Cerpen
Subagio S.Waluyo
Joni baru saja menyelesaikan kewajibannya sebagai suami. Sang istri, Citra, masih tergolek di tempat tidurnya. Joni teringat kata-kata istrinya sebulan lalu ketika mereka belum diikat dengan tali pernikahan “Laki-laki jahat untuk perempuan jahat”. Baginya ucapan itu mengundang tanya.
“Apa maksudmu `laki-laki jahat untuk perempuan jahat`?
Citra dengan entengnya menjawab,
“Kita berdua orang jahat.”
“Kita berdua orang jahat?”, Joni semakin heran dengan jawaban Citra.
“Kenapa kita disebut orang jahat? Emangnya kita melakukan tindakan kriminal?”
“Kita memang gak melakukan tindakan kriminal.”
“Lho, kalau memang kita berdua gak melakukan tindakan kriminal, kenapa kita disebut orang jahat?” Joni semakin tidak mengerti.
“Ya, kita disebut orang jahat karena kita berdua pezina.”
“Jadi, yang namanya pezina itu orang jahat?”, Joni semakin heran dengan penjelasan Citra.
“Dapat dari mana kata-kata itu, Citra?”
“Tak sengaja aku buka-buka Instagram. Di situ ada seorang penceramah yang mengutip sebuah ayat Quran, tepatnya di Surat An-Nur ayat 26 `laki-laki jahat untuk perempuan jahat`. Penceramah itu juga menjelaskan kalau yang dimaksud laki-laki dan perempuan jahat itu adalah laki-laki dan perempuan pezina. Karena kita berdua pezina wajar-wajar aja dong kalau disebut orang jahat.”
“Kalo gitu, gimana supaya kita berdua gak disebut orang jahat?”
“Kita harus bertobat. Kita harus ninggalin perbuatan zina yang sudah sering kita lakukan.”
Deg, mendengar jawaban itu Joni terkejut. Di usianya yang sebentar lagi menginjak empat puluh tahun sudah tidak terhitung lagi dia melakukan zina. Sudah ratusan perempuan yang sempat ditidurinya. Dia juga harus akui dari sekian banyak perempuan yang ditidurinya, dia telah membuat rumah tangga mereka berantakan. Joni juga sadar batas akhir seseorang untuk melakukan kebaikan justru di usia empat puluh tahun. Kalau sampai melewati usia itu tidak pernah berubah, seterusnya sampai malaikat maut menjemputnya dia akan mengakhiri hidupnya sebagai pezina. Mengingat itu, bergidik juga bulu kuduknya. Dia sadar. Sudah saatnya dia harus berubah. Selagi masih ada umur dia harus berubah. Dia harus tinggalkan sebutan laki-laki pezina. Dia juga mengajak Citra, perempuan yang selama ini sudah sekian kali dizinai, untuk melakukan hal yang sama.
“Supaya sebutan gak lagi nempel di diri kita berdua, gimana kalo kita tinggalin perbuatan buruk ini?”
“Aku sangat setuju. Aku juga berpikiran begitu. Kalo perlu sekarang juga kita gak usah lagi berhubungan badan.”
Sambil berkata begitu, Citra meraih selimutnya untuk menutupi tubuhnya yang sejak tadi tidak ada selembar benang pun menempel. Kemudian dia meraih handuk. Di kamar mandi Citra mandi seperti orang yang baru saja bersetubuh yang selama ini tidak pernah dia lakukan. Joni yang masih di tempat tidur memperhatikan yang dilakukan Citra. Ada sebersit pikiran kotor mengajak Citra untuk melakukannya sekali lagi. Tapi, entah bagaimana ada yang menahannya untuk melakukan zina. Joni, juga sama dia segera mandi di kamar mandi yang berbeda.
Beberapa saat kemudian keduanya selesai mandi. Keduanya juga selesai berpakaian. Citra pamit pada Joni untuk kembali ke kosannya. Sebelumnya Joni minta agar dibolehkan mencium kening Citra. Citra tidak membolehkan. Joni tidak tersinggung dengan penolakan Citra. Joni juga sempat mengajukan sesuatu ke Citra.
“Kalau kita sudah benar-benar bersih dari perbuatan kotor ini, maukah kau menjadi istriku?”
Citra sempat terkejut meskipun dia juga cepat mengendalikan diri.
“Aku siap saja menjadi istrimu. Tapi, aku minta waktu untuk benar-benar bertobat. Aku juga minta kamu bertobat. Gimana?”
“Boleh. Gak apa-apa. Berapa lama aku harus menunggu?”
“Aku minta satu bulan. Bisa?”
“Gak apa-apa. Satu tahun pun aku siap asalkan aku menikah denganmu”
“Baik. Kalo gitu aku pamit dulu, ya?”
“Gimana kalo aku antar pulang?”
“Gak usah. Mulai saat ini aku gak mau berjalan bersama yang bukan mahromnya. Kalau kamu mau kontak aku, cukup lewat WA aja.”
***
Sebulan memang waktu yang singkat. Tapi, bagi Joni sebulan serasa seabad. Bukan cuma menunggu yang bikin dia bosan, gangguan yang datang bertubi-tubi membuat dia galau. Gangguan yang paling utama menghadapi hasrat seksualnya yang seringkali datang. Kalau gangguan itu datang, dia seperti orang gila. Mula-mula dia lawan dengan mengambil air wudhu. Kemudian dia salat sunah dan diteruskan dengan membaca Quran. Selain itu, dia juga perbanyak dzikir. Dia juga mulai membiasakan puasa senin-kamis. Dia juga mulai menyingkirkan semua barang di hadapan matanya yang memancing nafsu syahwatnya. Rumahnya kini benar-benar bersih dari segala macam yang mengundang syahwat. Selain itu, supaya tidak dihubungi lagi sama perempuan-perempuan yang pernah bermain cinta dengannya, dia juga mengganti hp-nya. Satu hal lagi yang patut diberi nilai tambah, dia mulai sering salat berjamaah di masjid dekat tempat tinggalnya.
Dari masjid itu dia mulai berinteraksi dengan jamaah masjid. Di masjid Joni juga aktif ikut pengajian. Dari kantongnya tidak sedikit dia mengeluarkan infaknya. Bukan hanya di tempat tinggalnya, di tempat kerjanya Joni juga mulai membiasakan diri salat berjamaah. Dia ajak semua karyawannya untuk salat berjamaah. Musala di kantornya yang selama ini boleh dikatakan tidak layak sebagai tempat ibadah mulai dibenahi. Sebagai pimpinan dan sekaligus pemilik perusahaan karyawan-karyawannya kaget melihat perubahan yang boleh dikatakan drastis. Biar bagaimanapun mereka bersyukur melihat perubahan yang terjadi pada pimpinannya. Yang membikin mereka banyak bersyukur akhir-akhir ini sang pimpinan memiliki kepedulian yang tinggi. Kalau sebelumnya Joni cuek-cuek saja sama bawahannya, justru sekarang seringkali membantu bawahannya. Bawahannya yang terkena musibah dia kunjungi dan dipenuhi segala keperluannya. Perubahan sikap itu tentu saja membuat sebagian besar bawahannya bertanya-tanya, `ada apa dengan Pak Joni?`. Mereka sekedar bertanya saja dalam hati. Tampaknya mereka tidak punya nyali untuk bertanya langsung dengan sang pimpinan.
Mereka sebenarnya juga heran dengan sikap yang ditunjukkan Pak Joni. Selama ini mereka sangat tahu kalau Pak Joni ini tergolong laki-laki flamboyan yang akrab dengan perempuan. Banyak perempuan yang keluar- masuk ruang kerjanya. Untuk menghindari berinteraksi dengan perempuan dia juga mengganti sekretarisnya dengan laki-laki. Laki-laki yang dipilih menjadi sekretrarisnya tentu saja orang yang memiliki akhlak yang baik dan rajin ibadahnya. Sekarang yang keluar masuk hanya bawahannya yang punya urusan dengan pekerjaan. Joni benar-benar telah melaksanakan niat baiknya.
***
Citra sekembalinya dari rumah Joni langsung ke tempat kosannya. Sebelum sampai ke tempat kosannya dia sempatkan diri membeli beberapa busana muslimah. Dia segera berberes-beres. Selesai berberes-beres dia datangi pemilik kosannya. Dia lunasi uang kosannya dan disampaikan ke pemilik kosannya kalau mau pulang kampung dan tidak balik lagi ke tempat semula. Citra sudah tekad bulat untuk kembali ke pangkuan orangtuanya di kampung. Dia sudah punya niat nikah dengan Joni. Dia percaya Joni akan memenuhi janjinya.
Sesampainya di kampung kontan kedua orangtuanya heran bukan semata-mata karena tiba-tiba saja Citra muncul di rumahnya, tapi busana yang dikenakan. Bukan cuma busana muslimah yang membalut tubuhnya, perilakunya juga jauh berbeda. Citra tidak lagi muncul sebagai perempuan nakal yang biasa tampak di hadapan orangtua dan orang-orang kampung. Citra kini tampil sebagai perempuan saleh. Citra tidak banyak bicara pada kedua orangtuanya tentang perubahan yang terjadi pada dirinya. Dia cuma menyampaikan kalau untuk sementara waktu tidak akan balik ke kota. Dia cuma bilang kalau dia mau istirahat dulu di kampung.
Sama halnya Joni, orangtua Citra juga kaget dengan perubahan yang boleh dikatakan seratus delapan puluh derajat pada anak bungsunya. Bukan hanya orangtuanya, tetangga-tetangga yang tinggal di sekitar rumahnya juga heran dengan perubahan yang terjadi pada Citra. Kalau sebelumnya Citra boleh dikatakan tidak pernah salat, justru sekarang ini bukan cuma salat wajib, salat-salat sunah juga dikerjakan. Di saat-saat salat sunah di malam hari orangtuanya sering melihat ada butir-butir air mata yang mengalir. Orangtuanya juga kerap melihat Citra banyak berzikir dan baca Quran. Selain itu, Citra juga kerap mengerjakan puasa sunah senin-kamis. Tentu saja sebagai orangtua mereka bersyukur atas perubahan yang terjadi pada anaknya. Mereka tidak mau banyak bertanya karena sudah tahu watak anaknya.
***
Beberapa hari menjelang hari pernikahannya, Citra menghadap orangtuanya. Dia menyampaikan kalau berniat untuk menikah setelah satu bulan berada di kampungnya.
“Bapak-Ibu, Citra awal bulan depan mau menikah”
“Mau menikah?”, tanya bapaknya.
“Dengan orang mana?”
“Laki-laki saleh dari kota.”
“Insya Allah orangnya baik dan bertanggung jawab”, tambah Citra.
“Citra hanya minta tolong Bapak urus surat pernikahan ke KUA. Untuk urusan lain-lainnya sudah Citra siapkan.”
“Baik kalau gitu.”
Kedua orangtuanya demikian gembira dan bahagia demi mendengar niat baik Citra yang mau menikah. Mereka berharap pernikahan kali ini tidak seperti yang sudah-sudah cuma seumur jagung. Bukan hanya Citra yang telah menutup lembaran buruk hidupnya di masa lalu, kedua orang-tuanya juga menutup lembaran buruk yang dialami anak bungsunya.
***
Di hari H-nya, Joni ditemani dua orang bawahannya datang ke rumah Citra. Tidak lama kemudian petugas KUA juga datang. Ijab Kabul berjalan lancar. Selesai acara kedua teman yang ikut menjadi saksi pernikahan Joni dan Citra balik ke kota. Tinggal Joni dan keluarga besar Citra yang ada di rumah itu. Menjelang sore satu persatu keluarga besar Citra dan orang-orang kampung kembali ke rumahnya masing-masing. Di rumah orangtua Citra tinggal Joni, Citra, dan kedua orangtuanya. Di malam hari kedua pasangan itu melampiaskan kerinduan yang terpendam selama sebulan.
“Mas belum tidur?”, tanya Citra mengagetkan Joni yang sempat melamun.
“Tadi sempat tidur sebentar. Tiba-tiba terbangun.”
“Ayo, tidur lagi”, pinta Citra.
“Boleh. Tapi…”
“Tapi apa?”, potong Citra.
“Aku mau nambah lagi”
“Oh, boleh-boleh.”, kata Citra sambil menarik tubuh suaminya yang juga masih sama-sama tanpa selembar benang pun melekat di tubuh mereka.
Mereka pun saling berpagutan melampiaskan hasrat seksualnya.
Kota Bekasi, 8 Juli 2025.