Subagio S. Waluyo
“Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkalah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
(QS Al-Baqarah:109)
“Ataukah mereka hasad/dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.”
(QS An-Nisa:54)
“Kalian akan tertular penyakit umat-umat sebelummu; hasad dan saling membenci. Adapun saling membenci adalah bagai pisau cukur, yaitu mencukur agama, bukan mencukur rambut. Demi Dzat Yang jiwaku ada dalam genggamannya, kalian semua tidak akan beriman kecuali jika kalian saling mencintai. Inginkah kukabarkan tentang sesuatu yang apabila kalian melakukannya, maka kalian akan saling mencintai,; tebarkanlah salam di antara kalian.”
(HR Ahmad dan Tirmidzi)
“Waspadalah terhadap hasad, karena hasad dapat melenyapkan kebaikan, seperti api yang dapat melenyapkan kayu (dalam sabda lain `rumput`).”
(HR Abu Daud)
***
Setiap makhluk ciptaan Allah pasti menghendaki kehidupan yang aman, nyaman, dan tenteram. Sebaliknya, tidak ada satu makhluk pun yang menghendaki kehidupan yang serba terancam jiwanya, kacau, dan serba tidak mengenakkan. Sesuatu yang dikehendaki oleh setiap makhluk Allah dalam realitanya ternyata tidak demikian. Dunia ini sejak keturunan Adam-Hawa saling membunuh (kisah Qabil yang membunuh Habil), sejak itu pula manusia karena dikuasai hawa nafsu rasa aman, nyaman, dan tenteram tidak pernah terwujud. Meskipun demikian, dalam skala besar (regional, nasional, bahkan dunia sekalipun) Allah telah mengingatkan bahwa jika manusia bersyukur Allah akan menambahkan padanya nikmat-Nya tapi kalau sebaliknya, ingkar pada Allah bukan nikmat yang diberikan justeru siksaan (QS Ibrahim:7). Bisa juga suatu kaum/bangsa yang semula selalu beribadah (salah satu di antaranya adalah zikir-zikir pada-Nya) Allah jadikan negeri itu aman, nyaman, tenteram, dan rezeki datang dari berbagai penjuru. Tapi, ketika kaum/bangsa tersebut ingkar pada-Nya semua itu berganti dengan kekacauan, terancam jiwanya, dan merasa selalu serba kurang (terutama kurang harta). Ini merupakan sebuah peringatan dari Allah (QS An-Nahl:112). Di balik peringatan itu pasti ada hikmahnya.
Peringatan tentu saja ditujukan pada manusia. Makhluk-makhluk lain tidak mungkin diberikan peringatan. Manusia diberikan peringatan karena manusia diciptakan demikian sempurna. Allah menyebutkannya sebagai sebaik-baiknya makhluk (QS At-Tiin:4). Buktinya, manusia diberikan Allah akal yang sempurna. Lewat akal manusia bisa melakukan aktivitas. Lewat akal manusia bisa melakukan inovasi. Lewat akal manusia bisa melakukan berbagai kreativitas. Lewat akal manusia bisa menjadi pemimpin baik buat dirinya sendiri, keluarganya, masyarakatnya, maupun negaranya. Bahkan, manusia bisa menjadi pemimpin di muka bumi ini. Tapi, lewat akal juga manusia bisa mengakali entah sesamanya, keluarganya, masyarakatnya, atau bahkan negaranya. Kalau sudah perilaku ini yang muncul, tidak mustahil yang terjadi adalah adanya kerusakan. Di sini, manusia perlu diberi peringatan oleh Allah. Peringatannya dalam bentuk larangan untuk melakukan hal-hal yang berakibat pada keburukan baik pada sesama manusia maupun alam semesta.
***
Kenapa manusia bisa melakukan keburukan? Manusia diberi Allah nafsu. Memang, bicara nafsu masih bersifat umum karena ada tiga macam jenis nafsu (https://republika.co.id/berita/q4hphf320/3-macam-nafsu-manusia-yang-diabadikan-dalam-alquran). Pertama, Al Ammarah bi suu’, yaitu jenis nafsu yang mengarah pada keburukan sebagaimana yang terlihat dalam QS Yusuf:53: “Dan aku (Yusuf) tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Tuhanku.Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Kedua, Lawwamah, yaitu jenis nafsu yang menunjukkan bahwa manusia yang memiliki hati nurani setiap melakukan kesalahan sudah dipastikan akan ada perasaan penyesalan (menyesali diri) sebagaimana terlihat dalam QS Al-Qiyamah:2: “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” Ketiga, Muthmainnah, yaitu orang yang tenang jiwanya atau orang yang bisa menguasai hawa nafsu sehingga jiwanya tenang. Orang seperti ini bisa tenang jiwanya karena banyak ingat pada Allah. Karena banyak ingat pada Allah, bisa dipastikan jiwanya juga merasa tenang (QS Al-Fajri:27-30). Dengan demikian, bisa dipastikan kalau banyak terjadi kerusakan di muka bumi ini lebih disebabkan oleh manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsunya atau manusia yang telah dibelenggu oleh nafsu jenis pertama, yaitu Al Ammarah bi suu’.
Salah satu penyakit yang muncul kalau manusia dikuasai oleh Al Ammarah bi suu’ adalah penyakit dengki atau hasad. Hasad atau dengki menurut Musthafa Al-Buqha dan Muhyidin Misto ialah jenis penyakit hati yang dimiliki seseorang agar suatu nikmat yang dimiliki orang lain itu hilang. Sebaliknya, orang tersebut menghendaki agar nikmat itu bisa dimilikinya (Pokok-Pokok Ajaran Islam: Syarah Arbain Nawawiyah, 2002:386). Jadi, kalau ada orang yang perilakunya termasuk dalam definisi di atas, dia bisa disebut orang yang dengki atau hasad. Kenapa Allah sangat melarang hasad? Sebagaimana terlihat pada potongan hadits di pembuka tulisan ini yang menyebutkan bahwa hasad dapat melenyapkan kebaikan. Dengan demikian, kalau kebaikan telah lenyap dari muka bumi ini bisa dipastikan karena adanya penyakit hasad atau sudah demikian banyaknya orang yang berperilaku hasad.
Penyakit hasad dapat menghilangkan kebaikan. Biasanya orang perlu bukti konktrit dari pernyataan itu supaya tidak terkesan mengarang-ngarang. Kira-kira begitu persepsi orang. Kalau memang perlu bukti, bisa dilihat pada contoh kisah di bawah ini ketika Amangkurat II menghabisi nyawa Trunojoyo dengan cara-cara keji. Ucapan Amangkurat II yang di awal terdengar mengenakkan ternyata sebuah retorika belaka agar Trunojoyo sebagai tawanan perang tidak ada perasaan panik. Ucapan itu hanya pemanis yang membuat pendengarnya terlena. Ucapan itu dilakukan berulang-ulang sampai tiga kali sehingga Trunojoyo seperti merasa yakin kalau Amangkurat II akan menyerahkan titahnya seluruh tanah Jawa diserahkan padanya. Trunojoyo yang tetap diam (walaupun berbicara juga akan percuma karena sudah ada dendam yang membara di diri Amangkurat II) bisa jadi pertanda kepasrahan menerima entah titah, entah hukuman dari Amangkurant II. Memang,setelah Amangkurat II menyampaikan pertanyaan sempat dijawab dengan anggukan kepala oleh Trunojoyo tanda menerima titah sang raja. Di luar dugaan, Amangkurat II ternyata mengeluarkan kerisnya. Dengan basa-basi pantangan kalau keris yang dikeluarkan disarungkan kembali, sebelum keris itu disarungkan tanpa ada rasa kemanusiaan keris itu dihunuskan berkali-kali ke tubuh Trunojoyo yang tidak berdaya karena dipegang erat-erat oleh para prajuritnya.
“Sebagai raja, aku tak punya dua ucapan. Ucapan saya yang sekarang, ya ucapan saya yang dulu, dan juga ucapan saya di masa datang. Aku pernah berucap, sewaktu zaman kemuliaan tiba, aku akan bertahta di dalam kerajaan saja, dan yang di luar ini, seluruh tanah Jawa, biar kamu yang menguasainya. Karenanya, terimalah titahku padamu untuk memerintah tanah Jawa ini. Terserah mau kamu apakan. Mangsa bodoa…”
Trunajaya tak berani berucap sepatah kata.Raja mengulangi pernyataannya sampai tiga kali, tapi Trunajaya tetap tidak mau menerima dan diam seribu bahasa. Pangeran Selarong yang duduk di pinggir mengeluarkan kata-kata, “Trunajaya, apakah kamu tidak mendengar titah baginda? Kalau kamu trah perwira, harus menerimanya, kecuali kamu cuma trah sudra. Ini titah baginda, di mana ada orang baik ingkar janji?” Segera Trunajaya menghaturkan sembah,pertanda menerima titah tersebut. Semua yang hadir mengangguk-anggukkan kepala. Pangeran Selarong juga mengangguk-angguk, sambil berbisik-bisik pada kanan-kirinya. Amangkurat melanjutkan kata-katanya. “Sekarang permintaanku cuma tinggal satu. Ketika aku mengiringkan ayahanda ke Tegal dulu saat Keraton Kertasura kamu rebut, aku punya janji:keris Kyai Balabar ini sengaja tidak aku ganti atau beri sarung, kalau belum aku sarungkan ke dada kamu…” Para pangeran dan petinggi istana yang memenuhi ruangan pertemuan segera menangkap maksud dan isyarat raja. Pangeran Selarong memberi isyarat dengan gelengan kepalanya kepada para pengawal. Seketika beberapa pengawal bergerak, menyeret Trunajaya untuk didekatkan sampai ke depan raja. Raja berdiri dari kursi, menyambut tubuh dengan wajah yang pucat pasi itu dengan tusukan keris Kyai Balabar. Tusukan tepat di dada, menembus punggung. Darah muncrat membasahi raja. |
Tidak cukup sampai di situ, Amangkurat II juga memerintahkan para bupati untuk melakukan hal yang sama. Mereka serentak menghunuskan kerisnya dan mencabik-cabik tubuh Trunajaya sampai hancur seperti kain yang diurai benangnya. Para adipati juga mendapat jatah memakan jantung Trunajaya. Mereka yang datang terlambat karena tidak ada tempat lagi untuk menghunuskan kerisnya kebagian upacara melumurkan tubuh dan wajahnya dengan darah. Amangkurat II melakukan cara-cara keji seperti itu sehingga menghilangkan nilai-nilai kebaikan lebih disebabkan oleh penyakit hasad yang sudah merasuk ke dalam seluruh rongga tubuhnya. Memang itu hanya sebuah kisah fiksi. Tetapi, sejarah membuktikan bahwa Amangkurat II yang bersekutu dengan Pemerintah Kolonial Belanda (penjajah) telah menjadi antek-antek penjajah untuk menghabisi semua perlawanan (oposisi) yang berupaya merongrong kewibawaannya sebagai raja. Kekejaman Amangkurat II pada orang-orang yang dianggap oposisi dan merongrong kewibawaannya bisa dilihat pada lembar-lembar sejarah.
“Para bupati sekalian, sekarang giliran kalian. Kalian makan jantung makhluk celaka ini,” ucapnya dengan suara bergetar. Tanpa menunggu perintah dua kali, para bupati maju menyarangkan keris masing-masing ke tubuh Trunajaya. Dalam sesaat, tubuh Trunajaya telah tercabik-cabik bagai kain yang diurai benangnya satu-satu. Para adipati memakan jantungnya. Ketika Tumenggung Jangrana dan Tumenggung Anggajaya datang dari Pasuruan, keduanya sudah tak dapat tempat lagi di mana keris hendah ditusukkan. Mereka cuma kebagian upacara melumuri tubuh dan wajah dengan darah.
Sebagai penutup dari upacara pelampiasan dendam itu, Amangkurat II memerintahkan memenggal leher Trunajaya. Sang raja menenteng kepala Trunajaya ke tempat peristirahatannya. Semua selir disuruh menginjakkan kakinya ke kepala Trunajaya. Dini hari dia perintahkan para penumbuk padi memasukkan kepala Trunajaya ke lesung dan menghancurkan kepala itu. Begitu kejinya seorang penguasa di masa lalu sampai-sampai untuk melampiaskan dendam kesumatnya dia harus menghancurkan musuhnya sampai benar-benar hancur fisiknya. Jangankan manusia, alam semesta seperti bulan saja digambarkan oleh BR malu melihat kebengisan itu. Sebelum Amangkurat meninggalkan ruangan, ia memerintahkan agar leher Trunajaya dipenggal, dan kepalanya dia tenteng menuju balai peristirahatan. Semua selir wanita simpanan dia suruh menginjakkan kakinya di atas kepala Trunajaya sebelum para wanita ini masuk ke peraduan. Dini hari nantinya, ia perintahkan kepala tersebut dimasukkan lesung dan dihancurkan. Bulan menutup mukanya, malu melihat kebengisan ini. Mega berarak kian pekat menutup purnama. Sungguh agung Keraton Mataram di masa lalu. Puja-puji atas kebesarannya terdengar di mana-mana. Bulan kabangan mengambang di angkasa. Rakyat di desa-desa biasa berjaga-jaga – mengikuti petuah lama – untuk tidak jatuh tertidur pada petang hari saat bulan purnama. Bulan kabangan mengisyaratkan masih ada dendam di muka bumi, tersimpan di dada para penguasa yang menjaga kekuasaannya dengan berpupur darah. Penyesalan, pengampunan,pemberian,dan apa saja yang berasal dari mereka adalah kepura-puraan. Jangan tertidur, bersiap dan berwaspadalah ketika di angkasa menggantung bulan kabangan. |
***
Penyakit hasad juga ada pada para penguasa yang berkuasa saat ini di manapun di dunia ini. Entah mereka yang menjadi penguasa di tingkat daerah, nasional maupun dunia ternyata masih ada yang lebih melihat kesalahan orang/kelompok lain daripada melihat kesalahan dalam diri sendiri. Buktinya, mereka (para penguasa) belum bisa menerima kesalahan orang lain sehingga melakukan cara-cara tidak terpuji. Mereka (dengan dalih menggunakan berbagai kebijakan) memusuhi, menekan, meneror, mengkriminalkan, dan memenjarakan orang/kelompok/golongan lain yang dianggap sebagai saingannya atau musuhnya. Mereka belum bisa move on atau menerima kalau ada entah itu orang (tokoh) atau kelompok/golongan lain yang tingkat penerimaannya lebih tinggi daripada dirinya. Karena sudah ada bibit-bibit hasad, dengan berbagai dalih diupayakan menekan orang/kelompok/golongan lain agar tidak menjatuhkan kedudukannya sebagai penguasa. Perilaku penguasa-penguasa jenis ini sama persis dengan Amangkurat II. Kalau Amangkurat II di-back up oleh Pemerintah Kolonial Belanda (penjajah), pemimpin saat ini di-back up oleh pengusaha-pengusaha yang rakus. Penguasa yang sudah berkonspirasi dengan para pengusaha yang rakus, yang memiliki penyakit hasad inilah yang merusak nilai-nilai kebaikan.
Coba direnungkankan, bagaimana nilai-nilai kebaikan akan rusak kalau dengan seenak perutnya mereka menyeret orang/kelompok/golongan lain yang di mata mereka dianggap sebagai musuh besar, yang tidak berdaya ke pengadilan dengan dalih telah melanggar undang-undang? Mereka berkolaborasi dengan pengadilan berupaya menghukum orang/kelompok/ golongan lain yang menjadi saingannya agar dihukum seberat-beratnya. Mereka berupaya menipu orang-orang yang dianggap musuhnya dengan memutarbalikkan fakta. Mereka gunakan hukum untuk menjerat musuh-musuhnya. Semua yang dilakukannya bukan hanya sakit hati pada musuh-musuhnya tapi juga karena ada pesan-pesan terselubung dari para pengusaha yang juga punya agenda yang sama, yaitu merusak tatanan hidup di muka bumi ini. Wajar-wajar saja kalau para penguasa itu tidak bisa mengelola entah daerah, negara, maupun dunia itu sendiri. Rasa hasad itulah yang menjadi faktor penyebab mereka menjadi gelap mata. Rasa hasad itu juga yang menjadikan mereka tidak bisa mengelola tatanan hidup yang demokratis di muka bumi ini.
***
Semakin jelas apa yang terjadi jika ada manusia atau penguasa sekalipun yang telah dirasuki penyakit hasad? Semakin tampak adanya kerusakan di muka bumi ini. Mereka yang hasad tidak akan mungkin menegakkan keadilan karena keadilan bagi mereka hanya sebuah utopia yang sulit (mungkin juga mereka tidak mau) untuk mewujudkannya. Jadi, kalau ada berbagai kerusakan di alam semesta ini jangan salahkan Sang Pencipta, salahkan ulah manusia yang terasuki penyakit hasad. Mereka-mereka yang telah menjadi hamba-hamba materi, yang sangat cinta pada dunia, tapi takut pada kematian sudah dipastikan menjadi tokoh utama kerusakan di muka bumi ini. Untuk itu, jauhi penyakit hasad karena penyakit hasad menghilangkan kebaikan. Wallahu a`lam bissawab.