Subagio S. Waluyo
DI BAWAH SELIMUT KEDAMAIAN PALSU
Wiji Thukul
apa gunanya ilmu
kalau hanya untuk mengibuli
apa guna baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu
di mana-mana moncong senjata
berdiri gagah
kongkalikong
dengan kaum cukong
di desa-desa
rakyat dipaksa
menjual tanah
tapi, tapi, tapi, tapi
dengan harga murah
apa guna baca buku
kalau mulut kau bungkam melulu
(https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/158831-puisi-wiji-thukul)
***
Melalui puisi di atas Wiji Thukul (WT) menyampaikan ilmu yang tinggi tidak ada manfaatnya kalau hanya digunakan untuk menipu orang. Orang yang banyak membaca pun tidak akan ada manfaatnya kalau dari hasil membaca itu tidak berani mengkritisi kemungkaran di depan matanya. Dua komponen utama bagi kalangan akademis sangat diakrabi, ilmu dan buku. WT mengkritisi para akademisi di negara ini yang cenderung berdiam diri ketika melihat ketimpangan muncul di depan matanya. Jadi, banyak akademisi yang telah menciptakan menara gading. Akademisi yang sudah nyaman di menara gading juga menutup mata ketika pihak berwajib yang didanai oleh para pengusaha melakukan tindakan brutal terhadap masyarakat kecil yang mempertahankan hak miliknya (tanah) yang dirampas oleh penguasa untuk kepentingan pengusaha. Rakyat kecil terpaksa menjual tanahnya dengan harga murah. Untuk itu, sama sekali tidak ada gunanya banyak ilmu, banyak baca, tapi berdiam diri ketika orang-orang kecil sebangsanya mendapat perlakuan tidak adil.
Miris memang jadi orang kecil. Sudah kecil nasibnya karena minim harta. Kecil pandangan hidupnya karena dia hanya berpikir cara memenuhi kebutuhan hidupnya untuk hari ini. Untuk hari esok mereka cuma bilang `bagaimana nanti`. Kecil juga ilmunya karena tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Bagaimana mereka mendapat pendidikan yang layak untuk bisa menikmati pendidikan yang lebih tinggi saja selalu terbentur masalah biaya? Boro-boro bicara pendidikan, untuk memperoleh pendapatan yang layak saja (maksudnya supaya bisa di atas garis kemiskinan) tidak sedikit di antara mereka yang harus meregang nyawa. Mereka benar-benar harus kerja super keras biar bisa makan. Mereka tidak pernah berpikir tentang pakaian dan rumah yang layak. Sudah makan saja bagi mereka sudah cukup. Mereka juga tidak pernah berpikir untuk mengantisipasi kalau-kalau suatu saat jatuh sakit karena mereka sudah tidak sanggup bayar iuran BPJS (apalagi iuran BPJS ada rencana mau dinaikkan tahun depan). Kalau jatuh sakit dan diperkirakan sakit yang ringan-ringan saja, mereka cukup minum obat warung. Kalau sakit parah, mereka cuma pasrah. Kalau memang harus mati, matilah daripada harus berutang sana-sini untuk mengobati penyakitnya. Habis dari mana ada uang untuk berobat?
Itulah gambaran sekilas orang kecil. Gambaran orang-orang yang selalu diselimuti kekurangan. Mereka merasa dirinya bukan hanya kecil tapi juga susah. Tidak aneh kalau selalu terdengar dari mulutnya `kita ini orang susah`. Orang-orang yang mengaku susah ini selalu jadi bulan-bulanan orang-orang besar entah itu yang namanya penguasa atau pengusaha. Sebagai bukti ketidakberdayaan mereka menghadapi penguasa yang dikuasasi pengusaha bisa dilihat pada Gambar 1. Gambar 1
Di gambar itu terlihat jelas betapa tidak berdayanya ketika orang miskin (orang susah) berhadapan dengan penguasa. Dengan alasan lahan yang ditempati mereka (orang-orang susah) mau dikembalikan ke fungsi semula, mereka orang-orang susah terpaksa harus pindah. Jika sampai batas waktu yang telah ditentukan tidak juga pindah, terpaksa mereka digusur. Pada saat digusur orang lain hanya menjadi penonton. Tidak ada lembaga atau instansi yang bergerak di bidang pembelaan (advokasi) semacam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) peduli terhadap mereka. Boleh jadi karena ketiadaan uang. Bukankah mereka yang merasa dirinya sebagai advokat hanya mau membela orang-orang berduit?
Mereka, orang-orang besar itu yang tergolong penguasa dan pengusaha atau orang-orang yang sudah lebih baik kesejahteraannya selalu memandang kecil orang-orang yang berada di bawahnya. Mereka kerap berpikir sah-sah saja kalau memperlakukan orang-orang kecil dengan seenak perutnya. Dalam cerpen “Maaf” yang ditulis oleh Sori Siregar juga sedikit banyak menceritakan nasib orang kecil yang diperlakukan semena-mena oleh pihak yang berwajib (dalam cerpen tersebut disebut petugas). Karena merasa sebagai petugas yang punya kekuasaan, dengan seenak udelnya sang petugas menangkap Salamat ketika memperbaiki tali jamnya. Memang, cerpen itu ditulis di masa orde baru, ketika pemerintah yang berkuasa itu benar-benar mempraktekkan cara-cara otoriter dalam menjalankan roda pemerintahannya. Saking otoriternya petugas-petugas yang di bawahnya juga mempraktekkan cara-cara yang dilakukan atasannya. Mereka bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang yang belum tentu bersalah. Salamat yang diseret ke kantor, yang dipaksa mengaku telah menjambret jam tangan orang oleh petugas adalah bukti tindakan sewenang-wenang. Apakah praktek-praktek yang pernah ada di masa orde baru telah benar-benar sirna di masa-masa reformasi seperti sekarang ini?
***
Memang, setelah lebih dari dua puluh tahun reformasi hal-hal yang buruk di masa orde baru sudah banyak diperbaiki. Tetapi, berbicara tentang supremasi hukum tampaknya perlu dikritisi. Kalau boleh dikatakan pasca reformasi realitasnya dalam penegakan hukum masih memprihatinkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Desmond J Mahesa. Menurut Desmond, penegakan hukum yang berkeadilan masih hanya mimpi dan angan-angan sehingga wajar-wajar saja kalau kondisi hukum di Indonesia sampai saat ini sering menuai kritik. Kritik bukan hanya pada penegakan hukum saja tetapi juga sampai-sampai pada lemahnya penerapan hukum. Selain itu, hukum di negara ini bisa dibeli. Karena itu, tidak aneh kalau pejabat, penguasa, atau pengusaha sekalipun yang punya uang pasti aman dari jeratan hukum. Kalau sudah seperti itu jangan diharapkan penegak hukum dapat benar-benar menegakkan hukum. Orang-orang susah yang melakukan pencurian kecil-kecilan karena terpaksa jangan diharapkan lepas dari jeratan hukum. Orang-orang besar yang melakukan korupsi milyaran proses hukumnya berbelit-belit yang ujung-ujungnya bisa saja divonis ringan atau vonis bebas. Jadi, hukum itu tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Penegakan hukum di negara ini boleh dikatakan masih morat-marit (https://www.law-justice. co/artikel/39326/realitas-penegakan-hukum-di-indonesia-pasca-reformasi/).
Gambar 2
Berkaitan dengan Salamat, nasib yang dialaminya sebagai orang susah sama saja dengan di masa reformasi sekarang ini. Salamat sebagai karyawan suatu kali ketika memperbaiki tali jamnya dituduh sebagai pejambret oleh seorang petugas. Dia diseret ke kantor (maksudnya kantor polisi). Di kantor itu dia diinterogasi. Karena memang jam itu miliknya,dia tidak mau mengaku. Berkali-kali ditekan dia bergeming. Sampai suatu saat petugas yang membawa pentungan karet sambil memukul-mukul pentungannya ke meja memaksanya untuk mengaku. Teriakan “bangsat”, “binatang”, dan tuduhan bahwa Salamat sebagai pejambret, sudah sering berurusan dengan pihak berwajib membuat pada akhirnya Salamat menyerah meskipun tetap tidak mau mengaku.Setelah Salamat menyerah baru sang petugas bersikap agak baik seraya menyerahkan lembar proses verbal untuk ditandatangani. Salamat mau tidak mau harus masuk kurungan sampai menunggu proses di pengadilan.
