Subagio S. Waluyo
“Kau tahu apa yang aneh Ko. Terkadang ketidakteraturan masyarakat Indonesialah yang membuat aku rindu. Di tengah kesemrawutan kita tersisip basa-basi dan candaan. Di tengah kemiskinan dan kesusahan, ada rasa tolong-menolong dan bekerja sama,” ucapnya sambil menuangkan kembali teh ke dalam cangkirku yang sudah kosong.
“Dan kau tahu apa lagi Ko, aku sedikit bosan dengan suasana teratur di sini, Nenek Sumini mengecilkan suaranya seolah takut ucapannya didengar oleh orang lain. Terkadang aku rindu detail kecil Indonesia kita. Sederhana saja, seperti tetangga yang kerap mengunjungi, bercengkerama di warung dekat rumah, atau rutinitas menggosip para ibu di sore hari,” ucapnya yang membuat kami tertawa bersama.
Dari: Cerpen “Paket Terakhir”/Syahirul Alim Ritonga
(https://republika.co.id/berita/pom4zk282/paket-terakhir-cerpen)
Tere Liye dalam novelnya Negeri Para Bedebah (2012:12-13) menulis:
….Mereka sejatinya adalah serigala berbalut jas, dasi mahal, sepatu mengilat tidak tersentuh debu, dan diantar dengan mobil mewah yang harganya ratusan gaji karyawan hierarki terendah mereka. Penuh semangat bicara tentang regulasi, tata kelola yang baik, tetapi mereka sendiri tidak mau diatur dan dikendalikan. Sepakat tentang penyelamatan dan bantuan global, tetapi mereka sibuk mengais keuntungan di tengah situasi kacau-balau.
Siapa itu mereka? Langsung saja kita tembak, siapa lagi kalau bukan penguasa dan pengusaha. Mereka yang pekerjaannya memancing di air keruh. Mereka yang mengaku sebagai pahlawan negeri ini yang memperjuangkan nasib bangsa. Tapi, apa lacur? Semua hanya basa-basi. Di balik itu semua mereka mencari keuntungan. Mereka menghancurkan negeri ini. Mereka jual aset-aset negara. Mereka jual pulau-pulau negeri elok jamrut katulistiwa. Meskipun demikian, mereka masih saja mengaku pembela NKRI yang paling nasionalis. Padahal mereka punya peran dalam membikin semrawut negeri ini seperti segulungan benang kusut yang sulit ditata kembali.
Mereka ini diam-diam berkompromi memecahkan proyek penguntungan diri sendiri. Mereka hancurkan negeri ini lewat pinjaman hutang luar negeri untuk membangun infrastruktur di berbagai daerah negeri ini dengan dalih memperlancar roda ekonomi tapi tetap saja kemacetan di berbagai kota tak kunjung usai. Mereka melihat Jakarta sudah tidak layak sebagai ibu kota sehingga ada pemikiran memindahkan ibu kota. Belum selesai dibahas diam-diam proyek pemindahan ibu kota tetap dilaksanakan. Yang bikin kita boleh jadi gak `mudeng`, ketika negara ini diterpa Corona Virus Deseas-19 (Covid-19) penguasa negeri ini tidak peka. Lihat saja baik pimpinan tertinggi maupun orang-orang di bawahnya menganggap enteng kehadiran Covid-19. Lebih aneh lagi ketika ada salah seorang gubernur yang melakukan gerak cepat dan tepat untuk mengantisipasi kehadiran Covid-19 (karena gubernur ini sejak dini tidak ingin ada warganya yang jadi korban) cenderung `cuek bebek`. Bahkan, yang benar-benar menyakitkan ada saja suara-suara sumbang terhadap kebijakan yang mau ditempuh oleh sang gubernur tersebut. Akhirnya, semua kebijakan yang mau diluncurkan dipatahkan.
Ketika korban sudah mulai berjatuhan, barulah penguasa negeri ini sadar. Seperti biasa mereka `sok sibuk` tapi pelan-pelan akhirnya mau tidak mau mereka mengikuti arahan sang gubernur. Lagi-lagi tidak mudah mereka mau menuruti arahan sang gubernur. Ada terkesan tarik ulur walaupun ujung-ujungnya akhirnya mau `nuruti` dengan bahasa-bahasa klise yang tidak menunjukkan sikap kesatria. Sebagai pemimpin yang bijak bukankah sudah selayaknya mau menerima usulan walaupun usulan itu datangnya dari penguasa daerah? Kenapa harus gengsi? Apakah kalau ada usulan yang datang dari penguasa daerah, penguasa pusat harus bertinggi hati? Apakah harus ada korban dulu yang berjatuhan baru menerima usulan? Logika apa ini yang dipakai pemimpin negeri ini? Ini menunjukkan kesemrawutan pola berpikir pemimpin negeri ini sehingga kalau ada kebijakan yang sering dikritisi oleh masyarakat wajar-wajar saja karena lahirnya kebijakan itu dari logika yang `ngawur`. Kebijakan yang dilahirkan dari sikap tinggi hati.
