Subagio S. Waluyo

Wilhelm von Humboldt berpendapat bahwa universitas harus menjadi tempat penelitian ilmiah dan kecendekiaan yang melibatkan insan-insan muda dalam penelitian untuk dididik melalui berbagai penelitian (Edward Shills dalam Etika Akademik, 1993:57). Pendapat Humboldt tersebut kemudian dikembangkan oleh berbagai universitas untuk menjadikan universitas (perguruan tinggi) bukan saja sebagai lembaga pengajaran melainkan juga sebagai lembaga penelitian.  Di Amerika Serikat gagasan beliau mendapat sambutan yang luar biasa. Tidaklah heran jika saat ini di negara tersebut unsur penelitian lebih diutamakan daripada pengajaran.

Sejarah berdirinya perguruan tinggi di Indonesia belum setua di Amerika.  Di Indonesia, perguruan tinggi baru mulai muncul di awal abad ke-20 (di masa Penjajahan Belanda).  Namun, dalam usia yang belum satu abad, perkembangan perguruan tinggi di Indonesia luar biasa.  Bukan saja jumlah perguruan tinggi, lulusannya, dan  mahasiswanya yang mengalami perkembangan, tetapi juga terjadi perkembangan di bidang disiplin keilmuannya.  Dengan berkembangnya disiplin keilmuan mau tidak mau juga menuntut adanya aktivitas penelitian yang semakin berkembang pula.

Jika di Amerika dan di beberapa negara industri perguruan tinggi lebih diarahkan pada bidang pendidikan dan penelitian, tidak demikian halnya dengan di Indonesia.  Di Indonesia, setiap perguruan tinggi terikat oleh Tri Dharma Perguruan Tinggi yang isinya mencakup dharma pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.  Dibandingkan dengan perguruan tinggi yang ada di Amerika, yang lebih diarahkan pada dua bidang saja, perguruan tinggi di Indonesia bidang arahannya jelas lebih banyak karena mencakup ke dalamnya bidang pengabdian pada masyarakat yang justeru bidang ini tidak ada di Amerika.  Dengan demikian, penelitian bukan saja diarahkan pada bidang pendidikan, tetapi bidang pengabdian pada masyarakat.

 Universitas Riset

Sekalipun penemuan dan inovasi industrial di negara-negara maju didominasi oleh peran korporasi, namun pemerintah dan perguruan tinggi juga memiliki peran yang signifikan. Berdasarkan hasil survey tahun 2005, negara-negara industri maju yang tergabung dalam OECD rata-rata mengalokasikan dukungan sebesar 78,1% dari total anggaran riset perguruan tinggi. Negara-negara industri maju melihat dengan jelas peran perguruan tinggi dalam membentuk massa kritis (critical mass) yang dibutuhkan bagi penemuan dan inovasi industrial (Weber dan Duderstadt, Ed. 2004). Dengan demikian peran universitas riset sebenarnya memiliki aspek yang penting bagi pembangunan di negara-negara maju.

Lebih jauh, persoalan khusus bagi negara-negara maju saat ini adalah melihat kembali keseimbangan dua peran penting perguruan tinggi di tengah-tengah masyarakat, yakni peran pengajaran dan penelitian. Salah satu studi kasus yang menjadi rujukan adalah yang perkembangan di perguruan-perguruan tinggi Eropa (Bologna Process, 1999). Sejak dua dasawarsa terakhir pendidikan tinggi di Eropa menyadari kebutuhan untuk memisahkan program studi umum dan program studi di tingkat pascasarjana. Perguruan tinggi yang ingin mengembangkan kompetensi universitas riset perlu lebih banyak mengalokasikan sumber dayanya dalam kegiatan-kegiatan penelitian multidisipliner di tingkat pascasarjana dimana sebagai konsekuensinya akan mengurangi kegiatan pengajaran di tingkat sarjana. Di sisi lain, perguruan tinggi yang ingin mengembangkan kompetensi universitas pengajaran akan lebih berfokus pada proses pendidikan di tingkat sarjana atau pendidikan profesi. Jelas sesuai pertimbangan ini tidak semua perguruan tinggi akan mencapai status perguruan tinggi kelas dunia (world-class university). Sebuah sistem pendidikan nasional yang matang diperlukan untuk menciptakan iklim yang sehat bagi keseimbangan peran pengajaran dan penelitian.

(https://ristekdikti.go.id/kolom-opini/universitas-riset-dan-daya-saing-bangsa-menilik-pengalaman-korea-selatan/)

Meskipun bidang arahannya lebih banyak, perguruan tinggi di Indonesia harus mengakui keunggulan negara-negara maju di bidang penelitian.  Perguruan tinggi di Indonesia umumnya masih minim melakukan penelitian walaupun para insan akademis menyadari bahwa kualitas perguruan tinggi sangat dipengaruhi oleh banyaknya penelitian.  Seandainya ada perguruan tinggi yang kerap melakukan penelitian, itu pun masih bisa dihitung dengan jari.  Artinya, hanya beberapa gelintir perguruan tinggi ternama yang memang telah menjadi pelanggan tetap dalam melakukan penelitian, baik atas biaya perguruan tinggi tersebut maupun biaya dari luar.

Di tengah-tengah lesunya penelitian di banyak perguruan tinggi di Indonesia (ditambah tidak/kurangnya budaya menulis di kalangan insan akademis), pemanfaatan sarana teknologi informatika (dalam hal ini internet) justru semakin meningkat. Karena demikian mudahnya orang mengakses internet tidak asing lagi kalau di banyak tempat di perguruan tinggi para insan akademis yang mengisi waktu-waktunya dengan bersilancar di dunia maya. Untuk mengakses internet tidak perlu menggunakan komputer (PC), laptop, atau notebook, cukup dengan HP, atau yang sekarang sedang in komputer tablet (ipad). Mereka seandainya membawa laptop atau notebook tidak perlu membawa modem eksternal karena di banyak kampus telah disediakan hotspot yang bisa digunakan 24 jam sehari semalam. Kalau mau diamati lebih jauh akan didapati, ternyata mereka berselancar di dunia maya lebih banyak untuk ber-facebook-an, ber-twitter-an, ber-BBM-an, atau ber-what`s app-an. Terkadang saja ditemukan beberapa insan akademis mencari bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat tugas atau menyiapkan bahan pembelajaran. Jadi, umumnya mereka memanfaatkan internet baru sebatas hiburan bukan melakukan pembelajaran yang mengayakan wawasan keilmuannya.

Jakarta, CNN Indonesia — Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat pengguna internet di Indonesia hingga tahun 2018 berjumlah 171,17 juta. Jumlah ini meningkat 10,2 persen dibandingkan tahun 2017 sebanyak 143,26 juta.

Angka peningkatan ini ditemukan APJII dalam hasil survei mengenai pengguna internet di Indonesia.

“Jadi penetrasi pengguna internet di Indonesia tahun 2018 adalah 64,8 persen naik dari 2017 yang berjumlah 54,68 persen. Kenaikan sekitar 10,12 persen dari tahun sebelumnya, atau sekitar 27 juta pengguna,” kata Sekjen APJII, Henri Kasyfi dalam perayaan ulang tahun ke-23 APJII, di Jakarta, Rabu (15/5).

Henri mengatakan Pulau Jawa menjadi wilayah dengan kontribusi pengguna internet terbesar dengan 55 persen.

Lihat juga:APJII Catat 64 Persen Penduduk Indonesia Sudah Pakai Internet

Secara rinci, Provinsi Jawa Barat berkontribusi 16,6 persen, Jawa Tengah 14,3 persen, Jawa Timur 13,5 persen. Disusul DKI Jakarta dan Banten dengan 4,7 persen dan Yogyakarta 1,5 persen.

Henri percaya bahwa pengguna internet akan terus meningkat di Indonesia dengan adanya pembangunan infrastruktur jaringan telekomunikasi.

Henri mengatakan di era digital ini pembangunan jaringan telekomunikasi sangat krusial untuk memberikan akses internet ke orang-orang yang masih belum menggunakan internet.

“Kita pasti akan meningkat terus, kalau mungkin karena ini sudah cukup tinggi nanti mungkin peningkatannya tergantung dari infrastruktur yang nanti akan  digelar tahun 2019,” pungkasnya.

(https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190516160749-192-395479/naik-10-persen-pengguna-internet-indonesia-kini-17117-juta )

Di saat-saat berselancar di dunia maya, tampaknya ada kebiasaan baru di kalangan insan akademis yang nyaris menjadi sebuah budaya, yaitu copy paste atau copas. Kebiasaan ini bisa menjadi budaya atau telah membudaya di kalangan mereka terutama pada saat harus mengerjakan tugas atau ujian. Tugas-tugas yang kerap mereka kerjakan (baik di kalangan mahasiswa maupun dosen) sebagian besar merupakan produk dari copas. Terkadang jika ada dosen yang demikian teliti memeriksa pekerjaan mereka (dengan catatan dosen tersebut tidak gagap teknologi) ternyata pekerjaan mereka lebih merupakan hasil copas dari berbagai sumber. Boleh jadi yang mereka kerjakan merupakan paper atau laporan hasil penelitian orang lain yang diunggah di website. Memang ada beberapa bahan yang diperoleh dengan berbayar tetapi juga tidak sedikit yang gratis. Pekerjaan insan akademis yang katanya sangat menjunjung nilai-nilai akademis jelas-jelas tergolong cybercrime `kejahatan virtual`.

