Subagio S.Waluyo
Selain Samodra Wibawa, akademikus dari UGM, ada juga seorang akademikus dari UI yang juga pernah menuliskan wacana eksposisi. Adalah Koentjaraningrat seorang guru besar Antropologi yang kumpulan tulisan eksposisinya dikumpulkan oleh Redaksi Harian Kompas menjadi sebuah buku yang berjudul Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Sesuai dengan judulnya, buku tersebut memang membahas hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Indonesia, mentalitas bangsa kita, dan pembangunan di masa orde baru (1969) yang baru saja ketika buku itu diterbitkan dilaksanakan. Namanya juga kumpulan tulisan, buku tersebut membahas secara singkat ketiga hal di atas. Walaupun hanya sebuah kumpulan tulisan, bahkan buku ini tergolong jadul (terbit pertama kali tahun 1974) buku ini sampai saat ini masih menjadi rujukan utama ketika orang membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan, mentalitas, dan pembangunan. Keunikan dari buku tersebut, selain isinya mudah dicerna dan dipahami adalah judul-judul tulisan yang terdapat di buku tersebut dari awal sampai akhir dimulai dengan kata tanya.
Salah satu tulisan yang dijadikan contoh dalam pembelajaran kali ini adalah yang berkaitan dengan pembangunan. Di buku tersebut penulisnya, Koentjaraningrat, menuliskan judulnya `Apakah Artinya Partisipasi Rakyat dalam Pembangunan?`. Koentjaraningrat tidak lansung menjawab pertanyaan tersebut. Justru, di awal tulisannya, Koentjaraningrat menulis Akhir-akhir ini sering terdengar anjuran dari pihak pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, agar diusahakan supaya rakyat berpartisipasi dalam pembangunan. Berkaitan dengan itu, di paragraf pertama Koentjaraningrat menekankan agar ada konsep yang jelas tentang partisipasi rakyat dalam pembangunan. Coba kita lihat paragraf pertama yang merupakan pembuka dalam tulisannya.
Akhir-akhir ini sering terdengar anjuran dari pihak pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, agar diusahakan supaya rakyat berpartisipasi dalam pembangunan. Namun, di berbagai provinsi (tidak semuanya) dan terutama di daerah administratif di bawah provinsi, sering masih belum ada pengertian yang jelas mengenai konsep “partisipasi rakyat dalam pembangunan” itu. Sering kali “partisipasi rakyat yang intensif” disamakan dengan frekuensi tinggi turut sertanya rakyat pedesaan dalam aktivitas-aktivits bersama. Dalam hal itu maka fokus diletakkan pada frekuensi mengadakan pengerahan aktivitas bersama itu, dengan kurang menilai mutu kerjanya serta relevansinya dalam rangka kebijaksanaan yang menjadi pedoman pembangunan. |
Sementara itu, berkaitan bagian isi atau argumen, Koentjaraningrat menuliskan hal-hal yang berkaitan dengan:
- dua tipe partisipasi rakyat;
- dalam memberikan instruksi harus melalui garis hierarki; dan
- partisipasi rakyat berdasarkan keputusan rakyat.
Jadi, di bagian isi atau argumen kita bisa mengatakan sebenarnya yang mau disampaikan Koentjaraningrat demikian singkat karena hanya mencakup tiga hal di atas. Ketiga hal di atas oleh penulisnya diuraikan secara mendetail. Selain itu, agar tulisannya menarik juga disertai dengan contoh-contoh yang mudah kita temui. Dengan cara demikian, kita selaku pembacanya mendapat sebuah jawaban yang jelas tentang pertanyaan yang dijadikan judul tulisan Koentjaraningrat di atas.
Partisipasi rakyat, terutama rakyat pedesaan, dalam pembangunan itu sebenarnya menyangkut dua tipe yang pada prinsipnya berbeda, ialah: (1) Partisipasi dalam aktivitas-aktivitas bersama dalam proyek-proyek pembangunan yang khusus; (2) Partisipasi sebagai individu di luar aktivitas-aktivitas bersama dalam pembangunan. Dalam tipe partisipasi yang pertama, rakyat pedesaan diajak, dipersuasi, diperintahkan, atau dipaksa oleh wakil-wakil dari beraneka warna Departemen atau oleh Pamong Desa, untuk berpartisipasi dan menyumbangkan tenaga atau hartanya kepada proyek-proyek pembangunan yang khusus, yang biasanya bersifat fisik. Kalau rakyat ikut serta berdasarkan atas keyakinannya bahwa proyeknya itu akan bermanfaat baginya maka mereka akan berpartisipasi dengan semangat dan spontanitas yang besar, tanpa mengharapkan upah tinggi. Sebaliknya, kalau mereka diperintah dan dipaksa oleh atasan mereka untuk ikut menyumbangkan tenaga atau harta mereka kepada proyeknya tadi, maka mereka akan berpartisipasi dengan semangat kerja rodi. Contoh-contoh dari tipe partisipasi seperti terurai di atas adalah misalnya: partisipasi orang desa dalam proyek mengeraskan atau melebarkan jalan desa, dalam membuat saluran irigasi, dalam membuat jembatan desa, dalam proyck penghijauan, dalam kursus buta huruf, dan sebagainya. Dalam tipe partisipasi yang kedua tidak ada proyek aktivitas bersama yang khusus, tetapi pada proyek-proyek pembangunan, biasanya yang tidak bersifat fisik dan tidak memerlukan suatu partisipasi rakyat atas perintah atau paksaan dari atasannya, tetapi selalu atas dasar kemauan mereka sendiri. Contoh dari tipe partisipasi seperti terurai dalam alinea ini adalah misalnya partisipasi dalam Bimas, menjadi aseptor keluarga berencana, menabung uang di Tabanas, dan sebagainya. Karyawan dan petugas yang harus menginstruksikan rakyat di pedesaan untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek aktivitas bersama (partisipasi tipe pertama) biasanya tidak dapat melampaui pamong desa dan pimpinan desa yang resmi. Dalam zaman kolonial dulu, struktur pemerintahan adalah sedemikian rupa sehingga segala instruksi dari atas itu harus disalurkan melalui garis hierarki pamong praja (dulu namanya pangreh praja). Memang dalam zaman kolonial belum banyak jawatan yang turun ke bawah sampai ke desa, sehigga usaha koordinasi dari instrukis-instruksi kepada rakyat untuk turut berpartisipasi dalam proyek-proyek pemerintah masih bisa dikuasai oleh pamong praja. Sekarang jumlah departemen-departemen, direktorat.-direktorat jenderal, direktorat-direktorat, dinas-dinas ABRI bahkan kadang-kadang biro-biro, yang mempunyai ujung-ujung jarinya dalam masyarakat pedesaan dan ingin ikut serta menggerakkan rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan, sudah terlampau banyak. Demikian koordinasi dari semua instruksi dari atas itu menjadi amat sulit untuk dikuasai oleh pamong praja. Walau demikian, sampai sekarang jalan yang terbaik untuk menginstruksikan (bukan memaksa) rakyat pedesaan untuk ikut berpartisipasi dalam proyek-proyek yang bersifat aktivitas-aktivitas bersama, masih tetap melalui saluran pamong praja. Karyawan dan petugas yang harus mengajak, mempersuasi, dan menginstruksikan rakyat pedesaan untuk ikut berpartisipasi dalam proyek pembangunan sebagai individu (partisipasi tipe kedua), menghadapi masalah yang jauh lebih rumit. Karena partisipasi rakyat itu berdasarkan suatu keputusan mereka sendiri sebagai individu, maka hanya perintah dari lurah atau camat saja tidak cukup. Keputusan seorang warga desa untuk menjadi aseptor dalam keluarga berencana misalnya, tidak bisa hanya berdasarkan atas perintah lurah atau camat, melainkan atas suatu keyakinan yang mendalam bahwa partisipasinya itu sungguh bermanfaat, pertama untuk dirinya sendiri dan keluarganya dan kemudian untuk masyarakat dan aegara. Hal itu banya bisa dicapai dengan suatu proses persuasi dan penerangan yang intensif dan lama. |
Sebagai sebuah tulisan singkat, tampaknya pembaca ketika membaca paragraf terakhir tidak mendapatkan suatu kesimpulan. Koentjaraningrat tampaknya lebih cenderung menambahkan penjelasan yang berkaitan dengan munculnya budaya yang berorientasi ke atasan (paternalisme). Meskipun tidak adanya kesimpulan, kita bisa menangkap secara keseluruhan isi tulisannya. Bahkan, kita bisa mengakui kepiawaian Koentjaraningrat menjawab sebuah pertanyaan yang dijadikan judul tulisannya. Bukankah dengan menjawab pertanyaan yang diajukannya merupakan bukti bahwa tulisannya benar-benar bisa menyingkap tabir tentang partisipasi rakyat dalam pembangunan?
Ada beberapa ahli ilmu sosial yang berpendirian bahwa berhasilnya persuasi dan penerangan kepada rakyat pedesaan itu tak akan menjamin rakyat pedesaan akan ikut serta berpartisipasi (tipe kedua), tanpa adanya restu dari lurah atau pihak atasan. Sekali lagi di sini muncul nilai budaya yang terlampau berorientasi vertikal ke arah atasan, yang telah berapa kali saya sebut dalam karangan-karangan terdahulu dalam seri ini, dan yang akan menghambat suatu keputusan progresif dari rakyat pedesaan Menurut hemat saya peranan menghambát dari pihak lurah di sini terlampau dibesar-besarkan. Memang saya bisa mengerti adanya lurah-lurah atau pamong desa yang merasa tersinggung kalau mereka tidak diikutsertakan, dan karena itu dengan mentalitas pegawainya ingin menyabot perkembangan ide-ide baru yang dikembangkan pihak lain, dengan alasan kesalahan prosedur dan protokol. Saat itu dengan begitu hanya merupakan soal sopan santun saja dan kesukaran-kesukaran yang timbul karena sabotase dari pihak pegawai-pegawai desa bisa dihindari dengan mengikutsertakan mereka dalam permasalahannya. |
Supaya tampak di hadapan kita sebuah tulisan eksposisi yang utuh, apa salahnya kita coba tuliskan kembali paragraf-paragraf di atas? Dengan melihat keutuhan sebuah wacana eksposisi, kita bisa memahami kira-kira inilah salah satu cara penulisan wacana eksposisi dari seorang guru besar Antropologi UI. Bukan itu saja, kita pun bisa mempelajari cara penyampaian buah pikiran sang penulis. Kita pun bisa meniru gaya penulisannya. Berikut ini kita lihat tulisan utuhnya.
Apakah Artinya Partisipasi Rakyat Dalam Pembangunan? Koentjaraningrat Akhir-akhir ini sering terdengar anjuran dari pihak pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, agar diusahakan supaya rakyat berpartisipasi dalam pembangunan. Namun, di berbagai provinsi (tidak semuanya) dan terutama di daerah administrtif di bawah provinsi, sering masih belum ada pengertian yang jelas mengenai konsep “partisipasi rakyat dalam pembangunan” itu. Sering kali “partisipasi rakyat yang intensif” disamakan dengan frekuensi tinggi turut sertanya rakyat pedesaan dalam aktivitas-aktivits bersama. Dalam hal itu maka fokus diletakkan pada frekuensi mengadakan pengerahan aktivitas bersama itu, dengan kurang menilai mutu kerjanya serta relevansinya dalam rangka kebijaksanaan yang menjadi pedoman pembangunan. Partisipasi rakyat, terutama rakyat pedesaan, dalam pembangunan itu sebenarnya menyangkut dua tipe yang pada prinsipnya berbeda, ialah: (1) Partisipasi dalam aktivitas-aktivitas bersama dalam proyek-proyek pembangunan yang khusus; (2) Partisipasi sebagai individu di luar aktivitas-aktivitas bersama dalam pembangunan. Dalam tipe partisipasi yang pertama, rakyat pedesaan diajak, dipersuasi, diperintahkan, atau dipaksa oleh wakil-wakil dari beraneka warna Departemen atau oleh Pamong Desa, untuk berpartisipasi dan menyumbangkan tenaga atau hartanya kepada proyek-proyek pembangunan yang khusus, yang biasanya bersifat fisik. Kalau rakyat ikut serta berdasarkan atas keyakinannya bahwa proyeknya itu akan bermanfaat baginya maka mereka akan berpartisipasi dengan semangat dan spontanitas yang besar, tanpa mengharapkan upah tinggi. Sebaliknya, kalau mereka diperintah dan dipaksa oleh atasan mereka untuk ikut menyumbangkan tenaga atau harta mereka kepada proyeknya tadi, maka mereka akan berpartisipasi dengan semangat kerja rodi. Contoh-contoh dari tipe partisipasi seperti terurai di atas adalah misalnya: partisipasi orang desa dalam proyek mengeraskan atau melebarkan jalan desa, dalam membuat saluran irigasi, dalam membuat jembatan desa, dalam proyck penghijauan, dalam kursus buta huruf, dan sebagainya. Dalam tipe partisipasi yang kedua tidak ada proyek aktivitas bersama yang khusus, tetapi pada proyek-proyek pembangunan, biasany yang tidak bersifat fisik dan tidak memerlukan suatu partisipasi rakyat atas perintah atau paksaan dari atasannya, tetapi selalu atas dasar kemauan mereka sendiri. Contoh dari tipe partisipasi seperti terurai dalam alinea ini adalah misalnya partisipasi dalam Bimas, menjadi aseptor keluarga berencana, menabung uang di Tabanas, dan sebagainya. Karyawan dan petugas yang harus menginstruksikan rakyat di pedesaan untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek aktivitas bersama (partisipasi tipe pertama) biasanya tidak dapat melampaui pamong desa dan pimpinan desa yang resmi. Dalam zaman kolonial dulu, struktur pemerintahan adalah sedemikian rupa sehingga segala instrukksi dari atas itu harus disalurkan melalui garis hierarki pamong praja (dulu namanya pangreh praja). Memang dalam zaman kolonial belum banyak jawatan yang turun ke bawah sampai ke desa, sehigga usaha koordinasi dari instrukis-instruksi kepada rakyat untuk turut berpartisipasi dalam proyek-proyek pemerintah masih bisa dikuasai oleh pamong praja. Sekarang jumlah departemen-departemen, direktorat.-direktorat jenderal, direktorat-direktorat, dinas-dinas ABRI bahkan kadang-kadang biro-biro, yang mempunyai ujung-ujung jarinya dalam masyarakat pedesaan dan ingin ikut serta menggerakkan rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan, sudah terlampau banyak. Demikian koordinasi dari semua instruksi dari atas itu menjadi amat sulit untuk dikuasai oleh pamong praja. Walau demikian, sampai sekarang jalan yang terbaik untuk menginstruksikan (bukan memaksa) rakyat pedesaan untuk ikut berpartisipasi dalam proyek-proyek yang bersifat aktivitas-aktivitas bersama, masih tetap melalui saluran pamong praja. Karyawan dan petugas yang harus mengajak, mempersuasi, dan menginstruksikan rakyat pedesaan untuk ikut berpartisipasi dalam proyek pembangunan sebagai individu (partisipasi tipe kedua), menghadapi masalah yang jauh lebih rumit. Karena partisipasi rakyat itu berdasarkan suatu keputusan mereka sendiri sebagai individu, maka hanya perintah dari lurah atau camat saja tidak cukup. Keputusan seorang warga desa untuk menjadi aseptor dalam keluarga berencana misalnya, tidak bisa hanya berdasarkan atas perintah lurah atau camat, melainkan atas suatu keyakinan yang mendalam bahwa partisipasinya itu sungguh bermanfaat, pertama untuk dirinya sendiri dan keluarganya dan kemudian untuk masyarakat dan aegara. Hal itu banya bisa dicapai dengan suatu proses persuasi dan penerangan yang intensif dan lama. Ada beberapa ahli ilmu sosial yang berpendirian bahwa berhasilnya persuasi dan penerangan kepada rakyat pedesaan itu tak akan menjamin rakyat pedesaan akan ikut serta berpartisipasi (tipe kedua), tanpa adanya restu dari lurah atau pihak atasan. Sekali lagi di sini muncul nilai budaya yang terlampau berorientasi vertikal ke arah atasan, yang telah berapa kali saya sebut dalam karangan-karangan terdahulu dalam seri ini, dan yang akan menghambat suatu keputusan progresif dari rakyat pedesaan Menurut hemat saya peranan menghambát dari pihak lurah di sini terlampau dibesar-besarkan. Memang saya bisa mengerti adanya lurah-lurah atau pamong desa yang merasa tersinggung kalau mereka tidak diikutsertakan, dan karena itu dengan mentilitas pegawainya ingin menyabot perkembangan ide-ide baru yang dikembangkan pihak lain, dengan alasan kesalahan prosedur dan protokol. Saat itu dengan begitu hanya merupakan soal sopan santun saja dan kesukaran-kesukaran yang timbul karena sabotase dari pihak pegawai-pegawai desa bisa dihindari dengan mengikutsertakan mereka dalam permasalahannya. (Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, 2015: 87-90) |