***
(https://images.app.goo.gl/51tkv3GCmg5eRqxw6)
Kebijakan yang dilahirkan dari sikap tinggi hati tentu saja akan melahirkan kebijakan yang kontroversial. Salah satu contoh menarik dari produk kebijakan yang kontroversial adalah pelepasan 37 ribu nara pidana (napi) dari seluruh Lembaga Pemasyarakat (Lapas) se-Indonesia. Sebagian masyarakat jelas tidak setuju walaupun alasannya agar mereka yang di dalam penjara tidak terkena Covid-19. Lucky M. Lukman, misalnya, seorang editor menulis di galamedianews.com mempertanyakan pembebasan napi karena alasan Covid-19. Lucky M. Lukman menyatakan kalau sampai dengan keputusan pembebasan napi itu sendiri belum ada berita atau kabar yang menyebutkan bahwa ada napi yang terindikasi positif Korona. Kalau memang tidak ada yang terindikasi korona, kenapa harus dibebaskan sampai sekian banyak napi yang ada di lapas dan rutas se-Indonesia? Kebijakan itu memng cepat, tapi tidak tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari. Feri Amasari menduga ada kepentingan lain di balik gagasan membebaskan napi dengan mengaitkan kondisi lapas dan pandemi Korona. Boleh jadi,situasi yang membuat negara ini cukup panik lebih disebabkan oleh adanya kepentingan kelompok tertentu, termasuk koruptor yang memanfaatkan momen ini. Kenapa kalau selama ini tidak data yang menunjukkan para napi di lapas dan rutan tidak terkena Covid-19 harus dibebaskan? Bukankah kalau memang ada yang terkapar Covid-19 lebih layak dirawat bukan malah dibebaskan?
Napi Dibebaskan Karena Alasan Covid-19, Tepatkah? CITIZEN JOURNALISM Senin, 6 April 2020 | …………………………………………………………………………………………………………………………….. Setelah kita menyaksikan negara kita sedang tidak baik-baik saja, ratusan ribu bahkan jutaan jiwa berjuang melawan derita wabah yang belum diketahui kapan akan berakhir. Tragedi yang merenggut ribuan nyawa, memporak-porandakan perekonomian dan menghentikan berbagai aktivitas kerja membuat para pejabat dan penguasa mengambil langkah cepat untuk mengatasi wabah ini. Namun apakah sudah tepat? Anehnya salah satu pencegahan Covid-19 di Indonesia, pemerintah mengambil langkah membebaskan napi sekitar 30 ribuan. Kementerian Hukum dan HAM akan membebaskan sekitar 30 ribu narapidana dan anak dari lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, serta lembaga pembinaan khusus anak (LPKA). Dengan telah ditetapkannya Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam, pemerintah Indonesia menilai perlu untuk melakukan langkah cepat sebagai upaya penyelamatan terhadap tahanan dan warga binaan pemasyarakatan dengan cara pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi dan integrasi. Namun langkah ini dinilai tidak tepat. Karena sampai dengan keputusan pembebasan napi itu sendiri belum ada berita atau kabar yang menyebutkan bahwa ada napi yang terindikasi positif corona. Jelas langkah ini tidak sejalan dengan fakta yang ada. Langkah yang diambil memang terhitung cepat, namun tak tepat. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari bahkan dalam sebuah wawancara mengatakan, ia menduga ada kepentingan lain di balik gagasan membebaskan napi dengan mengkaitkan kondisi lapas dan pandemi Corona. “Saya pikir banyak pihak yang sedang memanfaatkan keadaan demi kepentingannya, termasuk koruptor dan teman-temannya. Pilihan itu tidak dibenarkan karena jika terjangkit harus dirawat, bukan dibebaskan dari hukumannya,” tuturnya. Pemerintah sepertinya sedang mempertontonkan kegagalannya dalam mengurusi negara ini. Di tengah wabah ia mengambil langkah yang cepat namun tak tepat. Bagaimana tidak, bahkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron mengatakan, alasan Covid-19 untuk membebaskan napi itu ditolak oleh lembaganya. Penulis Eka Trisnawati Anwar Guru Madrasah Ibtidaiyah Asal Kota Palopo Seluruh materi dalam naskah ini merupakan tanggung jawab pengirim. Gugatan, somasi, atau keberatan ditujukan kepada pengirim. Editor: Lucky M. Lukman |
Anehnya, ada juga institusi semacam LSM yang mengapresiasi, seperti Institute For Criminal Justice Reform (ICJR). Alasan yang dikemukakan ICJR cenderung mengada-ada karena katanya kapasitas lapas dan rutan di seluruh Indonesia daya tampungnya sudah berlebihan. Jumlah napi di seluruh lapas dan rutan di Indonesia sebanyak 240 ribu lebih. Sementara daya tampungnya hanya 130 ribu. Selain itu, ICJR juga menyampaikan agar presiden memberikan grasi dan amnesti massal pada pengguna narkotika dalam lapas dan rutan (?). ICJR juga menambahkan ada 132.452 orang narapidana kasus narkotika. ICJR mengusulkan agar 45.674 orang napi dibebaskan karena katanya bukan dari sindikat besar narkotika. Apresiasi ICJR atas pembebasan napi jelas akan membuat negara ini semakin semrawut. Tidak cukup sampai di situ, IJCR mengusulkan juga penghentian penahanan diganti dengan tahanan rumah dan kota. Pikiran-pikiran gila seperti ini yang justru sangat diapresiasi oleh rezim yang berkuasa saat ini. Sulit dibayangkan kalau semua permintaan miring ini bisa dikabulkan.
ICJR apresiasi pelepasan 30 ribu narapidana Selasa, 31 Maret 2020 Dokumentasi – 14 Napi Lapas Anak Palembang dapat remisi langsung bebas pada HUT ke-71 Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2016 (ANTARA//Fenny/16/Parni) Jakarta (ANTARA) – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi Kementerian Hukum dan HAM yang akan membebaskan sekitar 30 ribu narapidana dan anak dari lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara serta lembaga pembinaan khusus anak (LPKA). Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, memperkirakan pengurangan jumlah penghuni lapas dan rutan sebanyak 30 ribu akan mengurangi sekitar 11 persen narapidana. Setelah pelepasan untuk pencegahan penyebaran COVID-19 itu, penghuni rutan dan lapas di seluruh Indonesia dikatakannya masih 240 ribu orang, sedangkan kapasitas rutan dan lapas 130.000 penghuni. “Pengurangan ini masih akan menimbulkan kondisi overcrowding. Kondisi ini pasti akan berdampak pada penyebaran virus yang masif,” ujar Erasmus. Untuk itu, ICJR meminta Presiden juga turun tangan dengan memberikan grasi dan amnesti massal kepada pengguna narkotika dalam lapas dan rutan. ICJR menyebut komposisi narapidana kasus narkotika dalam rutan/lapas merupakan setengah dari penghuni total keseluruhan rutan/lapas, yakni sebanyak 132.452 orang per Februari 2020. Dari jumlah tersebut, paling tidak sebanyak 45.674 orang merupakan pengguna/pecandu narkotika yang perlu diprioritaskan untuk segera dikeluarkan, yakni bukan berasal dari sindikat besar narkotika. Kemudian untuk tahanan yang jumlahnya mencapai 65 ribu orang, ICJR mengusulkan penghentian penahanan oleh jajaran penyidik dan penuntut umum, diganti misalnya dengan tahanan rumah dan kota. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly telah menandatangani Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui asimilasi dan integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19 pada Senin (30/3). Pewarta: Dyah Dwi Astuti Editor: Kunto Wibisono COPYRIGHT © ANTARA 2020 (https://www.antaranews.com/berita/1394598/icjr-apresiasi-pelepasan-30-ribu-narapidana) |
***
Apakah bisa dijamin para napi yang dibebaskan lewat program asimilasi tidak lagi melakukan tindak kriminal? Tampaknya, program asimilasi ini yang dari semula sudah diwanti-wanti oleh orang-orang yang masih punya kepedulian terhadap nasib bangsa ini tidak didengar oleh penguasa negeri ini berakibat fatal. Mereka, para napi, yang baru saja keluar dari lapas dan rutan ada beberapa orang sudah berulah. Dalam kurun waktu 7—9 April 2020 di antara mereka ada yang melakukan pencurian, kurir ganja, penjambretan, dan mengamuk. Itu baru yang terekam oleh media massa tindak kriminal yang berhasil dibekuk pelakunya. Bagaimana pula dengan tindak kriminal yang tidak berhasil dibekuk pelakunya? Boleh jadi lebih banyak lagi. Di sini, pemerintah jelas mempertontonkan kegagalannya dalam mengurusi negara.
Dibebaskan Jokowi agar Diam di Rumah, Napi Malah Berulah Oleh: Alfian Putra Abdi – 15 April 2020 Beberapa napi yang dibebaskan lewat program asimilasi Yasonna malah berulah. Kebijakan pembebasan pun dikritik. tirto.id – Sebanyak 30 ribu lebih narapidana bebas sebelum waktunya lewat program asimilasi dan integrasi Kementerian Hukum dan HAM. Mereka dibebaskan untuk mencegah penyebaran pandemi COVID-19 di lingkungan rutan dan lapas–yang kini sudah kelebihan kapasitas. Mereka yang menerima program asimilasi diwajibkan diam di rumah masing-masing sampai diintegrasi lewat pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, atau cuti bersyarat. Sementara yang mendapat program integrasi boleh ke luar rumah, akan tetapi karena pandemi tetap dianjurkan tidak ke mana-mana sebagaimana anjuran social distancing. Namun, yang ideal ini ternyata tak sepenuhnya terwujud. Beberapa di antara mereka berulah kembali, melakukan tindakan kriminal lagi. Contohnya seorang napi asimilasi Lapas Kelas IIA Pontianak berinisial GR, baru berusia 23 tahun. Dilaporkan Antara, ia bersama dua tersangka lain, MT dan ES, mencuri ponsel. “GR ini baru mendapat asimilasi pada 6 April. Mulai 8 April atau dua hari setelah bebas sudah mencuri lagi,” kata Direktur Reskrimum Polda Kalbar Kombespol Veris Septiansyah. GR tak hanya beraksi sekali, tapi “setidaknya sudah empat kali” setelah bebas. AC dari Singkawang Kalimantan Barat melakukan hal serupa. Ia baru bebas pada 9 April kemarin, juga lewat program asimilasi yang dibikin Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, lalu ditangkap lagi karena maling motor. B dan YDK juga menjambret lagi setelah bebas dari Lapas Lamongan. Ia ditangkap polisi saat baru bebas satu pekan. Tim riset Tirto mencatat ada tujuh berita soal narapidana bertindak kriminal usai bebas karena program asimilasi. Kejadian tersebut berlangsung dari 7 hingga 9 April 2020, dengan berbagai macam kasus seperti pencurian, kurir ganja, penjambretan, dan mengamuk. (https://tirto.id/dibebaskan-jokowi-agar-diam-di-rumah-napi-malah-berulah-eNdx) |
***
Mengelola negara seperti Indonesia memang tidak mudah. Di sini pemerintah tidak bisa sendirian. Pemerintah harus dibantu oleh rakyatnya. Dalam hal ini, pemerintah yang demikian lengkap perangkatnya, baik yang di tingkat pusat maupun daerah tetap harus melibatkan masyarakat. Pelibatan masyarakat sebagai syarat mutlak dalam penerapan pilar-pilar good governance sangat diperlukan. Untuk itu, sudah saatnya pemerintah harus memberi contoh pada rakyatnya bahwa mereka adalah orang-orang yang legowo, orang-orang yang mau move on. Bukan, malah cenderung nyinyir, merasa malu kalau ada orang yang lebih cepat dan tepat dalam mengambil kebijakan. Sikap tinggi hati yang masih bercokol di kalangan penguasa harus dihilangkan. Kalau masih saja ada penyakit jenis itu, sampai kapan pun tetap masih ada kebijakan yang kontroversial. Ujung-ujungnya nanti yang jelek adalah pemerintah karena telah mempertontonkan ketidakbecusannya dalam mengelola negara. Agar tidak lagi terjadi kebijakan yang cenderung menunjukkan kelemahan dalam mengelola negara, sikap tinggi hati pemerintah harus disingkirkan. Sudah saatnya pemerintah mau merangkul dan mendengar suara rakyat. Wallahu a`lam bissawab.
Sumber Gambar: (https://images.app.goo.gl/VPynnUGLRqw9XWEG8)