Subagio S. Waluyo
Empat provinsi di Jawa, dimulai dari Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah tanpa ba-bi-bu tiba-tiba saja listrik blackout alias padam. Dengan kata lain, di waktu yang bersamaan PLN melakukan pemadaman listrik serentak (https://www.jawapos.com/nasional/05/08/2019/ blackout-ganggu-4-provinsi/). Sontak, orang-orang di mana-mana memaki-maki PLN yang seenak udelnya memadamkan listrik. PLN juga tidak mau kalah memaki-maki pohon sengon yang mengakibatkan terputusnya aliran listrik di empat provinsi tersebut. Hebat! Gara-gara pohon sengon bisa listrik blacout seharian. Pohon sengon jadi tersangka yang mengakibatkan kerugian demikian besar. Tentang kerugian akibatblackout, jangan ditanya lagi. Yang pasti bravo, salut deh buat pohon sengon yang bikinblackout listrik tidak tanggung-tanggung di empat provinsi di Jawa!
Kata blackout bisa diartikan `pemadaman`. Bisa juga diterjemahkan: `penggelapan`,`hilang sadar`, `tidak sadar`, `penghentian`, atau (boleh-boleh saja) `gangguan` (https://www.babla.co.id/bahasa-inggris-bahasa-indonesia/ blackout). Kata blackout digandengkan dengan PLN (listrik) seperti uraian di atas diartikan sebagai pemadaman listrik atau penggelapan listrik. Akibat blackout listrik kerugian yang diderita semua pihak bisa sekian ratus miliar rupiah atau triliunan rupiah. Tapi, ada kerugian yang lebih besar kalau blackout itu berkaitan dengan kehidupan manusia, baik individu, masyarakat, atau penduduk (bangsa).Kalau bangsa ini di-blackout hati nuraninya, apa yang terjadi? Bangsa ini tentu saja sudah tidak bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk. Akhirnya,bangsa ini menjadi abu-abu alias bangsa oportunis. Bahkan, bangsa ini kata Mochtar lubis bisa jadi bangsa hipokrit alias munafik.
Bangsa munafik dalam Al-Qur`an bisa dilihat pertama kali ketika dibuka Surat Al-Baqarah di ayat 8 sampai dengan 20. Di ayat 8-9, misalnya, disebutkan “Dan di antara manusia ada yang berkata, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,’ padahal mereka bukanlah orang – orang yang beriman. (8) Mereka hendak menipu Allah dan orang – orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedang mereka tidak sadar.” Di dua ayat di atas jelas sekali digambarkan bahwa orang munafik itu tidak punya sikap. Mereka berani mengaku beriman, tetapi jauh di lubuk hatinya tidak sedikit pun keimanan. Mereka cenderung menipu orang meskipun sebenarnya mereka tanpa sadar menipu dirinya sendiri. Inilah akibat di-blackout hati nuraninya sehingga mereka menjadi orang-orang munafik.
Dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah bangsa ini banyak orang yang telah di-blackout hati nuraninya sehingga mereka melakukan kerusakan di muka bumi. Mereka tidak segan-segan melakukan standar ganda untuk memperlancar niatnya. Niat mereka dari awal memang sudah jelek. Mereka merusak tatanan hidup manusia dengan melahirkan sekian banyak kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang mereka keluarkan jelas-jelas menguntungkan diri sendiri dan merugikan pihak lain. Di bidang politik, misalnya, lembaga/instansi yang dipercayakan menangani pemilu sejak zaman orde baru pun sudah diperalat untuk memenangkan pihak tertentu (dalam hal ini pemerintah). WS Rendra dalam puisinya “Aku Tulis Pamflet ini” menulis:
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah.
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng-iya-an.
…………………………………
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam.
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan.
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan.
Di bait puisi di atas Rendra menyebutkan bahwa lembaga pendapat umum, maksudnya, Lembaga Pemilihan Umum (sekarang Komisi Pemilihan Umum atau KPU) adalah lembaga yang diisi oleh orang-orang yang abu-abu (boleh juga oportunis,hipokrit, atau munafik). Kemudian agar orang tunduk pada pemerintah yang berkuasa pada waktu itu, mau tidak mau sang penguasa harus berani menekan anak bangsanya agar tidak melakukan perlawanan atau menjadi kaum oposisi. Selain itu, kalau ada kritik (mungkin di sini maksudnya masukan), salurkan saja melalui lembaga-lembaga resmi pemerintahan. Hidup seperti ini menurut Rendra adalah kehidupan yang hambar yang digambarkan sebagai “…hidup akan menjadi sayur tanpa garam..” Jadi, kehidupan seperti itu adalah kehidupan yang tidak dinamis, stagnan, atau kehidupan yang telah mati sebelum mati.
Bangsa ini memang telah mati sebelum mati, buktinya di bidang HAM misalnya, yang jelas-jelas diuntungkan adalah orang-orang yang punya kekuasaan atau punya uang. Orang-orang yang punya kekuasaan dengan angkuhnya melakukan blackout pada anak bangsanya sendiri sehingga banyak anak bangsa boleh jadi bisa menghakimi sesama anak bangsa. Perlakuan tidak adil dengan cara menghakimi sesamanya akibat perlakuan blackout penguasa pada anak bangsa digambarkan Ebiet G.Ade dalam lirik lagu “Kalian Dengar Keluhanku”
Dari pintu ke pintu
Kucoba tawarkan nama
Demi terhenti tangis anakku
Dan keluh ibunya
Tetapi nampaknya semua mata
Memandangku curiga
Seakan hendak telanjangi
Dan kulit jiwaku
Apakah buku diri ini selalu hitam pekat
Apakah dalam sejarah orang mesti jadi pahlawan
Sedang Tuhan di atas sana tak pernah menghukum
Dengan sorot mata yang lebih tajam dari matahari
Kemanakah sirnanya
Nurani embun pagi
Yang biasanya ramah
Kini membakar hati
Apakah bila terlanjur salah
Akan tetap dianggap salah
Tak ada waktu lagi benahi diri
Tak ada tempat lagi ‘tuk kembali
Ebiet di lirik lagu di atas menceritakan tentang seorang mantan tahanan politik yang baru saja dibebaskan dari Pulau Buru. Orang tersebut yang dinilai telah insaf atau bertaubat berupaya kembali ingin hidup normal di tengah-tengah masyarakat. Tapi, apa yang terjadi? Ternyata masyarakat belum bisa menerima kehadirannya. Ke mana pun dia pergi selalu diikuti dengan tatapan curiga. Orang belum bisa menerima kehadirannya seolah-olah kalau orang sudah berbuat salah akan selamanya salah. Jadi, seperti tidak ada tempat bagi orang yang bersangkutan untuk berbuat baik karena sudah terlanjur dianggap salah. Masyarakat yang punya sikap seperti itu pun tidak sadar bahwa mereka sebenarnya korban dari blackoutpenguasa.
Bagaimana agar anak bangsa ini imun dari blackout penguasa? Anak bangsa ini harus jadi orang yang cerdas dan tangkas. Selain itu, yang lebih utama, anak bangsa ini harus punya akhlak yang mulia. Orang yang cerdas atau orang yang berintelektual memadai tidak cukup dengan dibuktikan oleh selembar legalitas akademik yang menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki strata pendidikan tinggi (S1, S2, S3, profesor). Bukan, bukan itu! Orang itu walaupun tidak memiliki ijazah S1, S2, atau S3 sekalipun tetapi dalam kesehariannya bisa memecahkan masalah-masalah sosial yang muncul di sekitarnya, misalnya bisa mendamaikan konflik horizontal antar warga, dia layak disebut orang yang cerdas sekaligus tangkas. Ada lagi seorang pemuda yang karena pengorbanannya walaupun dia terpaksa harus pergi dari kampusnya untuk mengabdi di tempat yang jauh, ternyata beberapa tahun kemudian berkat perjuangannya yang tidak mengenal lelah, desa tempat dia mengabdi yang semula desa yang kering kerontang menjadi desa yang subur. Hal itu dilakukan oleh Kasim di Waimetal (Pulau Seram) yang selama lima belas tahun menjadi petani di tempat itu. Kerena jasa-jasanya Taufik Ismail (sastrawan) mengabadikan pengabdiannya dalam puisinya yang berjudul “Syair untuk Seorang Petani dari Waimital (Pulau Seram) yang pada Hari Ini Pulang ke Almamaternya”
I
Dia mahasiswa tingkat terakhir
ketika di tahun 1964 pergi ke pulau Seram
untuk tugas membina masyarakat tani di sana.
