Subagio S. Waluyo
Ada orang menulis pernyataan seperti ini: “Good governance merupakan salah satu usaha pemerintah untuk memperbaiki pola penyelenggaraan layanan publik dalam rangka perwujudan reformasi birokrasi, mengingat bahwa visi dari reformasi birokrasi itu sendiri adalah terwujudnya Good governance” (https://stia-said perin tah.e-journal.id). Berarti pemerintah tidak bisa memperbaiki pola penyelenggaraan pelayanan publik tanpa memasukkan good governance? Bukankah begitu? Kalau memang benar, berarti good governance sesuatu yang sangat dibutuhkan pemerintah untuk memperbaiki pelayanan publik. Karena sangat dibutuhkan, wajar saja good governance diundang pemerintah. Kalau sudah diundang, good governance tidak usah menolak. Kalau begitu, apa sih good governance? Good governance itu sesuatu banget, gitu! Coba kita lihat lagi tentang good governance yang pernah kita bahas di “8. Reformasi Birokrasi Sepenuh Hati” dengan melihat slide di bawah ini.
***
Dari slide di atas kita menemukan bukti bahwa good governance memang `sesuatu banget, gitu` karena good governance sebagai nilai menjunjung keinginan rakyat. Apa saja sih keinginan rakyat? Dikaitkan dengan pelayanan publik, rakyat ingin pelayanan yang mudah, cepat, dan ramah. Mungkin juga akan ada pertanyaan, kok ramah? Ya, rakyat menghendaki ASN yang melayaninya benar-benar menunjukkan keramahannya karena selama ini ASN yang melayaninya seperti setengah hati. Kata orang Jawa `ora diwongi`. Rakyat merasa seperti tidak dianggap sebagai manusia yang layak untuk disapa, diberi salam, dan diramahi. Selain itu, juga mampu meningkatkan kemampuan rakyat untuk mencapai keadilan sosial (walaupun masih jauh dari harapan), tujuan kemandirian, dan pembangunan berkelanjutan. Nah, ini bagian yang sulit bagaimana good governance bisa-bisanya menunjukkan kemampuannya untuk meningkatkan kemampuan rakyat untuk mencapai keadilan sosial? Terus juga good governance mampu meningkatkan rakyat untuk mencapai tujuan kemandirian dan pembangunan berkelanjutan. Bukankah semua itu cukup berat beban yang dipikul good governance? Jangan-jangan good governance itu konsep yang utopis? Nanti dulu! Jangan terburu-buru memvonis. Kita lihat dulu slide di bawah ini.
Untuk menjawab serangkaian pertanyaan di atas, good governance sudah mempunyai konsep. Konsepnya sederhana saja. Pertama, baik pemerintah (negara), rakyat, maupun swasta posisinya setara (heterarkis). Kedua, selalu ada yang namanya hubungan ketiganya. Jadi, pemerintah dalam menjalankan prinsip-prinsip good governance selalu berhubungan dengan rakyat dan swasta. Begitupun rakyat ketika, misalnya, bertransaksi dengan pemerintah dalam hal pelayanan publik juga sangat membutuhkan pelayanan yang telah disebutkan di atas. Swasta pun tidak lepas hubungannya dengan pemerintah dan rakyat ketika keduanya membutuhkan dana untuk melakukan aktivitas. Tapi, baik pemerintah maupun rakyat ketika memperoleh dana dari swasta tidak ada perjanjian yang mengikat (lebih bersifat hibah). Semua yang dilakukan keduanya dengan pihak swasta lebih bersifat suka rela. Jadi, kalau sudah ada kesetaraan, ada kerja sama, dan ada sikap suka rela good governance akan bisa diwujudkan. Dengan demikian, tidak ada `utopis` dalam menjalankan good governance. Begitu `kan?
Kita juga harus tahu bahwa sebagai sebuah konsep yang jauh dari utopis, good governance juga punya tujuan. Tujuannya kalau kita lihat slide di bawah ini sangat jelas. Good governance dikaitkan dengan birokrasi berusaha untuk menciptakan birokrasi yang bersih, efektif, efisien, produktif, dan transparan. Kita tahu sendiri bagaimana dengan birokrasi kita selama ini? Tentang gambaran birokrasi kita selama ini sudah kita bahas di tulisan-tulisan terdahulu. Singkatnya, kita bisa mengatakan kebalikan dari yang ingin dituju good governance, yaitu birokrasi yang kotor, bertele-tele, boros, tidak produktif, dan penuh dengan manipulasi. Selain itu, juga good governane ingin membangun birokrasi yang melayani masyarakat. Bukankah memang benar walaupun sudah ada regulasinya, tetap saja faktanya kita masih menemui birokrasi di negara ini dalam pelayanan publik masih diskriminatif? Birokrasi kita jauh dari melayani rakyat. Bahkan, lebih jauh dari itu melalui good governance bisa mewujudkan birokrasi akuntabel (yang bisa dipertanggung-jawabkan) karena sampai saat ini terkesan ASN yang terlibat dalam aktivitas di birokrasi cenderung bersikap `lempar batu sembunyi tangan` atau `hit and run` alias tidak bertanggung jawab. Gambaran tentang tujuan good governance bisa dilihat pada slide di bawah ini.
***
Di atas sudah disinggung hubungan pemerintah, swasta, dan masyarakat. Tapi, kita belum singgung tentang perannya masing-masing. Kalau melihat pada slide di bawah ini, kita menemukan pemerintah tetap posisinya sebagai penyelenggara negara. Meskipun demikian, kedudukan pemerintah di masa reformasi tidak seperti dulu lagi. Pemerintah sebagai penyelenggara negara bukan sebagai atasan yang wajib menginstruksikan rakyatnya untuk tunduk, patuh, dan taat pada pemerintah. Dalam hal ini pemerintah cenderung mengajak rakyat secara bersama-sama mentaati dan menjalankan kebijakan yang telah dikeluarkan. Ingat, kebijakan itu tidak mungkin ada tanpa kontribusi dari rakyat karena yang menyusun kebijakan bukan hanya pemerintah tapi juga ada keterlibatan wakil-wakil rakyat, LSM, ormas, dan orang-orang akademis. Peran berikutnya, sektor swasta yang berperan sebagi penggerak di bidang perekonomian. Di sini sektor swasta juga punya peran penting karena tanpa kehadiran mereka,program-program pemerintah yang berkaitan denan perekonomian, misalnya, tidak akan berjalan. Di samping itu, sektor swasta itu juga memiliki modal yang tidak sedikit. Salah satu contoh konkrit, yaitu sektor swasta bisa saja dimintakan dari profit yang diperolehnya sebagian untuk meningkatkan program kesejahteraan rakyat. Terakhir, yang juga tidak kalah pentingnya adalah masyarakat sipil (rakyat) sebagai pihak penyesuai. Kita harus ingat, negara tidak akan berjalan tanpa rakyat. Bukankah demokrasi itu bisa ditegakkan karena berprinsip pada dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat? Jadi, peran rakyat tidak bisa disepelekan. Harus dicamkan pemerintah sesungguhnya butuh rakyat.
Pemerintahan bisa berjalan juga karena ada peran rakyat sehingga pemerintah tidak perlu sungkan kalau rakyat juga terlibat dalam pengawasan aktivitas pelayanan publik, misalnya. Program-program pemerintah pun sebenarnya banyak ditujukan untuk kepentingan rakyat. Mau tidak mau di sini bukan hanya pemerintah, pihak swasta pun harus memiliki persepsi yang sama bahwa tanpa kehadiran rakyat bidang perekenomian yang digerakkan oleh swasta akan mati. Bukankah produk-produk yang dihasilkan oleh swasta sebagian besar dipasarkan ke rakyat? Untuk itu, sekali lagi, ketiganya harus ada hubungan yang harmonis. Ketiganya harus bekerja sama dalam mengelola ekonomi, SDA, lingkungan, dan sosial. Secara singkat, uraian di atas bisa kita lihat pada slide-slide di bawah ini.
![]() |
![]() |
***
Good governance sebagai `sesuatu yang banget, gitu` adalah konsep yang riil (nyata). Sebagai konsep yang nyata, good governance mempunyai prinsip. Begitu banyak orang atau organisasi yang membuat prinsip-prinsip good governance. Salah satu di antar sekian organisasi yang juga turut menyampaikannya adalah UNDP. Tampaknya, untuk saat ini kita sepakat memilih prinsip-prinsip good governance yang digagas UNDP untuk kita jadikan sebagai bahasannya. Kita juga perlu mencoba memberikan contoh penerapan good governance di Indonesia. Setidaknya dengan melihat contoh-contohnya kita jadi tahu sampai sejauhmana keberhasilan penerapan good governance di negara tercinta ini, Indonesia. Meskipun demikian, kita pun harus tahu apakah dalam penerapannya good governance juga memunculkan masalah atau tidak? Karena itu, berikut ini kita lengkapi juga slide permasalahan good governance di Indonesia. Kita lihat dulu slide-slide di bawah ini agar kita tidak sampai gagal paham.
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Apa yang bisa kita sampaikan setelah melihat slide-slide di atas? Pertama, tentang prinsip-prinsipnya, ternyata muatan yang ada di dalamnya benar-benar sesuatu yang memang dibutuhkan oleh masyarakat kita. Apa lagi jika dikaitkan dengan pelayanan publik sangat pas sekali semua prinsip tersebut diterapakan. Tidak ada satu pun yang tidak pas. Kita bisa mengambil contoh prinsip ke delapan, yang berkaitan dengan kesetaraan dan kewajaran, yaitu perlakuan yang adil atas seluruh masyarakat dalam memenuhi hak-hak untuk meningkatkan taraf hidupnya, berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Justru, prinsip ini sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat ketika berhadapan dengan ASN yang melayani mereka dalam pelayanan publik. Dengan adanya prinsip ini, jika nanti benar-benar diterapkan, masyarakat akan merasa diuntungkan.
Kedua, berkaitan dengan penerapannya, walaupun hanya mengambil beberapa contoh, itu sudah merefleksikan bahwa adanya perubahan di negara ini. Kita tidak bisa pungkiri, itu sesuatu yang luar biasa. Kita sulit membayangkan kalau jabatan seorang presiden sampai 21 tahun di masa Orde Lama atau 32 tahun di masa Orde Baru, ternyata kekuasaan yang demikian lama memunculkan pemimpin yang otoriter dan matinya demokrasi sehingga fakta menemukan pemimpin jenis ini sering kali dalam mengambil kebijakan cenderung `semau gue`. Kita tidak boleh lagi mengulang sejarah kelam di masa lalu. Cukup itu hanya terjadi di masa Soekarno dan Soeharto ketika menjabat sebagai presiden di negeri ini.
Ketiga, sebagai sebuah konsep yang boleh dikatakan baru tentu saja akan ada plus-minusnya. Plusnya, masyarakat seperti terlihat di atas semakin antusias untuk ikut ambil bagian dalam pembuatan serta pengimplementasian kebijakan publik. Selain itu, tuntutan masyarakat kepada pemerintah pun semakin tinggi. Bahkan, mereka juga semakin menuntut pemerintah untuk melaksanakan prinsip-prinsip good governance agar tata kelola pemerintah dapat semakin membaik. Ini tuntutan masyarakat yang luar biasa. Kalau tuntutan ini benar-benar dijalankan, dipastikan di negara ini akan benar-benar terwujud sebuah tata kelola pemerintahan yang baik. Sementara itu, minusnya sistem kelembagaan serta tata kelola pemerintahan di daerah masih belum memadai sehingga memicu rendahnya kinerja sumber daya aparatur pemerintahan di daerah. Jadi, kita masih mendapati rendahnya kinerja ASN di daerah; masih belum dapat memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat; masih banyak masalah ditemukan dalam proses pencarian keputusan akhir; dan masih ditemukan adanya praktik penyalahgunaan serta pelanggaran wewenang, angka korupsi, kolusi, dan nepotisme yang masih tinggi. Meskipun demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa penerapan konsep good governance gagal diterapkan di negara kita sehingga memunculkan sikap skeptis atau muncul kata-kata yang bikin merah di telinga kita: utopis.
***
Wawasan kita tentang good governance sudah semakin luas. Kita pun sudah bisa berpikir jernih. Kejernihan pikiran kita itu merupakan modal utama untuk melakukan yang terbaik dalam melakukan perubahan. Perubahan itu ditujukan pada satu titik, yaitu pelayanan publik (PP). Apa itu PP? Kita mengulang kembali sesuatu yang telah kita bahas di “2. Pelayanan…Pelayanan…Pelayanan Publik”. Di situ sudah kita bahas definisi PP yang kita kutip dari UU PP (lihat slide di bawah). Sebagaimana halnya good governance, PP juga memiliki konsep, yaitu pertama, masyarakat akan merasa puas jika pelayanan yang diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bagaimana isinya yang ada di UU PP? Ini isinya yang terdapat di UU PP Pasal 5 bahwa PP tidak hanya memberikan pelayanan secara fisik, tetapi sikap, perilaku dan penerimaan dari aparatur pemberi layanan menjadi titik penting dalam pelayanan publik. Kepuasan masyarakat tidak hanya bertumpu pada cepatnya pelayanan, mudahnya pelayanan, dan lain sebagainya, tetapi pada aspek kebaikan dan etika dalam pemberian pelayanannya. Jadi, yang dituntut masyarakat dari PP bukan sekedar pelayanan fisik. Pelayanan fisik bisa saja ASN yang melayani masyarakat bisa cepat melayaninya karena terbantukan oleh adanya sarana-sarana yang modern, yang berbasis IT. Atau bisa juga karena masyarakat merasa dimudahkan dalam berinteraksi di PP. Bukan itu yang dimaksud. Tetapi, masyarakat lebih melihat adanya unsur sikap dan etika ASN ketika melayani mereka. Sebagai makhluk sosial, wajar saja jika masyarakat meminta sekedar salam, sapa, dan senyum dari setiap ASN sebelum mereka bertransaksi dengan ASN. Bukan hanya itu, sikap ASN ketika melayaninya menjadi sesuatu yang sangat diharapkan. Kalau tidak ada salam, sapa, dan senyum juga tidak ada menunjukkan sikap yang baik, walaupun pelayanannya cepat dan mudah, masyarakat tetap tidak bisa menerimanya. Sesuatu yang humanis memang sudah seharusnya dimiliki oleh para ASN kita.
Dalam PP setiap ASN yang sudah memiliki sikap dan etika yang baik juga diperlukan adanya tanggung jawab yang penuh dan profesional. Jadi, tidak cukup buat ASN hanya menyadari bahwa dia menjalankan profesinya sebagai pelayan publik tapi juga dia harus menjadi ASN yang profesional. Dengan memiliki tanggung jawab dan profesional, ASN jenis ini akan bisa menjalankan PP dengan baik. Lebih jauh dari itu kalau PP yang baik menjadi salah satu indikator penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan menjadi dasar untuk menciptakan pemerintahan yang baik. Perlu diketahui, agar PP benar-benar bisa dijalankan secara optimal dipengaruhi oleh adanya kualitas pelayanan publik yang diberikan secara optimal. Tentu saja untuk tercapainya optimalisasi ada sedikitnya sepuluh variabel: kepemimpinan, budaya organisasi, kelembagaan, tata kerja (SOP), standar pelayanan, pengelolaan pengaduan masyarakat, pengendalian dan evaluasi, sarana prasarana, penggunaan teknologi informasi, dan pengelolaan sumber daya manusia. Diharapkan dengan menerapkan kesepuluh variabel tersebut akan tercapai tujuan PP yang terdapat di UU PP Pasal 3. Untuk lebih jelasnya hal-hal yang berkaitan dengan definisi, konsep, optimalisasi, dan tujuan PP bisa dilihat pada slide-slide di bawah ini.
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
***
Sekarang semakin tampak di hadapan kita bahwa PP baik yang dilihat dari definisi, konsep, optimalisasi, maupun tujuannya ternyata bersinergi dengan good governance. Lebih jauh dari itu, good governance dilihat baik dari sisi pilar-pilarnya maupun prinsip-prinsipnya sangat dibutuhkan dalam menjalankan PP. Keduanya bisa saja memiliki hubungan yang tidak terpisahkan. Keduanya saling membutuhkan (simbiosis mutualisme) sehingga PP tidak bisa berjalan kalau tidak didukung oleh good governance. Atau good governance tidak akan terwujud jika PP belum dijalankan dengan sempurna. Dengan demikian, satu sama lain seharusnya saling mengundang. Bukan hanya PP yang mengundang good governance, tapi good governance juga perlu menghadirkan PP dalam mengimplementasikannya.
Sumber Gambar:
((https://ilmu.lpkn.id/2021/01/29/tantangan-penerapan-tata-kelola-pemerintahan-yang-baik-di-indonesia/ )