KOMPAS.com – Media sosial tengah diramaikan dengan adanya tindakan salah satu YouTuber Indonesia, Calon Sarjana yang diduga ketahuan menjiplak video hasil karya sejumlah YouTuber luar negeri baru-baru ini. Tidak hanya itu, tindakan “copy-paste” ini justru memberikan keuntungan tersendiri bagi si penduplikat.

Bagi masyarakat Indonesia, video-video yang disajikan oleh Calon Sarjana banyak dijadikan sebagai hiburan atau pengetahuan semata. Namun, bagi masyarakat awam, mereka tidak mengetahui bahwa video yang mereka tonton merupakan hasil karya orang lain. Lantas, mengapa orang-orang cenderung melakukan kecurangan dengan mencuri karya milik orang lain?

Guru Besar Ilmu Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret ( UNS) Surakarta, Prof Dr Bani Sudardi menjelaskan bahwa seharusnya masyarakat dapat memahami masalah “copy-paste” dari segi budaya. “Pada dasarnya, masyarakat kita itu adalah masyarakat komunal yang berarti semua yang dimiliki oleh masyarakat atau yang dimiliki seseorang itu akan menjadi milik bersama,” ujar Bani saat dihubungi Kompas.com pada Sabtu (9/11/2019).

Ia menyebutkan, ada hal yang dapat dijadikan milik bersama, misalnya, tembang (lagu tradisional Jawa), tarian, dan lainnya. Saat itu jika banyak masyarakat yang mementaskan tari, menyanyikan suatu tembang, meski tanpa izin dari pemilik pun tidak dipermasalahkan. Justru si empunya malahan merasa senang, hasil karyanya dinikmati banyak orang. Namun, ia menyadari bahwa semakin hari, tindakan “copy-paste” dapat menimbulkan masalah saat bersinggungan dengan makna ekonomi atau bisnis.

“Nah ini yang kemudian menjadi masalah baru di dalam kebudayaan kita,” ujar Bani. “Kita memasuki suatu era, ya kalau saya sebut dari era komunal menjadi era individual. Setiap karya ini dianggap sebagai milik pribadi,” kata dia.

Kemudian, jika ada seseorang yang mengambil tanpa izin dari yang punya karya, maka timbul pengertian-pengertian baru seperti, penjiplakan, plagiasi, atau pencurian hak karya, dan lainnya.

Menurut Bani, di dalam masa yang berbeda atau tata nilai yang berbeda saat ini, seharusnya ada suatu bentuk sosialisasi dari penguasa agar hal-hal plagiarisme tidak terjadi. Oleh karena itu, penting dilakukan penyebutan sumber dari si pemilik karya.

“Kalau orang mengambil dari YouTube, itu yang terbaik memang mencantumkan sumbernya. Kalau suatu sumber itu milik bersama, dan dibagikan oleh umum, maka dengan mencantumkan sumber sebenarnya sudah cukup,” ujar Bani.

(https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/10/110400565/fenomena-dugaan-plagiat-calon-sarjana-copy-paste-dan-budaya-instan?page=all)

Kejahatan virtual bukan hanya orang yang dengan sengaja menyebarkan virus, hacker, spam, atau melakukan praktek penipuan melalui internet. Tetapi, boleh juga orang yang melakukan copas tanpa seizin orang yang punya tulisan yang kemudian mencantumkan namanya seolah-olah itu merupakan hasil pekerjaannya. Pekerjaan meng-copas jelas merupakan sebuah kejahatan virtual karena praktek yang dilakukan sama dengan orang memplagiat hasil pekerjaan orang lain. Sanksi yang dikenakan sama dengan sanksi yang berlaku bagi plagiator. Harus diakui sangat sulit membendung kebiasaan meng-copas yang sudah membudaya di negara ini. Seandainya, ada sanksi dan pelakunya dikenakan hukuman tidak akan bisa menyelesaikan masalah karena boleh jadi pelaku yang sama suatu saat juga akan mempraktekkannya lagi. Melakukan suatu pembiaran juga tidak menyelesaikan masalah karena insan akademis ini akan terus mempunyai kebiasaan buruk yang akhirnya memunculkan perilaku baru, yaitu sikap mental yang tidak mau kerja keras atau boleh jadi cenderung menjadi hedonis. Sikap mental yang menimpa anak bangsa ini yang selayaknya berintelektual harus diperbaiki bukan hanya dikenakan sanksi hukuman tapi juga tumbuhkan budaya baca. Dengan budaya baca minimal untuk melakukan copas akan berkurang. Seandainya ada yang melakukannya, minimal punya tanggung jawab untuk mencantumkan sumbernya.

 

REPUBLIKA.CO.ID,  PEKALONGAN — Minat baca di Indonesia disebut masih rendah, yaitu menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara. Hal itu diungkapkan Kepala Perpustakaan Nasional Muh Syarif Bando.

“Keprihatinan terhadap minat baca yang rendah itulah yang melatarbelakangi kita melakukan kegiatan ‘Safari Gerakan Nasional Gemar Membaca’,” katanya dalam sambutan yang dibacakan Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan RI Woro Titi Haryati di Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (20/2).

Ia mengatakan berdasarkan study “Most Literred Nation in the world 2016”, minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara.

Bupati Pekalongan Asip Kholbihi mengatakan kegiatan “Safari Gerakan Nasional Gemar Membaca” bertujuan untuk bersama-sama menggelorakan kembali melakukan langkah serius agar masyarakat gemar membaca.

“Ada beberapa faktor secara empirik yang mempengaruhi rendahnya minat baca orang Indonesia, antara lain karena memang tersedianya buku bacaan yang tersedia yang jauh dari ideal. Idealnya 1 orang dua buku namun yang terjadi saat ini adalah 15 ribu orang hanya 1 buku sehingga hal itu harus menjadi perhatian,” katanya.

(https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/18/02/20/p4gflk284-minat-baca-di-indonesia-disebut-masih-rendah)

Munculnya budaya copas lebih disebabkan oleh tidak adanya kebiasaan membaca di kalangan insan akademis. Bukan rahasia umum lagi kalau anak bangsa ini termasuk yang lemah membaca. Sebagian besar anak bangsa ini di satu sisi belum terbiasa membaca. Di sisi lain, sudah menjadi fenomena bahwa budaya omong lebih dominan daripada budaya baca atau tulis. Sah-sah saja kalau ada orang yang merasa direpotkan dengan membawa buku-buku untuk melakukan pembelajaran karena semua itu bisa diganti dengan sebuah alat entah itu yang bernama laptop, notebook, ipad, atau HP.  Jadi, cukup dengan buka notebook, kemudian mengakses internet lewat hotspot, dan manfaatkan Paman Google untuk mencari buku atau tulisan yang dimaksud dan akhiri dengan mengunduh bahan tersebut. Setelah proses itu dilalui sudah tampak di hadapan sang pengunduh bahan sebuah e-book hasil unduh yang siap dibaca. Namun, yang perlu diingat membaca bahan hasil unduhan bukan meng-copas-nya. Jadikan bahan tersebut sebagai salah satu referensi dan bukan mengambil secara utuh kemudian diganti cover-nya sehingga yang dikerjakan adalah menulis dengan menjadikan hasil unduhan sebagai referensinya.

Budaya copas yang mengajarkan insan akademis menjadi insan instan atau insan yang pragmatis lambat-laun harus ditinggalkan. Silakan saja kalau ada orang yang meng-copas bahan tetapi jangan diakui sebagai hasil karyanya karena perilaku itu jelas sebuah plagiat. Mungkin ada orang yang meng-copas semata-mata untuk pengayaan bahan yang ingin ditulis.  Meskipun demikian, ada cara yang lebih baik manakala ketika dia mau menulis telah tersedia literatur dalam bentuk buku, media cetak, atau kliping yang siap dijadikan referensi utamanya. Biar bagaimanapun harus diingat kebiasaan membaca entah itu namanya buku atau media cetak,  hasil tulisannya akan lebih baik daripada harus meng-copas tulisan orang lain karena buku-buku atau media cetak yang dibaca tanpa disadari akan turut memperkaya khasanah kosa kata seseorang. Wallahu a`lam bissawab.

Sumber Gambar:

(https://images.app.goo.gl/ew8Bzdim6bDMh4RLA)

(https://images.app.goo.gl/nfBhhLhQh6aemBTL6)

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *