Subagio S.Waluyo
“Karena memang melihat kekurangan diri sendiri itu lebih sulit. Susah untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri. Akhirnya kita sulit menentukan mana yang harus dimaksimalkan dan mana yang harus diperbaiki. Tapi seperti kisah Mohammad Ali di atas, dia pun tak akan bisa jadi salah satu petinju terhebat sepanjang sejarah kalau dia tak mau “dimuridkan” oleh pelatihnya. Mau untuk dimuridkan bukanlah sesuatu yang mudah. Butuh kerendahan hati serta hati yang lapang untuk menerimanya. Seorang murid harus siap menjalankan dan tunduk di bawah instruksi gurunya. Sebab apa yang diperintahkan untuk kita lakukan adalah cara pelatih untuk mengganti “kacamata kuda” yang selama ini kita kenakan. Seorang pelatih mempunyai cakrawala yang lebih luas dalam memandang diri kita. Pertama-tama dia akan merubah paradigma serta kebiasaan lama kita”.
Kita hidup membutuhkan cermin. Dengan cermin kita bisa melihat sendiri wajah kita. Apakah sudah tampak kerut-kerut di wajah kita? Apakah ada noda-noda hitam di wajah kita? Kalau seorang lelaki, apakah kumis dan janggut (kalau memang memelihara janggut) sudah berubah warnanya? Yang semula hitam menjadi putih (beruban)? Ketika kecil kita bercermin, mungkin kita tidak peduli dengan wajah kita? Tetapi, dari hari ke hari seiring dengan bertambahnya umur memasuki masa-masa pubertas kita akan mengomentari diri kita. Remaja laki-laki yang berwajah tampan atau ganteng akan mengomentari `Wow, betapa tampannya aku!`. Dia tiba-tiba saja jadi narsis karena melihat wajahnya sendiri. Begitu pun remaja perempuan ketika melihat di cermin wajahnya yang cantik akan mengomentari `Wow, betapa cantiknya aku!`. Semua anak manusia memasuki masa-masa pubertas tiba-tiba saja jadi lupa diri. Mereka menjadi narsis.
Itu hanya terjadi pada anak-anak manusia yang memang sedang `mood` dengan lawan jenisnya. Mereka memang masih dalam masa penjelajahan untuk mencari jati dirinya. Tapi, beriringan dengan makin bertambahnya usia, bertambahnya pengalaman hidup, dan bertambahnya kesadaran religiositas tidak selamanya mereka akan melakukan hal itu. Kalau masih ada laki-laki atau perempuan yang berperilaku seperti anak-anak yang memasuki masa-masa pubertas patut kita curigai. Jangan-jangan jenis manusia seperti ini memang tergolong psikopat? Orang-orang yang menyadari bahwa dirinya sudah tua atau tidak muda lagi, ketika bercermin akan melihat di balik kerut-kerut wajah yang semakin tampak garis-garis ketuaan akan berupaya melakukan instrospeksi diri dengan pertanyaan yang mengundang perenungan. Dia akan merenung di hadapan cermin itu tentang sebuah pertanyaan, `mata yang Allah berikan ini sudah berapa banyak melihat kebesaran kekuasaan Allah?`. Boleh juga ketika melihat kerut-kerut di wajah ini dia mengatakan,`kerut-kerut di wajah ini telah menjadikan wajah tampan/cantik yang dulu aku miliki lambat-laun sirna dari wajah ini` seraya dia mengucapkan (kalau memang tergolong orang yang beriman) `Subhanaallah, yang menyadarkan aku untuk mengakui bahwa hidup ini ada awalnya dan akhirnya!`. Mungkin saja dia akan melanjutkan, `Aku sekarang telah mendekati akhir-akhir dari hidupku!`. Ini contoh orang yang sadar. Tapi orang yang lemah imannya akan mengatakan sebaliknya `Sialan kerut-kerut di wajah ini makin banyak saja! Makin dijauhin orang deh aku!`. Bukan bersyukur, orang seperti ini akan berupaya mempertampan atau mempercantik diri dengan mendatangi salon-salon kecantikan atau dokter-dokter ahli spesialis wajah agar tidak tampak adanya ketuaan di wajahnya. Habislah dana yang tidak sedikit dengan menghambur-hambur uang hanya untuk sepotong bagian dari tubuh kita: wajah.
Kita seharusnya berterima kasih pada cermin yang menjadi mitra kita untuk melakukan introspeksi diri. Berkat sebuah cermin, kita tahu siapa diri kita sebenarnya. Cermin telah membantu kita untuk melihat kekurangan-kekurangan pada fisik kita yang mungkin saja bukan hanya wajah, tapi dari ujung rambut sampai ujung kaki kita. Selain cermin, kita juga butuh teman atau pasangan hidup untuk saling memberikan penilaian tentang diri kita dan teman atau pasangan hidup kita. Hidup memang seharusnya demikian agar kita tidak mengedepankan ego kita. Dengan cara demikian kita bisa melihat kelebihan dan kekurangan kita. Orang yang punya teman atau pasangan hidup tetapi tidak dimanfaatkan untuk saling memberikan masukan atau mengoreksi diri, boleh jadi yang akan muncul adalah sikap egoistis berjamaah. Orang seperti ini sama saja seperti orang yang tidak membutuhkan teman atau pasangan hidup. Orang seperti ini tetap saja menjadikan teman atau pasangan hidup sebagai pajangan (patung) yang dibentuk oleh dirinya agar mengaminkan apa saja yang dia kehendaki. Hidup seperti ini jelas tidak nikmat.
Agar orang bisa menikmati hidup tidak ada jalan lain dia harus melakukan introspeksi diri. Caranya, dia harus menghindari peribahasa yang menyatakan `gajah di depan mata tidak terlihat, nyamuk di seberang laut terlihat`. Artinya, dia harus menghindari menjadi orang yang hanya mencari-cari kesalahan orang lain, sementara kesalahan dirinya sendiri ditutup-tutupi. Untuk menghindari jenis penyakit ini dia harus mencari cermin. Cermin itu adalah orang lain yang bisa diajak dialog untuk mengoreksi dirinya. Dia harus menjadikan teman dialog itu agar mampu memberikan masukan-masukan, kritikan-kritikan, atau penilaian-penilaian tentang sisi-sisi negatif dari perilakunya. Dia harus belajar siap menerima semua itu walaupun terasa pahit didengarnya. Selain itu, pada kesempatan lain dia juga harus mau memberikan entah itu masukan, kritikan, atau penilaian pada orang yang selama ini dijadikan cerminnya. Jadi, orang lain bisa menjadi cermin buat kita dan kita bisa menjadi cermin buat orang lain.
Melakukan introspeksi diri atau evaluasi diri juga bisa dilakukan melalui perenungan. Caranya, kita butuh waktu beberapa menit sebelum tidur tentang pekerjaan yang telah kita lakukan selama satu hari baik yang tergolong positif maupun yang tergolong negatif atau kurang baik. Kalau dalam sehari penuh banyak melakukan kebaik, kita layak bersyukur pada Tuhan. Sebaliknya, kalau lebih banyak melakukan keburukan atau kurang baik, kita harus banyak bertaubat pada Tuhan. Dengan cara seperti ini, kita mudah-mudahan saja menjadi orang yang jujur. Pendidikan yang berhasil dibuktikan dengan adanya anak didik yang jujur. Jujur pada diri sendiri, jujur pada orang lain, dan jujur pada Tuhan. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana-mana. Artinya, kejujuran sangat dibutuhkan di mana saja.
Pendidikan di negara kita selama ini masih dinilai belum berhasil. Pendidikan di negara kita belum bisa membentuk anak didik yang jujur. Buktinya, di negara ini masih banyak perilaku menyimpang yang berhubungan dengan kebohongan. Sebagian besar anak bangsa ini telah terbiasa melakukan kebohongan. Melakukan kebohongan bagi sebagian besar anak bangsa ini sudah menjadi hal yang wajib dilakukan. Mengapa anak bangsa ini melakukan kebohongan? Jawabannya singkat saja, siapapun yang layak menjadi pendidik (entah itu orang tua, guru, atau orang yang dianggap lebih tua) tidak pernah atau sangat jarang menanamkan nilai-nilai kejujuran. Para pendidik itu sendiri juga tergolong penganut pembohong sehingga tidak akan mungkin mendidik orang lain untuk menjadi jujur. Para pendidik itu telah gagal menjadi cermin bagi orang lain yang membutuhkan cermin. Untuk itu, dalam pendidikan kita bukan hanya kompetensi yang harus dikedepankan, tetapi masalah kejujuran justru yang harus lebih dikedepankan. Orang yang jujur Insya Allah orang yang berkompetensi. Orang yang jujur adalah orang yang selalu menggunakan cermin untuk kerapkali mengintrospeksi dirinya. Orang yang jujur adalah orang yang tahu bahwa dirinya tahu. Wallahu a`lam bissawab.