Subagio S. Waluyo

Orang mengenal Sutardji Calzoum Bachri (SCB) sebagai penulis puisi mantra. Konon kabarnya SCB memang pada tahun 1973 pernah menulis manifesto dalam “Kredo Puisi” yang diterbitkan di majalah satra Horison (Desember 1974) bahwa penciptaan puisi pada dasarnya pembebasan kata-kata yang berarti mengembalikan kata pada mulanya, yaitu mantra (https: //id.wikipedia.org/wiki/Sutardji_Calzoum_Bachri). Jadi, dengan manifesto itu,  tidak aneh kalau puisi SCB cenderung ke arah mantra. Puisi-puisi mantranya yang terkumpul dalam tiga kumpulan puisi: O, Amuk, Kapak ditulis sejak tahun 1966 sampai dengan 1979. Pada tahun 1981 ketiga buku kumpulan puisi itu digabung menjadi satu dengan judul O, Amuk, Kapak. Kumpulan puisi tersebut diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan (https://contohpantunpuisicerpen.blogspot.com/2015/11/10-contoh-puisi-sutardji-colzoum-bachri.html). Berikut ini bisa dilihat salah satu contoh puisi mantra yang ditulis SCB.

Mantera

             Sutardji Calzoum Bachri

Lima percik mawar

tujuh sayap merpati

sesayat langit perih

dicabik puncak gunung

sebelas duri sepi

dalam dupa rupa

tiga menyan luka

mengasapi duka

Puah!

Kau jadi Kau!

Kasihku

Meski dikenal sebagai penulis puisi-puisi mantra, SCB juga pernah berpartisipasi dalam acara Baca Puisi Solidaritas Bosnia Kita di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki pada 16 November 1992. Pada acara tersebut ada dua puisi yang ditulis, yaitu “Sarajevo” dan “Rumput”. Puisi-puisi yang ditulis jelas tidak berbau mantra atau bukan termasuk puisi mantra. Khusus puisi “Rumput” SCB berkisah tentang anak-anak Bosnia yang membusuk di jalan. Mereka korban pembunuhan secara biadab oleh pasukan Serbia. Bukan hanya anak-anak, suara azan pun dibungkam karena masjid-masjidnya dibombardir. Meskipun demikian, masih tercium aroma wangi jenazah kaum wanita yang dibunuh. Seluruh alam menangis melihat kekejian itu. Negara-negara besar yang mengaku sangat menjaga perdamaian dan HAM tidak mau tahu atas kejadian itu. Kalau ada ucapan yang menunjukkan empati terhadap kaum Muslimin Bosnia, itu sekedar lipstik. Mereka sesungguhnya kaum hipokrit yang berpura-pura berempati tetapi diam-diam ikut menusuk. Di belahan bumi yang lain, hampir sama saja seruan kedamaian hanya sebatas lipstik. Mereka (negara-negara yang mengaku penegak kedamaian) adalah `musang berbulu domba`. Di mana letak kemanusiaan kalau orang hanya sibuk dengan urusannya sendiri? Di luar dirinya semuanya sah-sah saja untuk dihabisi. Orang-orang suci yang selayaknya bisa membantu, semuanya sudah sirna. Orang-orang kecil seperti juga sia-sia memanggil Tuhan karena Tuhan dalam pandangannya seolah-olah meninggalkan mereka.

Rumput

              Sutarji Calzoum Bachri

            Sisa-sisa bocah membusuk di jalan. Mesiu mengunyah kepala boneka lalat nyerbu sejuta dengungan. Mereka tembak azan, minaret patah. Maut meninggalkan parfum aneh dari tumpukan mayat perempuan. Matari memar tinggal salju yang menangis. Di sisa negeri aku kumpulkan sisa sisa kaki, cabikan lengan, rambut yang lekat darah, remah-remah kepala dan sisa sisa hatiku yang henyak koyak. Tuhan bagaimana aku bisa lagi membikin manusia?

