Subagio S.Waluyo
Dalam tulisan “12. Partisipasi…Partisipasi…Please Deh!” disebutkan bahwa pada tangga ketujuh (level tertinggi) telah terjadi pelimpahan wewenang dari pemerintah sebagai penguasa kepada masyarakat sehingga masyarakat bisa melakukan pengawasan terhadap program-program pembangunan. Di level ini masyarakat lebih mendominasi daripada pemerintah. Bukan hanya itu, di level ini masyarakat juga bisa mengevaluasi kinerja pemerintah sehingga PM yang ideal tercipta di level ini. Permasalahannya bagaimana bisa mewujudkan PM yang ideal itu? Untuk bisa mewujudkan PM yang ideal (disebut juga sebagai masyarakat mandiri) di tulisan tersebut juga telah dijelaskan bahwa dibutuhkan uluran tangan dari berbagai kalangan. Dalam hal ini pemerintah tidak bisa berjalan sendiri. Pemerintah harus berkolaborasi dengan berbagai pihak (pemangku kepentingan) di antaranya pihak swasta, perguruan tinggi, LSM, dan ormas. Tanpa kolaborasi dengan para pemangku kepentingan mustahil PM bisa diwujudkan. Kalau PM tidak bisa diwujudkan, juga mustahil PP bisa berjalan dengan baik. Mustahil juga kita bisa benar-benar mewujudkan good governance di negeri tercinta ini: Indonesia. Sebagai tambahan, melakukan monitoring (pengawasan) dan pengevaluasian tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kenapa bisa seperti itu? Bagaimana jalan keluarnya agar bisa dilakukan pengawasan dan evaluasi agar PP bisa terlaksana dengan baik dan benar? Kedua pertanyaan inilah yang perlu kita bahas.
***
Seperti kita ketahui di masa sebelum reformasi tidak ada satu pun lembaga eksternal yang terlibat pengawasan tindakan pemerintah dalam hal penyelenggaraan PP. Di saat itu rezim yang berkuasa tidak memberikan ruang buat masyarakat untuk melakukan pengawasan dan pengevaluasian. Baru di masa reformasi ada ruang buat masyarakat untuk melakukan kontrol. Pemerintah di masa reformasi melalui UU Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) membentuk lembaga ORI yang bertugas melakukan pengawasan penyelenggaraan PP dan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dari penyalahgunaan wewenang dalam hal penyelenggaraan PP (https://siwalimanews.com/menumbuhkan-partisipasi-masyarakat-dalam-pengawasan-pelayanan-publik/). Keberadaan ORI sebagai lembaga yang dibentuk oleh pemerintah tentu saja tidak akan bisa berjalan dengan baik dan benar tanpa adanya dukungan masyarakat. Biar bagaimanapun lembaga ini tetap tidak akan bisa melakukan aktivitasnya kalau masyarakatnya tidak berperan serta.
Terlepas dari adanya ORI yang telah banyak berperan dalam mengontrol sekaligus mengevaluasi kinerja PP yang diselenggarakan oleh pemerintah, tampaknya PM juga bisa berperan di luar kerja-kerja ORI. Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu jelaskan dulu apa yang dimaksud dengan pengawasan masyarakat? Secara nyata dapat dikatakan bahwa pengawasan masyarakat dapat diartikan sebagai pengawasan yang dilakukan oleh warga masyarakat baik perorangan maupun kelompok, baik secara lisan maupun tertulis yang ditujukan kepada organ pemerintah yang berkompeten dalam melaksanakan pelayanan umum dalam bentuk, baik pikiran, ide/gagasan, maupun keluhan atau pengaduan yang bersifat positif atau membangun, baik secara langsung maupun melalui medium/sarana lain (media massa). Dalam pelaksanaan pengawasan masyarakat tidak terlepas dari norma umum pengawasan sehingga tujuannya tidak berorientasi subyektivitas akan tetapi berorientasi obyektivitas (https://www. iaijawatimur. or.id/course/ interest/ detail/ 18# :~ :text Secara% 20nyata% 20dapat% 20dikatakan% 20bahwa, melaksanakan % 20pelayanan%20umum%20(public%20service).
Di kalimat terakhir pada definisi di atas disebutkan bahwa tujuan pengawasan tidak berorientasi subyektivitas. Dalam hal ini pengawasan harus benar-benar obyektif. Untuk bisa melakukan pengawasan yang obyektif tentu saja harus bisa dibuktikan bahwa suatu kegiatan sudah dilakukan sesuai dengan rencana. Dengan cara demikian, sebuah pengawasan akan terjaga kualitas pelaksanaannya. Bahkan, pengawasan itu lebih merupakan langkah antisipasi terhadap upaya penyimpangan atau penyelewengan (Samodra Wibawa, 2012:94). Jadi, dengan adanya pengawasan sebuah perencanaan tidak akan menyimpang ketika diimplementasikan atau pekerjaan apapun yang dikerjakan seorang birokrat sesuai dengan regulasinya. Selain itu, tentu saja sebuah pengawasan yang benar-benar dilakukan dengan baik dan benar akan bisa menghindari adanya upaya penyimpangan atau penyelewengan. Dengan demikian, kalau sampai saat ini dalam PP masih ada penyimpangan dan penyelewengan, sangat boleh jadi hal itu disebabkan pengawasan yang dilakukan masih tergolong lemah.
Pengawasan yang tergolong lemah tentu saja akan berdampak pada langkah berikutnya, yaitu pengevaluasian. Artinya, kalau sudah jelas-jelas dari hasil pengawasan saja, misalnya, sudah terbukti adanya penyimpangan, bagaimana pula dengan pengevaluasiannya? Kenapa bisa dikatakan seperti itu? Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat bahwa dengan melakukan evaluasi kita akan bisa memperoleh jawaban sebagaimana yang terdapat pada uraian berikut ini.
1. Menjelaskan yang sesungguhnya terjadi. 2. Mengetahui pelaksanaan telah sesuai rencana atau standar prosedur. 3. Mengawasi hasil pekerjaan telah sampai ke tangan sasaran (di saat seperti itu adakah penyimpangan terjadi?). 4. Menghitung manfaat dan dampak sosial, ekonomi, dan politik dari semua kegiatan tersebut. 5. Menimbang program atau kebijakan yang telah dirancang perlu diteruskan di masa mendatang atau sebaliknya cukup dihentikan dulu. (Samodra Wibawa, 2012:95) |
Di butir 4., misalnya, disebutkan bahwa dengan adanya evaluasi kita bisa menghitung manfaat dan dampak sosial, ekonomi, dan politik tersebut. Jadi, ketika melakukan evaluasi terhadap sebuah aktivitas PP yang ternyata menyimpang (bahkan, cenderung menyeleweng) dari rencana atau regulasi, kita sudah bisa memperkirakan akan terjadi dampaknya entah itu dampak ekonomi, sosial, atau bisa juga politik. Dengan cara melakukan butir 4. itu kita juga bisa membuat pertimbangan terhadap sebuah program atau kebijakan (lihat butir 5. di atas) apakah di masa mendatang, baik program maupun kebijakan itu perlu diteruskan atau perlu dihentikan? Di samping itu, dalam melakukan pengevaluasian juga diperlukan adanya kriteria yang harus dipenuhi. Kriteria yang harus dipenuhi bisa dilihat pada uraian di bawah ini.
1. Valid dan relevan, maksudnya informasi yang dikumpulkan memang menjawab pertanyaan yang dibutuhkan. 2. Signifikan, yaitu informasi yang dihasilkan adalah baru dan penting. 3. Reliabel, dalam hal ini data yang diperoleh dapat dipercaya melalui penelitian yang serius dan sistematis. 4. Obyektif, artinya tidak bias, imbang, atau tidak memihak. 5. Tepat Waktu: tidak terlambat atau terlalu cepat. 6. Berguna, maksudnya mudah dimengerti dan dimanfaatkan oleh pelaku dan pembuat kebijakan. (Samodra Wibawa, 2012: 96) |
Dengan melihat pada uraian yang terdapat di kedua kotak di atas, tampaknya masyarakat yang terlibat dalam aktivitas pengawasan dan pengevaluasian adalah masyarakat akademis dan LSM. Artinya, orang-orang yang terlibat itu setidak-tidaknya memahami sekali muatan yang terdapat di kedua kotak di atas karena buat mereka butir-butir yang terdapat di kedua kotak tersebut akrab dengan dunia penelitian yang memang kerap digelutinya. Orang-orang yang tidak terbiasa dengan data-data penelitian sangat sulit untuk mengoperasionalkannya. Dalam hal ini kemampuan menganalisis sangat dibutuhkan ketika melakukan pengevaluasian.
Bagaimana cara memperoleh data atau informasi ketika melakukan pengevaluasian? Samodra Wibawa (2012:96) menyarankan hal-hal berikut ini.
- Bertanya kepada berbagai pihak terkait.
- Melakukan dengar-pendapat, baik secara resmi maupun semi resmi dengan berbagai pihak (semacam FGD).
- Membaca koran, majalah, baik cetak maupun
- Melakukan observasi ke lokasi kegiatan.
- Melakukan survai atau menyebarkan angket/kuesioner.
Lagi-lagi untuk bisa melakukan butir-butir di atas mau tidak mau harus melibatkan masyarakat akademis atau LSM. Di luar itu tampaknya sangat sulit untuk bisa melakukan kelima saran di atas. Bukankah dalam PM itu juga tidak menutup kemungkinan untuk melibatkan masyarakat akademis atau mereka-mereka yang aktif di LSM? Dalam hal ini ketika mendengar kata `masyarakat`, kita tidak boleh lupa bahwa di dalamnya termasuk orang-orang akademis dan LSM.
***
Ketika berbicara tentang orang-orang akademis, tampak di hadapan kita orang-orang yang bergelut dengan dunia kampus yang permasalahannya cenderung dalam bentuk model atau teori. `Orang-orang intelek` dari kampus coba terapkan teori yang dimilikinya untuk memecahkan permasalahan yang ada di masyarakat. Sanggup tidak dengan teorinya itu memecahkan berbagai permasalahan di masyarakat? Ini sebuah tantangan bagi kalangan akademis untuk menyelamatkan masalah-masalah sosial yang semakin hari semakin menumpuk. Masalah-masalah sosial itu manakala suatu saat telah mencapai titik kulminasinya akan terjadi erupsi. Erupsi dari masalah-masalah sosial bisa jadi dalam bentuk tindakan radikal (semacam kerusuhan/konflik sosial) yang sering terjadi di negeri ini. Kalau hal itu sering terjadi, negeri ini telah terkena sindrom patologi sosial. Salah satu patologi sosial yang muncul di negara kita adalah masalah PP yang belum memenuhi tuntutan rakyat, yaitu pelayanan yang murah, bermutu, dan transparan (lihat tulisan berjudul “14. Melayani…Melayani…Melayani!”).
Agar tidak terjadi sindrom patologi sosial yang boleh jadi berawal dari adanya kesenjangan sosial, setiap Perguruan Tinggi (PT) di negeri ini harus melaksanakan dharma ketiga, yaitu dharma pengabdian pada masyarakat (PPM). PT di negeri ini baik negeri maupun swasta menurut catatan Kemenristekdikti sampai dengan tahun ini 2022, jumlah unit PT yang terdaftar mencapai 3.115 unit. Angka ini didominasi oleh perguruan tinggi swasta (PTS) yang mencapai 2.990 unit. Sedangkan perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi unit paling sedikit, yakni 125 unit (https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-6192489/indonesia-punya-ribuan-perguruan-tinggi-wilayah-mana-terbanyak). Kalau dari jumlah tersebut ada 1.000 PT baik PTN maupun PTS yang melakukan kerja-kerja PPM seperti Desa Binaan akan ada seribu desa yang terbina. Sebuah PTN/PTS bisa saja membuat lebih dari satu desa binaan. Bisa jadi sebuah PTN/PTS yang jumlah mahasiswanya cukup besar lebih dari sepuluh desa yang dijadikan objek Desa Binaan. Di Desa Binaan tempat PTN/PTS itu melakukan kerja-kerja PPM bisa juga dilakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Selain itu, bisa dilakukan kerja-kerja penelitian. Termasuk ke dalamnya aktivitas, baik PPM maupun penelitian yang berkaitan dengan PP. Himbauan pada masyarakat akademis telah disampaikan Ombudsman agar PT terlibat dalam pencegahan maladministrasi sebagaimana terlihat pada tulisan berikut ini.
Ombudsman RI: Perguruan Tinggi Perlu Terlibat Pencegahan Maladministrasi (KABAR OMBUDSMAN • JUM’AT, 29/10/2021 • IMANDAKARTIKAOMBUDSMANGOID) Banjarmasin – Ombudsman RI memandang perlunya keterlibatan perguruan tinggi dalam upaya pencegahan maladministrasi pada penyelenggara pelayanan publik melalui karya penelitian yang dihasilkan oleh mahasiswa. Hal tersebut disampaikan Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika dalam pertemuan dengan Rektor UIN Antasari Banjarmasin Prof. Dr. H Mujiburrahman pada Kamis (29/10/2021). Sebagaimana amanat dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2021 tentang Perguruan Tinggi bahwa salah satu tujuan perguruan tinggi adalah mewujudkan pengabdian kepada masyarakat berbasis penalaran dan karya penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan dengan hal tersebut, Yeka mendorong civitas akademika UIN Antarasari Banjarmasin untuk melakukan berbagai penelitian ilmiah salah satunya dalam bidang pelayanan publik terutama terkait dengan regulasi pemerintah. Baik regulasi pembenahan prosedural, regulasi perubahan peraturan daerah, regulasi terkait dengan dampak dan lingkungan hingga regulasi sosial masyarakat. “Kami di pasal 8 (UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman) punya kewenangan memberikan saran perubahan regulasi. Saya pikir bisa digunakan dari hasil penelitian mahasiswa. Sehingga bisa memperluas spektrum, kami jadi tahu pelayanan apa yang sering dikomplen,” ucap Yeka. Yeka berharap hasil penelitian baik dari mahasiswa dan dosen tidak hanya berhenti sampai di perpustakaan saja. Isu yang muncul dalam penelitian dapat menjadi bahan saran perbaikan untuk penyelenggara layanan maupun inovasi dalam pelayanan publik. Kepala Perwakilan Ombudsman Kalimantan Selatan Hadi Rahman berharap ke depannya akan ada sebuah kerja sama antara Ombudsman dengan UIN Antasari Banjarmasin dalam hal pertukaran informasi melalui karya penelitian tersebut. “Yang dirasakan sekarang kebijakan daerah kita itu masih banyak kekurangan. Kadang di pemerintah daerah kita itu budaya risetnya kurang jadi pas sekali jika kita bersinergi,” jelas Hadi. Prof. Dr. H Mujiburrahman menyambut baik rencana kerja sama tersebut karena sejalan dengan apa yang sudah dilakukan selama ini dengan instansi atau pihak lain sebelumnya. “Saya kira ini bagus. Nanti kita akan telusuri penelitian apa yang sudah eksisting dan yang akan baik ke depannya yang cocok dengan orientasi pemerintah. Saya berharap penelitian ini bisa memiliki impact terhadap masyarakat,” ucap Mujiburrahman. |
***
Kesempatan insan akademis untuk terlibat dalam membenahi PP sudah terbuka. Ini sebuah peluang yang harus dimanfaatkan oleh orang-orang yang masih betah tinggal di menara gading. Agar tidak ada tudingan pada `orang-orang intelek` yang hanya memberikan harapan-harapan palsu dengan metode dan teori-teori yang cenderung utopia, sebaiknya tawaran itu disambut dengan tangan terbuka. Buktikan bahwa masyarakat akademis mampu membenahi PP yang sudah carut-marut di negeri ini. Kalau masih juga bergeming untuk melakukan perbaikan, goyang saja menara gading agar kaum akademis yang `bererot` gelar akademisnya bisa mencegah berbagai patologi sosial. Goyang saja menara gading, agar `orang-orang intelek` dari kampus ternama di negeri ini sekalipun menghindari sebutan yang menyakitkan, kaum intelek `borju` dari kampus `borju`. Goyang saja menara gading, agar makhluk-makhluk akademis mau terlibat dengan berbagai aktivitas sosial di tengah-tengah masyarakatnya. Goyang saja menara gading, agar orang-orang kampus mau turut membenahi carut-marutnya birokrasi di negeri kolam susu ini. Goyang saja menara gading, agar insan-insan terpelajar itu mau merasakan pahit getirnya kehidupan orang-orang duafa yang semakin hari semakin meningkat kuantitas dan kualitasnya. Orang-orang duafa itu sangat berharap pada orang-orang akademis untuk membenahi PP di negeri ini agar mereka juga bisa menikmati sebuah PP yang murah, bermutu, dan transparan. Untuk itu, jadilah orang-orang akademis yang mau terlibat dalam PM. Karena hanya dengan terlibat dalam PM, orang-orang akademis bisa membuka kotak pandora yang berisikan PP yang jauh dari harapan masyarakat yang teralienasi.
Sumber Gambar :,
- (http://wavekuliahonline.blogspot.com/2014/05/prinsip-prinsip-dalam-melaksanakan.html)
- (https://www.acehtrend.com/news/konsep-sukses-akademisi/index.html)
- (https://www.istockphoto.com/id/vektor/ilustrasi-kartun-vektor-pria-atau-pengusaha-memikirkan-risiko-dan-kesempatan-gm1256125469-367687943)