Cerpen
Subagio S.Waluyo
Aku tidak habis pikir dalam sebulan mendapat musibah beruntun. Pertama, simpanan di salah satu rekeningku di bank amblas ditipu orang. Segera setelah musibah itu terjadi aku blokir rekeningku, aku ganti nomor rekening, ganti kartu ATM, dan e–banking-ku. Baru saja selesai urusan dengan bank, anakku sepulang kuliah mendapat musibah ketika motornya diserempet mobil. Untung anakku hanya luka ringan. Terakhir, ketika aku, istri, dan anak-anakku ke luar kota, burung tekukur kesayanganku digondol maling. Burung itu baru saja aku beli dan menjadi kesayanganku karena setiap pagi suaranya mengingatkanku ketika aku kecil di kampung.
Selama ini aku selalu beranggapan yang namanya musibah lebih karena kelalaianku. Aku tidak pernah terpikir kalau ada sebab lain munculnya musibah. Memang, musibah yang aku hadapi terbilang kecil. Bagi anggota dewan seperti aku rekening yang amblas bisa diisi kembali, toh uang bagiku mudah didapat. Anakku yang terluka ringan karena keserempet mobil buatku juga tidak jadi masalah. Begitu pun dengan burung yang digondol maling, suatu saat juga bisa aku beli lagi. Tapi, yang jadi masalah bagiku `bagaimana kalau suatu saat aku mendapat musibah yang lebih besar lagi?`. Masalah ini yang sampai beberapa hari menggelayuti hidupku membuat aku tidak tenang menjalani kehidupan.
***
Di saat-saat aku tercenung memikirkan musibah yang mungkin saja akan menimpaku, aku teringat pada teman lama yang sudah lama tidak aku kunjungi. Temanku seorang dosen di salah satu PTN ternama di negeri ini. Kabarnya dia seorang profesor. Aku biasa menyapanya `Pak Dosen`. Dulu aku biasa menyambanginya sekalian curhat. Sejak menjadi anggota dewan sudah cukup lama aku tidak mendengar lagi nasihatnya. Mungkin sudah sepuluh tahun aku tidak bertemu dengannya karena kesibukan yang sebenarnya kalau memang berniat mau silaturahim bisa saja aku lakukan. Ah, selagi masih ada waktu aku coba mengunjunginya. Segera aku berkunjung ke rumahnya. Sebelumnya aku mampir ke toko buah membeli parsel buah. Alhamdulillah aku masih ingat jalan arah ke rumahnya meskipun di sekitar rumahnya sudah banyak bermunculan bangunan-bangunan baru. Begitu sampai di rumahnya aku segera memberi salam.
“Assalamu`alaikum!”.
“Waalaikum salam”. Kudengar suaranya dari dalam rumahnya. Tidak lama kemudian muncul temanku yang segera mengenaliku.
“Eh, Din tumben-tumbenan lu datang ke rumah gua. Gua kira lu dah lupa sama gua”, katanya dengan penuh keriangan.
Aku segera menyalami dan memeluknya.
“Gua gak bakal lupa sama lu, Pak Dosen. Biar gimanapun Kita `kan tetap bersahabat”, kataku.
“Gimana kabar lu bapak anggota dewan terhormat?”, canda temanku.
“Alhamdulillah, sehat-sehat aja. Lu sekeluarga juga sehat ya? Gua lihat rambut lu masih hitam gak kayak gua nih, dah putih semua”, kataku.
“Lu `kan banyak yang dipikirin.”
“Nah, kalo lu?”, tanyaku.
“Kalo gua gak ada pikiran”, katanya bercanda sampai kami berdua tertawa. `Ah, temanku masih seperti dulu, selalu penuh dengan humor ketika bicara serius`, kataku dalam hati.
“Yuk, masuk ke dalam. Kita bincang-bincang di dalam aja”, ajak temanku.
“Sore-sore gini, lu mau ngopi `kan?”, tanyanya.
“Air apa juga gua minum. Asal jangan air tajin aja”, kataku bercanda.
“Ah, elu. Tunggu bentar ya?”, tanya temanku. Sambil berkata begitu temanku langsung ke dapur meracik minuman. Tak lama kemudian dua cangkir kopi telah tersedia di meja.
Setelah bincang-bincang, aku membuka pembicaraan. Aku sampaikan maksud kedatanganku. Aku ceritakan kalau aku mendapat musibah dalam waktu satu bulan sampai tiga kali. Aku juga sampaikan bagaimana kalau ada musibah yang lebih besar menimpaku sekeluarga. Temanku serius menyimak yang aku sampaikan. Sebelum menjawab masalah yang aku sampaikan, aku lihat dia tercenung sejenak. Kemudian dia buka suara.
“Din, yang namanya musibah itu ada dua kemungkinan”, katanya.
“Maksud lu?”, tanyaku.
“Iya, maksud gua, yang namanya musibah itu boleh jadi lu lagi diuji sama Allah”.
“Lha, kenapa gua musti diuji sama Allah?”, tanyaku penasaran.
“Itu hal yang biasa Din. Semua orang pasti diuji kesabarannya, kira-kira lu termasuk orang yang sabar gak nerima musibah atau sebaliknya”.
“Nah, yang kedua?”, tanyaku sedikit memaksa.
“Bisa juga musibah itu merupakan teguran dari Allah”, jelas temanku.
“Teguran? Kenapa gua musti ditegur?”, tanyaku heran.
“Semua orang yang mengaku beriman pasti diuji Allah dalam bentuk teguran. Lu beriman gak sama Allah?”, tanya temanku.
“Jelas berimanlah”, jawabku.
“Jadi, musibah yang lu terima sampe tiga kali dalam sebulan itu teguran dari Allah. Mungkin ya, maaf nih, lu tuh gak berbagi”, jelas temanku.
“Gak berbagi? Gua selama ini tetap berbagi. Gua bagi anak istri gua. Gua kasi rutin ngasi uang belanja buat kebutuhan sehari-hari ke istri gua. Anak-anak gua segala kebutuhannya gua penuhi. Begitu juga ke orang tua dan mertua gua semuanya yang mereka minta maupun yang gak diminta gua penuhi. Juga buat adik-adik gua atau adik-adik ipar gua semuanya. Pokoknya, semua yang ada di sekitar keluarga semua kebutuhannya gua penuhi”, kataku sedikit menekan temanku.
“Semua yang lu sampein itu dah kewajiban lu.”
“Maksud lu, apa?”, tanyaku makin heran.
“Maksud gua berbagi itu, maaf ya, kalau gua sedikit menggurui, lu dah kasi gak haknya orang-orang duafa di sekitar lu?”, tanyanya.
“Maksud lu tetangga-tetangga gua? Tetangga-tetangga gua semuanya orang kaya. Mereka `kan anggota dewan”, kataku menjelaskan.
“Maksud gua bukan tetangga-tetangga lu sekomplek yang anggota dewan. Tapi, yang di luar tembok perumahan anggota dewan”, jelas temanku.
“Maksud lu gua ngasi sedekah ke orang-orang duafa yang tinggal di luar komplek perumahan anggota dewan?”, tanyaku.
“Ya”.
“Kalau zakat, gua ngasi zakat fitrah ke masjid.”
“Itu masih kurang Din. Lu `kan kalau gua lihat dari penghasilan lu dah musti ngeluarin zakat mal. Lu cuma keluarin dua setengah persen dari harta yang lu peroleh selama setahun. Selain itu, lu gak usah pelit-pelit keluarin buat orang-orang duafa di sekitar lu karena biar gimanapun ada milik mereka di harta lu. Boleh jadi di antara tetangga-tetangga lu yang orang duafa itu iri sama lu. Sampe-sampe burung tekukur kesayangan lu dicuri sama mereka. Insya Allah kalo lu dah berbagi sama mereka yang namanya maling segan nyuri di rumah lu. Kalo lu ke masjid di situ `kan ada kotak infak. Kalo ada banyak kotak infak buat TPA, anak yatim, Palestina, jumat berkah, atau buat jariah masjid, lu isi semua kotak juga gak apa-apa. Dengan lu ngeluarin zakat mal, infak, atau sedekah lu gak bakal miskin Din. Malahan lu akan dapat rizki yang makin berlimpah. Tetangga-tetangga lu yang rutin lu kasi sedekah akan baik sama lu hubungannya. Lu coba kasi mereka. Lu lihat nanti senyum mereka, ucapan terima kasih mereka rasanya nih hati akan adem. Lu percaya deh sama gua”, jelas temanku.
“Ya, ya. Gua ngerti apa yang lu sampein. Gua juga percaya sama elu”, kataku.
“Lu kasi tetangga-tetangga lu sedekah. Bentuknya bisa berupa uang atau sembako juga boleh”.
“Nanti kalo gua kasi uang ato sembako bukannya money politic?”, tanyaku.
“Gak lah. Lu kan ngasi rutin. Bukan waktu pileg ato pilpres. Lagi juga di situ bukan daerah pemilihan lu `kan?, tanya temanku.
“Bukan sih. Cuma jaga-jaga aja jangan sampe gua nanti kena delik money politic”, kataku.
“Insya Allah gak papa. Kalo lu mau ngasi zakat mal salurkan ke yayasan yang khusus menangani ziswaf”, jelas temanku.
“Apa itu ziswaf”, tanyaku.
“Zakat, infaq, shodaqoh, dan wakaf”, kata temanku.
“Kalo untuk infaq ke masjid aja”, sambungnya.
“Ya. Gua segera laksanakan titah baginda”, selorohku bercanda. Kami berdua tertawa riang.
“Kita dah sama-sama tua gini masih suka bercanda, ya?”, tanya temanku.
“Gak apa-apa selagi bercanda gak dikenain pajak”, kataku ngeledek. Ledekanku kali ini juga mengundang tawa bersama.
Setelah cukup lama berbincang-bincang, aku pamit diri. Sebelum ke luar dari rumahnya aku berikan parsel buah dan amplop yang telah aku siapkan sebelum berangkat. Temanku langsung merespon.
“Apa-apaan nih. Kok, pake ngasi parsel sama amplop?”, tanya temanku.
“Udah, lu terima aja”, kataku. “Ada rizki jangan ditolak!”, tegasku.
“Gua jadi enak, nih!”, kata temanku ngeledek. Kami tertawa lagi.
“Iaudah gua pamit, ya?”, kataku.
“Ya, hati-hati di jalan. Nanti kalo ada waktu luang gua mau ke rumah lu.”
“Siap, Pak Dosen! Assalamualaikum”.
“Waalaikum salam”.
***
Pas azan magrib aku sudah sampai di rumah. Aku langsung berganti pakaian, mengenakan sarung, dan peci untuk salat magrib berjamaah di masjid. Sudah lama rasanya aku tidak salat berjamaah. Di masjid aku disapa oleh beberapa jamaah yang mengenalku. Sapaan, salam, dan senyum mereka membuat hatiku tenteram. Sebelum kembali ke rumah, selesai salat dan wirid aku sempatkan untuk berbincang-bincang dengan beberapa jamaah. Aku juga menyempatkan diri untuk memasukkan uang ke kotak-kotak infak. Sesuai dengan saran temanku, aku masukkan semua kotak infak itu. Ah, hari ini aku merasa lega karena bisa salat berjamaah, berbincang-bincang dengan jamaah masjid, dan menginfakkan sebagian rizki yang aku miliki. Aku berniat besok sore orang-orang duafa yang tinggal di belakang tembok perumahan anggota dewan tempat tinggalku akan aku sambangi dan kuberikan sedekah. Aku rindu dengan ucapan terima kasih dan senyum mereka.
Kota Bekasi, 14 Agustus 2025.