Dia menghilang
15 tahun lamanya.
Orangtuanya di Langsa
memintanya pulang.
IPB memanggilnya
untuk merampungkan studinya,
tapi semua
sia-sia.
II
Dia di Waimital jadi petani
Dia menyemai benih padi
Orang-orang menyemai benih padi
Dia membenamkan pupuk di bumi
Orang-orang membenamkan pupuk di bumi
Dia menggariskan strategi irigasi
Orang-orang menggali tali air irigasi
Dia menakar klimatologi hujan
Orang-orang menampung curah hujan
Dia membesarkan anak cengkeh
Orang kampung panen raya kebun cengkeh
Dia mengukur cuaca musim kemarau
Orang-orang jadi waspada makna bencana kemarau
Dia meransum gizi sapi Bali
Orang-orang menggemukkan sapi Bali
Dia memasang fondasi tiang lokal sekolah
Orang-orang memasang dinding dan atapnya
Dia mengukir alfabet dan mengamplas angka-angka
Anak desa jadi membaca dan menyerap matematika
Dia merobohkan kolom gaji dan karir birokrasi
Kasim Arifin, di Waimital
Jadi petani.
III
Dia berkaus oblong
Dia bersandal jepit
Dia berjalan kaki
20 kilo sehari
Sesudah meriksa padi
Dan tata palawija
Sawah dan ladang
Orang-orang desa
Dia melintas hutan
Dia menyeberang sungai
Terasa kelepak elang
Bunyi serangga siang
Sengangar tengah hari
Cericit tikus bumi
Teduh pohonan rimba
Siang makan sagu
Air sungai jernih
Minum dan wudhukmu
Bayang-bayang miring
Siul burung tekukur
Bunga alang-alang
Luka-luka kaki
Angin sore-sore
Mandi gebyar-gebyur
Simak suara azan
Jamaah menggesek bumi
Anak petani mengaji
Ayat-ayat alam
Anak petani diajarnya
Logika dan matematika
Lampu petromaks bergoyang
Angin malam menggoyang
Kasim merebah badan
Di pelupuh bambu
Tidur tidak berkasur.
IV
Dia berdiri memandang ladang-ladang
Yang ditebas dari hutan rimba
Di kakinya terjepit sepasang sandal
Yang dipakainya sepanjang Waimital
Ada bukit-bukit yang dulu lama kering
Awan tergantung di atasnya
Mengacungkan tinju kemarau yang panjang
Ada bukit-bukit yang kini basah
Dengan wana sapuan yang indah
Sepanjang mata memandang
Dan perladangan yang sangat panjang
Kini telah gembur, air pun berpacu-pacu
Dengan sepotong tongkat besar, tiga tahun lamanya
Bersama puluhan transmigran
Ditusuk-tusuknya tanah kering kerontang
Dikais-kaisnya tanah kering kerontang
Dan air pun berpacu-pacu
Delapan kilometer panjangnya
Tanpa mesin-mesin, tiada anggaran belanja
Mengairi tanah 300 hektar luasnya
Kulihat potret dirimu, Sim, berdiri di situ
Muhammad Kasim Arifin, di sana,
Berdiri memandang ladang-ladang
Yang telah dikupasnya dari hutan rimba
Kini sekawanan sapi Bali mengibas-ngibaskan ekor
Di padang rumput itu
Rumput gajah yang gemuk-gemuk
Sayur-mayur yang subur-subur
Awan tergantung di atas pulau Seram
Dikepung lautan biru yang amat cantiknya
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital Kasim mencetak harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku jadi ingat masa kita diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Di Waimital engkau mencetak harapan
Di kota, kami …
Padahal awan yang tergantung di atas Waimital, adalah
Awan yang tergantung di atas kota juga
Kau kini telah pulang
Kami memelukmu.
(dikutip dari: http://ozip09.student.ipb.ac.id/2012/03/10/syair-taufik-ismail-un-tuk-sahabatnya-mahasiswa-ipb-yang-menghilang-selama-15-tahun/)
Kasim yang tidak sempat menyelesaikan studinya, tetapi dia telah berjasa besar di Waimetal karena berkat pengabdiannya telah menyelamatkan nasib para petani miskin dan keluarganya di sana. Pengorbanannya jelas jauh lebih besar dan bermanfaat daripada seorang bertitel S1, S2, S3, atau profesor yang merasa nyaman di menara gading. Orang seperti Kasim jelas seorang yang cerdas, tangkas, dan tentu saja berakhlak mulia.
Kasim yang cerdas, tangkas, dan berakhlak mulia telah melatih petani-petani Waimetal menyemai benih padi, membenamkan pupuk, dan mengarahkan mereka untuk membuat irigasi sehingga sawah-sawah petani yang semula kering bisa ditanami. Dia juga membimbing para petani cara memberikan asupan gizi makanan sapi Bali. Bahkan, para petani juga diajarkan tentang bertanam cengkeh sehingga mereka bisa memperoleh penghasilan yang memadai dari hasil panen raya cengkeh. Karena kondisi ekonomi mereka lambat-laun juga mulai membaik, Kasim menggerakkan petani desa Waimetal untuk membangun sekolah. Dimulai dari pengecoran fondasi sampai dengan pemasangan atap sekolah semua petani Desa Waimetal ikut terlibat. Sejak saat itu, anak-anak di Waimetal belajar membaca dan matematika. Kasim telah merobohkan kolom gaji dan karir birokrasi tulis Taufik Ismail. Kasim telah berhasil memberdayakan masyarakat kecil nun jauh di Pulau Seram.
Kasim sebagai seorang Muslim bukan hanya mengajarkan anak-anak Weimetal cerdas dan tapi kering dengan nilai-nilai agama. Agar terhindar dari kekeringan nilai-nilai agama, Kasim mengajarkan anak-anak Weimetal untuk mengaji. Suara azan kerap terdengar di tengah kesibukan petani bekerja di sawah atau ketika sore hari menjelang senja. Petani-petani Weimetal yang telah tertolong kondisi ekonominya juga tertolong dari kekeringan nilai-nilai agama. Sebuah panorama kehidupan petani desa kaum transmigran yang serba indah karena terbentuk perpaduan dalam diri-diri mereka otak yang cerdas, ketangkasan dalam bekerja, dan berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama telah terpenuhi. Tapi, Kasim yang sejak semula memang bersahaja, tetap saja bersahaja. Dia biasa berjalan menelusuri desa-desa dengan bersendal jepit dan tidur hanya beralaskan selembar tikar. Padahal Muhammad Kasim Arifin, nama lengkap Kasim, telah mencetak harapan. Sementara kata Taufik Ismail orang-orang akademis produk PTN ternama sekalipun hanya bisa mencetak keluhan. Alangkah malunya orang-orang akademis yang kaya teori, yang telah menghasilkan sekian banyak hasil penelitian ternyata hanya bisa mencetak keluhan-keluhan.
Orang seperti Kasim, sahabat lama Taufik Ismail ketika sama-sama kuliah di IPB, yang telah berhasil mencetak harapan yang dibutuhkan bangsa ini agar tidak mudah di-blackout. Dibutuhkan sekian juta Kasim agar bangsa ini tidak jadi korban blackout dan jadi pelaku blackout. Untuk mewujudkannya semua anak bangsa ini harus ditata kembali pendidikan karakternya. Jangan-jangan pendidikan karakter yang dijalani anak bangsa ini hanya sekedar slogan kosong. Kalau sudah seperti itu jangan diharapkan tidak ada lagi blackout, malah yang terjadi akan semakin bertambah korban-korban blackout. Entah bangsa ini menjadi tertekan, teralienasi, atau terpaksa jadi bangsa budak: bangsa berperilaku bodong. Naudzubillahi min mindzalik. Jangan sampailah!