Subagio S. Waluyo
Sajak Sebotol Bir
WS Rendra
Menenggak bir sebotol,
menatap dunia,
dan melihat orang-orang kelaparan.
Membakar dupa,
mencium bumi,
dan mendengar derap huru-hara.
Hiburan kota besar dalam semalam,
sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa !
Peradaban apakah yang kita pertahankan ?
Mengapa kita membangun kota metropolitan ?
dan alpa terhadap peradaban di desa ?
Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan,
dan tidak kepada pengedaran ?
Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri,
Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing
akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam
Kota metropolitan di sini,
adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika,
Australia, dan negara industri lainnya.
Dimanakah jalan lalu lintas yang dulu ?
Yang neghubungkan desa-desa dengan desa-desa ?
Kini telah terlantarkan.
Menjadi selokan atau kubangan.
Jalanlalu lintas masa kini,
mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu,
adalah alat penyaluran barang-barang asing dari
pelabuhan ke kabupaten-kabupaten dan
bahan alam dari kabupaten-kabupaten ke pelabuhan.
Jalan lalu lintas yang diciptakan khusus,
tidak untuk petani,
tetapi untuk pedagang perantara dan cukong-cukong.
Kini hanyut di dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai.
Di mana kita hanya mampu berak dan makan,
tanpa ada daya untuk menciptakan.
Apakah kita akan berhenti saampai di sini ?
Apakah semua negara yang ingin maju harus menjadi negara industri ?
Apakah kita bermimpi untuk punya pabrik-pabrik
yang tidak berhenti-hentinya menghasilkan……..
harus senantiasa menghasilkan….
Dan akhirnya memaksa negara lain
untuk menjadi pasaran barang-barang kita ?
………………………………..
Apakah pilihan lain dari industri hanya pariwisata ?
Apakah pemikiran ekonomi kita
hanya menetek pada komunisme dan kapitalisme ?
Kenapa lingkungan kita sendiri tidak dikira ?
Apakah kita akan hanyut saja
di dalam kekuatan penumpukan
yang menyebarkan pencemaran dan penggerogosan
terhadap alam di luar dan alam di dalam diri manusia ?
…………………………………
Kita telah dikuasai satu mimpi
untuk menjadi orang lain.
Kita telah menjadi asing
di tanah leluhur sendiri.
Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi,
dan menghamba ke Jakarta.
Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi
dan menghamba kepada Jepang,
Eropa, atau Amerika.
Pejambon, 23 Juni 1977
***
Di dekat rumah saya ada sebidang tanah. Luasnya sekitar 200 m2. Tanah itu oleh pemiliknya dibangun rumah-rumah kontrakan. Bagian depan, sekitar 60 m2 semula tidak dibangun. Dalam hati saya bersangka baik saja: “Mudah-mudahan tanah yang tersisa itu untuk halaman rumah.” Ternyata, sangka baik saya secara perlahan-lahan harus diganti dengan persangkaan yang kurang baik karena belakangan tanah yang tersisa itu pun dibangun untuk tambahan rumah kontrakan. Praktis tanah yang luasnya 200 m2itu tidak menyisakan halaman rumah! Saya hanya mengurut dada seraya berkata (hanya dalam hati): “Serakah benar pemilik tanah ini. Karena di benaknya yang ada hanya uang, sampai demikian teganya tidak terpikirkan efek yang akan muncul dengan membangun rumah kontrakan tanpa halaman rumah!”
***
Pemilik tanah itu tidak sendiri. Masih banyak orang yang berpikiran sama seperti dia. Sah-sah saja kalau tanah yang ada mau dia bangun semuanya. Bukankah itu tanah miliknya sehingga boleh-boleh saja kalau mau dia bangun semuanya atau sebagiannya. Toh, selama ini `kan tidak ada yang melarang? Orang lain juga banyak yang melakukan hal yang sama karena orang lain juga melakukan cara-cara yang seperti dilakukannya saat ini. Tentu saja yang dilakukannya, sebagai bentuk peniruan dari orang-orang yang di sekitarnya melakukan hal yang sama, belum tentu baik karena belum tentu tidak merugikan orang lain.
Pada kenyataannya memang akhir-akhir ini ada kecenderungan orang, hanya untuk mencari keuntungan yang besar mereka melakukan cara-cara yang boleh dikatakan tidak terpuji. Pemilik tanah dekat rumah saya, kalau mau dikatakan masih tergolong baik walaupun belum tentu terpuji, memanfaatkan seluruh tanah miliknya demi memperoleh keuntungan yang lebih besar. Artinya, dia tidak melakukan kecurangan, tetapi…(nah ini dia yang perlu dicatat) cara dia mengambil keputusan untuk membangun tanpa menyisakan lahan yang bisa digunakan sebagai halaman rumah jelas-jelas yang ada di benaknya hanya (sekali lagi) mencari keuntungan. Sekarang kalau dia hanya membangun, misalnya, empat rumah kontrakan dengan menyisakan tanah 60 m2 katakanlah kalau semula setiap bulan dia hanya mendapat Rp4.000.000,00 (kalau satu rumah @ Rp1.000.000,00) dengan adanya bangunan tambahan dia mendapat tambahan lagi Rp2.000.000,00, maka paling tidak dia akan mendapat Rp6.000.000,00.
Orang seperti itu sudah bisa berhitung tentang waktu modalnya yang akan balik. Selain itu, dia sudah bisa memprediksikan keuntungan yang akan diperoleh setelah modalnya balik. Tetapi, apakah dia juga bisa membuat prediksi munculnya masalah-masalah kesehatan akibat tidak adanya ruang untuk bernafas segar karena tidak ada sama sekali tanah yang tersisa yang bisa ditanami tanaman-tanaman hias? Apakah dia juga bisa memprediksi apa yang terjadi dengan anak-anak kontrakan kalau mereka butuh tempat untuk bermain? Ini satu lagi yang juga cukup penting, yaitu apakah dia akan menutup mata dan telinga kalau para penghuni rumah kontrakan menggunjingkannya tentang rumah yang panas karena tidak adanya ruang terbuka? Tidak mustahil masyarakat di sekitar rumah itu juga turut menggunjingkannya yang tentu saja bernada negatif.
Keputusan yang dilakukan pemilik tanah untuk membangun rumah-rumah kontrakan tanpa menyisakan lahan jelas-jelas di masa mendatang akan berdampak negatif bukan saja dari sisi sosial, tetapi juga lingkungan. Memang dari sisi ekonomi buat si pemilik tanah menguntungkan, tetapi coba diperhatikan dampak-dampak negatifnya. Sebagai makhluk beragama (sekaligus makhluk sosial) sudah seharusnya dalam berbisnis juga pemilik tanah memperhitungkan masalah sosial dan lingkungan walaupun masalah ini tergolong sepele. Secara sosial itu tadi anak-anak yang tinggal di rumah-rumah kontrakan tersebut tidak bisa bermain dengan nyaman karena tidak ada lagi lahan untuk mereka bermain. Akhirnya, anak-anak itu memilih jalan yang ada di depan rumah kontrakan tersebut sebagai lahan bermain yang tentu saja tidak aman dan nyaman. Atau mereka menjadi anak-anak manis yang cukup bermain gadget, ipad, notebook, atau nonton TV dengan tayangan-tayangan yang jelas-jelas sebagian besar tidak mendidik (lihat tulisan saya di “Kota Anak-Anak Alfa” baik di website maupun blogspot saya).
Pemilik rumah model seperti ini jelas tidak pernah berpikir tentang dampak lingkungannya. Selain tidak ada ruang untuk menghirup udara segar juga suatu saat akan terjadi kekeringan karena tidak adanya sebidang tanah yang bisa digunakan untuk meresap air hujan. Jika hujan turun sudah bisa ditebak, air akan terbuang percuma karena semua air hujan itu akan mengalir ke jalan atau saluran tempat pembuangan air. Jika suatu saat memang benar-benar terjadi seperti itu, secara ekonomi jelas akan ada terjadi kerugian karena akan berkali-kali gali sumur atau memperbaiki mesin airnya. Yang bertanggung jawab jelas si pemilik rumah kontrakan. Penghuni rumah kontrakan akan tidak segan-segan mengkomplain pemilik rumah kontrakan karena masalah air bukan tanggung jawab mereka. Kalau si pemilik rumah kontrakan tidak mau bertanggung jawab, tidak mustahil terjadi perang mulut di antara mereka.
***
Saya yakin sebagian besar pebisnis di negara ini, baik pribumi maupun non pribumi mempraktekkan ajaran-ajaran Adam Smith walaupun sama sekali buta tentang ajaran-ajaran Adam Smith. Konsep kapitalis yang digagas oleh Adam Smith telah merasuk benar ke para pebisnis di seluruh dunia. Orang yang menjadi pebisnis kelas kampung dekat rumah saya juga termasuk orang yang kerasukan jiwa kapitalis. Untuk itu, tidak aneh kalau dalam keputusan bisnisnya juga tergolong serakah. Keserakahan yang dijiwai oleh semangat kapitalis telah menjadikan orang yang seperti pemilik rumah kontrakan dekat rumah saya itu yang ada di benaknya hanya uang. Dia telah menyepelekan unsur-unsur manusiawi. Boleh jadi orang seperti ini juga tergolong sosiopat karena faktor lingkungan telah mendidiknya menjadi kapitalis. Bukankah orang sosiopat (termasuk juga psikopat) berkecenderungan melanggar aturan?Si pemilik tanah kontrakan sebagai pebisnis termasuk pebisnis yang `baik` (dalam tanda petik) tetapi belum terpuji. Mengapa? Keputusan yang diambil ketika membangun tanpa ada ruang yang bisa dimanfaatkan orang banyak termasuk tindakan menguntungkan diri sendiri. Tentu saja tindakan ini dilandasi oleh masih adanya benih-benih keserakahan. Kalau bisa mungkin dikatakan, dia tergolong pebisnis yang serakah. Tanpa dia sadari, sebagai pelaku bisnis, dia juga telah mempraktekkan konsep ekonomi kapitalis yang digagas oleh `Mbah Kapitalis`, yaitu Adam Smith. Dalam, The Wealth of Nation, Adam Smith menulis bahwa keserakahan individual tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Selanjutnya, menurut Adam Smith, kese-rakahan akan harta benda bukan merupakan sesuatu yang aib. Justru berguna bagi masyarakat secara keseluruhan. Bahkan, masih kata Adam Smith, keserakahan membuat manusia bekerja keras untuk mencari keuntungan sehingga dia akan memproduksikan lebih banyak barang atau menjual lebih banyak jasa (Arief Budiman dalam Manusia Indonesia Individu Keluarga dan Masyarakat, 1986:157).
***
Pelaku-pelaku bisnis yang terjerat oleh ajaran Adam Smith (kapitalisme) adalah orang-orang yang tidak lagi memandang sisi-sisi kemanusiaan (dehumanisasi). Selain itu, ada kecenderungan mereka kehidupannya serba materi (materialistis). Akibatnya, muncullah berbagai fenomena penyakit sosial baik karena dehumanisasi maupun materialistis. Penyakit sosial yang muncul akibat adanya dehumanisasi, seperti rusaknya hubungan keluarga dan kriminalitas akan semakin merebak. Sementara itu, akibat kehidupan serba materi (materialistis) juga akan semakin merebaknya kecenderungan menghalalkan segala cara, bermental instant, dan krisis kehidupan yang multidimensional (kemiskinan, kebodohan, kedzaliman, kemerosotan moral, dan ketidakadilan). Jika memang demikian, apa yang bisa diharapkan dari kapitalisme?
Kalau melihat pada dampak yang dimunculkan (yang lebih besar dampak negatifnya darpada positifnya), paham kapitalisme yang dianut sebagian besar pebisnis di negara ini (dari kota sampai pelosok-pelosok negeri) harus disingkirkan jauh-jauh. Silakan saja setiap orang melakukan transaksi bisnis dalam bentuk apapun, tetapi harus bersih dari otak-otak kapitalis. Jangan hanya berharap pada semata-mata meraup keuntungan, justru merugikan orang lain sehingga memunculkan keserakahan. Caranya, mau tidak mau dalam melakukan transaksi setiap orang yang berbisnis harus berpegang teguh pada nilai-nilai agama. Agama (dalam agama Islam, misalnya) sudah menggariskan cara berbisnis yang benar, yang diharapkan tidak merusak hubungan sesama manusia sehingga dalam berbisnis benar-benar bisa mewujudkan humanisasi. Dengan cara demikian, di masa mendatang tidak ada lagi istilah pedagang kapitalis, politikus kapitalis, guru/dosen kapitalis, penegak hukum (hakim/jaksa/advokat) kapitalis, birokrat kapitalis, atau tokoh agama (ustadz, pendeta, pastor, biksu) yang kapitalis. Wallahu a`lam bissawab.