WAKIL RAKYAT FATALIS
Subagio S. Waluyo
Surat Buat Wakil Rakyat
Iwan Fals
Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Di sana, di gedung DPR
Wakil rakyat kumpulan orang hebat
Bukan kumpulan teman teman dekat
Apalagi sanak famili
Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam
Di kantong safarimu kami titipkan
Masa depan kami dan negeri ini
Dari Sabang sampai Merauke
Saudara dipilih bukan dilotre
Meski kami tak kenal siapa saudara
Kami tak sudi memilih para juara
Juara diam, juara he’eh, juara ha ha ha……
Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Di sana, di gedung DPR
Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu “setuju……”
(https://lirik.kapanlagi.com/artis/iwan-fals/surat-buat-wakil-rakyat)
***
Anggota dewan kok fatalis? Kenapa fatalis? Bagaimana caranya anggota dewan sampai fatalis? Memang aneh ya kalau anggota dewan fatalis karena mereka kata Iwan Fals disebut sebagai “Wakil rakyat Kumpulan orang hebat.” Jadi, mereka (anggota dewan) itu bukan orang sembarang, mereka orang-orang hebat karena mereka dilihat dari tingkat pendidikannya rata-rata tinggi. Ini buktinya, sebanyak 53 orang berpendidikan S3 (9,2%), 210 orang berpendidikan S2 (36,5%), 198 orang berpendidikan D4/S1 (34,4%), 6 orang berpendidikan D3 (1%), 56 orang berpendidikan SLA (9,7%), dan lainnya sebanyak 52 orang (9%) (https:// www.inews.id/ news/nasional/ anggota-dpr-terpilih-periode-2019-2024-mayoritas-berusia-41-60-tahun).
Dari data di atas kita mencatat ada 467 orang (81,2%) anggota dewan (DPR) berpendidikan tinggi (minimal D3). Berarti, memang benar mereka bukan orang-orang sembarang. Mereka orang-orang yang intelektualnya cukup tinggi. Mereka dipastikan orang-orang yang realistis. Karena orang-orang yang realistis, mereka membuang jauh-jauh budaya patron-klien atau partenalistik. Mereka sebagai wakil rakyat diharapkan punya kepedulian. Iwan Fals berharap agar “Suara kami tolong dengar lalu sampaikan.” Jadi, anggota dewan sebagai wakil rakyat, yang dipilih oleh rakyat, harus berani menyampaikan suara rakyat. Apapun yang dirasakan oleh rakyat harus disampaikan. Untuk itu, anggota dewan sebagai orang-orang hebat tidak boleh ragu dan takut walaupun harus berhadapan dengan kekuasaan yang kata Iwan Fals, “ Jangan ragu jangan takut karang menghadang.” Dia harus berani bicara karena memang kerja utamanya adalah bicara (“Bicaralah yang lantang jangan hanya diam”) sehingga anggota dewan pantangan untuk diam apalagi tidur ketika rapat (“Jangan tidur waktu sidang soal rakyat”). Ingat, anggota dewan ketika rapat harus punya sikap. Mereka harus berani mengatakan tidak kalau memang tidak setuju. Jangan sebaliknya, walaupun hati nuraninya mengatakan tidak setuju, karena ada faktor `tekanan`, akhirnya mengatakan setuju persis seperti paduan suara kata Iwan Fals (“Wakil rakyat bukan paduan suara. Hanya tahu nyanyian lagu “setuju……”).
***
(https://images.app.goo.gl/JpPAhC2DCngfc3Bk8)
Semua yang diwanti-wanti Iwan Fals kepada anggota dewan sekarang menjadi kenyataan. Fenomena yang terjadi di kalangan anggota dewan saat lirik lagu “Suara Wakil Rakyat” yang ditulis Iwan Fals di tahun 1987 (https: //id.wikipedia.org/wiki/Wakil_Rakyat_(album) memang sama dengan yang terjadi saat ini. Artinya, peristiwa yang terjadi di masa Orde Baru sekarang terulang kembali. Anggota dewan kita saat ini, walaupun telah memasuki dua puluh tahun reformasi, sama perilakunya dengan anggota dewan di masa Orde Baru. Memang, anggota dewan kita sekarang benar-benar dipilih oleh rakyat lewat pemilu yang demokratis. Tapi, begitu memasuki gerbang parlemen, mereka diibaratkan `kacang lupa dengan kulitnya`. Mereka lupa dengan misi utamanya sebagai anggota dewan. Mereka lupa, bisa juga memang sengaja melupakan, janji-janjinya ketika kampanye dulu. Bisa juga karena di bawah tekanan (ancaman) dari pimpinan partai atau penguasa, mereka menjadi anggota paduan suara.
Gambar karikatur di atas representasi sebagian anggota dewan kita saat ini yang memperlihatkan pada kita ketidakseriusannya ketika mereka rapat. Mereka tidur kalau masalah tersebut tidak menguntungkan atau tidak merugikan mereka. Tetapi, mereka akan melek dan teriak `setuju` kalau masalah yang diangkat akan menguntungkan mereka. Masalah korupsi, misalnya, jelas sangat menguntungkan mereka. Suatu saat ketika mereka korupsi, dengan adanya revisi UU Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) mereka akan aman-aman saja karena UU KPK yang baru ini jelas-jelas sudah dikebiri. Artinya, ada 26 butir yang melemahkan KPK karena sejumlah kewenangan yang dulu dimiliki KPK, untuk selanjutnya sudah tidak ada lagi. Salah satu butir yang melemahkan KPK adalah pelemahan independensi KPK. KPK yang selama ini dikenal sebagai lembaga yang independen, untuk selanjutnya sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif (https:// nasional. kompas.com/read/2019/09/25/10382471/ini-26-poin-dari-uu-kpk-hasil-revisi-yang-berisiko-melemahkan-kpk).
Di atas disebutkan bahwa KPK selanjutnya menjadi lembaga negara di rumpun eksekutif. Untuk itu, ke depannya mereka yang ikut terlibat dalam aktivitas di lembaga tersebut statusnya nanti adalah Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini semakin membuktikan hilangnya independensi pegawai KPK. Lebih jauh dari itu, akan terjadi degradasi KPK dari lembaga independen menjadi lembaga di bawah pemerintah. (https://nasional. tempo.co/read/ 1260771/mulai-berlaku-hari-ini-berikut-bahaya-uu-kpk-yang-baru/ full & view=ok). Sulit dibayangkan KPK dari sebuah lembaga independen yang semula benar-benar bebas melakukan tindakan pemberantasan korupsi menjadi lembaga yang diatur oleh pemerintah. Dari sisi ini saja kebijakan tersebut tentu saja akan menguntungkan sebagian anggota dewan yang sudah melakukan korupsi atau punya niat untuk korupsi.
***
Selain masalah korupsi yang membuktikan sebagian anggota dewan kita seperti anggota paduan suara adalah lahirnya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang dinilai kontroversial. Perppu itu dianggap kontroversial karena menurut Mohammad Sohibul Iman, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dalam orasinya di acara Milad ke-22 PKS menyampaikan kalau Perppu tersebut lahir karena ada agenda terselubung pemerintah yang berkaitan dengan Omnibus Law Perpajakan yang isinya memberikan insentif pemotongan pajak bagi korporasi-korporasi besar yang beroperasi di negara ini. Intinya pemerintah cenderung memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Selain itu, lahirnya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ini juga menabrak rambu-rambu good governance dalam pengelolaan fiskal dan moneter. Di sini Bank Indonesia akan kehilangan independensinya karena pemerintah nantinya bebas bisa berhutang dalam skala dan jumlah yang tidak terbatas. Apa yang terjadi kalau demikian bebasnya pemerintah berhutang dalam skala dan jumlah yang tak terbatas? Boleh jadi akan terjadi kerusakan penataan demokrasi yang sejak awal berdirinya negara ini telah memilih demokrasi sebagai sistem politiknya.
Perppu tersebut berpotensi merusak penataan demokrasi. Bagaimana itu bisa terjadi? Fakta sejarah di negara ini tidak bisa dimanifulasi, selalu saja setiap ada krisis akan muncul dua kemungkinan: jatuhnya pemerintahan yang otoriter dan lahirnya pemerintahan yang demokratis. Atau sebaliknya, munculnya pemerintahan yang otoriter dan matinya demokrasi. Munculnya Perppu ini berpotensi memunculkan benih-benih otoritarianisme. Sebagai bukti bisa dilihat, tanpa melalui proses legislasi UU pemerintah tanpa persetujuan DPR RI mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Padahal sudah jelas kalau mekanisme keluarnya Perppu itu mutlak mendapat persetujuan dari DPR RI karena hal itu sesuai dengan amanat UUD NRI 1945. Dengan keluarnya Perppu tanpa persetujuan DPR RI, kontrol legislatif terhadap presiden saat ini terhitung lemah. Dengan demikian, gerak langkah presiden dalam menjalankan roda pemerintahannya sudah melenceng dari relnya (“Titik Balik Bangsa Indonesia” oleh Mohammad Sohibul Iman dalam Acara Milad ke-22 PKS, tanggal 22 April 2020).
***
Masih berkaitan dengan Perppu Nomor 1Tahun 2020, Ahmad Yani (mantan anggota dewan dari PPP, 2009-2014), menyebutkan istilah Pandemi Corana Virus Disease 2019 (Covid-19) yang dilekatkan pada Perppu tersebut hanya sebagai alasan pembenaran untuk mengeluarkan Perppu. Pemerintah dalam hal ini memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Maksudnya, dalam kondisi seperti ini masih sempat-sempatnya pemerintah berupaya mengamankan ekonomi yang sudah jelas-jelas mengalami defisit anggaran sejak beberapa tahun sebelum muncul pandemi Covid-19. Timbulnya defisit ekonomi dan keuangan negara disebabkan oleh tidak becusnya negara mengelola perekomian dan keuangan. Masalah ini tidak main-main karena teras terang saja akan berpotensi terancamnya stabilitas keuangan negara. Wajar saja ketika menghadapi pandemi Covid-19 negara ini perekonomian dan keuangannya ambruk. Jangan dibalik kalau negara ini ambruk disebabkan oleh Covid-19 tapi memang negara ini sudah mengalami krisis ekonomi dan keuangan.
Seandainya tidak mengalami krisis ekonomi dan keuangan, pemerintah di negara ini tidak perlu panik. Tidak perlu juga mengeluarkan Perppu yang ujung-ujungnya merupakan akal-akalan pemerintah untuk menghadapi Covid-19 negara perlu stabilitas sistem keuangan. Publik bisa membaca kalau negara ini sebenarnya sudah tidak mampu mengelola perekonomian dan keuangan negara. Perppu ini yang begitu sangat berkuasa selain tidak menghormati keberadaan DPR RI sebagai lembaga egislatif juga berpotensi membungkam kekuasaan kehakiman (yudikatif). Kekuasaan kehakiman yang termasuk lembaga indenpenden dalam hal ini tidak bisa berbuat apa-apa Kalau kekuasaan kehakiman juga dilangkahi oleh presiden, bisa dipastikan kekuasaan presiden memiliki kekuasaan yang lebih besar, yaitu yang meliputi tiga cabang (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Dengan demikian, Perppu ini tidak memberikan kesempatan check and balances antara tiga cabang kekuasaan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif (https://www.tero-pongsenayan.com/111271-ada-apa-dibalik-perpu-nomor-1-tahun-2020).
***
Bagaimana sikap anggota dewan melihat rusaknya tatanan demokrasi di negara ini yang dikhawatirkan akan memunculkan otoritarianisme? Apakah anggota dewan melakukan pembiaran? Bambang Soesatyo selaku ketua MPR RI dalam suatu kesempatan pernah mendengungkan tentang jabatan presiden lebih dari dua priode. Dengungan Ketua MPR RI itu spontan ditanggapi negatif oleh publik. Kalau wacana itu disetujui, negara ini akan kembali ke masa Orde Lama dan Orde Baru (https://www.rmoljakarta.com /read/ 2019/11/21/60050/Wacana-Presiden-3-Periode,-Pengamat:-Bisa-Otoriter-). Wacana itu memberikan isyarat kalau boleh jadi sebagian anggota dewan menghendaki sistem otoriter berlaku kembali di negara ini. Sistem demokrasi yang sudah ditegakkan di masa reformasi sampai saat ini akan diganti dengan sistem otoriter. Dengan kata lain, wacana itu akan memunculkan rezim otoriter. Kita sudah merasakan bagaimana rasanya hidup di bawah pemerintahan yang otoriter. Pemerintahan yang memasung kebebasan orang untuk bebas menyampaikan pendapat. Sudah cukup buat kita agar tidak mengulang kembali masa-masa pahit itu. Untuk itu, pikiran-pikiran miring menambah masa jabatan presiden lebih dari dua kali dibuang jauh-jauh karena pikiran miring itu akan berujung pada munculnya sistem pemerintahan otoriter.
Agar tidak memunculkan sistem pemerintahan yang otoriter, anggota dewan tidak boleh melakukan pembiaran. Anggota dewan yang melakukan pembiaran adalah anggota dewan yang fatalis. Untuk menghindari adanya anggota dewan yang fatalis, setiap anggota dewan harus bersih dari 3 W, yaitu: Brain Wash, Blood Wash, dan Heart Wash (M. Mas`ud Said, Birokrasi di Negara Birokratis, 2007: 52-52). Setiap partai yang mengaku memiliki kader-kader yang mumpuni
, ketika melakukan perekrutan harus melakukan 3 W. Konsep ini memang semula disarankan digunakan untuk pejabat publik (dalam hal ini birokrat). Tapi, bukankah anggota dewan juga termasuk pejabat publik? Kalau memang benar pejabat publik, tidak ada salahnya buat mereka juga harus dilakukan pendidikan dan pelatihan yang mencakup 3 W itu. Untuk bisa melaksanakan program 3 W itu setiap partai politik sebagai organisasi harus memiliki lembaga kaderisasi. Di lembaga tersebut mereka yang mau maju menjadi anggota dewan harus lulus dari pendidikan dan pelatihan yang mencakup 3 W itu. Gambaran uraian pelaksanaan 3 W bisa dilihat pada buku Menatap Bangsa Hoax: Sebuah Catatan untuk Penegakan Good Governance, 2019: 154-163).
Apa itu konsep 3 W? W pertama, Brain Wash, artinya para calon legislatif (caleg) harus dibersihkan pikirannya (otaknya). Banyak anggota dewan yang otaknya kotor. Yang ada di otaknya kebanggaaan pada jabatan karena menjadi wakil rakyat berarti menjadi orang terbaik di daerah pilihannya. Menjadi orang terhormat di negeri ini. Selain itu, yang juga ada di benak sebagian anggota dewan apalagi kalau bukan uang yang menjadi tujuan hidupnya. Karena tujuannya ke uang, mau tidak mau dia akan melakukan segala cara termasuk korupsi, duduk nyaman saja, atau tidak perlu banyak berkomentar atau menyampaikan pendapat. Akhirnya, muncul adagium 3 D: datang, duduk, diam. Kalau bersuara, ada rasa takut ditegur atasan. Maklum anggota dewan kita juga masih banyak yang berperilaku patron client atau paternalisme. Caleg-caleg yang mau maju jadi anggota dewan harus dibersihkan otaknya agar berani berpendapat, punya kepekaan, dan menjauhi perilaku paternalisme. Oleh karena itu, tidak cukup seorang anggota dewan memiliki bererot gelar akademis kalau masih menempel di otaknya pikiran-pikiran kotor.
W kedua, Blood Wash, dicuci darahnya. Darahnya dicuci bukan caleg itu gagal ginjal. Maksudnya, agar yang masuk ke tubuhnya benar-benar halal baik dimakan/diminumnya atau cara memperolehnya. Anggota dewan yang perilakunya buruk boleh jadi cara memperoleh `sesuatu` dengan cara yang haram sehingga `sesuatu` yang haram itu masuk ke tubuhnya, masuk ke seluruh anggota badan yang lain, tidak terkecuali darahnya pun telah terkontaminasi dengan `sesuatu` yang haram. Kalau `sesuatu` yang haram itu telah mendarah daging, sudah bisa dipastikan anggota dewan jenis ini segala tingkah lakunya tidak mencerminkan orang-orang terhormat, orang-orang yang memperjuangkan nasib rakyat. Mereka lebih cenderung dekat dengan penguasa dan pengusaha. Hancurnya perekonomian dan keuangan negeri ini bisa juga karena ada kontribusi perilaku anggota dewan yang telah kotor darahnya.
W ketiga, heart wash, `bersih hatinya`. Caleg yang menempati kedudukan terhormat di negeri ini harus menjadi orang yang memiliki suri tauladan. Dia harus menjadi panutan dalam bertingkah laku. Publik akan menilai seorang anggota dewan bukan semata-mata kepiawaiannya dalam berbicara tapi juga perilakunya. Anggota dewan yang ucapannya kotor menunjukkan hatinya pun kotor. Semua yang tampak di hadapan publik menjadi sorotan. Dari dia berpakaian, berjalan, berbicara, bahkan senyumannya bisa saja menjadi petunjuk gambaran hatinya. Tidak cukup anggota dewan hanya memperlihatkan kehebatan oratornya ketika berbicara. Dia juga harus rapi dalam setiap hal. Rapi berpakaian, rapi bertindak, rapi berbicara, dan rapi juga dalam berjanji. Intinya, anggota dewan seperti ini benar-benar bisa mengemban amanah di pundaknya karena diawali dengan kebersihan hati.
***
Anggota dewan yang bebas dari kekotoran pikiran, kekotoran darah, dan kekotoran hati itulah yang diharapkan buat negeri ini. Anggota dewan yang benar-benar bersih otaknya, bersih darahnya, dan bersih hatinya Insya Allah bisa mengemban amanah. Pada anggota dewan seperti inilah yang menjadi tumpuan rakyat. Anggota dewan seperti ini yang punya kepekaan, punya kecerdasan, dan punya niat memperbaiki kondisi bangsa dan negara yang sudah compang-camping ini. Anggota dewan yang hanya jadi anggota paduan suara, yang fatalis, sudah selayaknya tidak ada tempat lagi di negeri yang kita cintai ini. Wallahu a`lam bissawab.