Subagio S.Waluyo

Manusia hidup tidak lepas dari pelayanan. Coba saja kita bayangkan, ketika kita masih di dalam rahim ibu kita, agar kita nanti lahir normal ibu kita kerap kali harus memeriksakan kandungannya. Di situ tentu saja ibu kita membutuhkan pelayanan, baik dari tenaga administratif maupun tenaga medis tempat ibu kita memeriksakan kandungannya.  Pada saat ibu kita mau melahirkan, ibu kita juga perlu pelayanan dari rumah sakit atau rumah bersalin. Kalau kelahirannya lancar-lancar saja, ibu kita tidak perlu berurusan dengan pihak rumah sakit. Sebaliknya, kalau ada masalah dengan bayi yang dikandungnya, terpaksa ibu kita dibantu dengan ayah/bapak kita harus berurusan dengan pihak rumah sakit. Di situ orang tua kita butuh pelayanan dari pihak rumah sakit. Begitu kita lahir ke dunia, orang tua kita juga harus mengurus akta kelahiran. Lagi-lagi orang tua kita harus sibuk berurusan dengan intansi terkait untuk memperoleh akta kelahiran. Di sini, kita perlu bantuan pelayanan dari instansi yang akan mengeluarkan akta kelahiran kita.

          Pelayanan buat kita belum selesai. Bagaimana agar kita sebagai anak tumbuh sehat? Pasti kita membutuhkan pelayanan. Dalam hal ini bukan saja berurusan dengan administrasi rumah sakit atau puskesmas,tapi juga dengan tenaga medis. Bagaimana agar kita sebagai anak kelak menjadi orang yang berpendidikan dan (tentu saja) berpenghasilan bahkan, menjadi anak yang berguna bagi bangsa, negara, dan agama? Pasti kita membutuhkan yang namanya pelayanan. Lembaga pendidikan tempat kita belajar  bukankah ada tenaga kependidikan yang biasanya mengurusi administrasi sekolah? Selain itu, orang tua kita yang menyekolahkan kita di lembaga pendidikan juga akan berurusan dengan guru. Bukan hanya orang tua kita, kita pun membutuhkan pelayanan dari guru-guru yang mendidik kita. Mungkin di perguruan tinggi kita sudah diajarkan mandiri. Semua urusan administrasi bisa kita lakukan sendiri (walaupun juga ada anak yang masih belum bisa mandiri karena masih memerlukan bantuan orang lain). Urusan dengan dosen juga dapat kita lakukan sendiri. Tapi, semua itu tidak lepas dari adanya pelayanan, baik dari tenaga kependidikan maupun tenaga pendidikan. Begitu selesai dari tempat kita belajar, kalau ada yang mau bekerja, entah di instansi pemerintahan atau di swasta, kita juga masih berurusan dengan pelayanan. Bahkan, kalau ada yang mau berwirausaha atau membuka lembaga pendidikan, misalnya, bisa dipastikan juga tidak terlepas dari pelayanan. Nanti kita sakit sampai pada saatnya kita dipanggil Tuhan, ada orang yang mengurus surat kematian kita juga berurusan dengan yang namanya pelayanan. Jadi, hidup kita tidak terlepas dari pelayanan. Kalau begitu, apa itu pelayanan?

***

          Imbuhan PeN-an pada kata `pelayanan` menunjukkan proses. Bisa saja diartikan proses melayani. Karena sebuah proses, pelayanan tidak pernah ada kata selesai. Berbeda dengan kata `layanan` yang memiliki arti `hasil melayani` itu dianggap selesai. Kata `layanan` yang memiliki arti `hasil melayani` bisa saja diartikan sebagai hasil `pelayanan`. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering dapati kalimat berbunyi: bagaimana layanannya? Kalimat tersebut bisa juga berbunyi: bagaimana hasil pelayanannya? Siapapun yang berhadapan dengan pertanyaan tersebut selalu memperoleh jawaban: pelayanannya baik atau kurang baik. Padahal yang diperoleh hasil pelayanannya yang kita sebut sebagai layanan. Seharusnya ketika kita memperoleh hasil dari yang namanya pelayanan kita sebut layanannya kurang baik. Ada kemungkinan orang lebih melihat pada proses melayani bukan pada hasilnya sehingga muncul kata `pelayanan`. Kalau itu yang terjadi, kita fokus pada kata `pelayanan` yang memang menjadi bahan tulisan kita kali ini.

          Berkaitan dengan pelayanan (dalam hal ini pelayanan publik), kita bisa menganalisis kasus-kasus yang dimunculkan pada “1. Bermula dari Kasus-Kasus”. Kasus-kasus tersebut menunjukkan adanya maladministrasi atau pelayanan publik yang buruk. Mengapa timbul pelayanan publik yang buruk? Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan analisis yang mendalam yang pada saatnya diharapkan kita bisa menjawabnya. Meskipun demikian, kita coba uraikan dulu di sini yang berkaitan dengan pelayanan publik. Kita coba pelajari dulu masukan-masukan dari beberapa sumber yang membahas tentang pelayanan publik. Kita mulai saja dari Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik.

Dasar utama kita bicara pelayanan publik sudah jelas ya? Mau tidak mau kita harus mengambil dasar hukumnya, yaitu UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (untuk seterusnya disebut UU Pelayanan Publik). Jangan lagi kita mengambil dasar hukumnya entah itu dari keputusan menteri yang juga bicara tentang pelayanan publik tapi sudah ada sebelum UU Pelayanan Publik tersebut dikeluarkan. Kita juga tidak perlu lagi mengambil konsep tentang pelayanan umum dari buku-buku yang terbit sebelum dikeluarkannya UU Pelayanan Publik. Juga tidak relevan kita mengambil bahan-bahan yang berkaitan dengan pelayanan yang ditulis oleh kalangan `orang-orang pintar` dari bidang ekonomi atau bisnis karena sudah jelas muatan yang mereka sampaikan tidak akan sama dengan UU Pelayanan Publik tersebut di atas. Dasar pijakan ini yang perlu kita taati supaya kita mempunyai satu pemikiran tentang pelayanan publik. Kalau sudah satu pemikiran, kita mudah untuk mengambil kebijakan ketika kita memecahkan masalah yang berkaitan dengan pelayanan publik yang buruk.

          Masih ada kaitannya dengan UU Pelayanan Publik, apakah ada Peraturan Pengganti UU (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), atau Peraturan Menteri (Permen) yang dikeluarkan oleh Kemenpan RB yang juga mengatur pelayanan publik? Khusus Perpu yang berkaitan dengan pelayanan publik tidak ada. Tetapi, untuk PP ada, yaitu PP Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Isinya lebih cenderung berisi pedoman pelaksanaan UU Pelayanan Publik. Sementara itu, Permen yang berkaitan dengan pelayanan publik juga ada, yaitu Permenpan RB RI Nomor 19 Tahun 2021 tentang Standar Pelayanan di Lingkungan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB). Tapi, Permen itu hanya diterapkan di lingkungan Kemenpan RB. Jadi, tidak berlaku di luar instansi tersebut. Baik PP maupun Permenpan RB dalam pembuatan peraturan landasan hukumnya masih menggunakan UU Pelayanan Publik. Dengan demikian, UU Pelayanan Publik telah sah dan berlaku untuk semua jajaran instansi pemerintah (termasuk lembaga-lembaga pendidikan atau badan-badan usaha yang dimiliki pemerintah) untuk melaksanakannya.

Sekarang, kita fokus lagi ke definisi di atas. Berdasarkan definisi di atas, kita bisa mengambil intisarinya bahwa pelayanan publik diberikan kepada masyarakat (publik). Bisa saja disebut pelayanan masyarakat. Tapi, nanti orang membuat persepsi yang bukan-bukan, yaitu yang melayani atau yang memberikan pelayanan itu masyarakat. Bukankah ini jadi terbalik konsepnya? Seharusnya `kan yang memberikan pelayanan itu pejabat publik (birokrat) bukan masyarakat sehingga tetap kita pertahankan konsep pelayanan publik. Karena itu, sampai kapanpun birokrat selaku pelayan masyarakat (publik) yang melayani kebutuhan publik. Namanya juga pelayan publik mau tidak mau harus melayani publik dengan baik, mudah, murah, cepat, dan terukur. Jadi, masyarakat wajib (bukan boleh ya?) menyampaikan keluhan kalau ada pelayan publik yang dalam pelayanannya tidak sesuai dengan standar atau ukuran yang telah ditetapkan.

Apakah masyarakat sebagai orang yang dilayani oleh pejabat publik telah memperoleh pelayanan yang seperti disampaikan di atas: baik, mudah, murah, cepat, dan terukur? Ternyata, fakta di lapangan menunjukkan hal yang sangat bertentangan. Di lapangan ditemukan (seperti yang terlihat pada slide di atas). Kok, bisa begitu ya? Untuk menjawab ketiga persoalan pokok di slide di atas akan dibahas tersendiri karena ketiganya memerlukan uraian yang cukup panjang. Kita lebih cenderung mencoba menguraikan kembali pada pelayanan publik yang harus mementingkan kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan pernyataan bahwa pelayanan publik harus mementingkan kebutuhan masyarakat, kalau ada masyarakat yang kebutuhannya ternyata tidak terpenuhi, bagaimana? Dalam hal ini masyarakat bisa mengadukan permasalahannya ke Ombudsman. Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan (https:// www.detik.com/edu/detikpedia/d-6362040/apa-itu-ombudsman-ini-pengerti- an-hingga-tugasnya). Agar semakin bertambah pengetahuan kita tentang Ombudsman, tidak ada salahnya kita lihat dulu tugas dan fungsinya yang bisa dilihat pada slide-slide berikut ini.

Dengan melihat pada tugas dan fungsinya, kita jadi semakin tahu tentang keberadaan lembaga ini. Selain itu, yang juga perlu kita ketahui, yaitu dalam melaksanakan tugasnya, Ombudsman bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya dan mengacu pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Jadi, kalau melihat pada landasan hukum yang digunakan, justru UU yang mengatur Ombudsman lebih dulu ada sebelum UU Pelayanan Publik. Dengan demikian, kita selaku masyarakat ketika berurusan dengan pelayanan publik mendapat penguatan dari kedua UU tersebut (UU Ombudsman dan UU Pelayanan Publik). Sebagai tambahan, kita selaku masyarakat yang kerap berhubungan dengan pelayanan publik perlu tahu juga kalau dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah juga mengatur tentang pelayanan publik. Silakan saja dibuka di UU tersebut Bab XIII, Pasal 344 sampai dengan Pasal 353 yang membahas tentang pelayanan publik di Indonesia. Sebagai bukti adanya butir-butir pelayanan publik, kita bisa lihat pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 344 di slide-slide berikut ini.

Dari slide di atas, di Pasal 344 ayat (1) semakin jelas bahwa Pemerintah Daerah wajib menjamin terselenggaranya pelayanan publik berdasarkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Jadi, pemda yang belum menyelenggarakan pelayanan publik dengan baik kalau dikaitkan dengan tugas Ombudsman di nomor 7) di atas perlu dilaporan. Bukankah sudah merupakan tugas Ombudsman berkaitan dengan nomor 7) itu adalah mencegah terjadinya maladministrasi dalam administrasi publik? Kalau kita sebagai anggota masyarakat tidak pernah melakukan pelaporan, tidak mungkin bisa dilakukan pencegahan maladministrasi. Tidaklah aneh kalau selama ini sering terjadi maladministrasi dalam pelayanan publik karena ada kecenderungan masyarakat melakukan pembiaran.

***

Sebagai warga negara, kita berhak mendapatkan pelayanan publik dari pelayan publik. Kita tidak ingin menjadi anggota masyarakat seperti terlihat di gambar di atas yang sama sekali tidak dipedulikan kehadirannya oleh para pejabat publik. Mereka (para pejabat publik) asyik dengan kesibukannya sendiri. Orang yang seharusnya mendapat pelayanan (mungkin karena orang tersebut rakyat biasa yang miskin) sama sekali tidak dilayani. Perilaku seperti ini jelas telah melanggar, baik yang terdapat dalam UU Pelayanan Publik maupun UU Pemerintah Daerah. Kalau masih ada perilaku seperti ini, pihak-pihak yang terkait dengan ASN layak melakukan  tindakan tegas. Perilaku seperti gambar di atas tidak bisa dibiarkan. Mereka harus diubah, baik mindset maupun kinerjanya. Tentang kedua hal itu, mindset dan kinerja, kita akan bahas pada pembelajaran berikutnya pada “Mengubah Mindset, Mengubah Kinerja.” Selamat mengikuti pembelajaran pelayanan publik berikutnya.

 

Sumber Gambar:

  1. (https://siwalimanews.com/menumbuhkan-partisipasi-masyarakat-dalam-pengawasan-pelayanan-publik/)
  2. (https://www.bimteknas.com/bimtek-pelayanan-publik/)

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *