Subagio S.Waluyo
Kita ingin memulai tulisan yang berkaitan dengan pelayanan publik ini dengan kasus-kasus yang muncul di negara kita akhir-akhir ini. Kasus-kasus itu berkaitan dengan maladministrasi atau bisa juga disebut pelayanan publik yang buruk. Salah satu kasus yang tergolong maladministrasi adalah masalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di negara ini yang tak kunjung membaik. Bahkan, berita terakhir dari Republika (Jumat 3 Februari 2023) menyebutkan kalau IPK Indonesia merosot dari sebelumnya (2021) memperoleh nilai 38, di tahun 2022 merosot menjadi 34. Dengan perolehan nilai tersebut Indonesia menduduki peringkat 110 dari 180 negara di dunia. Untuk lebih jelasnya tentang hasil perolehan IPK Indonesia bisa dilihat pada cuplikan berita berikut ini.
1.
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Merosot: KPK Berdalih, Pemerintah Risau Jumat 03 Feb 2023 17:03 WIB Red: Andri Saubani REPUBLIKA.CO.ID, oleh Flori Sidebang, Fergi Nadira B, Antara Indeks Persepsi Korupsi atau IPK Indonesia pada 2022 berdasarkan rilis Transparency International Indonesia (TII) merosot empat poin menjadi 34 dari sebelumnya 38 pada 2021. Perolehan ini juga membuat posisi Tanah Air berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei atau melorot 14 tangga dari tahun 2021 yang mencapai ranking 96. Sebagai ilustrasi, skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih. TII merilis IPK Indonesia 2022 mengacu pada delapan sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik pada 180 negara dan teritori. “CPI (Corruption Perception Index) Indonesia pada 2022 berada pada skor 34 dari skala 100 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun empat poin dari tahun 2021 dan merupakan penurunan paling drastis sejak 1995,” kata Deputi TII Wawan Suyatmiko dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (31/1/2023). Di Asia Tenggara, Singapura menjadi negara yang dipersepsikan paling tidak korup (skor 83), diikuti Malaysia (47), Timor Leste (42), Vietnam (42), Thailand (36), Indonesia (34), Filipina (33), Laos (31), Kamboja (24), dan Myanmar (23). Sedangkan di tingkat global, Denmark menduduki peringkat pertama dengan IPK 90, diikuti Finlandia dan Selandia Baru (87), Norwegia (84), Singapura dan Swedia (83) serta Swiss (82). Sementara posisi terendah ada Somalia dengan skor 12, Suriah dan Sudan Selatan (13), serta Venezuela (14). “Dalam indeks kami tampak negara dengan demokrasi yang baik rata-rata skor IPK 70 dibandingkan negara yang cenderung otoriter maka tingkat korupsinya rata-rata 26,” ungkap Wawan. Wawan menerangkan, ada tiga data yang mendorong penurunan skor IPK Indonesia, yaitu Political Risk Service (PRS) International Country Risk Guide (korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus dan suap ekspor impor dan hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis) turun menjadi 35 dari 48 pada 2021. Selanjutnya, IMD World Competitiveness Yearbook (suap dan korupsi dalam sistem politik) turun lima poin dari 44 menjadi 39, serta indeks Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide turun menjadi 29 dari 32. Sementara tiga indeks yang stagnan adalah Global Insight Country Risk Ratings (risiko individu/perusahaan dalam menghadapi praktik korupsi dan suap untuk menjalankan bisnis) pada angka 47. Bertelsmann Foundation Transformation Index (pemberian hukuman pada pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan dan pemerintah mengendalikan korupsi) pada skor 33 dan Economist Intelligence Unit Country Ratings (prosedur yang jelas dan akuntabilitas dana publik, penyalahgunaan pada sumber daya publik, profesionalisme aparatur sipil, audit independen) tetap pada skor 37. Selanjutnya ada dua indeks yang naik, yaitu World Justice Project – Rule of Law Index (pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian, dan militer menggunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi) skornya naik satu menjadi 24 dari 23, dan Varieties of Democracy (kedalaman korupsi politik, korupsi politik di eksekutif, legislatif dan yudikatif, korupsi di birokrasi, korupsi besar dan kecil yang memengaruhi kebijakan publik) naik dua poin menjadi 24 dari 22. “Sayangnya indeks yang naik satu atau dua poin berpengaruh tidak besar bandingkan dengan Political Risk Service yang turun 13 poin sehingga turut menyumbang penurunan CPI dari 38 ke 34,” jelas dia. Berdasarkan analisis TII, indikator ekonomi mengalami tantangan besar antara profesionalitas perusahaan dalam menerapkan sistem antikorupsi dengan kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan berinvestasi. “Negara berkembang mau pilih investor dari negara yang seperti apa? Apakah dari negara dengan standar antikorupsi tinggi atau yang penting pertumbuhan ekonomi jalan?” ungkap Wawan. Analisis lain adalah dari sisi indikator politik, tidak terjadi perubahan signifikan. Sebab, korupsi politik masih marak ditemukan. “Jenis korupsi suap, gratifikasi hingga konflik kepentingan antara politisi, pejabat publik dan pelaku usaha masih lazim terjadi. Pelaku usaha yang datang ke Indonesia bukan hanya memiliki risiko berbentuk untung rugi, tetapi juga risiko politik,” tambah Wawan. Selanjutnya indikator penegakan hukum menunjukkan kebijakan antikorupsi terbukti belum efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi. “Masih ditemukannya praktik korupsi di lembaga penegakan hukum karena pada 2022 kita dipertontonkan begitu banyak korupsi di lembaga penegakan hukum,” ujarnya. |
Kasus kedua, yang juga tidak kalah menariknya adalah kasus korban tabrak lari yang jadi tersangka. Kok, bisa ya pensiunan polisi yang menabrak orang sampai wafat tidak dijadikan tersangka? Kenapa yang jadi korban malah jadi tersangka? Apakah layak orang yang sudah wafat ditabrak jadi tersangka? Ini benar-benar aneh bin ajaib (ungkapan jadul) bisa-bisanya pihak kepolisian menghentikan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus tersebut kemudian korbannya dijadikan tersangka. Ini dunia apakah sudah terbalik? Bagaimana dengan slogan yang sangat dikenal dan mudah dijumpai mulai di website resmi Polri yang ada di kantor-kantor Polri dari tingkat Mabes Polri sampai ke pos-pos polisi pinggir bahwa polisi melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat kalau korban tabrak lari dijadikan tersangka? Supaya lebih jelas lagi, coba kita lihat kutipan berita di bawah ini.
2.
Mahasiswa UI Tewas Korban Tabrak Lari Jadi Tersangka, Pakar Hukum Pidana: Penetapan yang Aneh
– 28 Januari 2023, 19:05 WIB
PIKIRAN RAKYAT – Polda Metro Jaya memastikan kasus tabrak lari yang melibatkan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Muhammad Hasya Atallah Syaputra sudah selesai. Pasalnya, polisi sudah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus tersebut. Dalam kecelakaan ini, polisi memastikan Muhammad Hasya Attallah Syahputra, korban tewas tabrak lari sebagai tersangka. Hal ini sudah dikonfirmasi Direktur Lalu Lintas (Dirlantas) Polda Metro Jaya Kombes Pol Latif Usman. Latif Usman menyatakan penghentian kasus tabrak lari mahasiswa UI dilakukan karena berbagai pertimbangan. Salah satunya karena tersangka sudah ditetapkan dan sudah meninggal dunia. “Pertama, karena kasus itu telah kadaluarsa. Kedua, tidak cukup bukti. Yang ketiga, tersangka (Muhammad Hasya) sudah meninggal dunia,” ujar Latif Usman. “Jadi ada kepastian juga di situ kenapa kami beri SP3,” katanya dikutip Pikiran-Rakyat.com dari PMJ News pada Sabtu, 28 Januari 2023. Meskipun Hasya jadi korban tabrak lari, pihak polisi bersitegas menyatakan dia jadi tersangka utama kasus kecelakaan ini. Pasalnya, polisi menjelaskan kecelakaan terjadi karena kelalaian Muhamadd Hasya saat berkendara. “Kenapa dijadikan tersangka ini? Karena lalai mengendarai sepeda motor. Sehingga menghilangkan nyawanya sendiri,” ujar Latif Usman. Latif menjelaskan, pensiunan polisi yang awalnya dituduh akibat kecelakaan ini, ESBW tengah mengendarai mobil di jalur yang benar. Latif menyatakan ESBW tak pernah melanggar hak jalan ketika kecelakaan terjadi. Sementara itu, Harsya dianggap salah. Ia berada di jalur yang berlawanan sehingga tertabrak Pajero Hitam milik ESBW. “Dari keterangan-keterangan saksi juga tidak bisa dijadikan tersangka karena dia (pengemudi mobil) dalam posisi hak utama jalan,” ucap Latif. Disebut Penetapan yang Aneh Menanggapi vonis polisi terhadap Harsya sebagai pelaku utama, Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho menganggap keputusan yang dibuat oleh polisi tersebut sedikit aneh. “Jika melihat suatu permasalahan hukum itu dari sudut sebab akibat,” ucapnya, Jumat, 27 Januari 2023. “Akan tetapi, kalau tersangka untuk dirinya sendiri, itu agak aneh, karena tersangka itu berarti orang lain,” kata Hibnu Nugroho menambahkan. Nugroho memang mengakui bahwa Harsya dijadikan tersangka itu sebuah keputusan. Namun, kemudian penyidikannya dihentikan karena mahasiswa UI itu meninggal dunia. Menurut Hibnu Nugroho, hal itu bukan masalah dihentikan atau tidak dihentikan, tetapi analisis penentuan tersangka itu yang perlu dievaluasi. Pasalnya, HAS merupakan korban yang tewas, bukan menewaskan orang lain. “Jadi kalau tersangka itu ya orang lain yang menyebabkan, bukan dirinya sendiri. Kalau dirinya sendiri, berarti bukan merupakan suatu peristiwa pidana, itu yang harus digarisbawahi,” tuturnya. |
Ada lagi kisah ironis dan memalukan di dunia pendidikan. Seorang mahasiswa yang memperjuangkan keringanan pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) tidak juga mendapatkan keringanan sampai akhirnya sang mahasiswa meninggal dunia. Mahasiswa yang meminta keringanan bukan hanya Riska (mahasiswa UNY) yang menuntut keringanan karena terbebani oleh biaya UKT yang tidak terjangkau. Tetapi, juga masih banyak orang seperti Riska yang memang tidak sanggup membayar UKT. Mereka-mereka ini yang ada kemungkinan terancam dropout karena tidak bisa melunasi UKT-nya. Baru setelah ada korban, pejabat-pejabat di UNY mengatakan bahwa mahasiswa bisa mengajukan keringanan bayaran ketika menghadapi kesulitan ekonomi. Sebagai pejabat yang bertugas melayani publik ada kecenderungan mereka cuci tangan. Seperti itulah gambaran pejabat publik di negara ini. Mereka baru mau berbuat setelah ada korban. Selama tidak ada korban, ada kemungkinan mereka cenderung mengabaikan kewajibannya dalam melayani masyarakat. Selain itu, mereka jelas-jelas tidak punya rasa kemanusiaan. Silakan kita simak kutipan berita di bawah ini.
3.
Kisah Riska yang berjuang membayar uang kuliah sampai meninggal dunia dan disebut ‘korban komersialisasi pendidikan’
14 Januari 2023 Cerita “paling getir” dari dunia pendidikan yang dipaparkan Ganta Semendawai melalui akun twitter @rgantas telah mencuri perhatian warganet di Indonesia. Ganta mengisahkan temannya bernama Riska yang berjuang melanjutkan kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), sampai akhirnya meninggal dunia pada Maret 2021. “Kala itu Riska hanya memegang Rp130 ribu untuk ongkos perjalanan naik bus dan uang saku seminggu di Yogya. Tentu ini bukan bagian yang terburuk,” tulis Ganta mengawali cerita temannya yang berkampung halaman di Purbalingga, Jawa Tengah. Riska kemudian menerima pengumuman biaya kuliah yang disebut Uang Kuliah Tunggal atau UKT mencapai Rp3 juta. Nominal itu dianggap melampaui kapasitas kemampuannya. Persoalan ini bukan hanya dialami Riska, kata Ganta sambil menyitir jajak pendapat yang menunjukkan hampir semua mahasiswa UNY terbebani oleh besaran UKT. Angka biaya kuliah tersebut diyakini muncul setelah Riska gagal mengunggah berkas-berkas yang diperlukan untuk membayar kuliah sesuai kondisi ekonominya. “Saat diminta upload beberapa berkas, ia tidak punya laptop. Sehingga ia meminjam hp tetangganya di desa. “Karena android tetangganya tidak secanggih hp yang sedang Anda pakai. Akhirnya ia tidak bisa upload berkas-berkas yang diminta,” tambah Ganta. Riska memperoleh bantuan dari guru-gurunya di sekolahnya, sehingga ia bisa duduk di kelas selama semester pertama. Lalu, semester berikutnya menjadi lebih berat. Ia sempat mengajukan keringanan UKT, namun hanya diturunkan Rp600.000. Tapi, masih ada semester yang akan datang. Perjuangannya “masih belum usai”. “Dan pada akhirnya yang ditakutkan pun terjadi. Semester selanjutnya ia lagi-lagi tidak bisa membayar UKT,” tulis Ganta yang kemudian meyakini Riska cuti kuliah untuk bekerja, demi membayar UKT semester. Singkat cerita, Ganta menerima kabar temannya sedang kritis. “Selama ini dia mengidap hipertensi yang amat buruk. Ancaman putus kuliah kian memperburuk keadaannya. Setelah beberapa waktu tidak kuliah, tiba-tiba muncul kabar ia sedang kritis di RS. Pembuluh darah di otaknya pecah,” katanya. Ganta menyebut kisah Riska sebagai “korban komersialisasi pendidikan”. Utas ini “ditujukan untuk Menteri Pendidikan Nadiem Makarim,” kata Ganta kepada BBC News Indonesia. Dalam keterangan kepada media, Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Profesor Nizam, mengaku terkejut dengan cerita mahasiswa dari UNY. Padahal, menurutnya, tidak boleh ada mahasiswa yang putus kuliah karena alasan ekonomi. Selama ini, kata Prof. Nizam, selalu ada bantuan dari Kartu Indonesia Pintar dari pemerintah dan bantuan dari kampus melalui beasiswa. Riska bukan satu-satunya Kisah Riska ini telah menguak persoalan serupa di perguruan tinggi negeri lainnya. Seperti yang dialami Nana. Ia harus menghentikan upayanya menempuh pendidikan tinggi saat memasuki semester kedua tahun 2022. Perempuan 21 tahun ini tak menyangka Uang Kuliah Tunggal (UKT) dipatok Rp4 juta per semester. Padahal ia sudah mengajukan sejumlah berkas yang menunjukkan kondisi keuangan keluarganya hanya bisa membayar Rp2 juta per semester. “Saya pikir akan dapat keringanan, ternyata nggak dapat. Terus kebetulan karena Covid, ada PPKM segala macam, sedangkan profesi bapak itu pedagang nasi goreng,” kata Nana kepada BBC News Indonesia. Perempuan yang bercita-cita menjadi seorang editor ini, mengaku sudah mencari informasi agar memperoleh keringanan bayar kuliah, tapi “belum bisa pengajuan kalau belum semester tiga.” Nana yang sekarang bekerja sebagai karyawan di toko swalayan, mungkin saja masih bisa duduk di kelas kuliah sastranya, jika memperoleh keringanan. “Pasti, karena biaya yang dikeluarin juga jauh lebih ringan,” katanya. Di kampus yang sama, Hanifah saat ini sedang mengajukan potongan uang semester sebesar 50% dari biaya UKT sebesar Rp3,9 juta. “Kedua orang tua saya sudah meninggal. Sekarang saya tinggal sama kakak, yang kerjanya itu hanya pedagang, nggak tetap gajinya. Dan, dia masih punya tanggungan anak yang masih sekolah,“ kata Hanifah yang saat ini sedang mengurus skripsi. Perempuan 24 tahun ini terancam tak bisa mengenakan toga di semester berikutnya jika permohonannya tidak diterima kampus. “Belum tahu juga, tapi saya hanya bisa berharap dapat keringanan itu,“ katanya. Di kampus negeri lainnya, Jingga, berjuang meneruskan pendidikan tinggi di semester empat. “Kondisi finansial keluargaku sejak 2020 buruk banget. Ayahku nggak kerja, cuma serabutan saja, ibu IRT, sedangkan tanggungan mereka ada aku dan kedua adikku yang masih SD,“ katanya. Di awal semester Jingga sempat mengajukan permohonan keringanan uang semester yang dipatok Rp5 juta. “Berharapnya dapat Rp2 juta. Tapi dihapus hanya Rp1 juta,” kata mahasiswa yang bercita-cita menjadi penerjemah tersumpah ini. Pada semester ketiga kemarin, Jingga nyaris tidak berlanjut kuliah. “Kemarin sudah mengajukan cicilan, tapi masih belum sanggup bayar juga sampai kena denda. Sudah mengajukan penghapusan denda pun baru sanggup bayar H-1 tenggat pembayaran, hampir namaku nggak masuk di sistem akademik,“ katanya. Ia juga mengeluhkan kampus yang kurang peka terhadap kondisi keuangan mahasiswa. Jingga mengatakan banyak teman-temannya yang mengajukan permohonan keringanan uang semester yang tidak sepenuhnya diterima. “Sama pelayanannya langsung, masih ada staf kurang membantu juga,“ katanya. Jingga saat ini sedang mempertimbangkan untuk menggunakan fasilitas pinjaman dari BEM fakultasnya. “Walau nggak besar, lumayan, buat bantu finansial,” katanya. Berdasarkan laporan Kemendikbud-Ristek, angka putus kuliah di perguruan tinggi negeri mencapai 101.758 mahasiswa. Setidaknya ini yang tergambar pada data terakhir 2019 lalu. Mereka yang putus kuliah karena dikeluarkan, putus kuliah, dan mengundurkan diri. Selain itu, kesempatan duduk kursi perguruan tinggi juga terbatas. Hanya setengah dari lulusan SMA sederajat tiap tahun yang bisa menyandang status mahasiswa. UKT tidak sampai tujuan Sejak 2013, pemerintah mengenalkan sistem biaya kuliah tunggal di perguruan tinggi negeri. Biaya kuliah tunggal merupakan keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada program studi. Artinya, biaya kuliah ini sudah meliputi uang gedung, SPP, uang almamater, praktikum, dan penunjang lainnya yang dilebur menjadi satu kemudian dibagi rata menjadi delapan semester. Penyebutannya di setiap kampus berbeda-beda. Tapi intinya, sistem ini digunakan agar mahasiswa bisa membayar uang kuliah seusai dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Istilah subsidi silang lahir dari sistem ini. Ketentuan pembayaran akan dibagi-bagi dalam bentuk golongan. Golongan satu uang kuliahnya Rp0 – Rp500.000 per semester (setidaknya 5% dari mahasiswa yang diterima). Golongan ini adalah mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin dengan pengeluaran di bawah Rp500.000 per bulan. Kemudian golongan kedua, Rp500.000 – Rp1.000.0000 per semester. Diikuti kelompok selanjutnya hingga golongan tertinggi yang bisa mencapai puluhan juta rupiah. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengatakan dengan kasus-kasus mahasiswa putus kuliah, membuktikan sistem ini tidak berjalan optimal. “Padahal UKT itu agar memudahkan mahasiswa akses ke perguruan tinggi. Tapi dengan sistem UKT, justru menghalangi mahasiswa yang ingin kuliah sampai drop out, dan seterusnya,” katanya. Ubaid melihat adanya ketidakterbukaan dari kampus-kampus terhadap penentuan nilai UKT mahasiswa. “Masalah itu berujung pada UKT yang tidak tepat. Itu akan menjadi bencana bagi dia, sampai dia lulus kuliah,” katanya. Sementara itu, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menilai pengajuan keringanan mahasiswa semestinya bisa diselesaikan di tingkat fakultas. “Karena pimpinan fakultas merasa ini bukan tanggung jawabnya, ini dianggap urusan universitas. Akhirnya, yang korban mahasiswa yang bersangkutan,” katanya. Rakhmat menyebut kejadian di UNY sebagai “sesuatu yang ironis, dan memalukan di dalam dunia pendidikan.” Andil PTN-BH Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, juga mengkritik kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) yang menurutnya ikut menyumbang tingginya iuran semester mahasiswa. PTN-BH adalah perguruan tinggi yang memiliki otonom dalam pengelolaan kampusnya sendiri. Dengan sifatnya yang otonom kampus berstatus PTN-BH bisa mengembangkan fakultas dan program studi. Selain itu, kampus juga mandiri dalam mengelola pemasukan keuangan misalnya dengan membuat usaha mal, hotel, sampai penyewaan aset tanah dan bangunan. Tapi tidak semua kampus memiliki kemampuan tersebut sehingga harus mencari pemasukan dari mahasiswanya, kata Rakhmat. “Ada kampus yang terbatas pemasukannya itu pilihan yang paling memungkinkan, yaitu adalah menaikkan UKT kepada mahasiswa, karena itu yang paling riil, karena itu yang paling mudah,” kata Rakhmat. Saat ini sudah terdapat 21 kampus negeri di seluruh Indonesia yang sudah berstatus PTN-BH. Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Profesor Nizam, yang dihubungi BBC News Indonesia, belum memberikan respons untuk mengonfirmasi hal ini. Tapi sebelumnya, ia mengaku terkejut dengan cerita mahasiswa dari UNY. Padahal, menurutnya, tidak boleh ada mahasiswa yang putus kuliah karena alasan ekonomi. Selama ini, kata Prof. Nizam, selalu ada bantuan dari Kartu Indonesia Pintar dari pemerintah dan bantuan dari kampus melalui beasiswa. “Saya harap tidak akan pernah terjadi lagi seperti yang terjadi menimpa mahasiswi UNY,” katanya seperti dikutip dari Kompas.com. Sementara itu, pihak UNY kepada sejumlah media menyatakan Riska meninggal saat cuti kuliah, dan mengatakan mahasiswa bisa mengajukan keringanan bayaran ketika menghadapi kesulitan ekonomi. |
Kasus keempat (terakhir) bukan diambil dari berita-berita seperti kasus-kasus di atas. Sumber kasus keempat ini diambil dari Wikipedia. Karena diambil dari Wikipedia, wajar saja jika tulisan berikut ini demikian panjang. Tim penulis Wikipedia bukan saja meliput berita seperti media online meliput berita, tetapi juga menuliskannya secara mendetail sehingga pembacanya memperoleh gambaran demikian lengkap suatu peristiwa yang dibacanya. Di bawah ini ada sebuah peristiwa yang memilukan. Peristiwa ini juga turut merusak nama baik Indonesia di mata dunia khususnya di dunia olah raga (sepak bola). Bagaimana tidak memilukan kalau ada 135 orang yang wafat dan 583 orang yang luka-luka? Bencana yang disebut-sebut terbesar kedua setelah tragedi Estadio Nacional 1964 di Peru yang menewaskan 328 orang itu lebih disebabkan lagi-lagi pihak kepolisian yang menembakkan gas air mata ke para perusuh dan sebagian ke arah tribun selatan. Spontan saja para penonton berhamburan. Mereka berlarian untuk menghindari asap gas air mata. Kerumunan yang terjebak karena beberapa pintu keluar terkunci berhimpitan sehingga banyak di antaranya yang menjadi korban mengalami asfiksias (kekurangan oksigen). Tragedi yang memilukan dan mengerikan itu diliput oleh sekian banyak, baik media online nasional maupun internasional. Bahkan, Wikipedia juga tidak luput mengabadikan kejadian tersebut yang boleh dikatakan cukup lengkap peliputannya. Untuk lebih jelasnya, bisa kita lihat tulisan di bawah ini.
4.
Pada tanggal 1 Oktober 2022, sebuah insiden penghimpitan kerumunan yang fatal terjadi pasca pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Menyusul kekalahan tim tuan rumah Arema dari rivalnya Persebaya Surabaya, sekitar 3.000 pendukung Arema memasuki lapangan. Pihak kepolisian mengatakan bahwa para pendukung membuat kerusuhan dan menyerang para pemain dan ofisial tim, sehingga polisi berusaha melindungi para pemain dan menghentikan kerusuhan tersebut, namun massa justru bentrok dengan aparat keamanan. Sebagai tanggapan, unit polisi anti huru hara menembakkan gas air mata, dengan beberapanya ke arah tribun selatan yang tidak terdapat gesekan, yang memicu berlariannya para penonton untuk menghindarinya. Hal ini menimbulkan penumpukan kerumunan. Sebuah penghimpitan kerumunan terjadi di pintu keluar, menyebabkan sejumlah supporter mengalami asfiksia. Sampai pada tanggal 24 Oktober, tercatat ada sebanyak 135 orang yang tewas, dan 583 orang lainnya cedera. Bencana tersebut merupakan bencana paling mematikan kedua dalam sejarah sepak bola di seluruh dunia, setelah tragedi Estadio Nacional 1964 di Peru yang menewaskan 328 orang. Dengan demikian, bencana ini adalah yang paling mematikan di Asia, Indonesia, dan belahan bumi bagian timur. Pada tanggal 6 Oktober 2022, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Listyo Sigit Prabowo mengumumkan enam tersangka: direktur penyelenggara pertandingan PT Liga Indonesia Baru (LIB), kepala petugas keamanan Arema, panitia pelaksana pertandingan Arema atas kelalaian dan tiga petugas polisi atas penggunaan gas air mata. Latar Belakang Hooliganisme sepak bola memiliki sejarah panjang di Indonesia, dengan puluhan suporter tewas sejak tahun 1990-an. Klub-klub penggemar beberapa tim memiliki apa yang disebut “komandan”, dan unit polisi anti huru hara hadir di banyak pertandingan, dengan suar sering digunakan untuk membubarkan kerumunan kerusuhan yang menginvasi lapangan. Pada tahun 2018, kerusuhan di Kanjuruhan setelah pertandingan antara Arema Malang dan Persib Bandung mengakibatkan korban jiwa setelah polisi anti huru hara menggunakan gas air mata untuk membubarkan kerumunan massa. Meskipun peraturan FIFA 19b menyatakan bahwa gas air mata tidak boleh digunakan di stadion oleh petugas di pinggir lapangan atau polisi, gas air mata tetap digunakan oleh unit anti huru hara kepolisian Indonesia untuk mengamankan pertandingan sepak bola. Peraturan FIFA bersifat opsional ketika sebuah asosiasi atau konfederasi mengatur sebuah acara dengan peraturan kompetisinya sendiri. Oleh karena itu, peraturan tersebut hanya dapat berfungsi sebagai pedoman. Arema dan Persebaya Surabaya, dua klub yang sudah lama bersaing dalam Derbi Super Jawa Timur, dijadwalkan untuk memainkan pertandingan musim reguler Liga 1 di Stadion Kanjuruhan Malang yang berkapasitas 42.000 orang pada tanggal 1 Oktober. Karena masalah keamanan, polisi telah meminta agar pertandingan diadakan lebih awal pada sore hari pukul 15:30 WIB (08:30 UTC), bukan pukul 20:00 (13:00 UTC), dan hanya 38.000 orang yang diizinkan untuk menonton; namun permintaan itu tidak diterima oleh ofisial Liga 1 dan penyelenggara pertandingan, dan 42.000 tiket dicetak. Namun, mengikuti saran polisi, tiket pertandingan tidak disediakan untuk para pendukung Persebaya. Kapolres Malang sempat melakukan pembicaraan via telepon dengan Direktur Operasional LIB, Sujarno, yang mengatakan pertandingan harus tetap digelar pada malam hari. Insiden Selama pertandingan berlangsung, situasi pengamanan berjalan lancar dan tanpa insiden besar. Setelah pertandingan berakhir, di mana Persebaya mengalahkan Arema 3-2 – kemenangan pertama Persebaya saat tandang ke Arema, empat penonton dari tribun 9 dan 10 masuk ke lapangan untuk berfoto bersama pemain Arema. Menurut seorang saksi, mereka dikejar oleh polisi, yang menarik baju mereka dan memukuli mereka; hal ini memicu suporter lain untuk masuk ke area lapangan. Sekitar 3.000 pendukung Arema, yang dijuluki Aremania, menginvasi lapangan. Grup suporter pertama yang menyerbu lapangan berasal dari tribun 12. Mereka berpencar di sekitar lapangan mencari pemain dan ofisial tim mereka, menuntut penjelasan tentang kekalahan “setelah 23 tahun tidak terkalahkan dalam pertandingan kandang” melawan rivalnya, Persebaya. Petugas keamanan dan polisi mencoba mengalihkan lebih banyak Aremania menjauh dari lapangan, namun gagal. Kemudian Aremania mulai melemparkan benda-benda, merusak kendaraan polisi dan menyalakan api di dalam stadion, memaksa para pemain Persebaya bergegas berlindung di dalam ruang ganti dan lalu dilarikan lagi ke dalam mobil personel lapis baja milik polisi selama satu jam sebelum mereka bisa meninggalkan stadion. Setelah “tindakan pencegahan” gagal, polisi mulai menggunakan gas air mata dalam upaya untuk membubarkan para perusuh di lapangan. Awalnya, polisi menembakkan gas air mata ke arah tribun 12, dengan tribun 10,11, dan 14 kemudian ditargetkan, diikuti oleh tribun selatan dan utara. Ini mengakibatkan para aremania yang berada di sana berlarian ke arah pintu keluar (gerbang 12-14) untuk menghindari gas air mata. Semua gerbang dikunci kecuali gerbang 14, menyebabkan penumpukan, penghimpitan kerumunan dan asfiksia, dengan sebagian besar korban ditemukan di gerbang 13 dan 14. Gas air mata juga dikerahkan di luar stadion. Listyo mengklaim 11 gas air mata ditembakkan dalam bencana ini (7 tembakan ke selatan, 1 tembakan ke utara dan 3 tembakan ke lapangan). Sementara The Washington Post melaporkan bahwa polisi menembakkan sedikitnya 40 peluru gas air mata ke arah kerumunan dalam waktu 10 menit. Pihak kepolisian mengatakan bahwa sepuluh kendaraan polisi dan tiga kendaraan pribadi hancur dirusak oleh Aremania. Sesaat setelah kerusuhan, ruang lobi dan ruang ganti pemain digunakan sebagai posko evakuasi darurat, dengan para pemain dan ofisial Arema membantu mengevakuasi korban yang masih berada di dalam stadion. Para korban dibawa ke rumah sakit dengan ambulans dan truk TNI. Banyak yang meninggal dalam perjalanan ke atau selama perawatan. Korban Pada tanggal 5 Oktober 2022, Kepolisian Republik Indonesia mengkonfirmasi 131 korban jiwa akibat bencana ini. Data ini senada dengan laporan sebelumnya dari Dinas Kesehatan Kabupaten Malang yang menyebutkan sebanyak 131 orang meninggal akibat bencana ini. Sementara itu, 133 kematian dilaporkan oleh Posko Pusat Krisis Postmortem, yang didirikan oleh pemerintah Kabupaten Malang. Aremania membantah angka resmi tersebut, dan menduga bahwa lebih dari 200 orang kemungkinan tewas, karena beberapa jenazah yang tewas langsung dikembalikan ke keluarga mereka alih-alih dibawa ke rumah sakit dalam korban tewas. Jumlahnya diperkirakan akan meningkat karena beberapa. Sebanyak 39 orang berusia 3 sampai 17 tahun juga termasuk korban yang ditangani situasinya “memburuk”. Hingga 18 Oktober 2022, jumlah korban yang dilaporkan adalah 583 orang terluka dan 133 orang tewas. Korban ke-135 meninggal pada 24 Oktober 2022. Pemerintah Kota Malang membiayai perawatan medis para korban. Rumah Sakit Daerah Kepanjen dan Rumah Sakit Wava dilaporkan penuh dengan korban dari bencana tersebut, yang menyebabkan beberapa dikirim ke rumah sakit lain di sekitar kota. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, mengumumkan bahwa pemerintah Jawa Timur akan memberikan kompensasi finansial bagi keluarga korban. Setiap keluarga terdekat dari korban meninggal akan menerima Rp 10 juta, sementara korban luka-luka akan menerima Rp 5 juta. Pada tanggal 4 Oktober 2022, Jokowi mengumumkan pemberian kompensasi finansial tambahan sebesar Rp 50 juta dari pemerintah pusat kepada setiap keluarga terdekat korban yang meninggal. Bencana ini merupakan yang paling mematikan kedua dalam sejarah sepak bola di seluruh dunia, setelah bencana Estadio Nacional tahun 1964 di Peru, yang menewaskan 328 orang. Buntut Akibat insiden tersebut, Presiden Joko Widodo kemudian menginstruksikan asosiasi untuk menangguhkan semua pertandingan Liga 1 sampai semua “evaluasi perbaikan prosedur keamanan” dilakukan. Diikuti oleh tim pencari fakta gabungan yang memutuskan bahwa semua pertandingan liga sepak bola (Liga 1, Liga 2 dan Liga 3) dihentikan sementara hingga Presiden mengatakan hal itu dapat dinormalisasi. Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) meminta maaf atas insiden tersebut dan mengumumkan larangan pertandingan kandang bagi Arema di sisa musim ini. PSSI juga menyatakan bahwa keputusan untuk tetap menggelar pertandingan oleh PT Liga Indonesia Baru, yang merupakan penyelenggara pertandingan, telah disepakati dengan para pemangku kepentingan sepak bola Indonesia lainnya. Selain itu, Jokowi juga memerintahkan semua stadion Liga 1, 2 dan 3 untuk diaudit penuh oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono. Pada tanggal 3 Oktober 2022, dua hari setelah kejadian tersebut, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Listyo Sigit Prabowo mencopot Kapolres Malang, Ajun Komisaris Besar Polisi Ferli Hidayat, dari tugasnya. Kapolda Jawa Timur Nico Afinta, dan sembilan komandan Brimob Polda Jawa Timur juga dicopot. Juga pada 3 Oktober 2022, PSSI mengumumkan bahwa pertandingan grup B kualifikasi Piala Asia U-17 AFC 2023, yang diadakan di Indonesia, akan dimainkan secara tertutup mulai malam itu. Pada tanggal 4 Oktober 2022, seorang polisi ditahan selama 21 hari karena menggunakan akun Twitter resmi kepolisian Srandakan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan mencuitkan “Modyarr!” dan “Salut sama pak tentara, musnahkan” sebagai tanggapan terhadap netizen Indonesia yang membahas penggunaan gas air mata dalam insiden tersebut. Setelah kejadian tersebut, sebuah video yang menunjukkan tentara Indonesia memukuli dan menendang suporter Arema muncul ke permukaan. Panglima TNI Andika Perkasa berjanji bahwa tindakan tersebut tidak dipandang sebagai pembelaan diri, dan tentara yang terlibat akan dijerat dengan hukum pidana. Setelah pertemuannya dengan Presiden FIFA Gianni Infantino pada 18 Oktober 2022, Widodo mengeluarkan perintah untuk menonaktifkan Stadion Kanjuruhan, membongkar dan membangunnya kembali sesuai dengan standar FIFA. Legal Menyusul insiden tersebut, ada seruan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), sebuah lembaga pengkajian masalah pertahanan dan keamanan Indonesia, dan Indonesian Police Watch (IPW) untuk memecat Kapolres Malang, Ajun Komisaris Besar Ferli Hidayat. ISESS juga mendesak pemecatan Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Nico Afinta, sedangkan IPW meminta Afinta untuk membawa para penyelenggara pertandingan ke persidangan. Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan hukuman larangan beraktivitas di dunia sepakbola seumur hidup kepada ketua panitia pelaksana pertandingan Arema, Abdul Haris, dan kepala keamanan Arema, Suko Sutrisno. Selain itu, Arema dikenai denda Rp 250 juta, dan Arema dilarang menggelar pertandingan dengan penonton sebagai tuan rumah. Pertandingan harus digelar jauh dari home base Malang, yakni sejauh 250 km dari lokasi. Investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (KOMNAS HAM) berencana untuk menyelidiki insiden tersebut dan pemakaian gas air mata oleh polisi. Meskipun aturan FIFA mengatakan bahwa gas air mata tidak boleh digunakan di dalam stadion, kepala polisi daerah membela penggunaannya, dengan alasan ancaman yang ditimbulkan oleh para perusuh terhadap pemain dan ofisial. Namun, polisi juga menyatakan bahwa mereka akan mengevaluasi penggunaan gas air mata. Penyelidik juga memeriksa peran 18 petugas polisi yang mengoperasikan peluncur gas air mata. Pada 12 Oktober 2022, KOMNAS HAM mempublikasikan temuan mereka. Pada tanggal 14 Oktober 2022, Narasi, sebuah kantor berita independen Indonesia, merilis investigasi visual dengan menyajikan urutan bencana, menyoroti penyalahgunaan gas air mata. Narasi mengumpulkan lebih dari 80 rekaman video amatir. Polisi Polisi menyelidiki rekaman CCTV di enam gerbang Stadion Kanjuruhan pada 4 Oktober. Khususnya, gerbang 3 dan 9-13 karena hasil dari analisis awal menilai sebagian besar korban berada di gerbang tersebut. Pada 6 Oktober 2022, Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengumumkan enam tersangka. Ahmad Hadi Lukita, direktur PT Liga Indonesia Baru, didakwa karena kelalaiannya dalam verifikasi stadion. Abdul Haris, ketua panitia pelaksana pertandingan Arema, didakwa karena tidak memenuhi kewajiban membuat seperangkat aturan atau pedoman keselamatan bagi penonton, serta mengizinkan penjualan tiket di atas kapasitas stadion. Suko Sutrisno, kepala keamanan Arema, didakwa karena tidak membuat dokumen pengkajian risiko, dan memerintahkan penjaga pintu gerbang untuk meninggalkan gerbang stadion saat bencana terjadi.Tiga petugas polisi juga dijadikan tersangka: Wahyu SS, yang merupakan Kabag Ops Polres Malang Wahyu SS, karena mengabaikan aturan FIFA tentang larangan penggunaan gas air mata, meskipun dirinya mengetahui aturan tersebut; lalu Komandan Kompi III Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman karena memerintahkan anggotanya untuk menembakan gas air ke arah penonton; dan Kasat Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Polisi Bambang Sidik Achmadi, yang juga memerintahkan anak buahnya menembak gas air mata.Mereka dijerat Pasal 359 dan 360 KUHP, serta Pasal 103 juncto Pasal 52 UU RI No. 11/2022 tentang Keolahragaan. Pada 10 Oktober 2022, polisi mengakui telah menggunakan gas air mata kadaluarsa. Tim pencari fakta menyerahkan sampel gas air mata kepada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk menganalisis gas air mata yang digunakan oleh polisi untuk menemukan kemungkinan adanya racun atau senyawa lain dalam gas air mata, untuk menentukan senyawa yang menyebabkan cedera atau kematian para korban. Sampel gas air mata tersebut berasal dari tiga tempat penyimpanan gas air mata Polri yang terpisah, yaitu dari Brimob, Korps Samapta, dan Polres Malang. Karena masalah gas air mata yang kadaluarsa, orang tua dari dua korban yang meninggal dalam tragedi tersebut mengajukan permintaan otopsi ulang pada tubuh putri mereka, sang ayah mempertanyakan penyebab kematian kedua putrinya. Pada 15 November 2022, Polda Jawa Timur memanggil dokter dari Rumah Sakit Wava Husada, Kepanjen, untuk memberikan kesaksian terhadap tersangka terhadap KUHP pasal 359 dan 360, yang mana mengatur tentang hukuman dari mengakibatkan seseorang mengalami cidera serius atau kematian karena ketidak sengajaan, dan juga pasal 103 paragraf 1 Jo undang-undang pasal 52 nomor 11 tahun 2022, yang terkait dengan olah raga. Hingga tanggal itu, sebelas dokter telah memberikan kesaksian. Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Pada tanggal 3 Oktober 2022, tim gabungan independen pencari fakta atau disingkat TGIPF, yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dan Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali, dibentuk. Tidak ada anggota Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang tergabung dalam tim pencari fakta tersebut. Pada 14 Oktober 2022, tim pencari fakta menyerahkan laporan akhir investigasi setebal 124 halaman kepada presiden. Sementara laporan lengkapnya dirahasiakan, ringkasan dan kutipan dari laporan tersebut telah tersedia. Laporan tersebut meletakkan kesalahan pada enam pihak yang terlibat dalam insiden tersebut: PSSI, LIB, panitia penyelenggara pertandingan, petugas keamanan pertandingan, Kepolisian dan TNI, serta suporter Arema. Dari pihak-pihak yang terlibat, PSSI dituding oleh tim pencari fakta sebagai penyebab utama insiden tersebut. Tim pencari fakta menilai ada delapan kesalahan yang dilakukan PSSI, dan ketua umum PSSI serta anggota komite eksekutif harus mengundurkan diri atas musibah Kanjuruhan. Di sisi lain, PSSI menolak rekomendasi tim gabungan pencari fakta agar PSSI melakukan perombakan kepengurusan melalui Kongres Luar Biasa (KLB). PSSI mengklaim itu hanya rekomendasi saja. Pada 28 Oktober 2022, komisaris eksekutif PSSI mengumumkan bahwa mereka akan menggelar kongres luar biasa, setelah perwakilan klub dan anggota PSSI mengutip Pasal 34 Statuta PSSI. Pada saat tim pencari fakta mengumumkan laporan akhir, BRIN belum menyelesaikan analisis sampel gas air mata dan masih menilai toksisitas dan melakukan profiling toksin secara lengkap. Meskipun demikian, laporan BRIN yang dihasilkan dan kemudian diserahkan sebagai addendum laporan akhir tim pencari fakta, tim pencari fakta menekankan bahwa konsentrasi tinggi gas air mata adalah penyebab utama dari cedera dan kematian. Pada 21 Oktober 2022, BRIN menyerahkan hasil analisis laboratorium gas air mata ke TGIPF. Namun, TGIPF melalui Mahfud MD tidak mengumumkan hasil itu ke publik. Menurut Mahfud, TGIPF menyimpulkan bahwa akar permasalahan dari kepanikan yang menyebabkan kematian ratusan orang pada tragedi disebabkan oleh penggunaan gas air mata. Menurut Polda Jawa Timur, gas air mata yang digunakan tidak berbahaya. Tim pencari fakta juga menemukan rekaman CCTV di Stadion Kanjuruhan yang diduga telah dihapus, mengindikasikan kemungkinan adanya upaya menutup-nutupi. Rekaman tersebut berasal dari lobi utama dan area parkir dengan durasi 3 jam 21 menit. Otopsi Pada 5 November 2022, tim independen dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) melakukan otopsi terhadap jenazah dua korban setelah sebelumnya ditunda. Keluarga korban mengatakan bahwa polisi telah mengintimidasi mereka. Ekshumasi dua korban perempuan, berusia 16 dan 13 tahun, dilakukan di TPU Sukolilo, Wajak. Hasil dari otopsi ini diharapkan akan dirilis dalam tiga minggu. Pada 30 November 2022, PDFI mengumumkan hasil otopsi di Universitas Airlangga melalui ketua perhimpunan, Nabil Bahasuan. Mereka menyatakan bahwa di dalam tubuh korban tidak mengandung residu gas air mata. Mereka menemukan bahwa penyebab kematian dua jenazah tersebut karena patah tulang pada tulang iga dan dada dan terjadi pendarahan. Mereka juga menyatakan bahwa kondisi jenazah telah terurai saat waktu pengambilan sampel. Namun begitu, kuasa hukum keluarga korban mengklaim bahwa saat korban ditemukan saat tragedi, korban didapati dengan wajah menghitam, busa keluar dari mulut korban, dan urin keluar. Reaksi FIFA Pada 6 Oktober 2022, Presiden Jokowi mengirim surat kepada Presiden FIFA Gianni Infantino melalui Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. FIFA membalas surat tersebut pada 7 Oktober 2022 sebagai berikut: 1. Tidak ada sanksi yang diberikan kepada Indonesia dan Tim Nasional Indonesia dari FIFA 2. Kolaborasi antara pemerintah Indonesia, FIFA, AFC dan PSSI akan dibentuk dengan tujuan: 1) Menetapkan standar keamanan stadion untuk semua stadion sepak bola di Indonesia. 2) Merumuskan protokol dan prosedur keamanan yang harus dijalankan oleh polisi untuk memenuhi standar internasional. 3) Membina diskusi antara klub-klub sepak bola Indonesia dan perwakilan suporter untuk mengumpulkan masukan dan komitmen bersama. 4) Mengkaji ulang jadwal pertandingan sepak bola dan melakukan analisis risiko-manfaat. 5) Mengundang para pakar untuk tujuan bimbingan dan pemberian saran. 3. Pendirian kantor khusus FIFA di Indonesia Pada 18 Oktober 2022, Infantino bertemu Jokowi di Istana Merdeka. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah Indonesia dan FIFA sepakat untuk: 1) Membenahi sistem, infrastruktur, dan budaya penggemar sepak bola Indonesia. 2) Memastikan semua aspek dalam kompetisi sepak bola Indonesia akan dijalankan di bawah standar FIFA. 3) Memastikan semua aspek dalam keamanan pertandingan akan dijalankan di bawah standar FIFA. 4) Mengkaji ulang semua kelayakan stadion dan menerapkan teknologi terkini. 5) Mengubah standar sepakbola Indonesia secara komprehensif sesuai dengan standar FIFA. Pengkajian terhadap seluruh pemangku kepentingan sepak bola Indonesia akan dilakukan bersama oleh pemerintah Indonesia dan FIFA. 6) Menyelenggarakan Piala Dunia FIFA U-20 2023, dengan Indonesia sebagai tuan rumah turnamen sesuai rencana dan jadwal. Turnamen ini akan dikelola bersama oleh pemerintah Indonesia dan FIFA. (https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Stadion_Kanjuruhan_2022 ) |
***
Setelah membaca dan mempelajari keempat kasus di atas, kita bisa mengatakan bahwa pelayanan publik di negara ini masih dinilai buruk. Coba saja kita renungkan, bagaimana bisa IPK di negara ini mengalami nilai yang boleh dikatakan kalau di perguruan tinggi itu E (tidak lulus)? Apa gunanya kita menggembar-gemborkan di seantero negara ini kalau di tahun 2025 nanti negara kita dalam pelayanan publik bebas dari korupsi padahal faktanya kita dapati nilai IPK negara kita 34? Pihak berwajib, dalam hal ini kepolisian, kok demikian enaknya menuding orang yang sampai wafat ditabrak dijadikan sebagai tersangka? Di mana logikanya? Di mana rasa kemanusiaannya? Di mana pula moralnya? Kita pun tidak habis pikir orang-orang akademis kok demikian teganya memberikan kebijakan yang tidak berpihak pada para mahasiswanya yang tidak sanggup membayar UKT? Setelah ada korban yang jelas-jelas telah memperjuangkan haknya untuk memperoleh keringanan UKT meninggal dunia, mereka baru mengeluarkan kebijakan yang jelas-jelas itu merupakan sikap cuci tangan saja. Bagaimana pula lagi-lagi pihak kepolisian melakukan kesalahan fatal yang memakan korban yang tidak sedikit karena mereka menggunakan gas air mata untuk membubarkan kerusuhan di stadion Kanjuruhan, Malang? Bukankah sudah jelas-jelas gas air mata tidak boleh digunakan di stadion? Semua kasus tersebut jelas-jelas menunjukkan adanya maladministrasi. Supaya kasus-kasus serupa tidak terjadi lagi, harus ada keseriusan membenahi kembali birokrasi kita. Diperlukan reformasi ulang birokrasi kita dengan melibatkan bukan hanya pemerintah, tapi juga orang-orang akademis di perguruan tinggi yang masih punya kepedulian terhadap masalah-masalah maladministrasi atau pelayanan publik yang buruk yang berakar dari birokrasi kita yang buruk.
Sumber Gambar :
(https://kapito.id/ngegas/jejak-negeri-jenaka-2-dilema-pemberantasan-korupsi-di-indonesia/)