Subagio S. Waluyo  

          Setelah kita membahas wacana deskripsi yang menggambarkan suatu peristiwa dan suasana. Sekarang kita beralih membahas tulisan deskripsi yang juga masih mengambil gambaran suasana atau keadaan. Tetapi, untuk kali ini kita membahas gambaran suasana yang diambil dari karya fiksi (novel). Novel yang cukup panjang menggambarkan suasana (keadaan) di antaranya adalah novel yang ditulis oleh Mochtar Lubis: Harimau Harimau (HH). Novel ini ditulis ketika penulisnya masih mendekam di sebuah penjara di Madiun. Novel ini lebih merupakan sebuah tanggapan terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno. Novel ini bercerita tentang tujuh orang pengumpul damar yang diserang oleh seekor harimau ketika pulang ke desanya. Pimpinan yang karismatik dalam novel ini pun gagal menghindari serangan harimau. Justru pimpinan tersebut yang dijadikan umpan untuk mengakhiri petualangan sang harimau yang telah memakan korban tiga orang dari tujuh orang pencari damar (satu orang dibunuh oleh Wak Katok sang pemimpin karismatik). Sebagai tambahan, novel yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Mandarin ini mendapat penghargaan sebagai Buku Terbaik dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (https://id. wikipedia.org/wiki/Harimau!_ Harimau!).

          Walaupun sebuah karya fiktif (narasi) yang didominasi imajinasi dan kontemplasi, Mochtar Lubis (ML) melakukan pengamatan di seputar hutan raya. Di situ ML menggambarkan hutan raya dari jenis pepohonan. Di tepi pantai didominasi oleh pohon-pohon yang ketinggiannya di bawah enam meter (bisa dikatakan pepohonan perdu) seperti bakau. Jenis pepohonan ini banyak ditemui di tepi pantai. Untuk itu, orang biasa menyebutnya sebagai hutan bakau. Makin ke tengah mendekati pegunungan pepohonan semakin tinggi. Di hutan-hutan dengan pepohonan yang tinggi itu juga selalu diselimuti lumut yang digambarkan ML seperti `renda-renda terurai`.ML juga menyebutkan kalau hutan raya tidak pernah dimasuki manusia. ML juga menggambarkan hutan raya dihuni oleh berbagai jenis margasatwa dan serangga. Ada bagian hutan yang menakutkan. Ada juga yang bagian hutan yang menyenangkan dan enak dipandang. Yang membuat orang tak puas-puasnya memandang sehingga berkeinginan untuk tinggal di hutan selama-lamanya. Jadi, tulisan diawali dengan gambaran hutan hasil pengamatannya.

          Masih di awal tulisan, ML kemudian menggambarkan tokoh-tokoh yang nantinya dimunculkan pada novelnya HH. Di situ ML secara detail menggambarkan tujuh orang yang telah memasuki hutan raya selama tujuh hari. Dimulai dari Pak Haji Rakhmad, orang tertua dari tujuh orang tersebut. Disebutkan usianya, fisiknya, kesehatannya, dan riwayat hidupnya sampai menunaikan ibadah hajinya. Karena orang tuanya dulu seorang pendamar, Pak Haji Rakhmad akhirnya mengikuti jejak orang tuanya. Di bawah Pak Haji Rakhmad urutan kedua adalah Wak Katok yang usianya di bawah Pak Haji Rakhmad, lima puluh tahun, yang digambarkan badannya kukuh dan keras. Selain itu, Wak Katok rambutnya masih hitam, berkumis panjang dan lebat. Wak Katok meskipun berusia lima puluh tahun seperti orang yang berusia empat puluhan tahun. Wak Katok seorang ahli bela diri, dukun terkenal, dan ahli berburu. Sebaya dengan Wak Katok adalah Pak Balam. Digambarkan fisiknya kurus, tapi kuat bekerja. Pak Balam sudah berkeluarga tapi tidak punya anak. Pak Balam pernah ditangkap Belanda karena dituduh komunis. Sempat empat tahun dipenjara di Tanah Merah. Di luar mereka berdua ada empat orang yang masih tergolong muda-muda. Yang tertua Talib, berumur 27 tahun, beristri, dan punya 3 anak. Di bawah Talib, Sanip, berumur 25 tahun, beristri, dan punya 4 anak. Setelah itu, ada Sultan, berusia 22 tahun, sudah berkeluarga. Terakhir, Buyung, berusia 19 tahun, dan belum berkeluarga. Agar memperoleh informasi lebih lengkap, kita bisa melihat gambaran yang disampaikan ML di awal novelnya tersebut.

Hutan Raya terhampar di seluruh pulau, dari tepi pantai tempat ombak-ombak samudera yang terentang hingga ke Kutub Selatan menghempaskan diri setelah perjalanan yang amat jauhnya hingga ke puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi dan setiap hari diselimuti awan tebal. Hutan raya berubah-ubah wajahnya. Yang dekat pantai merupakan hutan-hutan kayu bakau, dan semakin jauh ke darat dan semakin tinggi letaknya, berubah pula kayu-kayu dan tanaman di dalamnya, hingga tiba pada pohon-pohon besar dan tinggi, sepanjang masa ditutup lumut, yang merupakan renda-renda terurai dari cabang dan dahan.

          Sebagian terbesar bagian hutan raya tak pernah dijejak manusia dan di dalam hutan raya hidup bernapas dengan kuatnya. Berbagai margasatwa dan serangga penghuninya mempertahankan hidup di dalamnya. Demikian pula tanaman dan bunga-bunga anggrek, yang banyak merupakan mahkota di puncak-puncak pohon tinggi.

          Di bahagian atas hutan raya hidup siamang, beruk dan sebangsanya dan burung-burung; dan di bawah, di atas tanah, hidup harimau kumbang, gajah dan beruang; di sepanjang sungai tapir, badak, ular, buaya, rusa, kancil dan ratusan makhluk lain. Dan di dalam tanah serangga berkembang biak.

          Banyak bagian hutan raya yang menakutkan, yang penuh dengan paya yang mengandung bahaya maut dan hutan hutan gelap yang basah senantiasa dari abad ke abad. Akan tetapi pula ada bahagian yang indah dan amat menarik hati, tak ubahnya seakan hutan dalam cerita tentang dunia peri dan bidadari, hutan-hutan kecil yang dialasi oleh rumput hijau yang rata, yang seakan selalu dipelihara dan dibersihkan, dikelilingi oleh pohon-pohon cemara yang tinggi dan langsing semampai dan yang menyebarkan wangi minyak cemara ke seluruh hutan. Di tengah hutan yang demikian sebuah anak sungai kecil, dengan airnya yang sejuk dan bersih mengalir, mencerecah, menyanyi-nyanyi dan berbisik-bisik, dan akan inginlah orang tinggal di sana selama-lamanya.

          Di dalam hutan terdapat pula sumber-sumber nafkah hidup manusia, rotan dan damar dan berbagai bahan kayu. Manusia yang dahulu hidup di dalam hutan seperti binatang,dan kemudian meninggalkan hutan untuk membangun kota dan desa, kini pun selalu kembali ke dalam hutan untuk berburu atau mencari nafkah.

          Mereka bertujuh telah seminggu lamanya tinggal di dalam hutan mengumpulkan damar. Pak Haji Rakhmad, yang tertua di antara mereka. Pak Haji demikian panggilannya sehari-hari, telah berumur enam puluh tahun. Meskipun umurnya telah selanjut itu, akan tetapi badannya masih tetap sehat dan kuat, mata dan pendengarannya masih terang. Mendaki dan menuruni gunung membawa beban damar atau rotan yang berat, menghirup udara segar di alam terbuka yang luas, menyebabkan orang tinggal sehat dan kuat. Pak Haji selalu membanggakan diri, bahwa dia tak pernah sakit seumur hidupnya. Dia bangga benar tak pernah merasa sakit pinggang atau sakit kepala.

          Di waktu mudanya ketika dia berumur sembilan belas tahun, dia pernah meninggalkan kampungnya, dan pergi mengembara ke negeri-negeri lain. Ada lima tahun lamanya dia bekerja di kapal. Dia pernah tinggal dua tahun di India, belajar mengaji di sana. Pak Haji juga pernah mengembara ke negeri Jepang, ke negeri Cina, ke benua Afrika dan ke bandarbandar orang kulit putih dengan kota-kotanya yang ramai.

          Akan tetapi kampung halaman memanggilnya juga kembali. Dan setelah dua puluh tahun mengembara, akhirnya Pak Haji menunaikan ibadah haji, dan kemudian kembali ke kampung. Dia kembali bekerja mencari damar, seperti yang dilakukan oleh ayahnya dahulu, dan yang telah dilakukannya pula sejak dia berumur tiga belas tahun mengikuti ayahnya.

          Pak Haji selalu berkata, setelah merasakan semua pengalamannya di dunia, dia lebih senang juga jadi orang pendamar.

          Wak Katok berumur lima puluh tahun. Perawakannya kukuh dan keras, rambutnya masih hitam, kumisnya panjang dan lebat, otot-otot tangan dan kakinya bergumpalan. Tampangnya masih serupa orang yang baru berumur empat puluhan saja. Bibirnya penuh dan tebal, matanya bersinar tajam. Dia juga ahli pencak dan dianggap dukun besar di kampung. Dia terkenal juga sebagai pemburu yang mahir.

          Yang muda-muda di antara mereka bertujuh, Sutan,berumur dua puluh dua tahun dan telah berkeluarga, Talib berumur dua puluh tujuh tahun dan telah beristri dan beranak tiga, Sanip berumur dua puluh lima tahun, juga telah beristri dan punya empat anak, dan Buyung, yang termuda di antara mereka, baru berumur sembilan belas tahun. Anak-anak muda itu semuanya murid pencak Wak Katok. Mereka juga belajar ilmu sihir dan gaib padanya.

          Mereka melihat wak Katok merupakan salah seorangyang dituakan di kampung, yang dianggap seorang pemimpin dan disegani orang banyak. Mereka tak pernah meragukan kebenaran kata-kata dan perbuatannya.

          Secara tak resmi Wak Katoklah yang merupakan pemimpin rombongan pendamar itu. Anggota rombongan yang ketujuh ialah Pak Balam yang sebaya dengan Wak Katok. Orangnya pendiam, badannya kurus, akan tetapi kuat bekerja. Dia pernah ditangkap pemerintah Belanda di waktu apa yang dinamakan pemberontakan komunis di tahun 1926, dan dibuang oleh Belanda selama empat tahun ke Tanah Merah. Dia tak punya anak. Isterinya, Khadijah, yang mengikutinya dahulu ke pembuangan, menderita penyakit malaria ketika hamil di Tanah Merah, kandungannya keguguran, dan sejak itu tak pernah lagi dapat beranak. Isterinya terus-menerus sakit, dan uangnya selalu habis untuk membeli segala rupa obat.

          Mereka bertujuh selalu bersama-sama pergi mengumpulkan damar, meskipun mereka sebenarnya tak berkongsi, dan masing-masing menerima hasil penjualan damar yang dikumpulkannya sendiri. Akan tetapi dengan berombongan tujuh orang bersama-sama, mereka merasa lebih aman dan lebih dapat bantu-membantu melakukan pekerjaan.

          Mereka termasuk orang baik di mata orang sekampung. Wak Katok dihormati, disegani, dan malahan agak ditakuti, karena termashur ahli pencak, dan mahir sebagai dukun. Menurut cerita, pernah seseorang yang tergila-gila pada seorang perempuan, minta pada Wak Katok dibuatkan gunaguna untuk merebut hati perempuan itu. Benar juga, si perempuan sampai minta cerai dari suaminya, meninggalkan suami dan anak-anaknya. Banyak cerita lain tentang kejagoan Wak Katok. Diceritakan orang juga, bahwa dulu, sewaktu dia masih muda, dia pernah berpencak melawan seekor beruang, ketika beruang menghadangnya di hutan. Dan beruanglah yang kalah dan lari masuk hutan.

          Dan tentang ilmu sihirnya…. orang hanya berani berbisikbisik saja tentang ini. Kata orang dia dapat bertemu dengan hantu dan jin.

          Pak Balam juga dihormati orang.di kampung, yang menganggapnya sebagai seorang pahlawan, yang telah beraniikut mengangkat senjata melawan Belanda. Orang kampung tahu, bahwa Pak Balam bukan seorang komunis. Dia seorang yang saleh beragama dan pasti bukan orang komunis. Karena orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan, dan tidak percaya pada agama. Pak Balam dan kawan-kawannya dahulu bangkit melawan Belanda, karena Belanda terlalu menekan rakyat, memaksa rakyat membayar macam-macam pajak baru, dan rakyat tidak lagi merasa hidup bebas dan merdeka.

          Pak Haji dihormati orang di kampung, karena umurnya dan hajinya. Akan tetapi orang kampung kurang mengerti dia. Sejak dia pulang dari pengembaraannya ke dunia luar, dia seakan mengasingkan diri, memencilkan diri di kampung. Dia tak hendak menikah, meskipun dipaksa-paksa oleh keluarganya. Dia tak hendak jadi pemimpin di kampung, baik pemimpin agama maupun masyarakat. Mula-mula orang kampung mengatakan dia jadi angkuh karena telah lama di luar negeri, akan tetapi lama-lama orang biasa juga dengantingkahnya yang aneh, dan orang kampung pun tidak lagi mengacuhkannya. Pak Haji kelihatannya senang dikesampingkan begitu.

          Sutan, Buyung, Talib dan Sanip juga termasuk anak muda yang dianggap sopan dan baik di kampung.

          Mereka orang-orang wajar seperti sebagian terbesar orang di kampung. Mereka baik dalam pergaulan, pergi sembahyang ke mesjid, duduk mengobrol di kedai kopi seperti orang lain, mereka ikut bekerja besama-sama ketika ada orang membangun rumah, memperbaiki jalan-jalan, bandar ataupun menyelenggarakan perhelatan. Mereka adalah ayah, suami, saudara dan kawan yang baik. Mereka tertawa, mereka menangis, mereka mimpi, mereka berharap, mereka marah, kesal, sedih seperti juga orang lain di kampung. Mereka tak berbeda dari orang lain.

          Mereka adalah manusia biasa.

          Dan kini mereka bekerja di dalam hutan raya. Mencari nafkah untuk keluarga.

(Harimau-Harimau oleh Mochtar Lubis)

***

          Setelah melihat contoh di atas sebuah karya fiktif yang diawali dengan deskripsi, berikut ini agar kita lebih memahami lagi tentang tulisan narasi yang diawali dengan deskripsi tidak ada salahnya kita mengambil contoh dari novel yang ditulis oleh Achmad Tohari (AT): Orang-Orang Proyek (OOP). Sama halnya novel HH yang diawali dengan tulisan deskripsi, novel AT kali ini juga diawali dengan sebuah deskripsi yang menarik untuk dibaca. Dalam novel OOP dibuka sebuah kalimat dengan gaya bahasa personifikasi: `Pagi ini Sungai Cibawor kelihatan letih`. Bisa-bisanya AT memisalkan sungai seperti manusia yang letih. Tapi, itulah kekayaan gaya bahasa yang dimiliki AT. Kalau mau dicari di sekian banyak cerpen dan novelnya, AT juga sering menuliskan kalimat-kalimat yang menunjukkan kekayaan gaya bahasa yang digunakannya. Meskipun demikian, sesuai dengan tulisan yang mau kita bahas kali ini lebih mengarah pada tulisan wacana deskripsi, kita akan coba mempelajari tulisan AT kali ini yang terdapat di novel OOP. Novel OOP yang ditulis kali ini sama halnya dengan novel-novel AT lainnya yang selalu diawali dengan sebuah prolog juga selalu diawali dengan memberikan deskripsi. Agar lebih jelas lagi, silakan kita baca tulisan AT dalam bagian awal di novel OOP ini!

       Pagi ini Sungai Cibawor kelihatan letih. Tiga hari yang lalu hujan deras di hulu membuat sungai ini banjir besar. Untung sudah jadi watak sungai pegunungan, banjir yang terjadi berlangsung cepat. Air yang semula jernih mulai mengeruh di pagi hari, meninggi dan segera menggelora setengah jam kemudian. Cibawor seperti sedang digelontor dari hulu dengan bah besar yang pekat berlumpur serta
membawa segala macam sampah, dari sandal karet, bekas botol plastik, batang pisang, sampai batang mahoni.

       Banjir kali ini memang besar. Setelah air surut hanya beberapa jam kemudian, banyak sampah tersangkut di ranting pepohonan. Pada tebing yang curam tampak rerumputan dan pakis-pakisan tercerabut oleh derasnya air. Dinding cadas yang tergerus. Pada bantaran yang landai, banjir telah menutup hamparan lahan pertanian dengan lumpur, batu, dan pasir. Ada pohon cangkring roboh karena tanah miring tempatnya berpijak longsor. Akarnya mencuat ke atas seperti tangan-tangan yang ingin menggapai sesuatu untuk bertahan.

     Tapi pohon mbulu itu masih kukuh di sana. Mungkin karena ia tumbuh di tanah cadas serta terlindung batu-batu besar. Maka, meski banjir sempat menyentuh ujungujung rantingnya yang bergantung di atas air, pohon itu bergeming. Bahkan mbulu yang sudah sangat tua itu masih tetap memberi rasa aman bagi burung-burung emprit yang bersarang pada ujung-ujung ranting yang menggantung itu. Mereka ikut terayun-ayun bersama goyangan ranting ketika angin bertiup. Dan mereka tetap berkejaran, mencicit, tak peduli air di bawahnya belum sepenuhnya surut seperti sedia kala.

    Ketenangan di bawah pohon mbulu itu seakan diberi bobot lain oleh kedatangan seorang pemancing tua. Lelaki itu telah lama menjadikan kerindangan pohon mbulu di tepi Sungai Cibawor itu sebagai tempat yang paling disukai.Memancing di tempat itu adalah berkawan dengan keheningan, dengan semilir angin, dengan lambaian ranting-ranting yang mengayun di atas air atau cericit burung-burung emprit. Dan bila air sedang jernih, naungan pohon mbulu itu juga memberi kesempatan orang melihat bayangan langit serta kelebat burung layang-layang. Pada saat demikian, pemancing tua itu merasa dirinya benar-benar hadir dan ikut berdenyut dengan alam di sekitarnya.

       Tapi pagi ini lelaki tua itu tampak ragu. Dia tidak segera memasang pancingnya lalu duduk di batu seperti biasa. Dia tetap berdiri dan menatap ke permukaan air. Mengernyitkan alis, lalu menurunkan kantong perkakas lusuh yang disandangnya. Duduk di atas batu pada tempat yang paling nyaman lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong lusuhnya. Bukan pancing melainkan seruling bambu. Sementara pancingnya tetap tinggal dalam kantong.

(Dikutip dari novel Orang-Orang Proyek oleh Achmad Tohari)

       Jika dibandingkan dengan prolog yang ditulis ML dalam HH, prolog yang ditulis AT dalam OOP jelas lebih singkat. Meskipun lebih singkat, ada beberapa hal menarik yang disampaikan AT. Pertama, Sungai Cibawor yang di awal tulisan kelihatan letih karena tiga hari lalu di hulu hujan deras sehingga menimbulkan banjir. Kedua, banjir yang besar itu membawa lumpur dan sampah yang tidak sedikit (disebutkan di situ kalau ketika surut menyisakan segala macam sampah). Ketiga, bukan hanya sampah, beberapa tanaman kecil yang menempel di dinding-dinding sungai, seperti rerumputan dan pakis tercerabut dari derasnya air. Keempat, meskipun Sungai Cibawor banyak menghanyutkan berbagai tanaman kecil (bahkan disebutkan di situ menghanyutkan pohon Cangkring) ada pohon yang sudah sangat tua, yaitu pohon Mbulu karena terlindung oleh bebatuan besar masih bisa bertahan dari terpaan banjir. Kelima, pohon Mbulu dijadikan tempat bersarang burung-burung Emprit. Keenam, di bawah pohon Mbulu yang rindang seorang laki-laki setengah baya selain sebagai tempat memancing ikan juga tempat yang paling nyaman karena semilir angin dan keheningannya. Ketujuh, lelaki setengah baya itu sebelum memancing mengeluarkan serulingnya. Jadi, AT dalam OOP melalui prolognya berhasil membangun sebuah tulisan yang diawali dengan sebuah deskripsi.

***

          Hampir di setiap cerita rekaan (novel, cerpen, atau naskah drama) banyak ditemukan setiap kali penulis mau membuka sebuah cerita selalu diawali dengan sebuah prolog. Prolog yang ditulisnya selalu menggambarkan latar cerita yang mau disampaikan. Kalau di HH ditampilkan gambaran hutan, di OOP digambarkan Sungai Cibawor yang dihempas banjir berikut pepohonan dan satwa-satwa yang ada di sekitarnya. Dari prolog yang disampaikan penulis kita bisa menyimpulkan, penulis yang tajam melakukan pengamatan akan menghasilkan sebuah prolog yang panjang. Sebaliknya, ada juga penulis yang memandang tidak diperlukan berpanjang-panjang kalimat atau paragraf dalam menyampaikan sebuah prolog karena sang penulis beranggapan lebih mementingkan jalan cerita daripada sebuah prolog. Selain di prolog, wacana deskripsi juga banyak ditemukan di beberapa tempat dalam cerita rekaan. Maksudnya, bisa saja setelah menyampaikan prolognya, penulis cerita rekaan memasukkan di bagian berikutnya dari cerita rekaan yang ditulisnya sebuah wacana deskripsi. Pendek kata, kalau kita mau rajin saja mencoba meneliti kalimat demi kalimat atau paragraf demi paragraf, kita akan menemukan gambaran suasana yang disampaikan penulis. Gambaran suasana, keadaan, atau peristiwa itu bisa saja dimasukkan sebagai sebuah deskripsi. Untuk itu, perlu ada pembuktian bahwa setiap cerita rekaan selalu ada muatan yang mengandung tulisan deskripsi. Silakan saja kalau ada yang mau mencari, baik di setiap prolog dalam cerita rekaan maupun di bagian-bagian tertentu di cerita rekaan tulisan yang terindikasi sebagai wacana deskripsi!

Sumber Gambar: 

  1. (https://omong-omong.com/membunuh-dua-harimau/)
  2. (http://www.bukabuku.com/browses/product/9786020320595/orang-orang-proyek)
  3. (https://www.cosmopolitan.co.id/article/read/8/2019/16405/wajib-baca-5-buku-sastra-indonesia-terbaik-sepanjang-masa)

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *