Subagio S. Waluyo

          Iwan Fals kalau menyanyi suaranya tidak fals. Itu kalau fals diartikan seperti yang dipakai di kalangan anak-anak muda tahun `80-an (mungkin juga sampai sekarang ini) suaranya tidak enak didengar. Boleh jadi Iwan yang nama aslinya Virgiawan Listanto sengaja mencantumkan di belakang namanya fals karena sebagian besar lirik lagunya bagi sebagian orang (terutama pejabat publik di negara ini) terdengar kurang enak (fals). Maklum karena lirik-liriknya `nyerempet` ke kondisi negara yang `acak kadul` baik aparat pemerintahnya maupun rakyatnya. Fals menurut Wikipedia bahasa Indonesia diambil dari bahasa Belandavals. Artinya adalah “menyimpang”. Terutama dalam menyanyi atau memainkan sebuah alat musik apabila ada nada musik yang menyimpang, maka ini disebut fals (https://id.wikipedia.org/wiki/Fals). Tapi, bukankah memang Iwan Fals sengaja menulis lirik lagunya yang menyimpang dari kebiasaan penulis lirik lagu lainnya yang lebih cenderung ke arah cinta? Meskipun menyimpang,bagi pendengar yang tidak terkena kritikannya enak-enak saja menikmati lagunya. Coba kita simak lirik lagu berikut ini yang berbicara tentang nasib guru bernama Oemar Bakri.

Oemar Bakri

Tas hitam dari kulit buaya

“Selamat pagi!”, berkata bapak Oemar Bakri

“Ini hari aku rasa kopi nikmat sekali!”

Tas hitam dari kulit buaya

Mari kita pergi, memberi pelajaran ilmu pasti

Itu murid bengalmu mungkin sudah menunggu

Laju sepeda kumbang di jalan berlubang

S’lalu begitu dari dulu waktu jaman Jepang

Terkejut dia waktu mau masuk pintu gerbang

Banyak polisi bawa senjata berwajah garang

Bapak Oemar Bakri kaget apa gerangan

“Berkelahi Pak!”, jawab murid seperti jagoan

Bapak Oemar Bakri takut bukan kepalang

Itu sepeda butut dikebut lalu cabut, kalang kabut, cepat pulang

Busyet… Standing dan terbang

Reff.

Oemar Bakri… Oemar Bakri pegawai negeri

Oemar Bakri… Oemar Bakri 40 tahun mengabdi

Jadi guru jujur berbakti memang makan hati

Oemar Bakri… Oemar Bakri banyak ciptakan menteri

Oemar Bakri… Profesor dokter insinyur pun jadi

Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Kembali ke (*)

Bapak Oemar Bakri kaget apa gerangan

“Berkelahi Pak!”, jawab murid seperti jagoan

Bapak Oemar Bakri takut bukan kepalang

Itu sepeda butut dikebut lalu cabut, kalang kabut

Bakrie kentut… Cepat pulang

Oemar Bakri… Oemar Bakri pegawai negeri

Oemar Bakri… Oemar Bakri 40 tahun mengabdi

Jadi guru jujur berbakti memang makan hati

Oemar Bakri… Oemar Bakri banyak ciptakan menteri

Oemar Bakri… Bikin otak orang seperti otak Habibie

Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

(https://lirik.kapanlagi.com/artis/iwan-fals/guru-oemar-bakrie/)

Memang betul `kan nasib guru ketika lirik itu ditulis (di masa orde baru) jauh dari sejahtera? Orang semacam Oemar Bakri sebagai guru cuma naik sepeda kumbang yang digambarkan Iwan Fals sepeda butut (jelek). Dia sudah jadi guru empat puluh tahun lamanya mengabdi, tapi apa yang dia peroleh? Dia sudah berhasil mencetak menteri, mencetak orang pintar sekelas Habibie, tapi gajinya selalu dikebiri (dipotong) sehingga yang dia terima jauh dari hidup berkecukupan.

Kalau di bidang tarik suara orang bisa menunjuk Iwan Fals yang lirik lagunya terkenal fals, di bidang sastra seperti puisi bisa kita tunjuk cukup dua penyair, Taufik Ismail dan WS Rendra. Taufik Ismail di masa-masa menjelang berakhirnya orde baru  menulis puisinya yang terdapat dalam kumpulan puisinya Malu Aku Jadi Orang Indonesia. Dilihat dari judulnya saja sudah fals. Apa lagi jika kita amati isi kumpulan puisi tersebut, ternyata sarat dengan puisi-puisi yang boleh dikatakan punya pandangan miring terhadap rezim yang berkuasa pada waktu itu (Soeharto). WS Rendra dalam kumpulan puisinya: Potret Pembangunan dalam Puisi juga sama. Kalau dilihat dari judulnya tentu saja tidak sesarkasme yang ditulis Taufik Ismail. Tapi, bagaimana dengan isinya? Tidak diragukan lagi sarat dengan kritikan yang tentu saja ditujukan pada semua pihak. Ini sebuah bukti bahwa kalangan seniman, entah itu penyanyi atau penyair, dalam menyampaikan karya seninya tidak akan terlepas dari kritik sosial karena ada yang beranggapan karya seni tanpa kritik sosial ibarat `lebah tanpa sengat`. Bukankah semua orang bebas untuk menyampaikan aspirasinya termasuk menyampaikan kritikan di negara ini?

Berkaitan dengan fals yang menjadi judul tulisan ini, di kalangan pemimpin, entah pemimpin kelas paling rendah sampai yang paling tinggi juga banyak didapati pemimpin yang fals. Pemimpin fals yang dimaksud di sini bukan pemimpin tukang kritik, tapi pemimpin yang perilakunya tidak mengenakkan atau menyimpang dari kualitas kepemimpinan sehingga sang pemimpin ketika menjalankan kepemimpinannya tidak amanah. Menurut Tjipta Lesmana (Efriza, Kekuasaan Politik-Perkembangan Konsep, Analisis dan Kritik, 2016:203-206) ada sebelas kualitas yang dimiliki seorang good leader. Kalau salah satu kualitas itu tidak dimiliki, dia termasuk pemimpin yang fals. Siapa itu pemimpin yang fals? Siapa lagi kalau bukan pemimpin yang tidak punya keteladanan. Anak buah yang baik merupakan buah dari pemimpin yang punya keteladanan. Kalau pemimpinya `brengsek`, dijamin anak buahnya bisa-bisa lebih `brengsek`. Bukankah ada peribahasa `guru kencing berdiri, murid kencing berlari`? Jadi, tidak usah aneh kalau kita melihat dalam keseharian kita ada karyawan atau pegawai yang  melayani orang seperti `pilih-pilih tebu` alias pilih-pilih orang karena sang pemimpin telah memberikan contoh yang sama.

Pemimpin yang tidak punya percaya diri (bahasa gaulnya pede) juga tergolong pemimpin yang fals. Pemimpin yang tidak pede biasanya ketika mengambil keputusan ambigu atau penuh keraguan. Repot kalau punya pemimpin penuh keraguan. Tidak berani menghadapi risiko. Padahal yang namanya pemimpin memang harus berani menghadapi berbagai risiko. Pemimpin yang berani menghadapi risiko sebelum memutuskan sesuatu dia perlu menganalisis secara cermat permasalahan yang dihadapi baik oleh bawahannya atau yang menyangkut organisasi yang dipimpinnya. Dia juga perlu mengumpulkan data dan informasi yang akurat yang berkaitan dengan masalah yang mau diputuskan. Setelah semua itu sudah terpenuhi, barulah dia  mengambil keputusan. Keputusan yang sudah dikeluarkan agar dia bisa menunjukkan diri sebagai orang yang punya keteladanan harus dipegang teguh. Jangan sampai keputusan yang sudah dikeluarkan masih bisa ditarik ulur seperti pasal-pasal karet yang biasa dimainkan di pengadilan.

Selain berani menanggung risiko, pemimpin juga harus kapabel atau punya kompetensi tertentu. Sebagai pemimpin dia tidak boleh seperti  boneka yang begitu gampang disetir orang. Kalau ada pemimpin gampang diatur oleh orang lain (sampai-sampai bawahannya pun ikut mengatur sang pemimpin), berarti dia tidak punya kompetensi. Pemimpin yang tidak punya kompetensi walaupun bisa bertahan lama, selama dia memimpin dijamin kata-katanya atau keputusan-keputusannya tidak akan dihiraukan orang. Semua ucapannya hanya `masuk telinga kanan keluar telinga kiri`. Tidak ada yang masuk sama sekali. Karena itu, seorang pemimpin juga harus konsisten. Dia tidak boleh bertele-tele. Kalau sudah mengambil keputusan harus konsisten dilaksanakan. Pemimpin-pemimpin besar seperti Ronald Reagan atau Margaret Thatcher yang diberi gelar `Iron Lady` adalah contoh orang-orang yang konsisten.

Hancurnya sebuah organisasi besar, termasuk ke dalamnya daerah atau negara sekalipun, dimulai dari pemimpin yang tidak konsisten. Ketika pemimpin yang `mencla-mencle` berhadapan dengan pengusaha bisa diajak kompromi agar keputusan yang telah dikeluarkannya ditinjau kembali, saat itu juga tanpa disadari dia telah punya saham menghancurkan baik dirinya sendiri maupun organisasi yang dipimpinnya. Banyak bukti yang bisa dibeberkan di sini yang tampaknya tidak perlu dibeberkan karena semua orang bisa menemukan sendiri bukti-buktinya. Tapi, agar tidak penasaran gambar di bawah ini lebih merupakan representasi yang sudah menjadi fenomena bahwa pemimpin-pemimpin di negara ini mau berkompromi dengan pengusaha. Dia menjadi fenomena karena masalah kompromi antara penguasa dan pengusaha terjadi di hampir semua daerah di negara ini. Apa yang diharapkan kalau kepala daerah sebagai penguasa daerah yang dipimpinnya berkompromi dengan pengusaha? Wajar-wajar saja kalau akhirnya banyak masyarakat yang tahu kalau pemekaran daerah lebih merupakan kesempatan bagi-bagi kekayaan (`bancakan`) antara penguasa dan pengusaha. Kalau sudah seperti itu, tentu saja penguasa itu akan mudah diatur oleh pengusaha. Silakan diperhatikan gambar berikut ini.

                                               ( https://images.app.goo.gl/Ud26uZ8hQhnaurAf9 )

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak melarikan diri dari permasalahan. Artinya, sang pemimpin yang berani siap mengambil risiko, mempunyai motivasi yang kuat untuk menyelesaikan berbagai masalah. Dia tidak boleh melarikan diri dari masalah yang dihadapi. Dia juga tidak boleh menjadi pemimpin yang bertipe hit and run. Hanya berani melempar masalah, setelah ada  masalah dia berusaha `lempar batu sembunyi tangan`. Ini tipe pemimpin pengecut. Ada masalah di daerahnya yang disalahkan orang lain atau mencari-cari kesalahan orang lain. Dia tidak sadar bahwa dia telah terjebak kalau `gajah di depan mata tidak terlihat, tapi kutu di seberang pulau terlihat`. Tipe seperti ini adalah tipe pemimpin yang suka mencari-cari kesalahan orang lain. Tipe pemimpin seperti ini biasanya otaknya tidak pernah dipakai untuk  berpikir analitis. Dia lebih biasa pakai otot walaupun seringkali pakai otot orang lain dalam bentuk kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Kalau dia bisa berpikir analitis semua permasalahan bisa diselesaikan. Tapi, kalau sudah pakai otot bukan otak untuk berpikir analitis yang terjadi apalagi kalau bukan penumpukan permasalahan. Tipe pemimpin seperti ini juga tidak aneh kalau sering menyalahkan anak buah setiap kali ada permasalahan. Dia kerap kali mencari kambing hitam. Dia tidak sadar bahwa kesalahan anak buah sebagai pemimpin yang bermoral adalah tanggung jawabnya untuk menyelesaikannya.

Pemimpin yang baik bukan pemimpin yang ber-IQ tinggi yang dibuktikan dengan prestasi akademik yang meyakinkan, punya gelar sarjana `bererot`. Bahkan, kalau perlu ada embel-ember profesor di depan gelar kesarjanaannya supaya orang merasa segan berhubungan dengannya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa mengendalikan emosinya. Pemimpin yang kaya akan spiritualnya. Pemimpin seperti ini banyak dekat pada Sang Pencipta. Pemimpin seperti ini bisa dipastikan adalah pemimpin yang menunjukkan di hadapan Sang Pencipta sebagai makhluk lemah,yang selalu basah bibirnya dengan dzikir. Di dua pertiga malam terakhir, dia selalu sholat tahajud dan menangis karena mengingat dosa-dosanya. Dijamin kalau ada pemimpin seperti ini bukan saja dia bisa mengendalikan diri ketika menghadapi bawahan yang `ngeyel` tapi juga berupaya melakukan introspeksi diri tentang perilaku bawahannya yang terkadang sedikit menjengkelkan. Berhadapan dengan bawahan yang `ngeyel` dia tidak menyelahkannya, dia justru introspeksi diri, jangan-jangan memang ada yang salah dalam dirinya. Selain melakukan introspeksi diri, pemimpin yang baik tentu juga memiliki empati pada bawahannya. Dia bukan saja menyenangkan orang sesaat ketika ada uang berlebih, tapi dia bisa merasakan yang dirasakan bawahannya. Kalau suatu saat salah seorang bawahannya mengeluh tentang rumah tangganya karena anak-anaknya yang sekolah belum dilunasi pembayaran sekolahnya, tanpa diminta dia sudah langsung berbuat. Itu tandanya pemimpin yang punya empati.

Berbicara tentang empati, kalau kita perhatikan di negara kita, yang sering terjadi munculnya kecemburuan sosial. Wakil-wakil rakyat kita baik di level parlemen terendah (DPRD kelas kota/kabupaten) sampai dengan yang tertinggi (DPR/MPR) benar-benar mereka mendapat fasilitas dari negara yang berlebih. Boleh dikatakan negara kita ini begitu boros membelanjai wakil-wakil rakyat. Mereka bukan saja mendapat gaji yang sangat memadai, tapi juga tunjangan yang serba layak dari kendaraan/sarana transportasi, tempat tinggal, sarana komunikasi, dan uang rapat atau transpot berikut akomodasinya ketika reses atau kunjungan ke luar negeri atau ke daerah-daerah di Indonesia yang membuat `ngiler` rakyat kecil. Banyak di antara mereka yang begitu jadi anggota parlemen lupa dengan rakyat kecil seperti `kacang lupa akan kulitnya`. Di mana rasa empati mereka? Coba kita lihat gambar karikatur berikut ini yang menggambarkan perilaku anggota parlemen kita. Ketika mau maju dia berusaha habis-habisan merebut kursi kekuasaan. Tetapi, setelah kursi itu diperoleh, apa yang terjadi? Dia lupa dengan aspirasi rakyat. Nasib bangsa ini kalau sudah begitu tidak pernah terselesaikan. Itu semua karena mereka telah hilang rasa empatinya.

                                                   (https://images.app.goo.gl/MPhitVrJbN1mrhnQ8)

Siapa di negara ini yang termasuk pemimpin yang baik? Coba disimak apa yang dikatakan Iwan Fals ketika melantunkan liriknya tentang Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI pertama yang dikenal sederhana yang selalu mengalah dengan sikap Soekarno, Sang Presiden, walaupun tidak setuju dengan kebijakannya. Kita simak lirik lagunya.

Bung Hatta

Tuhan terlalu cepat semua

Kau panggil satu-satunya yang tersisa

Proklamator tercinta…

Jujur lugu dan bijaksana

Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa

Rakyat Indonesia…

Reff :

Hujan air mata dari pelosok negeri

Saat melepas engkau pergi…

Berjuta kepala tertunduk haru

Terlintas nama seorang sahabat

Yang tak lepas dari namamu…

Terbayang baktimu, terbayang jasamu

Terbayang jelas… jiwa sederhanamu

Bernisan bangga, berkapal doa

Dari kami yang merindukan orang

Sepertimu…

Jadi, negara ini  membutuhkan pemimpin jujur, santun, cerdas, sederhana, dan bisa mengendalikan diri seperti Mohammad Hatta. Beliau juga seorang yang religius, orang yang dekat dengan Tuhannya.  Orang yang tidak pernah membangga-banggakan jasa-jasanya.  Orang seperti Bung Hatta kalau ada sekian ribu orang di negara ini dijamin negara ini akan bisa mewujudkan baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Wallahu a`lam bissawa

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *