Subagio S. Waluyo

Ada orang menyukai seni, tapi kurang peduli dengan muatan yang terdapat dalam karya seni itu. Katakanlah menyukai salah satu grup musik barat, TOKOH KITA (meminjam tokoh utama dalam novel Iwan Simatupang Merahnya Merah dan Kering) kurang peduli dengan lantunan musisi lokal. Kalau sekali-sekali mendengarkan lantunan lagu-lagu dari musisi lokal yang sebenarnya lirik lagunya punya nilai rasa tersendiri, TOKOH KITA sekedar mendengarnya walaupun ikut menyanyikannya. TOKOH KITA tidak pernah berupaya untuk memahami muatan yang terkandung dalam lirik lagu yang dinyanyikannya. Begitu pun kalau membaca karya-karya sastra, TOKOH KITA juga sekedar membacanya tanpa berusaha mengapresiasikannya karena sama dengan mencintai musik, TOKOH KITA hanya menyukai karya sastra tertentu. Namun, suatu saat di tengah malam, di saat menaiki bus luar kota yang sarat penumpang, TOKOH KITA mendengar Ebiet G. Ade melantunkan lagunya: `Dosa Siapa`. Sontak dalam sekejap saja ada satu perasaan yang tumbuh dalam dirinya. Dari sini TOKOH KITA mulai merenung, ternyata lirik-lirik lagu Ebiet yang didengarnya selama dalam perjalanan malam di bus itu banyak menyentuh perasaannya yang terdalam. Tidak terasa sudah sekian puluh tahun TOKOH KITA tidak memiliki kepedulian terhadap muatan yang terkandung dalam sebuah karya seni. TOKOH KITA sekedar menjadi penikmat, tapi tidak pernah belajar untuk memahami bahkan menilai sebuah karya seni. Ah!, TOKOH KITA telah menjadi orang yang abai sehingga kesempatan untuk belajar menikmati, memahami, dan menilai sebuah karya seni telah terabaikan.

***

          TOKOH KITA sebenarnya patut bersyukur karena banyak orang yang sampai detik ini cenderung mengabaikan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya seni. Kalau ada sebuah nyanyian (apalagi diiringi dengan suara musik yang enak terdengar), orang hanya cenderung menyanyikannya tanpa memahami substansi yang terkandung dalam lirik lagu itu. Kalau ada sebuah karya sastra, orang hanya cenderung membacanya. Terkadang, orang bisa saja menuntaskan bacaannya. Tapi, tidak sedikit orang yang hanya membaca sekilas karena sudah terlanjur malas membaca buku-buku karya sastra yang secara fisik boro-boro membacanya, menyentuhnya pun tidak mau. Hal ini menunjukkan minat baca di kalangan masyarakat terhadap literasi semakin berkurang. Orang lebih cenderung membaca tulisan yang ada di HP-nya (itu pun tulisan yang tidak terlalu panjang). Kalau ada tulisan yang sebenarnya bermanfaat buat dirinya, karena menurutnya panjang dan membosankan, mau tidak mau tulisan semacam itu hanya dibaca sekilas. Wajar saja kalau orang cenderung gagal paham ketika memperoleh sebuah informasi.

          Kegagalan menangkap informasi bisa berakibat fatal. Bisa saja orang itu termakan hoax yang memang dalam dunia media sosial (medsos) sangat mungkin bisa terjadi. Kalau sudah termakan hoax, ujung-ujungnya yang terjadi adalah hingar-bingar di dunia medsos. Ujung-ujungnya, baik orang yang termakan hoax maupun orang yang tanpa sadar menyebarkan hoax sama-sama harus berhadapan dengan UU ITE. Kalau sudah berhadapan dengan UU ITE, siap-siap saja berhadapan dengan pengadilan. Bisa saja orang yang membuat hoax dan tanpa sadar menyebarkannya harus masuk bui. Jadi, siapapun orangnya ketika memperoleh postingan di gawainya sebaiknya baca sampai tuntas agar tidak gagal paham. Dengan membaca tuntas, orang akan bisa mengambil kesimpulan dari yang dibacanya. Boleh jadi tulisan yang bacanya layak disebarluaskan atau sebaliknya karena dikhawatirkan akan ada dampaknya yang cenderung negatif cukup sampai ke dirinya saja. Di sini seseorang harus terbiasa membaca, meresapi isinya, menangkap makna yang terkandung dalam tulisan, dan kalau perlu merenungi substansi yang ada dalam tulisan yang dibacanya.

          Sejak kecil TOKOH KITA sudah mempunya kebiasaan membaca buku. Buku-buku (terutama buku-buku cerita) dilahapnya sampai tuntas. Tapi, itu tadi TOKOH KITA hanya sebatas membaca. Tentang muatan yang terkandung di dalamnya agak sulit untuk mengungkapkannya. Meskipun demikian, sejak mendengar lagu-lagu Ebiet di perjalanan malam dengan bus TOKOH KITA mulai belajar mengungkapkan isi yang terkandung di dalamnya lewat tulisan. Bukan hanya lirik-lirik lagu, puisi-puisi, cerpen-cerpen, dan bahkan novel-novel juga tidak luput untuk dijadikan bahan mengungkapkan perasaannya lewat tulisan. Jadilah TOKOH KITA orang yang akrab dengan dunia literasi. Dunia literasi yang digelutinya baru benar-benar diseriusi ketika usia sudah mulai senja. Meski usia senja TOKOH KITA tetap berliterasi karena dengan berliterasi ada kepuasan yang tidak tergantikan.

***

TOKOH KITA tidak peduli penilaian orang tentang hasil-hasil karyanya. Orang mau katakan baik atau tidak bagi TOKOH KITA cukup masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Menulis baginya lebih merupakan sarana untuk me-maintenance otaknya agar tidak cepat pikun. Dengan berliterasi TOKOH KITA beranggapan telah berbagi dengan sesama. Bukankah merupakan sebuah kebahagiaan kalau setiap orang bisa berbagi? Tentu saja berbagi di sini adalah berbagi yang mengarah pada hal-hal yang positif bukan berbagi ke hal-hal yang negatif. Termasuk berbagi yang positif di sini adalah berbagi pengalaman hidup. TOKOH KITA pernah menulis pengalaman masa kecilnya yang penuh dengan dunia bermain. Dari tulisan itu TOKOH KITA mencoba membandingkan dunia bermain di masa kecilnya dengan dunia bermain saat ini. Di akhir tulisan TOKOH KITA menyimpulkan permainan di masa kecilnya (permainan tradisional) dulu lebih kreatif. Bukan hanya itu, TOKOH KITA juga menyampaikan kalau permainan tradisional lebih mengutamakan kejujuran, kebersamaan, dan kekuatan fisik. Permainan anak-anak zaman sekarang ini (zaman now) tidak menunjukkan itu semua. Permainan anak-anak zaman now cenderung individualis dan berbiaya tinggi. Selain itu, permainan anak-anak zaman now juga tidak menunjukkan adanya kreativitas. Dengan melihat permainan anak-anak zaman now TOKOH KITA merekomendasikan adanya kekhawatiran terjangkitnya penyakit psikopat dan sosiopat pada anak-anak zaman now.

          Kalau dipikir-pikir, kok sampai sejauh itu yang dikhawatirkan TOKOH KITA? Kekhawatiran TOKOH KITA yang disampaikan lewat rekomendasinya bisa saja terbukti, bisa saja sebaliknya. Tapi, tidak ada salahnya bagi orang tua yang masih punya kepedulian terhadap pendidikan anak-anaknya untuk melakukan langkah-langkah preventif sedini mungkin. Bahkan, bukan hanya orang tua, masyarakat dan pemerintah juga perlu melakukan hal yang sama. Caranya, sebagaimana disarankan oleh TOKOH KITA, sediakan saja ruang bermain buat anak-anak. Di setiap lingkungan tempat tinggal sediakan saja tempat untuk digunakan anak-anak bermain. Di tempat-tempat yang sudah tersedia itu nantinya dihidupkan lagi permainan tradisional yang sudah jelas-jelas lebih menyehatkan, kreatif, mengedepankan kejujuran, dan tentu saja juga mengutamakan kebersamaan.

          Karena tulisan-tulisannya yang menunjukkan kepedulian pada sesama, TOKOH KITA menjadi orang yang humanis. TOKOH KITA bisa saja disebut sebagai penganut humanisme. TOKOH KITA yang telah menjadi penganut humanisme terbukti dalam tulisan-tulisannya berusaha merekomendasikan kepada setiap pembacanya agar berbuat kebaikan. Bahkan, TOKOH KITA juga menyarankan agar setiap orang mampu hidup lebih baik lagi. Tentu saja ketika TOKOH KITA merekomendasikannya tidak menutup kemungkinan ada pembaca yang siap menerimanya walaupun tidak sedikit yang merasa tidak nyaman dengan tulisannya karena ada kecenderungan mengeritisi perilaku mereka yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusian (apa lagi pembaca yang `baperan`). Salah satu contoh tulisan yang mungkin membuat para pejabat publik di negara ini boleh jadi tersinggung ketika membacanya, misalnya, berkaitan dengan kutipan berikut ini.

……………………………………………………………………………………………………………………………..

Bukti uang rakyat bukan hanya masuk kantong sang koruptor tapi juga ada sebagian masuk ke pundi-pundi partai bukan cerita lama yang tidak perlu diingat-ingat kembali. Sampai sekarang pun masih tetap ada. Tidak usah ditutup-tutupi kalau memang para menteri yang dari partai politik atau anggota dewan yang sekarang juga tukang stempel pemerintah. Sudah banyak rakyat yang tahu tentang kinerja kalian. Tidak usah berbohong pada kami rakyat biasa. Tidak usah pakai ungkapan-ungkapan yang isinya cuma klise supaya rakyat senang. Itu semuanya `Pemberi Harapan Palsu` (PHP). Rakyat sudah tidak butuh lagi pemimpin negeri yang hanya sekedar PHP. Rakyat butuh bukti konkrit dari kerja-kerja kalian `wahai para wakil rakyat dan pimpinan negara terhormat`. Akui saja tahun ini memang tahun yang suram untuk negeri ini karena para wakil rakyat telah begitu banyak berbohong pada anak bangsa yang boleh jadi pernah memilih kalian. Tidak usah tersinggung jika kalian dijuluki sebagai pimpinan yang tidak amanah. Jika pimpinan tidak amanah, tunggu saja azab dari Allah SWT. Mungkin di dunia ini kalian bisa selamat. Tapi, pada saat nanti kalian berhadapan dengan Sang Khalik tidak mungkin kalian menghindar. `Gusti Allah mboten sare` (Tuhan tidak tidur) kata orang Jawa yang selalu menggunakan jargon tersebut. Saya hanya berharap sebelum Allah mencabut nyawa kalian, bertobatlah. Sadarilah bahwa kekuasaan itu umurnya pendek. Umur kita semua di dunia ini juga pendek jika dibandingkan dengan nanti di akhirat. Untuk itu, jangan lagi bikin dada anak bangsa ini sesak melihat perilaku kalian. Jangan sampai rajawali `.. mematuk kedua matamu/wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka…`, kata Rendra dalam puisinya: Rajawali.

(Dikutip dari: “Tahun yang Menyesakkan”)

***

Tidak semua tulisan TOKOH KITA membuat pembacanya tidak nyaman karena sarat bermuatan kritik sosial. Terkadang, tulisan TOKOH KITA sebagai orang yang humanis juga bernuansa cinta kasih. Ketika mengangkat kasus orang yang patah hati, TOKOH KITA mengutip lirik lagu `Knife` (Rockwel) seraya menguraikannya bahwa bukan pisau yang membuat orang terluka, tapi kata-kata yang tajam seperti pisau memotong-motong perasaan seseorang yang mendengarnya. Memang, lirik lagu itu lebih tertuju pada orang yang patah hati karena mungkin kekasihnya entah selingkuh atau tiba-tiba saja memutuskan hubungannya. Tidak sampai di situ, sang kekasih juga sempat-sempatnya mengeluarkan kata-kata yang melukai hatinya. Coba kita simak tulisan TOKOH KITA berikut ini.

(1) `Knife/Cuts like a knife/How will I ever heal/I’m so deeply wounded`, potongan lirik ini membuat kita mencoba merenungkan ada apa di balik pisau yang bisa memotong hati manusia? (2) Di lirik tersebut bukan benda biasa yang dipotong dengan pisau. (3) Bukan juga pisau yang digunakan memotong. (4) Tapi, kata-kata yang tajam seperti pisau yang memotong perasaan (hati) seseorang. (5) Kata-kata yang diucapkan seseorang tanpa kendali bisa menusuk perasaan hati orang yang paling dalam. (6) Untuk itu, dalam kondisi apapun kita harus bisa mengendalikan diri. (7) Dengan bisa mengendalikan diri, orang bisa terhindar dari sakit hati.

Dikutip dari: “9. Awali dengan Kutipan (3)”

Jadi, sebagai penulis yang humanis TOKOH KITA bisa menempatkan dirinya: kapan harus mengeritisi orang-orang yang memang menurut pandangannya patut dikritisi. Kapan juga TOKOH KITA akan mengangkat sisi-sisi kehidupan manusia yang penuh dengan keindahan dan cinta kasih.

          TOKOH KITA sebagai penikmat karya-karya seni dan sekaligus sebagai pengamat sosial berupaya menggeluti dunia literasi dengan menampilkan hasil tulisan yang bernuansakan keindahan, kritik sosial, dan juga tidak sedikit yang bernuansakan religiositas. Dalam tulisan-tulisannya tidak sedikit yang diselingi dengan kutipan-kutipan dari karya-karya seni entah itu dari puisi, lirik-lirik lagu, atau dari dialog-dialog yang terdapat dalam cerpen, novel, atau naskah-naskah drama. Semua yang dipandang TOKOH KITA layak untuk diselipkan dalam tulisan-tulisannya dimasukkan ke dalam karya-karyanya. Ada saja orang yang beranggapan bahwa tulisannya cenderung sebagai esai-esai kebahasaan dan kesastraan. Meskipun jika dianalisis, tidak sedikit yang berkaitan dengan bidang-bidang sosial. Salah satu tulisan yang sempat orang terkecoh ketika orang membaca tulisan dengan judul “Negeri Kolam Susu”. Tulisan bagi pembaca awam Cuma berkisah yang berkaitan dengan lirik lagu yang terdapat di sana: ‘Kolam Susu’. Padahal tulisan tersebut bermuatan kritik sosial terhadap pengelola negeri ini yang telah salah dalam mengelola negara sehingga kekayaan negeri ini tidak bisa dinikmati oleh sebagian besar penduduk negeri tercinta ini: Indonesia.

          Berkaitan dengan kekayaan alam negeri ini tetapi tidak bisa dinikmati oleh sebagian besar penduduk negeri ini sehingga menyisakan kemiskinan, pengangguran, kesehatan yang rentan, dan keterbelakangan intelektual yang masih menyelimuti bangsa ini, TOKOH KITA dalam tulisan-tulisannya juga menyertakan data-data akurat. Dalam setiap tulisannya yang tidak luput dari kutipan selalu disertai dengan sumber-sumber kutipannya sehingga TOKOH KITA luput dari tudingan plagiator. Untuk dunia literasi, TOKOH KITA bisa saja digolongkan sebagai orang yang memiliki integritas. Bukankah memang dalam dunia literasi dituntut adanya integritas karena tanpa integritas, bisa saja orang melakukan pencurian data. TOKOH KITA berusaha menjaga sikap integritasnya. Karena itu, sebagai orang yang humanis dan sekaligus memiliki religiositas yang cukup tinggi, TOKOH KITA dalam setiap doa-doanya selalu meminta kepada Tuhan agar dijaga sikap kekonsistenannya.

***

          TOKOH KITA terinspirasi menulis lewat lirik-lirik lagu Ebiet G. Ade yang menggugah nuraninya yang terdalam. TOKOH KITA yang memang sejak masa mudanya gemar membaca, baik buku-buku fiksi maupun nonfiksi tentu saja dimudahkan untuk menggerakkan tangannya untuk menulis. Bukankah pembaca yang baik merupakan penulis yang baik atau malah dibalik, penulis yang baik merupakan pembaca yang baik? TOKOH KITA tidak begitu peduli dengan pernyataan itu. Buat TOKOH KITA selama masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk hidup, selama itu pula waktu dan tenaganya digunakan untuk berakrab dengan dunia literasi. TOKOH KITA juga berharap ada orang (terutama pembacanya) yang mau mengikuti jejak langkahnya.

Sumber Gambar:

(https://godiscover.co.id/berhenti-peduli-pendapat-orang-lain-ini-triknya/)

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *