Subagio S. Waluyo

”Ya, apa saja bisa diproyekkan. Tidak hanya pembangunan

jembatan atau infrastruktur lain, tapi juga pengadaan

kotak pemilu, pembagian sembako untuk orang miskin,

pengadaan bacaan untuk anak sekolah, program transmigrasi,

program penanggulangan bencana alam.

Bahkan Sidang Umum MPR dan penyusunan undang-undang

bisa mereka jadikan proyek yang mendatangkan duit.

Orang-orang proyek rakus dan licin,

 dan mereka ada di mana-mana.”

(Orang-Orang Proyek/Ahmad Tohari)

***

 Manusia normal di manapun berada pasti menginginkan kebebasan. Wajar-wajar saja jika manusia tidak mau didikte. Jika ada manusia yang mau didikte, dia perlu diperiksa jiwanya. Boleh jadi dia tergolong manusia yang abnormal karena mau-maunya didikte. Tapi, dalam kehidupan sehari-hari, percaya atau tidak ada kalangan tertentu (entah itu penguasa atau pengusaha) yang merasa punya kekuasaan atau harta berlimpah yang tega-teganya mendikte orang lain. Orang kecil itu karena tidak berdaya atau memang fatalis, pada akhirnya mau-mau saja didikte. Orang kecil itu bisa pegawai/karyawan rendahan yang didikte atasannya. Bisa juga petani gurem, yang memang tidak punya tanah untuk digarap, didikte oleh sang pemilik tanah atau pejabat setempat yang merasa punya kekuasaan. Bisa juga pembantu rumah tangga yang didikte oleh majikannya. Intinya, semua orang yang memang tidak punya kemampuan (intelektual, harta, jabatan) pasti jadi bulan-bulanan orang yang punya kekuasaan atau boleh juga punya harta berlimpah (bisa jadi penguasa dan pengusaha).

Adalah Kabul, sang insinyur bangunan dan mantan aktivis kampus, jadi korban pendiktean orang yang berkuasa. Kabul dalam novel Orang-Orang Proyek (OOP) karya Ahmad Tohari (AT) sebagai seorang yang idealis berhadapan dengan permainan proyek pembangunan jembatan. Di sini Kabul memiliki beban psikologis yang cukup berat. Di satu sisi dia harus mempertahankan nilai-nilai idealismenya, di sisi lain dia berhadapan dengan rezim penguasa yang berkuasa pada waktu itu (masa orde baru) cenderung mencari keuntungan besar dalam pembangunan jembatan. Tentu saja, karena di benak penguasa yang terpikir hanya memperoleh keuntungan besar, mau tidak mau ada pengurangan di sana-sini yang berkaitan dengan penggunaan bahan dasar (material) untuk pembangunan jembatan. Bukan hanya itu, sang penguasa juga menginginkan agar target pembangunan jembatan bisa diselesaikan sebelum Pemilu 1992. Penguasa pada waktu itu dipegang oleh partai penguasa yang dukungannya juga luar biasa. Saking kuat dukungannya sampai-sampai apapun yang dilakukan pemerintah merupakan representasi partainya. Partai penguasa itu ingin menunjukkan pada masyarakat calon pemilihnya bahwa partainya punya kepeduliaan pada masyarakat desa. Salah satu buktinya dibangunlah jembatan.

Pembangunan yang terkesan mengejar target itu ternyata mengalami kerugian. Padahal kerugian itu bisa dihindari kalau saja sang penguasa (pemimpin lokal) mau menuda pembangunannya. Rekomendasi dari para perancang ternyata diabaikan. Sang pemimpin lokal demi mensukseskan partainya memaksakan keinginannya agar pembangunan jembatan jangan sampai ditunda-tunda. Akhirnya, itulah yang terjadi, ketika terjadi hujan lebat, air sungai meluap, pohon-pohon yang tumbang yang terbawa air sungai menghancurkan tiang pancang yang baru saja dipasang. Hal ini yang membuat Kabul pusing dan gundah. Selain itu, membuat batinnya terbebani karena hasil kerjanya yang menelan uang tidak sedikit itu lenyap sama sekali.     

”Karena kerugian itu sesungguhnya bisa dihindarkan bila awal pelaksanaan pembangunan jembatan itu ditunda sampai musim kemarau tiba beberapa bulan lagi. Itulah rekomendasi dari para perancang. Namun rekomendasi itu diabaikan, konon demi mengejar waktu.”

”Maksudnya?”

”Penguasa yang punya proyek dan para pemimpin politik lokal menghendaki jembatan itu selesai sebelum Pemilu 1992. Karena, saya kira, peresmiannya akan dimanfaatkan sebagai ajang kampanye partai golongan penguasa. Menyebalkan. Dan inilah akibatnya bila perhitungan teknis-ilmiah dikalahkan oleh perhitungan politik.”

(OOP, hlm. 11)

Anehnya, sesuatu yang membikin Kabul gundah dan adanya tekanan batin, bagi Pak Tarya, seorang pensiunan pegawai Kantor Penerangan, bukan sesuatu yang dipikirkan yang bisa membikin batin tertekan. Menurut Pak Tarya akibat banjir yang meluluhlantakkan tiang-tiang pancang bisa dijadikan alasan untuk meminta biaya tambahan. Jadi, menurutnya ada kesempatan untuk menggelembungkan anggaran proyek. Masalah itu sudah menjadi budaya kekuasaan di negeri ini. 

”Ya, karena saya maklum. Meski sudah tua dan jelek, saya ini pensiunan pegawai negeri. Jadi saya tahu, ya, begitulah budaya kekuasaan di negeri kita. Bahkan saya juga bisa menebak, tidak semua teman sampeyan kini sedih. Karena, kerugian akibat banjir itu bisa dijadikan alasan untuk meminta biaya tambahan. Dan hal ini berarti kesempatan baru untuk menggelembungkan anggaran proyek. Ah, kami rakyat kecil tahu kok, apa arti penggelembungan biaya bagi orang-orang proyek. Eh, maaf. Mulut saya ini latah.

He-he-he.”

(OOP, hlm. 11-12)

Ucapan Pak Tarya bagi Kabul sebagai sindiran yang juga mengena buat dirinya. Bukankah dia sendiri termasuk orang proyek? Jadi, dia disindir Pak Tarya sebagai orang proyek yang kerap melakukan kecurangan. Pak Tarya juga tanpa tedeng aling-aling menyebut orang-orang proyek dengan berbagai cara dan gaya kerap melakukan korupsi. Sindiran ini tentu saja mengena buat Kabul walaupun Kabul tidak sama dengan orang-orang proyek lainnya yang memang suka main curang dengan menggelembungkan anggaran. Jauh di lubuk hatinya Kabul memiliki sikap bahwa dirinya tidak sama dengan orang-orang proyek lainnya. Bagi Kabul dalam posisi seperti itu sangat sulit meyakini Pak Tarya, laki-laki setengah umur mantan pensiunan Kantor Pegawai Penerangan itu. Tidak ada pilihan lain bagi Kabul kecuali berdiam diri saja.

Kabul tersenyum dan mengangguk-angguk. Tapi wajahnya menampakkan rasa masygul. Hatinya serasa tertusuk. Tawa Pak Pak Tarya terasa sebagai sindiran yang justru lebih menghunjam. Ya, bukankah Kabul sendiri orang proyek? Tadi dengan caranya sendiri Pak Pak Tarya ingin mengatakan orang-orang proyek adalah manusia-manusia yang suka main curang. Korup dengan berbagai cara dan gaya. Tapi, apakah Pak Pak Tarya salah? Jujur, Kabul merasa sindiran halus Pak Pak Tarya lebih banyak benarnya. ”Atau benar semua bila aku, Kabul, ikut-ikutan suka makan uang proyek. Tapi bagaimana  meyakinkan Pak Pak Tarya bahwa aku tidak ingin seperti mereka?”

(OOP, hlm. 12)

***

Orang desa yang dalam pandangan Kabul sebagai orang kampung yang lugu, bersih, dan tidak melik (tidak ada kemauan untuk memiliki atau mengakui milik orang lain sebagai miliknya) ternyata akibat pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan sudah berubah paradigma. Jadi, orang kampung sekarang cenderung pragmatis. Kalau ingin mendapatkan bahan bangunan, semen misalnya, mereka cukup menyuap kuli-kuli yang bekerja di proyek. Buat mereka, orang kampung, itu hal yang biasa. Bahkan, bagaimana negara ini tidak akan bangkrut kalau orang kampung sudah terbiasa mengambil aspal dari pinggir jalan, menebang kayu jati di perkebunan milik negara, atau menjadi penadah ketika ada kuli yang mencuri bahan bangunan dan menjualnya ke orang kampung. Itu semua menurut Pak Tarya bukan hal yang aneh karena watak manusia memang cenderung memetingkan diri sendiri.   

“Oh, maaf. Tadi Mas Kabul tanya apa? Ah, saya ingat. Ada orang kampung ingin mendapat semen dari proyek ini dengan cara menyuap kuli-kuli?”

”Ya.”

”Tanpa maksud membela sesama saudara sekampung, bukankah mereka tak bisa merugikan proyek tanpa kerja sama dengan orang dalam, bukan?”

”Ya. Tapi kan selama ini saya menganggap orang kampung lugu, bersih, tidak melik terhadap barang orang lain.”

”He-he-he… itu dulu, Mas Kabul. Sekarang lain. Sekarang orang kampung menganggap, misalnya, mengambil aspal dari pinggir jalan adalah perkara biasa. Bila ketahuan, ya mereka akan membelikan rokok buat Pak Mandor. Selesai. Atau, mereka takkan merasa bersalah karena menebang kayu jati di perkebunan negara, karena mereka tahu banyak pagar makan tanaman. Jadi kalau kuli-kuli Anda mencuri semen dan orang kampung jadi penadahnya, apa aneh?”

”Taruhlah tidak aneh. Tapi pertanyaannya tetap. Mengapa hal itu menjadi tidak aneh?”

Pak Tarya terkekeh.

”Ah, Mas Kabul pura-pura lupa bahwa pada dasarnya kebanyakan orang masih dilekati watak primitif, yakni lebih mementingkan diri sendiri alias serakah.”

”Itu primitif?”

”Nah, iya, kan?”

(OOP, hlm. 22)

Latar cerita novel OOP terjadi di masa orde baru. Di masa itu sudah bermunculan cara-cara curang menggelembungkan anggaran. Pemerintah yang berkuasa pada waktu itu juga memanfaatkan moment-moment tertentu untuk memperoleh suara ketika nanti memasuki masa-masa pemilu. Selain pemerintah, para anggota DPRD juga sering meminta uang saku pada bendahara proyek. Mau tidak mau pengusaha yang ditunjuk pemerintah setempat untuk menjalankan proyek bekerja sama dengan penguasa melakukan penggelembunan anggaran. Salah satu moment yang dimanfaatkan dalam novel OOP ini adalah proyek pembangunan jembatan sungai Cibawor. Proyek itu selain dimanfaatkan oleh partai yang berkuasa pada waktu itu juga dimanfaatkan untuk mendulang dana. Caranya? Itu tadi, apalagi kalau bukan penggelembungan anggaran agar anggaran yang telah digelembungkan dimanfaatkan oleh pejabat publik di daerah tersebut atau untuk kepentingan partai penguasa. Bukankah cara-cara seperti itu juga berlanjut di masa reformasi? Jika di masa orde baru dana yang digunakan untuk pembangunan diperoleh dari dana pinjaman luar negeri, pada masa reformasi juga sama. Kesimpulannya, baik orde baru maupun reformasi perilaku penguasa tidak pernah berubah, yaitu masih ada keinginan menggelembungkan anggaran pembangunan. Tentu saja perilaku itu akan merugikan rakyat karena bebannya nanti dipikul rakyat.    

Tanpa terasa proyek sudah berjalan tiga bulan. Namun karena dimulai ketika hujan masih sering turun, volume pekerjaan yang dicapai berada di bawah target. Menghadapi kenyataan ini, Kabul sering uring-uringan. Jengkel karena hambatan ini sesungguhnya bisa dihindari bila pemerintah sebagai pemilik proyek dan para politikus tidak terlalu banyak campur tangan dalam tingkat pelaksanaan.

Dan campur tangan itu ternyata tidak terbatas pada penentuan awal pekerjaan yang menyalahi rekomendasi para perancang, tapi masuk juga ke hal-hal lain. Proyek ini, yang dibiayai dengan dana pinjaman luar negeri dan akan menjadi beban masyarakat, mereka anggap sebagai milik pribadi. Kabul tahu bagaimana bendahara proyek wajib mengeluarkan dana untuk kegiatan partai golongan penguasa. Kendaraan-kendaraan proyek wajib ikut meramaikan perayaan HUT golongan itu. Malah pernah terjadi pelaksana proyek diminta mengeraskan jalan yang menuju rumah ketua partai golongan karena tokoh itu akan punya hajat. Bukan hanya mengeraskan jalan, melainkan juga memasang tarub. Belum lagi dengan oknum sipil maupun militer, juga oknum-oknum anggota DPRD yang suka minta uang saku kepada bendahara proyek kalau mereka mau pelesir ke luar daerah.

(OOP,hlm. 29)

***

Sebagai pemuda idealis, melihat buruknya perilaku penguasa dan pengusaha yang sengaja melakukan penggelembungan anggaran jelas membuat Kabul gundah. Bagi Kabul kejujuran dan kesungguhan adalah sesuatu yang dijunjung tinggi bagi masyarakat yang berbudaya. Setiap kecurangan akan mengurangi kesungguhan sehingga hasilnya tidak akan sesuai yang diharapkan. Perilaku seperti itu jelas bertentangan dengan hati nurani Kabul sehingga ia tidak bisa menerimanya.    

Aku insinyur. Aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan proyek ini dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin. Apakah yang pertama merupakan manifestasi yang kedua? Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama? Mungkin. Atau entah. Yang jelas bagiku kecurangan besar maupun kecil yang terjadi di proyek ini pasti akan mengurangi tingkat kesungguhan, bahkan mengkhianati tujuan dasarnya. Dan hatiku tak bisa menerimanya.

(OOP, hlm. 39)

Meskipun merasa resah dengan perilaku orang-orang proyek, penguasa daerah (termasuk pengusahanya), para anggota dewan, dan warga desa, Kabul agak terhibur ketika Pak Tarya menyampaikan isi sebagian tembang Ronggowarsito yang berisikan tentang (ramalan) zaman edan. Kabul seperti dibangunkan dari mimpi-mimpinya bahwa ramalan Ki Ronggowarsito sekarang benar-benar terbukti. Tetapi, isinya justru dalam praktek kehidupan sehari-hari telah berbalik karena orang bukan memilih jalan yang benar (jalan keselamatan), malah memilih jalan yang tidak benar (sesat). Sekarang orang justru ikut-ikutan jalan yang tidak benar (edan) karena kalau tidak ikut edan tidak kebagian. Prinsip hidup masyarakat (termasuk masyarakat desa) sudah berubah. Yang dulunya, kata Kabul, lugu, bersih, dan tidak melik, sekarang tidak lagi seperti itu. Masyarakat desa setelah pembangunan cenderung berpikir pragmatis. Berpikir pragmatis sudah menjadi budaya. Dengan demikian, masyarakat desa sekarang sama gilanya dengan masyarakat kota yang cenderung matre.    

”Dulu Ki Ronggowarsito menciptakan tembang tentang zaman edan itu sebagai peringatan agar orang tetap memilih jalan keselamatan, bukan jalan gila. Namun sekarang tembang itu malah dihayati terbalik, sehingga seolah-olah menjadi pembenar atas perilaku edan. Buktinya, ya itu tadi, orang-orang sudah membenarkan ungkapan, bila tidak ikut edan tidak akan mendapat bagian. Artinya, banyak orang rela disebut edan asalkan perut kenyang.”

”Artinya pula, masyarakat sudah menerima perilaku edan?”

”Mungkin. Atau entahlah. Tapi agaknya mereka, masyarakat, terpaksa menerima perilaku edan sebagai hal biasa karena sudah menjadi hal keseharian yang terjadi di mana pun, kapan pun.”

 (OOP, hlm. 80)

Sebagai orang yang idealis, cerdas, dan masih punya hati nurani ada kekhawatiran di benak Kabul melihat kondisi bangsanya. Dia melihat ke depannya tidak mustahil bangunan bangsa ini akan ambruk. Dia memisalkan negara ini sebuah bangunan rumah kayu yang dimakan rayap yang suatu saat akan ambruk. Begitu juga dalam pikiran Kabul, bangunan bangsa ini akan ambruk kalau anak bangsanya melakukan penyelewengan dan kecurangan. Seandainya ada pembangunan yang begitu masif dilakukan, tidak mustahil bangunan-bangunan itu cepat atau lambat akan roboh, secara perlahan-lahan bangunan negara ini dimakan rayap (siapa lagi rayapnya kalau bukan penguasa, orang-orang proyek, pengusaha yang culas, dan warga desa yang pragmatis?). Permisalan yang dibuat Kabul persis seperti kota atau negara yang tergolong gigantisme. Tampak luar kota atau negara ini demikian gagah, tapi di dalamnya keropos karena telah digerogoti oleh mereka-mereka yang serakah, licik, culas, berperilaku bodong, atau korup sekalipun.   

”Begini. Ibarat kita sebuah rumah kayu, rayap sudah makan dari tiang sampai bubungan. Semua kayu telah keropos. Kalau hal itu dibiarkan, hanya satu hal yang akan kita temui di depan; rumah kayu itu akan ambruk. Sayangnya saya yang awam ini tak bisa berbuat apa-apa. Atau, sebenarnya saya berbuat sesuatu yang kecil saja. Yakni andaikan proyek-proyek yang saya tangani dikerjakan tanpa penyelewengan dan kecurangan apa pun. Tapi ternyata saya tak bisa. Proyek ini dibangun dengan rayap-rayap yang doyan batu, semen, besi, apalagi duit. Jelas, yang berdiri nanti adalah jembatan-jembatanan, tapi biaya yang dikeluarkan dan harus jadi beban rakyat bisa untuk membangun dua jembatan yang memenuhi standar mutu.”

(OOP, hlm.81)

***

Kabul suatu saat pernah  mengamati sebuah kecelakaan tunggal. Kecelakaan tersebut menurutnya bukan kesalahan sepenuhnya pengendara vespa yang sedang melintas di jalan berlubang. Tetapi, juga ada andil dari Dinas Pekerjaan Umum (PU). Dinas PU yang tahu (jangan-jangan pura-pura tidak tahu) kalau ada jalan berlubang tidak cepat merespon dengan cara memperbaiki jalan. Justru, PU terkesan melakukan pembiaran. Akibatnya, suatu saat ada pengendara vespa yang jatuh karena roda kendaraannya masuk lubang yang tertutup air. Laki-laki pengendara vespa akhirnya meninggal. Pengendara tersebut tulang punggung di keluarganya. Bisa kita bayangkan, seorang kepala keluarga, bapak dari anak-anaknya, suami dari istrinya yang selama ini menafkahi keluarganya harus berakhirhidupnya dengan cara mengenaskan. Padahal sebagai warga negara yang baik dia memiliki SIM dan pembayar pajak kendaraan yang dikendarainya. Mengapa negara tiba-tiba seperti tidak hadir dengan melakukan pembiaran? Negara ini `kan sebenarnya harus bertanggung jawab penuh karena itu kesalahan penuh mereka yang lalai untuk melakukan perbaikan jalan. Sebagai negara yang mengaku taat pada hukum sudah selayaknya Dinas PU harus siap menjadi terdakwa. Tidak perlu instansi tersebut menunggu tuntutan dari keluarga korban. Pihak kejaksaan yang melihat peristiwa itu juga seharusnya meresponnya dengan menurunkan orang-orang pintarnya untuk menyelidiki peristiwa itu. Kalau memang terbukti kesalahan itu ada pada pihak Dinas PU, kejaksaan berwenang menyeret pejabat-pejabat Dinas PU ke pengadilan. Mirisnya, keluarga korban yang terbilang awam masalah hukum menerima saja peristiwa itu seolah-seolah itu lebih merupakan takdir yang tidak perlu diperpanjang persoalannya. Bukankah itu lebih merupakan warisan budaya feodal?

”Di ruas jalan yang rusak ini, pada musim hujan lalu,terjadi kecelakaan tunggal,” cerita Kabul. ”Ada pengendaraVespa jatuh karena roda kendaraannya masuk lubang di tengah jalan yang tertutup air.”

”Meninggal?”

”Ya. Akhirnya lelaki itu meninggal di rumah sakit. Yang jadi beban pikiranku hingga saat ini, kecelakaan tunggal itu terjadi bukan karena kesalahan si pengendara Vespa,melainkan kesalahan Dinas Pekerjaan Umum, ya, kesalahan negara. Pengendara itu punya SIM dan nomor kendaraan yang sah. Artinya dia mengendarai Vespa dengan membayar pajak. He drove by tax. Tapi negara hanya mau mengambil pajaknya dan tidak mau bertanggung jawab atas kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan jalan. Ini negara apa? Dan orang-orang PU itu, di mana nyali mereka?”

”Jadi harusnya bagaimana, Mas?”

”Keluarga korban seharusnya menuntut pemerintah, Dinas PU, baik secara pidana maupun perdata. Pidana, karena orang-orang Dinas PU yang digaji rakyat itu telah melalaikan kewajiban memelihara jalan, dan karena kelalaian itu terjadi kecelakaan yang menyebabkan pengguna jalan meninggal dunia.”

”Perdatanya?”

”Keluarga korban rugi secara material karena kehilangan ayah, suami, yang menjadi tulang punggung kehidupan mereka. Materi yang seharusnya mereka peroleh bila korban masih hidup, harus diganti pemerintah. Belum lagi

Kerugian immaterial yang bisa dikonversi ke dalam nilai uang.”

”Jadi mereka, keluarga korban, benar-benar menggugat pemerintah?”

”Itulah! Keluarga korban ternyata tidak menuntut apa-apa. Agaknya mereka tidak tahu akan hak-hak mereka. Dan orang-orang pemerintah, khususnya di jajaran Dinas PU, menikmati kondisi ini. Demikian juga kejaksaan. Jaksa seharusnya tanpa diminta oleh keluarga korban menuntut Dinas PU atas kasus kecelakaan itu. Nyatanya? Brengsek!”

”Tapi apa akar semua kebrengsekan itu?”

”Kamu pernah dengar. The king can do no wrong? Nah, ubahlah menjadi: The country can do no wrong, alias nNegara tak bisa berbuat salah. Karena para pejabatnya, dalam kasus ini orang-orang PU tadi, menganggap diri tak mungkin

berbuat salah.”

”Jadi siapa yang salah?”

”Dengan paradigma the King can do no wrong, si pengendara itulah yang harus disalahkan. Mengapa ia menabrak kubangan? Atau, soal mati karena jatuh dari Vespa, apa pun penyebab kejatuhannya, itu sudah takdir. Habis!”

”Brengsek!” Samad mulai terbakar emosinya. ”Negara dan pejabat negara merasa dirinya tak bisa salah? Itu kan kultur negara kerajaan yang feodal? Apa kita yang sudah 45 tahun menjadi negara republik masih berjiwa feodal?”

”Apa kamu kira negara kita yang konon ber-Pancasila ini, dan yang semua aparatnya sudah ditatar P4, adalah negara republik demokrasi? Bangun, bangun! Hentikan mimpimu. Dan sadarilah di tahun 1991 ini kita hidup di bawah orde feodal baru.”

(OOP, hlm. 125-127)

***

Orang kampung di samping karena rendahnya pendidikan  juga masih percaya pada hal-hal yang berbau takhayul. Kasus yang baru saja dialami Kabul ketika disatroni seorang warga yang mencari anaknya hilang menjadi contoh yang menarik. Orang desa itu, Martasatang, mencari anaknya yang tidak pulang-pulang sampai seminggu lamanya. Dia menduga kalau anaknya dijadikan tumbal ketika ada pengecoran untuk pembangunan jembatan. Martasatang percaya bahwa agar pembangunan jembatan itu diberkahi harus ada tumbal, dalam hal ini tumbalnya apalagi kalau bukan anak muda yang belum berkeluarga. Martasatang yang pendek pikirannya langsung mengamuk meskipun sudah diberi pengertian. Ruang kantor yang digunakan selama pembangunan jembatan kaca-kaca jendelanya pecah dan hancur tidak karuan akibat amukan Martasatang. Selain itu, Martasatang sebagai wong cilik benar-benar tertekan setelah mata pencahariannya sebagai tukang rakit penyeberangan hilang karena orang tidak memerlukan rakit lagi untuk menyeberang sungai. Peristiwa  hilangnya mata pencaharian yang menjadikan Martasatang tertekan karena tidak ada orang yang peduli dengan nasibnya. Sudah seperti itu masih digelayuti oleh takhayul kalau anaknya diduga dijadikan tumbal dalam pembangunan jembatan.   

”Yah, kita telah disadarkan bahwa ternyata kadar animisme di tengah masyarakat kita masih lumayan tinggi. Dengarkan, Mas Kabul, orang sini percaya misalnya, mayat yang hanyut di sungai bisa mencegah kelongsoran tebing.”

”Orang di sini percaya bahwa jasad manusia punya mata dan kekuatan yang besar. Maka mereka percaya setiap jembatan atau bangunan besar lain, seperti waduk atau bendungan, harus diberi tumbal berupa mayat manusia. Dan tumbal itu konon bisa macam-macam. Kalau disebut jengger atau ayam jantan muda, maksudnya adalah perjaka. Kalau disebut babon atau ayam betina, maksudnya adalah perempuan dewasa. Dan kalau disebut pitik, maksudnya adalah anak-anak.”

”Selain soal takhayul tadi, ada fakta lain yang muncul dari peristiwa kemarin,” sambung Pak Tarya. ”Dan ini sebaiknya kita catat. Ternyata, wong cilik seperti Kang Martasatang bisa mengamuk ketika tekanan yang dideritanya tak tertahankan lagi. Derita pertama diterima ketika rakitnya harus ditambatkan, karena orang tidak memerlukannya lagi. Padahal rakit adalah satu-satunya sumber

penghasilannya.”

Pak Tarya berhenti untuk melepas kacamata, kemudian melap matanya yang perih.

”Saya tanya sampeyan, Mas Kabul; siapa yang peduli terhadap Kang Martasatang yang kehilangan satu-satunya mata pencaharian? Lurah? Golongan? Anggota dewan? Atau sampeyan sendiri yang sedang memimpin pembangunan jembatan dan akan menggusur sumber penghasilan Kang Martasatang? Semuanya tidak, bukan?”

Kabul terpana. Dan Pak Tarya tersenyum. Ironis.

”Kang Martasatang kemudian menanggung derita kedua yang sangat berat karena keyakinannnya, Sawin telah mati jadi tumbal proyek ini. Padahal Sawin anak bungsu kesayangannya. Maka dia mengamuk karena jiwanya tak mampu lagi menahan tekanan penderitaan.”

(OOP, hlm. 152-153)

Belum selesai masalah Martasatang, orang desa yang pernah bikin onar, muncul masalah baru. Baldun,aktivis partai penguasa, suatu kali meminta kesediaan Kabul agar bersedia menyisihkan sebagian anggaran pembangunan jembatan untuk pembangunan masjid. Permintaan itu jelas ditolak mentah-mentah oleh Kabul. Sebagai orang yang taat pada agama Kabul tidak setuju dengan usul itu. Dia tidak mau kalau pembangunan masjid dikotori oleh praktek-praktek kotor. Selain itu, anggaran untuk pembangunan jembatan digelembungkan sebesar 30%. Kabul lebih memilih mengundurkan diri daripada harus menuruti kemauan Baldun. Bahkan, Kabul tidak peduli jika dikatakan tidak bersih lingkungan (suatu istilah yang kerap digunakan untuk orang-orang yang diduga eks PKI atau masih ada kaitan dengan keturunan keluarga PKI). Kabul justru risih dengan labelisasi bersih lingkungan karena label itu digunakan untuk penguasa. Bagi Kabul labelisasi itu merupakan taktik politik murahan. Kabul juga risih dengan labelisasi itu bertujuan menjatuhkan martabat seseorang.

 ”Baik. Tapi Anda akan saya laporkan ke atas. Saya akan cari data jangan-jangan Anda tidak bersih lingkungan. Sebab indikatornya mulai jelas. Masa iya dimintai bantuan untuk pembangunan masjid Anda banyak berkelit. Cukup. Selamat malam. Dan selanjutnya mungkin Anda tidak bisa mendapat proyek lagi. Atau Pak Dalkijo akan memecat Anda.”

Sebenarnya Kabul tak peduli dirinya disebut bersih atau tidak bersih lingkungan. Ketersinggungannya lebih disebabkan oleh kenyataan labelisasi bersih lingkungan adalah taktik politik murahan dan sangat menistakan martabat manusia. Celakanya labelisasi itu telah memakan ribuan korban. Ironisnya pada sisi lain labelisasi bersih lingkungan sering dimainkan menjadi alat ampuh untuk menjatuhkan orang yang tak disukai. Dan Kabul baru saja mendengarnya dari mulut Baldun.

 (OOP, hlm. 163-164)

***

Kabul melihat terjadi perubahan paradigma di kalangan insinyur sehingga sedikit sekali insinyur yang masih bisa dijadikan panutan. Orang-orang bergelar insinyur terdahulu banyak meninggalkan karya-karya yang monumental. Mereka bisa melakukan itu semua karena ketulusannya dalam bekerja. Mereka tidak kemaruk dengan harta dunia. Ada beberapa kemungkinan mereka bisa seperti itu. Generasi berikutnya, zaman kiwari, boleh dikatakan cenderung pragmatis. Mereka telah menjadi orang yang kemaruk dengan kehidupan dunia. Mereka telah menjadi bagian dari orang-orang yang oportunis dan berfalsafah pada aji mumpung. Falsafah ini sudah mendarah daging di kalangan para pejabat publik (penguasa) dan tentu saja juga pengusaha yang boleh jadi bisa mempengaruhi kebijakan negara atau daerah (kota, kabupaten, provinsi). Falsafah itu pula yang menyebabkan makin mengguritanya budaya korupsi. Di masa reformasi seperti sekarng ini korupsi bukan saja di pusat tapi juga sudah merata. Dengan kata lain, telah terjadi korupsi yang terdesentralisasi.    

Sebagai sarjana teknik Kabul sering bertanya-tanya mengapa terlalu sedikit insinyur yang bisa jadi panutan seperti Rooseno, Sudiarto, atau Sutami. Selain berdedikasi tinggi, mereka meninggalkan karya-karya monumental. Kehidupan Pribadi  mereka bermartabat, ora kagetan, ora gumunan, apa- lagi kemaruk. Sutami malah hidup sangat bersahaja dalam status sebagai menteri pun. Apakah karena mereka masih mengalami pendidikan zaman Belanda yang sangat menekankan idealisme serta kedisiplinan ilmu? Apa karena kepribadian mereka memang kuat? Atau lagi, apa karena mereka hidup pada masa yang relatif belum terlalu korup?

Deretan pertanyaan itu membawa Kabul sampai ke deretan pertanyaan lain di baliknya. Mengapa banyak insinyur dari generasi berikut lebih suka memilih sikap pragmatis, baik dalam karier maupun kehidupan pribadi? Kabul mencoba mereka-reka jawabnya. Mungkin karena zaman sudah berubah. Pragmatisme sudah nyata hadir, sehingga orang-orang idealis tampak sebagai makhluk aneh, lucu, bahkan bloon. Pada zaman yang serba gampangan, orang-orang berhati lurus seakan terkategorikan sebagai mereka yang melu edan ora tahan, yen tan melu anglakoni boya kaduman milik. Mungkin juga sikap pragmatis sebagian insinyur disebabkan meriahnya contoh dari atas. Keluarga presiden, menteri, jenderal, gubernur, anggota DPR, pengusaha yang kongkalikong dengan pejabat, hidup dalam pragmatisme yang sangat kental. Oportunis dan mumpung sebagai anak kandung pragmatisme yang sangat mereka akrabi. Luar biasa kaya, konsumtif, kemaruk, dan terkadang sikap sangat tega terhadap kelompok masyarakat miskin sering mereka perlihatkan tanpa tedheng aling-aling. Korupsi dalam berbagai bentuk dan manifestasinya dibiarkan merajalela. Keadaan demikian sangat mungkin mengerosi idealisme sebagian besar insinyur dan sekaligus menyebabkan mereka ingin meniru gebyar kehidupan mereka yang di atas.

Atau karena daulat rakyat sesungguhnya memang belum tegak di republik yang sudah 45 tahun berdiri ini. Yang tetap tegak dari dulu adalah daulat pejabat, seperti pada zaman kerajaan. Dalam sistem kekuasaan seperti ini, presiden merasa dirinya raja. Dan birokrasi di bawahnya, dari pusat sampai ke daerah, merasa diri mereka adalah patih, adipati, panikel, penewu, dan seterusnya. Orang-orang politik yang berkumpul di gedung parlemen tak lebih dari orang yang dibayar sebagai tukang stempel kerajaan. Tentara tidak lagi menjadi pembela rakyat dan tanah air tetapi pembela kekuasaan sang raja.Maka, apakah kata ”korupsi” dikenal dalam sistem kekuasaan kerajaan? Tidak. Karena bumi, air, udara, dan kekayaan yang terkandung serta manusia yang hidup di atasnya adalah milik raja dan para pembantunya. ”Korupsi” hanya ada pada kamus negara republik. Tapi republik belum pernah tegak di negeri ini. Maka tak sedikit insinyur birokrat yang merasa jadi raja kecil yang menganggap proyek adalah objek kekuasaannya, bukan amanat rakyat yang akan membayar biaya pembangunannya.

(OOP, hlm. 169-171)

Sesuatu yang dikhawatirkan Kabul terbukti. Jembatan yang baru diresmikan setahun yang lalu terbukti mengalami kerusakan. Jembatan itu mangkrak dan tampaknya jarang dilewati karena ada beberapa titik di jembatan itu yang rusak parah. Aspal jembatan retak-retak.Bagian struktur jembatan memang tidak ada masalah. Kerusakan terjadi pada lantai jembatan yang ditandai dengan aspal yang retak-retak sepanjang jembatan yang justru  membahayakan pengendara yang lewat di atas jembatan itu. Tapi, biar bagaimanapun sebagai orang yang pernah dipercayakan memimpin proyek pembangunan jembatan itu, Kabul merasa malu, kecewa, dan marah. Kabul merasa kalau punya andil dalam kerusakan jembatan yang umurnya baru satu tahun itu.

Jembatan Cibawor sudah kelihatan. Tampak mangkrak dan kesepian. Kegagahan yang dulu sempat tampak kini hilang. Dan begitu turun dari mobil di mulut jembatan, Kabul segera tahu bagian mana yang rusak. Lantai jebol pada dua titik dan aspal sudah retak hampir sepanjang lantai jembatan. Kabul meminta Wati tetap di mobil, karena dia mau turun untuk mengintip bagian struktur jembatan dari sayap fondasi. Tampaknya tak ada masalah. Kerusakan hanya terdapat pada bagian lantai jembatan. Meski demikian rasa kecewa, malu, dan marah tak bisa dihindarkan. Pahit. Dan Kabul merasa kepalanya pening.

(OOP, hlm.250)

***

          Sikap merasa bersalah seperti yang ditunjukkan Kabul patut diapresiasi.  Negara ini membutuhkan orang seperti Kabul. Kita tidak bisa berdiam diri dari budaya yang telah merusak perilaku bangsa ini yang disebabkan oleh pembangunan yang cenderung liberialis dan kapitalis. Kita membutuhkan ke depan pembangunan yang sangat memperhatikan keberpihakannya pada orang-orang yang teralienasi. Kita membutuhkan pembangunan yang menjauhi manusia Indonesia dari keserakahan dan kerusakan moral. Karena itu, kita harus menyingkirkan yang ditulis Taufik Ismail pada potongan bait puisi tentang birokrasi yang buruk dalam “Malu Aku Jadi Orang Indonesia.

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor

satu,

Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang

curang susah dicari tandingan,

Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu

dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara

hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,

Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,

senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan

peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk

kantung jas safari,

Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,

anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,

menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar

orangtua mereka bersenang hati,

Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-

sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-

besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,

Mungkinkah kita bisa menyingkirkannya? Wallahu a`lam bissawab.

 Potongan puisi di atas relevan subtansinya dengan novel hasil karya AT:  OOP.  AT yang lebih dikenal sebagai penulis cerpen dan novel yang banyak mengangkat masalah-masalah sosial terutama tentang kehidupan sehari-hari orang-orang kecil (masyarakat pedesaan) suatu saat tertarik juga mengangkat masalah-masalah yang menyerempet ke arah perilaku penyimpangan pejabat publik dan penguasa: korupsi. Ternyata, banyak juga sastrawan di negeri ini yang tidak mau hidup nyaman di menara gading. Mereka ingin melihat langsung penderitaan anak bangsanya sendiri. Kalau AT sudah berani mengungkapkannya lewat novel OOP.  Di  masa-masa reformasi ini harus ada sastrawan yang juga berani  mengungkapkan berbagai masalah ketimpangan baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Mudah-mudahan harapan itu masih ada.  Wallahu a`lam bissawab.

 Sumber Gambar:

  1. (https://images.app.goo.gl/osCibNkxgSYQfrYK8)
  2. (https://images.app.goo.gl/uZKzsvfgk2qsRsgC6)
  3. (https://images.app.goo.gl/J7GW5gUYQT9ic2d28)

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *