiliki nilai luar biasa. Tetapi, ada kevulgaran yang memberi efek negatif dari sisi etika/moral, jelas kreativitas seperti ini termasuk kreaativas yang nilainya minus. Meskipun di bidang sains dan teknologi (sainstek), dengan ditemukannya nuklir bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan sesama manusia, yaitu bisa digunakan di dunia kesehatan, industri tekstil, atau pertanian/perkebunan, karena sainstek itu netral, bisa saja digunakan untuk membuat alat pembunuh massal sesama manusia, seperti yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki ketika kedua kota di Jepang itu dibombardir Amerika di Perang Dunia II.
Sebagai makhluk sosial, manusia pasti menginginkan kehidupan yang penuh dengan kedamaian, kenyamanan, dan keamanan. Untuk mencapai itu semua dibutuhkan kerja-kerja kreatif. Kerja-kerja kreatif yang kita lakoni jelas kerja kreatif yang mengarah ke nilai-nilai positif. Masa depan yang masih samar-samar bagi kita tidak boleh sama sekali menyurutkan niat kita untuk melakukan kerja-kerja kreatif yang memberikan nilai tambah. Untuk bisa melakukan kerja-kerja kreatif kita harus memiliki tiga modal utama, yaitu kemauan, kemampuan, dan keterampilan.
Kita tahu bahwa kondisi kekinian negara kita boleh dikatakan acakadul. Apakah dengan kondisi acakadul kita berdiam diri sehingga kita cenderung berat kepala dan berat kaki? Kalau ada orang benar-benar berat kepala dan berat kaki berarti orang tersebut tidak punya kemauan. Orang yang tidak punya kemauan jelas tidak akan bisa melakukan kerja-kerja kreatif. Jadi, kemauan lebih merupakan landasan utama untuk bisa berkreativitas. Kemauan yang boleh dikatakan menggebu-gebu tanpa disertai kemampuan yang ada juga akhirnya hanya `seperti katak hendak menjadi lembu`. Artinya, orang kecil yang bercita-cita terlalu tinggi, akhirnya binasa oleh karena cita-citanya itu. Kemauan sudah ada. Kemampuan juga tidak kurang-kurangnya. Tetapi, tidak punya keterampilan, orang seperti ini ada kemungkinan ketika dia bekerja akan cenderung lamban. Selain itu, karena lamban, dia akan tertinggal jauh dari orang lain. Dengan demikian, hasil kerjanya pun terbilang tidak/kurang memadai sehingga tidak mustahil sering tidak mencapai target. Seandainya berkarya, hasil karyanya sudah jadul (kadaluwarsa).
***
Kreativitas harus dibangun dari tiga faktor di atas. Untuk punya kemauan, orang harus banyak diberi motivasi. Motivasi menurut Hadari Nawawi dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia (2003:359) bisa diberikan dalam bentuk motivasi intrinsik (pendorong kerja yang bersumber dari dalam diri pekerja sebagai individu) dan motivasi ekstrinsik (pendorong kerja yang bersumber dari luar diri pekerja sebagai individu). Dalam prakteknya motivasi ekstrinsik lebih banyak digunakan daripada motivasi intrinsik. Hal itu lebih disebabkan oleh tidak mudahnya menumbuhkan kesadaran dari dalam diri seseorang. Untuk bisa kerja kreatif seseorang harus lebih mengutamakan motivasi intrinsik daripada motivasi ekstrinsik. Kalau lebih mengutamakan motivasi ekstrinsik, orang tersebut akan selalu meminta kompensasi untuk melakukan aktivitas. Karya-karya besar hasil kerja kreatif manusia selama ini lebih disebabkan oleh adanya kemauan sendiri dari orang menciptakan karyanya. Karya-karya yang diciptakan atas dasar adanya kompensasi biasanya tidak terlepas dari adanya iming-iming atau boleh juga pesanan. Karya-karya pesanan tidak memiliki nilai lebih karena karya tersebut telah dicampuri oleh keinginan orang yang memberi pekerjaan. Bayangkanlah kalau negara dibangun oleh pemimpin yang lebih mengutamakan motivasi ekstrinsik akan seperti apa pemimpin tersebut dalam menjalankan pemerintahannya? Dia akan memiliki mental `jaim` alias `jaga imej` (pencitraan). Kemana saja dia melakukan aktivitas, dia selalu minta dipublikasikan media massa, baik media cetak maupun online. Media-media massa yang sudah `doyong` ke fulus memang tidak lagi punya idelogi. Ideologinya `kan memang ideologi `wani piro`. Sementara itu, sang pemimpin tidak mustahil dia juga punya mental yang rendah, yaitu mental peminta-minta (pengemis). Untuk memenuhi APBN, karena dari pajak dan beacukai sudah tidak memenuhi target, akhirnya harus meminta bantuan ke negara-negara donor yang berjiwa kapitalis dan liberalis.
Setelah memiliki kemauan yang dibangun atas dasar motivasi intrinsik, seseorang yang mau melakukan kerja-kerja kreatif juga harus memiliki kemampuan (potensi diri). Untuk bisa memiliki potensi diri, seseorang minimal mengenal tujuh potensi diri berikut ini.
1. Kenali diri sendiri
2. Tentukan tujuan hidup
3. Kenali motivasi hidup
4. Hilangkan negative thinking
5. Jangan mengadili diri sendiri
6. Bertanya kepada orang yang terdekat
7. Banyak membaca, melihat, dan merasakan
Langkah selanjutnya, kalau sudah mengenal potensi diri, seseorang harus melakukan pengembangan diri. Langkah-langkah penting yang dilakukan dalam pengembangan diri di antaranya sebagaimana terlihat pada butir-butir berikut ini.
1. Harus diawali dengan niat
2. Harus berpikir positif dalam setiap hal
3. Harus memiliki komitmen
4. Jangan menganggap remeh orang lain
5. Menerima saran, kritik, dan masukan yang membangun dari orang lain
6. Konsisten terhadap apa saja yang telah dilakukan
7. Meyakini bahwa setiap orang bisa melakukan sesuatu
(http://tipsyoman.blogspot.co.id/2012/12/cara-mengembangkan-potensi-diri.html).
Di luar itu semua, sebagai makhluk yang ber-Tuhan, kita harus meyakini bahwa manusia diciptakan Sang Khalik dengan berbagai kelebihan yang justru tidak dimiliki makhluk-makhluk lain. Salah satu yang diberikan Tuhan, yaitu akal. Dengan akal inilah manusia bisa mengembangkan potensi dirinya kalau memang masih ada keinginan dan kesempatan untuk menggunakannya.
***
Faktor terakhir yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan kerja-kerja kreatif adalah keterampilan. Kita tahu di era globalisasi ini segalanya serba cepat dan terukur. Untuk bisa mengantisipasinya dibutuhkan kerja-kerja terampil. Keterampilan itu sendiri beragam. Kali ini kita konsens pada keterampilan kepemimpinan yang lebih ditujukan pada diri sendiri. Untuk bisa mengembangkan kepemimpinan pada diri sendiri diperlukan sepuluh langkat berikut ini.
1. Rendah hati
2. Menentukan tujuan
3. Berusaha keras untuk mencapai yang terbaik
4. Mempertahankan posisi
5. Belajar dari kesalahan
6. Berpikiran terbuka
7. Percaya diri
8. Bersedia untuk memberi
9. memenuhi janji
10. mendengarkan
Di samping kesepuluh butir di atas, seseorang yang mau melakukan kerja-kerja kreatif (termasuk untuk kerja kreatif seorang pemimpin), harus punya konsenstrasi menjadi orang yang baik dengan bersikap jujur pada diri sendiri. Sebagai tambahan, orang tersebut sepanjang hidupnya harus bisa membimbing diri sendiri dengan baik (reniem.blogspot.com).
Dengan melihat uraian di atas, memang tidak mudah melakukan kerja-kerja kreatif. Sebuah kreativitas tidak bisa dilakukan secara instan seperti kita ingin makan mi (indomie, supermie) atau makanan cepat saji. Dia perlu proses. Ada yang memang cepat prosesnya, ada juga yang lambat. Baik proses yang cepat maupun lambat semuanya harus berangkat di awal sekali adanya kemauan yang lebih didominasi oleh motivasi intrinsik. Termasuk ke dalam motivasi intrinsik ini seseorang harus menyingkirkan jauh-jauh pola pikir yang semuanya ingin serba instan. Atau orang yang tidak mau berlelah-lelah untuk melakukan aktivitas. Mindset kita yang cenderung untuk, misalnya, melakukan sesuatu dengan serba instan (meminjam istilah yang dipakai Koentjaraningrat dalam Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, mental menerabas) harus dihilangkan. Seandainya mindset kita masih `doyong` ke mentalitas menerabas, kita jangan berharap akan bisa melakukan kerja-kerja kreatif atau bahkan membangun kreativitas. Membangun kreativitas membutuhkan perubahan mindset yang semula ingin segalanya serba instan harus diubah menjadi kerja yang membutuhkan proses, waktu, dan kesabaran. Dengan demikian,membangun kreativitas membutuhkan proses kreatif bukan membutuhkan `karbit` sehingga menghasilkan kerja-kerja `karbitan` (instan). Semoga saja hal itu tidak terjadi!