Setelah petugas yang satu tidak dapat memaksa Salamat untuk mengakui bahwa jam itu adalah curian, muncul petugas lain dengan wajah seram. Pertanyaan yang sebelumnya telah diajukan pertama diulang lagi oleh petugas berwajah seram ini. Salamat tetap pada pendiriannya. Tidak akan mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Walaupun petugas yang kedua ini menginterogasi Salamat dengan menghardik dan menggertak, Salamat tetap tidak mengaku.
Pemeriksaan berikut dilakukan oleh petugas ketiga. Wajahnya tidak sekejam petugas kedua. Namun di tangannya ia memegang pentung karet. Pentung itu berkali-kali dipukulnya ke meja untuk mendapatkan pengakuan, Salamat tidak mengaku.
“Saya telah memukulkan pentung ini lima belas kali ke atas meja,” kata petugas, “Jangan paksa saya memukulnya ke tubuh Anda. Biasanya setelah pukulan kedua puluh, saya tidak sadar lagi, apakah saya memukul meja atau memukul tubuh orang yang saya periksa.”
“Bagaimana saya harus mengaku, kalau saya memang membelinya dan bukan mencurinya,” jawab Salamat.
“Jangan banyak omong penjambret jam meningkat akhir-akhir ini, terutama sekali di daerah sekitar sini Anda termasuk yang kami cari dan foto serta keterangan tentang diri Anda lengkap pada kami.” Salamat tentu saja terkejut. Lalu ia menggelengkan kepala. “Jangan main-main. Pak” katanya. “Bangsat,” teriak petugas sambil mengayunkan pentungnya ke meja untuk keenam belas kalinya.
“Bagaimana keterangan tentang diri saya dan foto saya dimiliki petugas, kalau saya tidak pernah memberikannya,” sahut Salamat dengan sedikit gemetar.
“Binatang. Sudah berapa kali kau tertangkap, masih juga kau berlagak pilon,” hardik petugas sambil menghantamkan lagi pentungnya ke meja untuk ketujuh belas kalinya.
Salamat sadar petugas ini memang marah sekali. Mungkin ia merasa dirinya dipermainkan. Tapi pengakuan apa yang harus diberikan kalau aku memang tidak pernah mencuri jam?, pikir Salamat.
“Hayo mengaku,” teriak petugas itu lagi sambil memukul meja untuk kedelapan belas kalinya.
Salamat menatap petugas itu memohon belas kasihan. Ia sadar petugas itu akan berbuat apa saja, kalau ia mau. Ia punya alasan dan kekuasaan untuk itu. Tatapan memohon belas kasihan dibalas petugas dengan pandangan penuh kebencian.
“Pak,” terdengar suara Salamat lirih, “Saya menyerah. Namun saya tidak mau memberikan pengakuan yang Bapak minta. Saya menyerah. Saya pasrah untuk diperlakukan apa saja.”
Tang-tang terdengan pukulan pentung karet ke atas meja. Dua puluh kali sudah. Dan setelah itu petugas tersenyum. Sekarang tinggal teken proses verbal. Setelah itu beres.” “Beres?”
“Ya beres masuk kurungan sebelum diajukan ke pangadilan.”
Salamat memang terbukti bukan seorang penjahat. Hanya karena pertolongan Allah baru saja dia masuk kurungan terdengar dari ruang tunggu petugas yang menyeretnya ke kantor polisi itu meminta maaf pada seseorang. Orang yang datang itu ternyata istrinya sendiri. Rupanya istrinya menerima telegram dari adiknya Salamat. Sang istri ke tukang reparasi jam dan mendapat info kalau suaminya ditangkap petugas karena dituduh suaminya menjambret jam tangan. Istrinya mendengar itu segera pulang ke rumah mencari-cari nota pembelian jam tangan. Setelah ditemukan notanya segera dia ke kantor polisi. Polisi yang tahu bahwa Salamat memang pemilik sah jam tangan itu segera minta maaf dengan alasan salah tangkap.
Petugas itu mengamati Salamat dengan tersenyum manis dan kemudian mengajaknya meninggalkan kamar periksa. Petugas yang terus tersenyum itu kemudian mempertemukan Salamat dengan istrinya di kamar tunggu. Salamat tidak mengerti mengapa istrinya berada di sana.
“Tadi saya ke tukang jam. Sengaja mengejarmu. Ada telegram dari Rivai. Dia lulus sarjana hukum. Karena gembira aku sengaja menyusulmu. Begitu aku membuka telegram itu, tukang jam itulah yang menceritakan bahwa kau dibawa petugas dan jam tanganmu dirampas. Tanpa berpikir lama, aku menyimpulkan, tentulah kau dituduh mencuri atau menjambret jam. Aku segera pulang dan mencari surat beli jam, di tempat kau biasanya menyimpan surat-surat penting. Begitu surat jam itu ditemukan, aku segera ke mari. Setelah itu kedua petugas yang sudah selesai memeriksamu saling berpandangan. Setelah berbisik-bisik lalu keduanya meminta maaf kepadaku dan salah seorang di antaranya segera menemuimu.”
Istri Salamat berhenti bercerita, karena petugas yang membawa Salamat ke kamar tunggu ini masuk.
Salamat yang sempat diperlakukan tidak manusiawi itu pada awalnya tidak terima dengan perlakuan yang diterimanya. Tapi, sang istri karena menyadari bahwa mereka orang susah, akhirnya meminta Salamat tidak memperpanjang masalah itu. Kegembiraannya berkaitan dengan adik iparnya yang telah selesai studi dan memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) lebih berharga daripada peristiwa yang tidak mengenakkan yang menimpa suaminya, Salamat.
Di luar keinginannya, keberaniannya timbul. Ia sendiri dan bertanya. “Mana petugas yang tadi memukul-mukul meja? Apa ia tidak berani muncul di sini?” Mendengar pertanyaan itu petugas kembali tersenyum.
“Kami minta maaf atas nama petugas. Kan lebih baik dimaafkan saja Pak? Tak usahlah persoalannya diperpanjang.” Salama ingin mengucapkan sesuatu. Tapi istrinya buru-buru menegakkan jari telunjuknya di mulut Salamat.
“Sudah tak usah diperpanjang kita orang susah.” Istrinya terdengar menyabarkan. Salamat mencaoba menguasai diri. Keberanian dan kemarahannya ditekan ke titik nol. Tanpa merasa perlu mengucapkan apa-apa kepada petugas yang masih tersenyum di depannya ia menarik istrinya meninggalkan kamar tunggu itu dan kemudian meninggalkan para petugas itu.
“Rivai sudah SH sekarang. Itu kabar gembira yang sukar tandingannya,” lanjut istrinya “Sumbanganmu banyak sekali membiayai adikmu itu,” lanjut istrinya lagi dalam beca yang membawa mereka pulang.
Salamat meski dengan perasaan mendongkol mau tidak mau harus menerima usul istrinya. Mereka segera meninggalkan kantor polisi. Ketika naik beca akan menuju pulang ke rumahnya di tengah jalan Salamat minta turun karena dia harus masuk kerja. Kalau tidak masuk kerja ada risiko, dia akan dikenakan sanksi berupa pemecatan. Buat dia pemecatan itu akan membikin hidupnya makin susah. Meskipun demikian, ada rasa syukur karena telegram dari Rivai yang telah menyelamatkan dia dari jeratan hukum.
Tiba-tiba Salamat teringat bahwa ia harus masuk kantor ia menyetop beca dan turun. Istrinya menatap dengan perasaan heran.
“Maaf aku harus masuk kantor, kita orang susah. Kita akan lebih susah lagi kalau aku diberhentikan,” kata Salamat dengan wajah serius.
Setelah itu ia memberi isyarat agar beca meneruskan perjalanan. Dengan langkah lesu, Salamat berjalan menuju perhentian bus.
Alangkah malangnya kalau telegram Rivai tidak datang pikirnya.
***
Salamat jelas korban kekuasaan. Salamat juga menyadari pentingnya memiliki kekuasaan. Salamat tahu bahwa di negara ini banyak orang yang berkuasa (penguasa) telah menggunakan kekuasaannya sesuka hatinya. Kasus yang menimpa dirinya, ketika diperlakukan secara kasar oleh orang yang punya kekuasaan semata-mata karena dia tidak punya kekuasaan. Tapi, Salamat menyadari bahwa selama ini dia kurang memperhatikan keadaan sekitarnya. Dia mengakui dirinya kalau kurang prihatin sampai-sampai ketika ada kemalangan yang menimpa orang lain, dia cenderung bersikap masa bodo. Dia tidak mau memperjuangkan kebenaran. Dia tidak memandang pentingnya kebersamaan. Saking masa bodonya tetangga yang kemalingan pun dia `adem ayem` saja. Bahkah, ketika atasannya menampar teman sekantornya dia pun tetap saja bekerja seolah-olah peristiwa itu tidak pernah terjadi. Orang seperti Salamat berpikiran sepanjang tidak menimpa dirinya dia akan bersikap masa bodo.
Sebuah persoalan selesai dengan perkataan “maaf” dari pihak petugas barulah Salamat sadar, betapa pentingnya arti kekuasaan. Selama ini ia memang sering membaca dalam surat kabar, tentang banyaknya orang-orang berkuasa yang telah menggunakan kekuasaannya sesuka hati. Tapi soal kekuasaan itu tidak menarik hati. Baru setelah ia sendiri korban dari kekuasaan orang lain, ia menyadari betapa pentingnya untuk memperhatikan keadaan sekitar. Betapa perlunya prihatin kalau ada kemalangan menimpa orang-orang lain, betapa perlunya berjuang bersama-sama memenangkan apa yang dianggap benar. Betapa pentingnya kebersamaan dalam menghadapi suatu peristiwa.
Selama ini Salamat lebih senang berjalan sendiri. Apapun yang terjadi di sekitarnya tidak diperdulikannya. Tidak pernah mendapat perhatiannya. Bahwa ada tetangganya yang kemalingan, ia tidak perduli. Ketika sebuah kecelakaan lalu lintas mengambil korban tiga nyawa tetangganya, ia juga tidak acuh. Bahkan ketika atasannya di kantor menampar seorang rekannya yang dianggap melanggar disiplin, ia juga bersikap masa bodoh terus mengetik tanpa berpaling seakan-akan tidak ada apapun terjadi di sekitarnya.
Kisahnya peristiwa yang terjadi kemarin dulu menyentuhnya untuk berubah sikap.
Meskipun demikian, sikap masa bodo Salamat ditegur Allah lewat sebuah kejadian yang tentu saja tidak mengenakkan. Seandainya tidak ada peristiwa `salah tangkap` yang mengakibatkan dia harus berurusan dengan polisi, ada kemungkinan Salamat akan tetap seperti itu. Bukankah Allah telah menegur umat-umat sebelumnya yang bersikap masa bodo? Salah satu ayat Qur`an yang mengajak setiap hamba Allah untuk peduli dengan sesamanya bisa dilihat pada Surat Al-Baqoroh: 177.
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orangorang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Selain itu, juga ada hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi.
Cintailah sesuatu (kebaikan) untuk manusia sebaimana engkau mencintainya, niscaya engkau menjadi Muslim (yang baik).
Atau boleh juga hadist yang berkaitan dengan ukhuwwah yang dikeluarkan oleh Bukhari.
Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Gambar 3
Bukankah sebuah keindahan kalau ada orang yang peduli sebagaimana terlihat pada Gambar 3 ketika ada orang yang mau memberi pada orang-orang susah?
***
Orang seperti Salamat ini termasuk orang yang banyak belajar dari setiap peristiwa yang dialami. Di negara kita banyak orang setipe Salamat yang menerima setiap peristwa yang menimpa dirinya dengan cara mencoba merenungkan ke dalam dirinya kalau memang ada kesalahan. Tampaknya, penguasa negeri ini harus banyak bersyukur karena masih ada orang-orang semacam Salamat yang mengaku sebagai orang susah mau menerima putusan walaupun dirinya belum tentu bersalah. Meskipun demikian, negara ini yang tengah menjalankan reformasi harus juga serius dalam penegakan hukum. Hukum tidak boleh berat sebelah. Penegak hukum tidak boleh tebang pilih dalam menegakkan hukum. Siapa pun yang bersalah harus diperlakukan hukum secara adil. Jangan karena penguasa atau pengusaha yang uangnya tidak berseri bisa semaunya mengatur masalah hukum. Kalau itu tetap terjadi, tidak bisa dijamin sampai kapan negara ini bisa mewujudkan salah satu sila dari Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mudah-mudahan bunyi sila itu bukan sekedar mimpi dan angan-angan.
Sumber Gambar 1:
(https://images.app.goo.gl/aFjRNqLYRhceQ5k69)