            Lebih mati dari mati menyayat dari seluruh mayat bila maut menyergap segala harapan. New York London Berlin Paris Roma semua meninggal. Para diplomat memakai lipstik dengan lidah bercabang. Aku jadikan seluruh diriku telinga tapi tak juga kudengar suara suci yang sering menghimbau damai di Etiopia, Somali, Argentina dan penjuru lainnya. Kenapa kasih jadi sekedar kisah lama? Bumi semakin sempit kemanusiaan semakin luas, orang bilang sambil sibuk dengan gembala sendiri dan di luar gembala hanya dianggap rumput boleh diinjak dimamah habis-habisan. Begitu banyak ular dalam sihir nalar. Aku berteriak Musa. Tapi Musa tak datang apalagi tongkatnya. Eli Eli lamma sabacthani!

Belakangan seperti ada yang berubah dengan puisi-puisi SCB. Kalau selama ini puisi-puisi SCB lebih cenderung ke mantra,tetapi memasuki masa-masa reformasi ketika rakyat di negara ini bergolak karena rezim yang berkuasa sudah tidak bisa lagi mengendalikan negara SCB berempati dengan menulis puisi-puisi yang pro terhadap perjuangan mahasiswa dan rakyat Indonesia. Puisi-puisi SCB cenderung berisikan kritik sosial yang ditujukan pada rezim yang berkuasa karena mereka (para penguasa) telah bertindak tidak adil terhadap rakyat kecil. Puisi “Jembatan” di bawah ini dengan gamblang SCB bahwa kata-kata dalam sajak tidak boleh lagi terperangkap dalam basa-basi, ewuh pakewuh, atau hanya berkisah tanpa makna. Tetapi, penyair harus menjadi pengamat. Amati sekian banyak fenomena sosial. Amati kisah sedih yang dialami orang-orang kecil yang nasibnya teralienasi. Orang-orang yang tergusur yang sebenarnya mereka adalah pemilik sah republik ini. Orang-orang yang terpaksa hanya menjadi pemulung yang memungut remah-remah pembangunan. Orang-orang yang hanya menjadi penonton pertunjukkan kekayaan di plaza-plaza megah. Pada akhirnya, mereka hanya bisa menjerit untuk mengakui tentang tanah air, bangsa, bahasa, dan bendera yang satu. Mereka juga tidak habis pikir tentang jurang yang masih tetap menganga antara dirinya dan orang-orang kaya penikmat negeri ini. Orang-orang kaya yang mendapat berbagai fasilitas dari sang penguasa sesungguhnya hanya akan melahirkan lagu sendu: `padamu negeri air mata kami`. Jadi, bukan `padamu negeri jiwa raga kami` karena jiwa raga yang telah mereka korbankan seperti sia-sia. Bukankah penikmat kekayaan negeri ini dimiliki oleh segelintir orang yang disebut penguasa dan pengusaha?

JEMBATAN

                              Sutardji Calzoum Bachri

Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan-jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-moyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu
mengucapkan kibarnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.

(https://www.facebook.com/notes/sukur-budiharjo/membaca-puisi-jembatan-sutardji-calzoum-bachri-memihak-yang-terpinggirkan/1490984354328504/)

Orang-orang yang teralienasi pemilik sah negeri ini, sudah tidak ada yang peduli dengan nasib mereka. Mereka dibiarkan hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka dibiarkan hidup tanpa pendidikan. Mereka dibiarkan hidup tanpa kesehatan. Muncullah berbagai pelarangan: orang miskin dilarang sejahtera hidupnya, orang miskin dilarang sekolah, dan orang miskin dilarang sakit. Kalau begitu, orang miskin dilarang berperan di negeri ini. Karena tidak ada peran, orang miskin juga tidak ada panggung buat mereka. Ada juga orang yang masih berbaik hati menyediakan panggung untuk orang miskin. Tapi, itu hanya dalam sinetron. Silakan simak muatan yang ada di sinetron Tukang Ojek Pengkolan (TOP). TOP mencoba  menampilkan cuplikan orang-orang miskin yang teralienasi walaupun durasinya tidak lama. Cukup 60—90 menit penonton dibuat terpingkal-pingkal ketika orang-orang yang teralienasi mencoba `sesuatu` yang mustahil bisa mereka nikmati. Bagaimana seorang tukang ojek yang penghasilannya pas-pasan bisa memanfaatkan lembaga bantuan hukum untuk memperoleh  keadilan hukum walaupun sebatas membersihkan nama baiknya yang sempat tercemar cuma gara-gara ada salah seorang temannya yang memviralkan kehidupan rumah tangganya?

Bagaimana pula tokoh yang sama (Purnomo alias Pur) bisa menikmati jalan-jalan ke Bali dengan istrinya karena mendapat voucher jalan-jalan gratis dengan pesawat terbang? Itu `kan sesuatu yang absurd buat mereka? Dalam kesehariannya mereka sebagai orang-orang yang teralienasi tidak akan pernah mendapat perlindungan hukum. Bahkan, kalau suatu saat terjerat hukum, mereka akan pasrah saja. Sama halnya ketika sakit, kalau sakitnya ringan cukup minum obat warung. Kalau sakitnya parah, mereka cuma pasrah silakan Tuhan mencabut nyawanya. Tokoh Ojak yang juga tukang ojek jelas menunjukkan ketidakberdayaannya ketika sakit pinggangnya tak kunjung sembuh. Tapi, solidaritas di antara mereka sesama teman yang senasib wajib diacungi jempol. Di tengah-tengah arus pembangunan yang telah menciptakan manusia Indonesia yang serakah masih ada orang yang masih peduli dengan sesamanya.

Di luar TOP juga ada panggung buat orang-orang yang teralienasi. Adalah anak-anak jalanan (anjal) dalam cerpen Ahmad Tohari, “Mereka Mengeja Larangan Mengemis”, yang memuat kisah pilu anjal yang tidak jelas statusnya. Maksudnya, mereka tidak diketahui siapa orangtuanya, di mana mereka tinggal, bagaimana pula dengan masa depan mereka karena yang diketahui mereka tinggal di pangkalan truk. Pendidikan mereka boleh dikatakan tidak jelas karena dari kelima anak itu, hanya Gupris, seorang anak perempuan di antara empat temannya laki-laki, yang bisa membaca walaupun masih terbata-bata. Gupris saja yang masih punya ibu walaupun sang ibu juga sudah tidak pernah mengurusinya. Sebaliknya, Gupris pun sebagai anak menganggap seperti tidak punya ibu karena sang ibu pergi pagi-pagi dengan dandanan menor tapi pulang dengan dandanan yang sudah berantakan dan keranjang yang dibawa tetap kosong alias tidak ada yang dibeli untuk keperluan sehari-hari. Gupris jelas sangat membenci perilaku ibunya. Dia lebih cenderung bergabung dengan keempat temannya. Jadilah dia anjal yang turut punya andil dalam memperbanyak orang-orang yang teralienasi.

Kelima anak yang teralienasi itu punya panggung di jalanan. Mereka bisa memanfaatkan ruang terbuka untuk mengamen. Hidup mereka sangat bergantung pada hasil mengamen. Kelima anjal itu karena memang hidup liar, tidak aneh kalau hidup semaunya. Tidak terpikir buat mereka untuk mengubah hidup karena memang sebagian besar buta huruf (hanya Gupris yang bisa baca itu pun terbata-bata). Di benak mereka daripada bersekolah harus keluar uang sementara mereka juga susah cari uang lebih baik mengamen. Tidak usah aneh kalau mereka lebih cenderung mengamen. Kalau bisa, sampai Allah mencabut nyawanya tidak ada pekerjaan lain mengamen atau mengemis. Tidak salah `kan kalau ada orang yang dengan sinisnya menyebutkan `orang miskin dilarang sekolah`.

“Jadi, menurut saya, dipidana pasti tidak sama dengan diberi dana. Dipidana mungkin sama dengan dihukum. Ya. Dipidana kurungan sama dengan dihukum kurung, dibui, dipenjara. Tahu? Itulah, maka kalian jangan ngemis dan ngamen terus. Seharusnya kalian bersekolah. Jadi kalian bisa seperti saya yang sekuriti dan tahu dipidana itu artinya apa.”

Gupris diam sejenak. Lalu berbalik lagi menghadap teman-teman. “Kalian dengar, kita seharusnya sekolah.”

“Sekolah dapat uang apa tidak?” potong seorang anak.

“Ah, dasar! Sekolah, ya, tidak dapat uang, malah bayar,” jawab Gupris.

“Wah, susah kalau begitu? Tidak dapat uang? Lalu kita beli makan pakai apa? Enakan ngamen terus, ngemis terus, bisa makan terus.”

Panggung buat orang yang teralienasi cukup hanya di layar kaca atau di layar lebar atau di pentas drama (teater) dan di jalanan.  Mustahil ada tempat lain yang layak buat mereka menyalurkan aspirasinya. Katakanlah apakah ada tempat buat mereka walaupun sesaat menyalurkan aspirasinya di parlemen? Mustahil bukan? Apa- lagi parlemen sekarang nyaris paduan suara (kata Iwan Fals) karena mereka `kan pendukung rezim yang berkuasa. Walaupun tempat wakil rakyat, parlemen yang diisi oleh anggota dewan terhormat di mata Gupris mereka itu sejenis manusia juga. Mereka bersama-sama walikota membuat larangan mengemis dan mengamen yang tentu saja ingin membuat efek jera buat orang sepertinya.

Alis Gupris merapat. Bingung dia. Tapi setidaknya dia sudah tahu, dewan itu sejenis manusia juga. Dan mereka bersama wali kota membuat larangan, siapa mengemis dan mengamen dipidana kurungan. “Ya, ya. Kami mengemis dan mengamen saban hari. Tapi kami belum pernah dihukum.” Gupris nyengir. Empat temannya tertawa.

Efek jera buat orang kecil semacam Gupris cs, tapi tidak ada efek jera buat koruptor. Ini `kan jelas tidak adil. Koruptor jelas-jelas tidak ada sedikitpun merasa kapok untuk tidak korupsi lagi. Bahkan, kalau ada mantan koruptor di negeri ini jadi pimpinan sebuah lembaga tinggi itu sudah biasa.  Makanya tidak usah aneh mantan koruptor tidak kapok untuk korupsi karena hukum juga bisa diatur. Hukum itu `kan penegakannya setengah hati. Penegakan hukum di negeri ini hanya `tajam ke bawah, tumpul ke atas. Jadi, panggung hanya ada untuk orang-orang kalangan atas entah itu penguasa atau pengusaha sehingga tidak ada tempat buat buat orang-orang di luar itu. Sampai kapan pun kalau negeri ini masih seperti itu dalam menyiapkan panggung, sila yang menyebutkan `Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia` rasa-rasanya masih di alam mimpi.

Sila kelima dari Pancasila itu oleh orang-orang yang punya kepentingan (entah penguasa atau pengusaha) hanya jadi alat. Belum bisa diterapkan secara benar. Buktinya masih terlihat jurang yang menganga antara orang kaya dan miskin. Silakan amati kehidupan di setiap tempat di negara ini. Pasti bisa ditemukan sekian banyak ketimpangan sosial. Sudah terjadi ketimpangan masih bertambah lagi dengan pemanfaatan orang-orang kecil terutama dalam pesta-pesta demokrasi entah itu pemilu, pilgub, atau pilkada. Mereka yang jadi gubernur, walikota, bupati, atau wakil-wakil rakyat para anggota dewan membutuhkan rakyat kecil ketika minta dukungan suara. Tetapi, begitu sudah jadi rakyat kecil dicampakkan. Mereka seperti `kacang lupa kulitnya`. Selain itu, di hari-hari raya mereka sekali-sekali menyenangi rakyat lewat bagi-bagi sembako dan uang. Rakyat yang datang jumlahnya melebihi kapasitas. Apa akibatnya? Bisa ditebak. Orang-orang alit itu berebut sembako dan uang. Ujung-ujungnya orang-orang kecil itu ada yang meregang nyawa atau minimal setengah kelenger masuk rumah sakit. Hari raya yang seharusnya bisa dirayakan dengan sanak keluarganya malah jadi hari penuh ratapan dan tangisan. Memang, benar-benar tidak beruntung jadi orang miskin di negeri ini. Sudah tidak ada panggung, diperas, digusur, dimanfaatkan, dipertontonkan lagi ketika berebut sedekah atau zakat orang-orang berpunya.

Siapa yang tidak miris lihat nasib anak bangsa seperti itu? Anak bangsa ini semakin sengsara ketika pemimpin-pemimpin yang liberal seenak perutnya mencabut subsidi BBM, menaikkan TDL (mencabut subsidi listrik yang menggunakan minimal 900 KVA), dan menaikkan BPJS kecuali untuk kelas III. Kalau mereka sudah tidak sanggup lagi bayar BPJS (walaupun tidak ada kenaikan) orang-orang kecil ini seperti yang disampaikan di atas, mereka diminta menunggu sampai penyakitnya sembuh tanpa sentuhan perawatan di rumah sakit atau silakan menunggu kedatangan malaikat pencabut nyawa dengan penyakit yang tak kunjung sembuh. Orang-orang miskin ini semakin miskin. Akhirnya, tidak mustahil negeri ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang punya kekuasaan dan uang. Orang-orang yang masih punya rasa kemanusiaan tidak akan bisa berdiam diri. Penyair Wiji Thukul, misalnya, yang sampai saat ini tidak diketahui rimbanya, adalah seorang buruh pabrik yang masih memiliki rasa kemanusiaan. Rasa kemanusiaan yang dimilikinya dituangkan ke dalam puisi-puisinya. Umumnya puisi-puisi Wiji Thukul berisikan protes terhadap rezim yang bertindak zolim. Berikut ini puisinya yang menyayangkan sikap aparat ketika menggeledah rumahnya.

(tanpa judul)

kuterima kabar dari kampung

rumahku kalian geledah

buku-bukuku kalian jarah

tapi aku ucapkan banyak terima kasih

karena kalian telah memperkenalkan

sendiri

pada anak-anakku

kalian telah mengajar anak-anakku

membentuk makna kata penindasan

sejak dini

ini tak diajarkan di sekolahan

tapi rezim sekarang ini memperkenalkan

kepada kita semua

setiap hari di mana-mana

sambil nenteng-nenteng senapan

kekejaman kalian

adalah bukti pelajaran

yang tidak pernah ditulis

(https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/158831-puisi-wiji-thukul)

Di sekolah anak-anak didik tidak pernah diajarkan penindasan. Tapi, fakta menunjukkan penguasa melakukan penindasan terhadap orang kecil. Di sekolah juga tidak diajarkan penggeledahan.Faktanya jelas-jelas menunjukkan rumah orang-orang kecil digeledah (kalau perlu diobrak-abrik). Bicara tentang penggeledahan, beranikah orang-orang yang berkuasa menggeledah sesama penguasa atau pengusaha kelas kakap? Rasa-rasanya tidak mungkin. Jadi, jangan lagi teriak penegakan HAM kalau terjadi pelanggaran HAM terhadap orang-orang kecil. Orang-orang kecil jelas-jelas tidak bisa melawan kalau HAM-nya diganggu oleh orang-orang yang berkuasa. Mereka hanya bisa menerima nasib karena memang tidak ada panggung buat orang-orang yang teralienasi. Panggungnya sudah dikuasai penguasa dan pengusaha. Bukankah orang-orang kecil adalah orang-orang yang juga inferior? Saking inferiornya mereka hanya bisa bilang: `Gusti Allah mboten sare`. Waduh!

Sumber Gambar:

  1. (https://images.app.goo.gl/Rvn9D2jzHdJzrKTR6)
  2. (https://images.app.goo.gl/xEDQwLvwoo5b2Qjf9)
  3. (https://images.app.goo.gl/vbMUHcVwBqxwsNWy5)
  4. (https://images.app.goo.gl/axqQUk2rV7FPSpSJ7)
  5. (https://images.app.goo.gl/LSkmaCfvSGsAzFvH8)
  6. (https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/158831-puisi-wiji-thukul)

By subagio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *